Inkonvensionalitas cerpen “Asmaradana” Karangan Danarto

Danarto tidak lepas dari kebiasaannya sebagai penulis cerpen yang telah mengembangkan simbol yang khas, yaitu fantastik-surealistik. Danarto melihat kehidupan tidak sebagai realitas biasa tetapi sebagai realitas yang berlapis-lapis dengan kemungkinan cerita dan memberikan semangat optimisme dalam ketawakalan kepada takdir Tuhan. Semangat mistik dan sufisme memang sangat kentara dalam cerpen-cerpen Danarto. Manusia dan Tuhan seakan-akan lebur dalam imajinasi cerpen-cerpennya yang kerapkali juga menimbulkan kontroversi. Orang-orang menyebut beraliran sufisme atau bisa juga dibilang sebagai sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan karena hampir semua cerpenya memang berbicara tentang Tuhan.
Dengan cerpen-cerpennya yang bernuansakan sufisme dan terasa mistis, Danarto banyak melukiskan persoalan-persoalan alam batin manusia dan hubungannya dengan dunia ketuhanan. Karya-karya fiksinya telah terhimpun dalam sejumlah buku, seperti yang akan saya kaji berikut ini adalah Godlob, Adam Ma'rifat, Berhala, Gergasi, Setangkai Melati di Sayap Jibril, dan karya nonfiksinya Orang Jawa Naik Haji.
Cerpen Danarto tidak bisa disebut cerpen jika sastra harus bermediakan bahasa. Dengan bahasa dimaksudkan sebagai bahasa verbal. Sebuah cerpen Danarto meramu unsur-unsur cerita, musik, seni rupa, dan puisi. Saya tidak bisa menyalin judul cerpen itu di sini karena pada judulnya saja, cerpen itu sudah mengandung unsur lukisan (bahasa visual) juga corak atau bentuk, seperti tertuang dalam judul “Abracadabra”.
Cerpen-cerpen Danarto cenderung menghadirkan hal yang tak nyata ke dalam bingkai kenyataan. Yang nyata dan tidak nyata bukan sebagai sesuatu yang saling bertentangan, bukan benang kusut yang tidak saling terjahit, tetapi justru sebagai yang jalin-menjalin, pengaruh mempengaruhi melebur menerobos ruang dan waktu, sehingga sebagai dunia alternatif cerpen-cerpen Danarto membawa kita, pembaca, ke dunia imajiner; ke wilayah fantastis yang ‘surealis’ tapi juga tidak sepenuhnya tak terkenali
Dimana-mana tulisan danarto sudah mendunia. Bahkan disebut Danarto sudah sampai pada taraf pujangga. Dan banyak karyanya yang diterjemahkan ke banyak bahasa. Tak hanya itu bahkan diterjemahkan menjadi tari dan teater. Disamping penulis, danarto adalah pelukis hebat.
Keunikan danarto tak hanya sebatas tema cerpennya. Judul cerpennya pun ada yang berupa gambar-gambar. Sehingga orang akan kesulitan menyebutkan apa judul cerpen tersebut. Salah satu cerpennya judulnya berupa gambar panah menembus jantung dan darah menetes di ujungnya. Juga ketika waktu pameran lukisannya: kanvas kosong. Dia hanya memajang keramik-keramik warna putih.
Sebagaimana diungkapkan pada cerpen-cerpennya yang lain, dalam kumpulan cerpen ini pun Danarto menggunakan alur penceritaan yang abstrak. Tokoh-tokohnya tidak hanya manusia, tetapi juga malaikat, setan, angin, bahkan benda-benda mati yang bisa bergerak dan berkomunikasi, seperti dongeng. Juga tokoh-tokoh yang bersifat roh, pikiran, gagasan, yang bisa membangun beragam aktivitas di luar kewajaran dan logika. Dengan piawai ia melenturkan fakta-fakta, bahkan meracik realitas faktual dengan realitas imajiner. Realitas dalam karya Danarto haruslah dipahami sebagai realitas yang berlapis-lapis. Itu sebabnya, pembaca selalu dihadapkan pada multi-interpretasi. Danarto makin mantap dengan adbsurdisme, yaitu bentuk karya sastra yang anti-logika, anti-plot, anti-tokoh dsb, atau biasa disebut sebagai bentuk inkonvensional Betapa pun surealisnya, cerpen dan kumpulan-kumpulan cerpen serta buku-buku yang telah ditulis menarik untuk dibaca, seperti membaca dongeng, lengkap dengan pesan-pesan moralnya
Sastra merupakan kegiatan teks. Manakala sastra keluar dari teks dapat dikatakan bahwa sastra tersebut sudah selingkuh (inkonvensional). Sastra harus besar, manakala tak besar, maka bukanlah sastra namanya. Sastra itu harus baru, manakala tak baru, maka bukanlah sastra namanya. Sastra itu harus mencerahkan pembacanya, manakala tak ada pencerahan, maka itu bukanlah sastra. Jadi sastra itu kegiatan teks, yang besar dan baru, sekaligus mencerahkan dengan pemikiran filosofi. Ujungnya melahirkan pencerahan pada pembaca sastranya.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran baru, cerpen-cerpen Danarto dituliskan dengan semangat baru, sehingga diharapkan akan berdampak baru terhadap masyarakatnya, baik sekarang maupun mendatang. Jadi, pakemnya bukan hanya yang terpampang secara strukural. Begitu juga cerpen Danarto yang berjudul “Asmaradana” merupakan hasil abstraksi baru dari pengarang.
