Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan
bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar
menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang
tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya
masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa,
bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia
lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa
Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa
Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.
Bahasa Indonesia
diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang
hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan,
maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek
baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau
sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara dalam
Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah,
"jang dinamakan 'Bahasa Indonesia'
jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe',
akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean
zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di
seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa
Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah
alam kebangsaan Indonesia".
Sebagaimana diungkapkan
dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, "...bahwa
asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa
Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia".
Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan
salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya
sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu
seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis,
bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap "lahir"
atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru
tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Fonologi dan tata bahasa
dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi
dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa
Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di
perguruan-perguruan di Indonesia.
Sejarah
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa
Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca
di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan
modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini
sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi
kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai
bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada
masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih
sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif
Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat
kelenturan Melayu Pasar dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda
berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya
dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka.
Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam
berkomunikasi.
Melayu Kuno
Penyebutan pertama istilah "Bahasa
Melayu" sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun
yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan
Bangka.
Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara
Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada
abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa
prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat
Manila juga
menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
- Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683
- Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684
- Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686
- Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688
Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan
bahasanya bahasa Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk
bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti
lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat di:
- Jawa Tengah: Prasasti Gandasuli, tahun 832, dan Prasasti Manjucrigrha
- Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942
Kedua-dua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat
pula dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di
Sumatra, melainkan juga dipakai di Jawa. Penelitian linguistik
terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa
Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang berdekatan.
Melayu Klasik
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada
abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan kelanjutan dari
Melayu Kuno. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14,
bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana
ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang
dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval
Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan
Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis,
misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh
semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan
dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah
itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya
kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa
Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak
abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat,
dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar,
tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa
Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh
Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan
masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata
untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu,
sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi
pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan
kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak,
polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga
lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka
yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata
Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan
sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad
ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19
menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling
penting di "dunia timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini
melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan
bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa
Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi
proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara,
misalnya di Manado,
Ambon, dan Kupang. Orang-orang
Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin.
Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa
di Batavia.
Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa
surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian
lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar
oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada
pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis
kamus ekabahasa
untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah
bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa
internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang
terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan
terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat
Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu
Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat
dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus
sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian
digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada
waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih
menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago
bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang
bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain,
sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di
seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh
Hindia Belanda."
Jan Huyghen van
Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa
"Malaka
adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat
sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata
yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena
posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara
Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan
paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari
bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan
pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai
lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah
memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam
standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah
dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan
ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai
terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk
baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda)
mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi
bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van
Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu
(dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan
dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan
Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai
Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan
program Taman Poestaka dengan
membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan
beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat,
dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai
bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober
1928. Penggunaan
bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad
Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada
Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : "Jika
mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya,
hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa
Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun
akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Ikrar Sumpah Pemuda itu terdiri atas tiga butir yang berbunyi sebagai
berikut
Pertama Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang
satu, tanah Indonesia
Pertama Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang
satu, tanah Indonesia
Kedua Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia
Ketiga Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia
Tampak pada teks di atas bahwa ikrar pertama dan kedua berbeda dengan
ikrar yang ketiga. Ikrar pertama dan kedua berupa pernyataan pengakuan terhadap
tumpah darah yang satu dan bangsa yang satu; sedangkan ikrar yang ketiga tidak
berupa pengakuan, tetapi berupa kebulatan tekad untuk men¬junjung bahasa
Indonesia menjadi bahasa persatuan. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda tidak berbunyi:
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa yang satu, bahasa Indonesia.
Dengan demikian, ungkapan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yang sering diucapkan orang tidak sesuai dengan aslinya. Memang, kita mengaku satu nusa dan satu bangsa, tetapi tidak mengaku hanya satu bahasa. Banyak orang salah sangka terhadap ikrar ketiga Sumpah Pemuda. Bangsa Indonesia tidak berkeinginan hanya memiliki satu bahasa dipertegas oleh penjelasan Pasal 36, UUD 1945, yang menyebutkan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipelihara dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Bali dan sebagainya), dihormati dan dipelihara juga oleh negara
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa yang satu, bahasa Indonesia.
Dengan demikian, ungkapan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yang sering diucapkan orang tidak sesuai dengan aslinya. Memang, kita mengaku satu nusa dan satu bangsa, tetapi tidak mengaku hanya satu bahasa. Banyak orang salah sangka terhadap ikrar ketiga Sumpah Pemuda. Bangsa Indonesia tidak berkeinginan hanya memiliki satu bahasa dipertegas oleh penjelasan Pasal 36, UUD 1945, yang menyebutkan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipelihara dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Bali dan sebagainya), dihormati dan dipelihara juga oleh negara
Dalam hal itu, nama “bahasa Indonesia” baru dikenal
sejak 28 Oktober 1928, yang sebelumnya bernama “bahasa Melayu.” Bahasa
Melayulah yang mendasari bahasa Indonesia yang kemudian diangkat menjadi bahasa
persatuan. Masalah yang menarik perhatian para ahli sosiologi bahasa adalah
kondisi apa yang memungkinkan bahasa Melayu dipilih dan disepakati untuk
diangkat menjadi bahasa nasional. Dan, mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda
yang jumlah penuturnya lebih banyak daripada bahasa Melayu.
Berikut ini dikemukakan beberapa alasan sebagai jawaban atas pertanyaan
tersebut.
1.
Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua
franca (bahasa perhubungan) selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan
tanah air kita. Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun
bahasa daerah lainnya.
2.
Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang
paling luas dan yang
melampaui batas-batas wilayah bahasa lain meskipun jumlah penutur
aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun
bahasa daerah lainnya.
melampaui batas-batas wilayah bahasa lain meskipun jumlah penutur
aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun
bahasa daerah lainnya.
3.
Bahasa Melayu .masih berkerabat dengan
bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.
4.
Bahasa Melayu bersifat sederhana, tidak
mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan
bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa.
Bahasa Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur
yang berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa
persatuan tidak rnenimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat
dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah
Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib bersyukur atas kerelaan mereka membelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni cita-cita nasional.
Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib bersyukur atas kerelaan mereka membelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni cita-cita nasional.
Hal seperti ini tidak terjadi di negara tetangga kita, misalnya
Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Filipina (Tagalog) yang diangkat
menjadi bahasa nasional mendapat saingan keras dari bahasa Sebuano dan Hokano
yang tidak rela bahasa Tagalog menang. Malaysia mencontoh Indonesia dalam
kebijakan bahasa mereka dengan menetapkan bahasa Malaysia sebagai bahasa
persatuan, yang sekarang sudah menjadi bahasa resmi. Singapura menetapkan
bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan dan menduduki bahasa kedua setelah
bahasa Inggris.
Dalam pada itu, ada beberapa pendapat berkaitan dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang perlu kita perhatikan. Muh. Yamin, penyusun ikrar Sumpah Pemuda, pada Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1926, menyatakan keyakinannya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Kebu-dayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu. Selanjutnya dengan tegas dia menyatakan bahwa bahasa yang dahulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah dikubur dan hidup menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Tiga bulan menjelang diadakan Sumpah Pemuda, tepatnya pada 15 Agustus 1926, Soekarno dalam pidatonya menyatakan bahwa perbedaan bahasa di antara suku bangsa Indonesia tidak akan menghalangi persatuan, tetapi makin luas bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar, makin cepat kemerdekaan Indonesia akan terwujud.
Dalam pada itu, ada beberapa pendapat berkaitan dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang perlu kita perhatikan. Muh. Yamin, penyusun ikrar Sumpah Pemuda, pada Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1926, menyatakan keyakinannya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Kebu-dayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu. Selanjutnya dengan tegas dia menyatakan bahwa bahasa yang dahulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah dikubur dan hidup menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Tiga bulan menjelang diadakan Sumpah Pemuda, tepatnya pada 15 Agustus 1926, Soekarno dalam pidatonya menyatakan bahwa perbedaan bahasa di antara suku bangsa Indonesia tidak akan menghalangi persatuan, tetapi makin luas bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar, makin cepat kemerdekaan Indonesia akan terwujud.
Ada pendapat lain, sesudah, diikrarkan Sumpah Pemuda, terutama yang
berkaitan dengan ikrar ketiga, St. Takdir Alisjahbana menjelaskan secara luas
apa yang disebut bahasa Indonesia. Dia menyatakan, “bahasa Indonesia ialah
bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk
Asia Selatan dan setelah bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada
permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa
persatuan”.
Dalam pernyataan itu dengan sengaja dicantumkan kata dengan zwa/untuk
membedakan pengertian antara bahasa yang dahulu disebut bahasa Melayu dengan
bahasa yang sekarang disebut bahasa Indonesia. Selanjutnya, St. Takdir
Alisjahbana menyatakan bahwa bahasa Indonesia itu terusan, sambungan dari
bahasa Melayu, tetapi ada bedanya dengan fase yang dahulu. Bahasa Indonesia itu
dengan insaf diangkat dan dijunjung serta dipakai sebagai bahasa yang
memperhubungkan dan mempersatukan rakyat Indonesia.
Sejalan dengan pendapat di atas, H.B. Yassin menyatakan bahwa Sumpah
Pemuda adalah suatu manifesto politik yang juga mengenai bahasa. Penamaan
bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia tidak berdasarkan perbedaan dalam
struktur dan perbendaharaan bahasa pada masa itu, tetapi semata-mata dasar
politik. Dalam bahasa tidak terjadi perubahan apa-apa, tetapi hanya berganti
nama sebagai pernyataan suatu cita-cita kenegaraan, yaitu kesatuan, tanah air,
bangsa dan bahasa.