Diceritakan di awal bahwa Salome, gadis sweetseventeen yang terlahir sebagai anak yang cerdas, punya cita-cita tinggi, putri raja lagi, dan mengira hidup ini bisa diatasi dengan filsafat. Salome memiliki cita-cita teguh untuk dapat berbicara dengan Tuhan. Ia rindu untuk bertemu Tuhan. Keinginan tersebut oleh orang tuanya, Herodes dan Herodiah dianggap sebagai ‘joke’.
Salome mencapai titik paling puncak. Akhirnya ia putus asa agar bisa berbincang dengan Tuhan. Tiap hari ia memacu kudanya menyusup ke hutan berburu Tuhan. Sembilan belas perwira-perwira tampan di utus Baginda Herodes untuk menyusul Salome. Niat kesembilan belas perwira tersebut gagal. Mereka kembali ke kerajaan dengan tangan hampa. Baginda Herodes dan Herodiah kembali mengutus kesembilan belas perwira untuk menjaga Salome dari kejauhan. Beberapa di antara perwira memberi kabar bahwa putri Salome dalam keadaan sehat walafiat. Bahkan, ia akan memilih suami bagi siapa saja di antara perwira yang mampu mempertemukan dirinya dengan Tuhan.
Pada hari berikutnya, Herodes dan Herodiah mengok Salome ke hutan dikawal sembilan belas perwira yang nantinya akan turut dalam sayembara memperebutkan putri Salome. Satu – dua – tiga perwira gugur dalam sayembara kemudian disusul yang lain; kandas juga. Hanya satu yang mampu meruntuhkan benteng kaku di hati Salome. Mendadak Salome mencabut belati dengan perasaan hendak bunuh diri. Ia mengancam kalau ayah-ibu dan para perwira tidak pergi ia akan nekat bunuh diri.
Salome memacu kudanya. Di puncak bukit ia bagai petapa mencari wangsit dari atas kuda dan berlalu begitu saja. Suatu kerinduan yang lancar hingga datang kesadaran dari benaknya. Ia mendapatkan ide gemilang. Salome memacu kudanya kembali ke istana. Di depan gerbang istana didapatinya demonstran kelaparan yang menuntut gandum dari kerajaan. Setelah berbincang dengan seorang kakek tentang asal muasal terjadi demonstrasi, Salome menyentakkan kudanya menerobos masuk di antara para demonstran.
Salome berdiri di atas pelana dan meliuk-liukkan tubuhnya; menari. Kemudian satu-persatu pakaiannya ditanggalkan. Detak jantung beratus-ratus orang terangsang oleh polah Salome. Ia menyebutkan namanya dan berujar bahwa ia adalah ‘gandum’ yang susungguhnya. Para demonstran menyambut suka cita dan turut menari mengitari tubuh Salome.
Salome menantang Tuhan agar Tuhan dapat marah melihat tingkahnya.
Herodes dan Herodiah keluar dari istana hendak membimbing Salome ke istana. Salome mengajukan syarat. Ia mau kembali ke istana asal gudang gandum dibongkar dan dibagikan kepada rakyat. Hal itu disetujui oleh raja.
Hari subuh, Salome masih bergaun tidur mengomando pembagian gandum. Tapi yang terjadi jauh sebaliknya, rakyat yang seyogyanya berdesakan antri gandum dibantai habis-habisan di bawah pimpinan Salome.
Untuk kedua kalinya Salome menantang Tuhan agar Tuhan dapat marah dan memberikan hukuman setelah melihat tingkahnya.
Herodes dan para petinggi berunding untuk menghakimi Salome. Salome dipanggil menghadap. Bukannya diberi hukuman karena telah membantai rakyatnya sendiri malah ia diangkat menjadi panglima perang untuk mengusir Romawi. Herodes terkesan menyaksikan ketangkasan dan kecemerlangan ide Salome dalam menyiapkan rencana pembantaian.