Perlu Anda ketahui bahwa pada zaman penjajahan Belanda ketika Dewan
Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa Melayu memperoleh pengakuan
sebagai bahasa resmi kedua, di samping bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai
bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan Rakyat. Sayangnya, anggota bumiputra
tidak banyak yang memanfaatkannya.
Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia yang
pertama di Solo pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hasil keputusan yang
penting, yaitu bahasa Indonesia diusulkan menjadi (1) bahasa resmi dan (2)
bahasa pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan.
Demikianlah “lahir”nya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsyafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Dan, api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka, yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah Jepang.
Demikianlah “lahir”nya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsyafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Dan, api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka, yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah Jepang.
Pada tahun 1942 Jeparig menduduki Indonesia. Dalam keadaan tiba-tiba,
Jepang tidak dapat memakai bahasa lain, selain bahasa Indonesia untuk
berhubungan dengan rakyat Indonesia. Bahasa Belanda jatuh dari kedudukannya
sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang digunakan. Sebenarnya Jepang mengajarkan
bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud membuat bahasa Jepang
menjadi bahasa resmi di Indonesia sebagai pengganti bahasa Belanda. Akan
tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat seperti waktu dia
menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang memilih jalan yang
praktis, yaitu memakai bahasa Indonesia yang sudah tersebar di seluruh
kepulauan Indonesia. Perlu Anda catat bahwa selama zaman pendudukan Jepang
1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat
pendidikan.
Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari berorientasi terhadap bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memakai bahasa Indonesia.
Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari berorientasi terhadap bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memakai bahasa Indonesia.
Waktu Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan, makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua
peristiwa tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional
identik dengan bahasa persatuan yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan
semangat kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara
secara formal belum terwujud. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus seiring
dengan sejarah bangsa pemiliknya.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Indonesia
Yang dimaksud dengan kedudukan adalah status relatif bahasa sebagai
sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial bahasa
yang bersangkutan. Sedangkan fungsi adalah nilai pemakaian bahasa yang
dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu dalam kedudukan yang diberikan
kepadanya.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki sejak diresmikan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki sejak diresmikan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai (1) lambang kebangsaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3)
alat pemersatu berbagai suku bangsa yang latar belakang sosial budaya dan
bahasanya berbeda, dan (4) alatperhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Sebagai lambang kebangsaan nasional, bahasa Indonesia mencerminkan
nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar
kebangsaan itu, bahasa Indonesia selalu kita pelihara dan kita kembangkan.
Begitu pula rasa bangga memakai bahasa Indonesia wajib kita bina terus. Rasa
bangga merupakan wujud sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif
itu terungkap jika kita lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada kata
bahasa asing. Orang dikatakan bersikap positif jika lebih suka memakai kata
HOTEL INDAH, PENATU RAMA, dan PENJAHIT CITRA daripada kata SPLENDED HOTEL, RAMA
LAUNDRY, dan CITRA TAILOR. Kecenderungan memakai kata-kata asing seperti di
atas mungkin terdorong oleh ingin bergagah-gagahan
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dapat menimbulkan wibawa, harga diri, dan teladan bagi bangsa lain. Hal ini dapat terjadi jika kita selalu berusaha membina dan mengembangkannya secara baik sehingga tidak tercampuri oleh unsur-unsur bahasa asing (terutama bahasa Inggris)) yang tidak benar-benar kita perlukan; Untuk itu kesadaran akan kaidah pemakaian bahasa Indonesia harus ditingkatkan.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dapat menimbulkan wibawa, harga diri, dan teladan bagi bangsa lain. Hal ini dapat terjadi jika kita selalu berusaha membina dan mengembangkannya secara baik sehingga tidak tercampuri oleh unsur-unsur bahasa asing (terutama bahasa Inggris)) yang tidak benar-benar kita perlukan; Untuk itu kesadaran akan kaidah pemakaian bahasa Indonesia harus ditingkatkan.
Pada zaman penjajahan Jepang yang penuh dengan kekerasan dan penindasan
bahasa Indonesia digembleng menjadi alat pemersatu yang ampuh bagi bangsa
Indonesia. Dengan bahasa nasional itu kita letakkan kepentingan nasional di
atas kepentingan daerah atau golongan. Sebagai
alat perhubungan, bahasa Indonesia mampu memperhubungkan bangsa Indonesia yang
latar belakang sosial budaya dan bahasa ibunya berbeda-beda. Berkat bahasa
nasional, suku-suku bangsa yang berbeda-beda bahasa ibunya itu dapat
berkomunikasi secara akrab dan lancar sehingga kesa-lahpahaman antarmereka
tidak terjadi. Selanjutnya, dengan menggunakan bahasa Indonesia kita dapat
menjelajah ke seluruh pelosok tanah air kita ini tanpa ada hambatan.
Selanjutnya, sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional, dan (4) alat pengembang
kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam
segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik secara lisan maupun
tertulis. Dokumen-dokumen resmi, keputusan-keputusan, surat-menyurat, yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya seperti DPR dan
MPR wajib ditulis dalam bahasa Indonesia. Juga pidato-pidato resmi kenegaraan
wajib ditulis dan diucapkan dalam bahasa Indonesia. Hanya dalam keadaan
tertentu, demi kepentingan komunikasi antarbangsa, kadang-kadang pidato itu
ditulis dan diucapkan dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Sejalan
dengan itu, pemakaian bahasa dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan,
termasuk media massa perlu dibina, dikembangkan, dan ditingkatkan.
Sebagai bahasa pengantar, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa
pengantar pada semua jenis dan jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak
sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dalam hubungan ini,
bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali dan
Makassar berfungsi sebagai bahasa pengantar di SD sampai dengan tahun ketiga;
sedangkan bahasa asing, misalnya bahasa Inggris dipakai sebagai alat untuk
membantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern.
Sebagai alat perhubungan tingkat nasional, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, dan juga sebagai alat perhubungan dalam masyarakat yang latar sosial budaya dan bahasanya sama. Jadi, jika pokok masalah yang diperkatakan itu berkaitan dengan masalah yang menyangkut tingkat nasional (bukan tingkat daerah), ada kecenderungan orang untuk memakai bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Dewasa ini terdapat kecenderungan memakai bahasa Indonesia meskipun yang dibicarakan itu masalah yang bertingkat daerah.
Sebagai alat perhubungan tingkat nasional, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, dan juga sebagai alat perhubungan dalam masyarakat yang latar sosial budaya dan bahasanya sama. Jadi, jika pokok masalah yang diperkatakan itu berkaitan dengan masalah yang menyangkut tingkat nasional (bukan tingkat daerah), ada kecenderungan orang untuk memakai bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Dewasa ini terdapat kecenderungan memakai bahasa Indonesia meskipun yang dibicarakan itu masalah yang bertingkat daerah.
Sebagai alat pengembang kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan
teknologi, bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa yang digunakan untuk
membina dan mengembangkan kebudayaan nasional yang memiliki ciri-ciri dan
identitasnya sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Di samping
itu, bahasa Indonesia juga dipakai untuk memperluaskan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern kepada masyarakat baik melalui penulisan buku-buku teks,
penerjemahan, penyajian pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan umum maupun
melalui sarana-sarana lain di luar lembaga pendidikan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan
bahasa yang terpenting di kawasan republik kita ini. Penting tidaknya suatu
bahasa dapat didasari oleh tiga patokan, yaitu (1) jumlah penuturnya, (2) luas
penyebarannya, dan (3) peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan ungkapan
budaya lain yang bernilai tinggi. Jumlah penutur bahasa Indonesia menurut
sensus penduduk tahun 1990 adalah 82,87%. Hendaknya disadari bahwa jumlah
penutur asli bahasa Indonesia makin bertambah. Patokan kedua jelas sekali bahwa
bahasa Indonesia memiliki penyebaran yang paling luas. Hal ini tentu
mengingatkan Anda tentang luasnya penyebaran bahasa Melayu yang menjadi dasar
bahasa Indonesia, Di samping susastra Indonesia modern yang dikembangkan oleh
sastrawan yang beraneka ragam latar belakang bahasanya, dewasa ini bahasa
Indonesia berperan sebagai sarana utama di bidang ilmu, teknologi, dan peradaban
modern bagi bangsa Indonesia.
Perlu dicatat bahwa kedudukan bahasa yang demikian penting seperti
bahasa Melayu dijunjung menjadi bahasa persatuan, kemudian bahasa Indonesia
ditetapkan menjadi bahasa negara, dan bahasa Inggris menjadi bahasa
internasional tidak didasarkan pada pertimbangan linguistik, logika, atau
estetika, tetapi oleh patokan politik, ekonomi, atau demografi.
Selanjutnya perkembangan bahasa dan
kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau,
seperti Marah
Rusli, Abdul
Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam
Effendi, Idrus,
dan Chairil
Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata,
sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia
Perinciannya sebagai berikut.
- Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
- Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
- Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
- Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
- Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
- Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
- Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
- Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
- Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
Kongres Bahasa Indonesia II s.d. VI. Marilah kita kaji ulang
peristiwa-peristiwa penting yang dimaksud.