Di akhir cerita, Salome meminta agar kepala Yahya Pembabtis dipenggal. Permintaan berat itu oleh Herodes dikabulkan. Setelah dipenggal, kepala Yahya Pembabtis dibawa ke loteng. Lalu Salome telanjang memacu kudanya mengelilingi kepala Yahya Pembabtis sambil tertawa puas. Dengan alasan itu, Salome kembali menantang Tuhan. Salome telah menggunakan ‘senjata penghabisan’, yaitu Yahya Pembabtis sebagai utusan Tuhan telah bertekuk lutut di hadapannya.
Salome mengelilingi kepala itu dan Tuhan tidak mengirimkan atau menampakkan dirinya. Akhirnya Salome putus asa dan menyerah sambil tersedu-sedu memeluk kepala Yahya Pembabtis.
Alur yang dipakai Danarto sebagai penceritaan cenderung maju/kronologis. Cerita dibangun memakai sistem konvensional struktur penciptaan karya sastra yang wajar. Dari awal, pengisahan, baik waktu maupun tokoh mengalami perkembangan dan memuncak sampai klimaks.
Dalam cerpen “Asmaradana” Karangan Danarto terkesan eksistensialis karena menggambarkan kekuatan-kekuatan di balik fakta-fakta cerita yang ada berada pada fase tak terpahamkan, tak dapat diterima. Bahkan, cerita tersebut tak pernah terjadi dan tidak akan mungkin terjadi. tokoh-tokohnya dihadapkan kepada sesuatu yang gelap dan dilontarkan ke dunia absurd.
Dalam hubungan ini, kepiawaian Salome untuk memakai ‘senjata penghabisan’, yaitu Yahya Pembabtis sebagai utusan Tuhan telah bertekuk lutut di hadapannya untuk menantang Tuhan merupakan peristiwa dalam suatu rangkaian tertentu terlepas dari imajinasi pembaca.oleh karena itu, di dalamnya didapatkan implikasi dan imbas peristiwa tokoh Salome. Sikap Salome tersebut mengacu menjadi antiklimaks yang benar-benar membuat lemas dengan berakhir keputusasan Salome untuk dapat balasan dari Tuhan yang sebelumnya tersderet dalam jalinan peristiwa yang tragis dan mengharukan. Hal itu dapat dilihat sebagai efek-efek final dari suatu rantai kausal yang dapat ditelusuri semuanya dengan merunut kembali peristiwa-peristiwa yang dialami Salome sejak awal penceritaan.
Dalam teknik penceritaan, penulis mengedepankan unsur-unsur intrinsik khususnya tentang penokohan karena masalah penokohan dalam sebuah karya sastra bukan semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan. Namun, di sini penulis tidak menyoroti tentang masalah penokohan melainkan tentang teknik penceritaaan yang secara tidak langsung akan berhubungan dengan tokoh-tokoh cerita. Jadi, secara garis besar teknik penceritaaan menurut penulis hampir sama dengan teknik pelukisan tokoh.
Menurut Nurgiyantoro (2002: 191), teknik penulisan tokoh dalam suatu karya sastra dapat dibedakan menjadi dua teknik, yaitu teknik ekspositori, dan teknik dramatik. Teknik ekspositori disebut juga teknik analitis karena penulisan tokoh cerita dilukiskan denngan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Sedangkan teknik dramatik, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh, pengarang membiarkan para tokoh cerita menunjukkan kediriannya sendiri melalui aktivitas yang dilakukan. Kedua teknik tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Teknik ekspositori kelebihannya adalah bersifat sederhana dan ekonomis, sedangkan kelemahannya adalah penuturannya yang bersifat mekanis dan kurang alami. Teknik dramatik kelebihannya adalah sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan nyata serta adanya kebebasan pembaca dalam menafsirkan sendiri sifat tokoh cerita (namun hal ini juga merupakan kelemahannya), kelemahan yang lainnya adalah tidak ekonomis.
Selain kedua teknik diatas, teknik penceritaan juga dapat dibedakan menjadi: teknik kolase, teknik montase, teknik asosiasi. Teknik kolase adalah teknik menghasilkan cerita dengan menyertakan kutipan dari karya sastra lain. Teknik montase adalah teknik menghasilkan cerita dengan kisah yang terputus-putus, digunakan untuk menciptakan suasana tertentu melalui penciptaan impresi. Sedangkan teknik asosiasi adalah teknik penceritaan melalui pertautan yang menghasilkan serangkaian peristiwa yang seolah-olah tidak berkaitan dengan inti cerita, namun setelah dicermati lebih dalam dengan menggunakan asosiasi ternyata keterkaitan antarcerita tersebut dapat terlihat dengan jelas.