Pada tahun 1954 diadakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Dalam
Kongres itu ditegaskan bahwa politik bahasa harus mengatur kedudukan dan
hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Selain itu, politik bahasa harus membangkitkan rasa setia dan bangga akan
bahasa Indonesia. Pernyataan kedua ini menyiratkan bahwa rasa setia dan bangga
akan bahasa nasional belum tampak dalam perilaku berbahasa Indonesia. Mungkin
sekali masih banyak orang Indonesia yang suka berbahasa asing daripada
berbahasa Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 1975 di Jakarta diadakan Seminar Politik Bahasa
Nasional. Politik bahasa nasional adalah kebijaksanaan nasional yang berisi
perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai
dasar pengolahan keseluruhan kebahasaan. Dalam seminar itu diputuskan ihwal
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, misalnya bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa-bahasa daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional, yang dilindungi oleh negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 36 Bab XV, UUD 1945 (sebelum amandemen), yang berbunyi:
Dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, misalnya bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa-bahasa daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional, yang dilindungi oleh negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 36 Bab XV, UUD 1945 (sebelum amandemen), yang berbunyi:
Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh
rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan
sebagainya) bahasa-bahasa itu dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun
merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah. Adapun dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di SD di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya, dan (c) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah. Adapun dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di SD di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya, dan (c) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah.
Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa seperti bahasa
Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Jepang, dan Cina berkedudukan sebagai
bahasa asing. Kedudukan ini didasarkan atas kenyataan bahwa bahasa asing
tertentu itu diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan pada tingkat tertentu. Di
dalam kedudukan yang demikian, bahasa-bahasa asing itu tidak bersaingan, baik
dengan bahasa Indonesia maupun dengan bahasa daerah. Di dalam kedudukannya
sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda,
Perancis, Jepang dan Cina berfungsi sebagai alat perhubungan antarbangsa, (2)
alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional.
Selanjutnya, pada tahun 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia
III di Jakarta dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-50. Kongres itu
bertujuan memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia baik sebagai bahasa
nasional sesuai dengan isi dan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maupun
sebagai bahasa negara, sesuai dengan Bab XV, Pasal 36, UUD 1945 (sebelum
amandemen) Keputusan dan kesimpulan kongres itu menyangkut kepentingan segenap
lapisan masyarakat. Masalah bahasa adalah masalah nasional..
Sementara itu, pada tahun (1983) di Jakarta diadakan Kongres Bahasa
Indonesia IV. Dalam kesimpulan umum dikatakan bahwa fungsi bahasa Indonesia
makin mantap, baik sebagai alat komunikasi sosial administratif maupun sebagai
alat komunikasi ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dan, sebagai alat
penyebarluasan ilmu, bahasa Indonesia telah dapat pula menjalankan fungsinya
dengan baik. Hal ini terbukti dengan makin banyaknya buku-buku ilmu pengetahuan
yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia V diadakan pada tahun 1988 di Jakarta. Kongres
itu menghasilkan sejumlah putusan yang meliputi bidang bahasa, pengajaran bahasa,
dan pengajaran sastra. Dalam simpulan umum dinyatakan bahwa kedudukan bahasa
Indonesia makin mantap, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa
negara. Meskipun demikian, pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar masih
perlu ditingkatkan. Sebagai tindak lanjutnya, perlu diperhatikan dan
dilaksanakan hal-hal berikut ini.
Para pejabat diimbau berbahasa Indonesia ‘ Secara baik dan benar karena
mereka menjadi anutan masyarakat. Para peneliti hendaklah membiasakan
menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah secara logis, lugas, cermat, dan
tepat.
Dalam menyampaikan pesan tentang konsep-konsep pembangunan kepada
masyarakat hendaknya digunakan bahasa yang akrab dan sederhana sesuai dengan
daya tangkap masyarakat. Penggunaan bahasa asing pada papan-papan nama gedung
umum, hendaknya diganti dengan bahasa Indonesia.
Pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah dan modern masih perlu
menyerap kata-kata baru, baik yang berasal dari bahasa serumpun maupun dari
bahasa asing, sesuai dengan keperluan. Oleh sebab itu, penutur bahasa Indonesia
diimbau tidak bersikap nasionalisme sempit yang
berlebihan. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia, yang meliputi
kebanggaan dan kesetiaan pada bahasa Indonesia serta kesadaran akan kaidah
bahasa perludipupuk terus.
Bahasa Indonesia VI diadakan pada tahun 1998 di Jakarta. Kongres dengan
tema “Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000″ itu bertujuan memantapkan peran
bahasa Indonesia sebagai sarana pembangunan bangsa, sarana pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta sarana pembinaan kehidupan bangsa. Adapun
subtemanya adalah (1) Bahasa Indonesia Merupakan Sarana yang Kukuh dalam
Pembangunan Bangsa, (2) Peningkatan Mutu Bahasa Indonesia Memperlancar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan (3) Peningkatan Kemampuan
Masyarakat Berbahasa Indonesia Memperkaya Kehidupan Budaya Bangsa.
Jaringan masalah kebahasaan di Indonesia memang
sangat kompleks. Hal itu disebabkan oleh adanya persentuhan antara bahasa
Indonesia dan bahasa daerah, juga adanya persentuhan antara bahasa Indonesia
dan bahasa asing, ditambah pula datangnya berbagai tuntutan agar hanya
didasarkan pada eksistensi bahasa Indonesia sebagai sistem fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor
nonkebahasaan seperti politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan.
Penyempurnaan ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia
mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:
Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa
Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu
oleh Nawawi Soetan Ma’moer
dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa
yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui
pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
- Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
- Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
- Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
- Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
Ejaan Republik
Ejaan ini
diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini
juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
- Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
- Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
- Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
- Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini
dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun
berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan ini
diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik
Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972.
Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa
Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972) |
Malaysia
(pra-1972) |
Sejak 1972
|
Tj
|
ch
|
c
|
Dj
|
j
|
j
|
ch
|
kh
|
kh
|
nj
|
ny
|
ny
|
sj
|
sh
|
sy
|
j
|
y
|
y
|
oe*
|
u
|
u
|
Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah
digantikan dengan "u".
Pengaruh terhadap perbendaharaan kata
Ada empat tempo penting dari hubungan kebudayaan
Indonesia dengan dunia luar yang meninggalkan jejaknya pada perbendaharaan kata
Bahasa Indonesia.
Hindu (antara abad ke-6 sampai 15 M)
Sejumlah besar kata berasal dari Sanskerta Indo-Eropa.
(Contoh: samudra,
suami, istri, raja, putra, pura, kepala, mantra, cinta, kaca)
Islam (dimulai dari abad ke-13 M)
Pada tempo ini
diambillah sejumlah besar kata dari bahasa Arab dan Persia (Contoh: masjid, kalbu, kitab, kursi, doa, khusus, maaf,
selamat, kertas)
Kolonial
Pada tempo ini ada
beberapa bahasa yang diambil, di antaranya yaitu dari Portugis (contohnya: gereja, sepatu, sabun, meja, jendela) dan Belanda (contohnya: asbak, kantor, polisi, kualitas)
Pasca-Kolonialisasi
(Kemerdekaan dan seterusnya) banyak kata yang diambil berasal dari bahasa
Inggris. (Contoh: konsumen, isu). Dan ada juga Neo-Sanskerta
yaitu neologisme yang didasarkan pada bahasa
Sanskerta,
(contoh: dasawarsa, lokakarya, tunasusila)
Selain itu, bahasa Indonesia juga menyerap
perbendaharaan katanya dari bahasa Tionghoa (contoh: pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, cukong).
Ciri-ciri lain
dari Bahasa Indonesia kontemporer yaitu kesukaannya menggunakan akronim dan singkatan.
Kata serapan dalam bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari bahasa
lainnya.
Asal Bahasa
|
Jumlah Kata
|
3.280 kata
|
|
1.610 kata
|
|
1.495 kata
|
|
Sanskerta-Jawa
Kuna
|
677 kata
|
290 kata
|
|
131 kata
|
|
83 kata
|
|
63 kata
|
|
7 kata
|
Sumber: Kata Serapan dalam Bahasa
Indonesia (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
(sekarang bernama Pusat Bahasa).
Penggolongan
Indonesia termasuk anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa Melayu-Polinesia yang pada
gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue,
bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa
Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur laut Sumatra
Distribusi geografis
Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh
Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area perkotaan (seperti di
Jakarta dengan dialek Betawi serta logat Betawi). Penggunaan bahasa di
daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di daerah
bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah
kadang bahasa daerahlah yang
digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.
Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang
sangat penting seperti yang tercantum dalam:
- Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
- Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan
bahasa Indonesia sebagai:
- Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
- Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Bunyi
Berikut
adalah fonem dari bahasa indonesia mutakhir
Vokal
|
|||
|
Depan
|
Madya
|
Belakang
|
Tertutup
|
iː
|
|
uː
|
Tengah
|
e
|
ə
|
o
|
Hampir
Terbuka
|
(ɛ)
|
|
(ɔ)
|
Terbuka
|
a
|
|
|
Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/.
Namun, di dalam suku kata tertutup seperti air kedua vokal tidak
diucapkan sebagai diftong
Konsonan
|
|||||
|
Bibir
|
Gigi
|
Langit2
keras |
Langit2
lunak |
Celah
suara |
Sengau
|
m
|
n
|
ɲ
|
ŋ
|
|
Letup
|
p b
|
t d
|
c ɟ
|
k g
|
ʔ
|
Desis
|
(f)
|
s (z)
|
(ç)
|
(x)
|
h
|
Getar/Sisi
|
|
l r
|
|
|
|
Hampiran
|
w
|
|
j
|
|
|
- Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
- /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan
- /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris.