Danarto memilih metode diskursif dalam menceritakan karakter tokohnya dengan cara menyebut langsung masing-masing kualitas tokohnya, sebut saja Salome. Salome, gadis sweetseventeen yang terlahir sebagai anak anak yang cerdas, punya cita-cita tinggi, putri raja, dan mengira hidup ini bisa diatasi dengan filsafat. Salome memiliki cita-cita teguh untuk dapat bertemu dengan Tuhan (Godlob, 2004:164-165). Selain itu, dalam pelukisan tokoh, Danarto memakai teknik dramatis karena tokoh-tokoh dinyatakan seperti dalam drama. Danarto membiarkan tokohnya untuk menyatakan dirinya sendiri melalui kata-kata maupun tindakan mereka sendiri.
Melalui teknik reaksi tokoh lain cerpen “Asmaradana” Karangan Danarto, dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utam, yaitu Salome.
“Anak-anak muda memang suka bicara besar. Mengira hidup ini bisa diatasi dengan filsafat. Royal omong besar boleh-boleh saja, asal jangan merusak…kau sudah kelewat batas.”
(Godlob, 2004:164-165)
Tokoh-tokoh lain itu pada hakikatnya memberikan penilaian terhadap tokoh utama untuk pembaca. Misalnya, apakah Salome adalah pemikir filsuf, jawabnya adalah reaksi dari tokoh lain, yaitu Herodes dan Herodiah.
Paparan tentang tokoh dalam karya fiksi di atas merupakan penyajian tokoh dalam kaidah konvensional. Sedangkan berdasarkan kajian inkonvensional dapat diraba-raba sebagai berikut. Pelukisan tokoh mendominasikan pada aktivitas yang dilakukan untuk menentukan jati diri tokohnya. Hal tersebut menurut penulis merupakan salah satu aspek inkonvensional yang membedakan dengan cerpen-cerpen yang lain. Dari awal, Salome adalah anak yang cerdas, punya cita-cita tinggi, putri raja, dan mengira hidup ini bisa diatasi dengan filsafat. Salome memiliki cita-cita teguh untuk dapat bertemu Tuhan. Dengan berdalih dari cita-citanya tersebut, tokoh utama (Salome) memaksakan diri untuk dapat bertemu muka dan berbicara dengan Tuhan. Padahal kalau dipikir secara rasional dan agama, manusia yang bisa yang bisa bertemu dengan Tuhan, dalam konsep agama saya “Allah” hanyalah Nabi Muhammad SAW, lain tidak.
Danarto mencoba menguak teori filsuf-filsafat dengan media tokoh Salome. Dengan tempramennya yang keras dan beride cemerlang, ia rela ‘melayani’ sembilan belas perwira jika ada salah satu bahkan semuanya jika bisa menunjukkan cara agar bertemu dengan Tuhan. Pada peristiwa lainnya ia pun mencoba dengan hal baru, Salome menari telanjang dihadapan rakyatnya berharap Tuhan datang melarang atau menghukumnya.
Tidak sampai di situ saja, Salome tega membantai rakyat kerajaannya sendiri hanya karena ingin dimurkai oleh Tuhan. Di sini kejeniusan Salome diuji. Dalam peristiwa pembantaian yang dikonsep dalam jangka waktu beberapa jam sebelum fajar telah menyusun rencana jitu, tanpa diketahui siapapun. Ditambah lagi, keingininnya memenggal kepala Yahya pembaptis sebagai senjata pamungkas untuk dapat bertemu Tuhan, agar ia dihukum dan diberi adzab oleh Tuhan namun tidak juga mendatangkan bencana bagi dirinya, apalagi menampakkan diri dihadapannya.
Ada yang menarik dari perwatakan tokoh Salome. Di akhir penceritaan, Salome putus asa dan menyerah terhadap ke-ESA-an Tuhan sambil tersedu-sedu memeluk kepala Yahya Pembabtis.
Tokoh Salome terkesan inkonvensional bagi citra wanita ‘Kartini’ pada umunya. Sifat sebanding perwatakan yang dimiliki Salome adalah seperti yang dimiliki oleh Srikandi, istri Arjuna yang juga Senapati perang Pandawa di medan Barthayuda.
Sebagai penyetara nilai kemutakhiran cerpen ini, godlob dapat disandingkan dengan sajak Chairil Anwar yang berjudul ”Aku”. Semangat individualistis yang melawan romantisme. Juga sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri pada era awal, yang membebaskan kata dari segala macam atribut pada kata itu sendiri.

Komentar

Postingan Populer