- /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara
- Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.
Tata bahasa
Dibandingkan
dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak banyak menggunakan kata bertata bahasa
dengan jenis kelamin. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik
menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama
juga ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai
contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus
ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang
berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra".
Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas,
kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah
sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam
konteks. Sebagai contoh "seribu orang" dipakai, bukan "seribu
orang-orang". Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak
terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia
menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami"
dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti
tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti
inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar
yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin.
Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan
objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu
dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti,
"kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti
"sudah" atau "belum".
Dengan tata bahasa
yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu
pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang
yang pertama kali belajar bahasa Indonesia.
Awalan, akhiran, dan sisipan
Bahasa Indonesia
mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa Nusantara
maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing. Untuk daftar awalan,
akhiran, maupun sisipan dapat dilihat di halaman masing-masing.
Dialek dan ragam bahasa
Pada keadaannya
bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang
disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai
ragam bahasa.
Dialek dibedakan atas:
- Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
- Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
- Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
- Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia
berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok
pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan
meliputi:
- ragam undang-undang
- ragam jurnalistik
- ragam ilmiah
- ragam sastra
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:
- ragam lisan, terdiri dari:
- ragam percakapan
- ragam pidato
- ragam kuliah
- ragam panggung
- ragam tulis, terdiri dari:
- ragam teknis
- ragam undang-undang
- ragam catatan
- ragam surat-menyurat
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat
digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
- komunikasi resmi
- wacana teknis
- pembicaraan di depan khalayak ramai
- pembicaraan dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut,
dipakailah ragam bukan baku.
Kata serapan dalam bahasa Indonesia
Setiap masyarakat bahasa memiliki tentang
cara yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan atau untuk
menyebutkan atau mengacu ke benda-benda di sekitarnya. Hingga pada suatu titik waktu, kata-kata yang
dihasilkan melalui kesepakatan masyarakat itu sendiri umumnya mencukupi
keperluan itu, namun manakala terjadi hubungan dengan masyarakat bahasa lain,
sangat mungkin muncul gagasan, konsep, atau barang baru yang datang dari luar
budaya masyarakat itu. Dengan sendirinya juga diperlukan kata baru. Salah satu
cara memenuhi keperluan itu--yang sering dianggap lebih mudah--adalah mengambil
kata yang digunakan oleh masyarakat luar yang menjadi asal hal ihwal baru itu.
Sejarah hubungan dengan penutur
Telah berabad-abad lamanya nenek moyang
penutur bahasa Indonesia berhubungan dengan berbagai bangsa di dunia.
Bahasa Sanskerta tercatat terawal dibawa masuk ke Indonesia yakni sejak mula
tarikh Masehi.
Bahasa ini dijadikan sebagai bahasa sastra dan perantara dalam penyebaran agama
Hindu dan Buddha. Agama Hindu
tersebar luas di pulau Jawa pada abad ke-7 dan ke-8, lalu agama Buddha
mengalami keadaan yang sama pada abad ke-8 dan ke-9.
Hubungan dengan penutur India dan persekitarannya
Beriringan dengan perkembangan agama Hndu
itu berlangsung pula perdagangan rempah-rempah dengan bangsa India yang sebagian
dari mereka penutur bahasa Hindi, sebagian yang lain orang Tamil dari
India bagian selatan dan Sri Lanka bagian timur yang bahasanya menjadi perantara
karya sastra yang subur. Bahasa Tamil pernah memiliki pengaruh yang kuat
terhadap bahasa Melayu.
Hubungan dengan penutur Cina
Hubungan ini sudah terjadi sejak abad ke-7
ketika para saudagar Cina
berdagang ke Kepulauan Riau, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Timur, bahkan sampai juga ke Maluku
Utara. Pada saat Kerajaan Sriwijaya muncul dan kukuh, Cina membuka hubungan
diplomatik dengannya untuk mengamankan usaha perdagangan dan pelayarannya. Pada tahun 922 musafir Cina melawat ke
Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Sejak abad ke-11 ratusan ribu perantau Cina
meninggalkan tanah leluhurnya dan menetap di banyak bagian Nusantara (Kepulauan Antara, sebutan bagi Indonesia).
Yang disebut dengan bahasa Cina adalah bahasa di negara Cina (banyak bahasa). Empat
di antara bahasa-bahasa itu yang di kenal di Indonesia yakni Amoi, Hakka, Kanton, dan Mandarin. Kontak yang begitu lama dengan penutur Cina ini
mengakibatkan perolehan kata serapan yang banyak pula dari bahasa Cina, namun
penggunaannya tidak digunakan sebagai perantara keagamaan, keilmuan, dan
kesusastraan di Indonesia sehingga ia tidak terpelihara keasliannya dan sangat
mungkin banyak ia berbaur dengan bahasa di Indonesia. Contohnya anglo, bakso,
cat, giwang, kue/ kuih, sampan, dan tahu.
Hubungan dengan penutur Arab
Bahasa Arab dibawa
ke Indonesia mulai abad ketujuh oleh saudagar dari Persia, India, dan Arab yang juga menjadi penyebar agama Islam. Kosakata bahasa Arab yang merupakan bahasa
pengungkapan agama Islam mula berpengaruh ke dalam bahasa Melayu terutama sejak
abad ke-12 saat banyak raja memeluk agama Islam. Kata-kata serapan dari bahasa
Arab misalnya abad, bandar, daftar, edar, fasik, gairah, hadiah, hakim, ibarat,
jilid, kudus, mimbar, sehat, taat, dan wajah. Karena banyak di antara pedagang
itu adalah penutur bahasa Parsi, tidak sedikit kosakata Parsi masuk ke dalam bahasa Melayu, seperti acar, baju, domba, kenduri,
piala, saudagar, dan topan.
Hubungan dengan penutur Portugis
Bahasa Portugis dikenali masyarakat penutur bahasa Melayu
sejak bangsa Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 setelah setahun sebelumnya ia
menduduki Goa. Portugis dikecundangi atas saingan dengan Belanda yang datang
kemudian dan menyingkir ke daerah timur Nusantara. Meski demikian, pada abad
ke-17 bahasa Portugis sudah menjadi bahasa perhubungan antaretnis di samping
bahasa Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Portugis seperti
algojo, bangku, dadu, gardu, meja, picu, renda, dan tenda.
Hubungan dengan penutur Belanda
Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika
ia mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau
Jawa dan daerah lain di sebelah barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda
menguasai banyak daerah di Indonesia. Bahasa Belanda tidak sepenuhnya dapat
menggeser kedudukan bahasa Portugis karena pada dasarnya bahasa Belanda lebih
sukar untuk dipelajari, lagipula orang-orang Belanda sendiri tidak suka membuka
diri bagi orang-orang yang ingin mempelajari kebudayaan Belanda termasuklah
bahasanya. Hanya saja pendudukannya semakin luas meliputi hampir di seluruh
negeri dalam kurun waktu yang lama (350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia).
Belanda juga merupakan sumber utama untuk menimba ilmu bagi kaum pergerakan.
Maka itu, komunikasi gagasan kenegaraan pada saat negara Indonesia didirikan
banyak mengacu pada bahasa Belanda. Kata-kata serapan dari bahasa Belanda seperti abonemen, bangkrut, dongkrak,
ember, formulir, dan tekor.
Hubungan dengan penutur Inggris
Bangsa Inggris tercatat pernah menduduki Indonesia meski tidak
lama. Raffles menginvasi Batavia (sekarang
Jakarta) pada
tahun 1811 dan beliau bertugas di sana selama lima tahun. Sebelum dipindahkan ke Singapura, dia juga bertugas di Bengkulu pada
tahun 1818. Sesungguhnya pada tahun 1696 pun Inggris pernah mengirim utusan Ralph Orp ke Padang (Sumatra Barat), namun dia mendarat di Bengkulu
dan menetap di sana. Di Bengkulu juga dibangun Benteng
Marlborough
pada tahun 1714-1719. Itu bererti sedikit banyak hubungan dengan bangsa Inggris
telah terjadi lama di daerah yang dekat dengan pusat pemakaian bahasa Melayu.
Hubungan dengan penutur Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia yang selama tiga
setengah tahun tidak meninggalkan warisan yang dapat bertahan melewati beberapa
angkatan. Kata-kata serapan dari bahasa Jepang yang digunakan umumnya bukanlah
hasil hubungan bahasa pada masa pendudukan, melainkan imbas kekuatan ekonomi
dan teknologinya.
Perbendaharaan kata serapan
Di antara
bahasa-bahasa di atas, ada beberapa yang tidak lagi menjadi sumber penyerapan
kata baru yaitu bahasa Tamil, Parsi, Hindi, dan Portugis. Kedudukan mereka
telah tergeser oleh bahasa Inggris yang penggunaannya lebih mendunia. Walaupun
begitu, bukan bererti hanya bahasa Inggris yang menjadi rujukan penyerapan
bahasa Indonesia pada masa yang akan datang.
Penyerapan
kata dari bahasa Cina sampai sekarang masih terjadi di bidang pariboga termasuk bahasa Jepang yang agaknya juga potensial menjadi sumber
penyerapan. Di antara penutur bahasa Indonesia
beranggapan bahwa bahasa Sanskerta yang sudah ’mati’ itu merupakan sesuatu yang
bernilai tinggi dan klasik. Alasan itulah yang menjadi pendorong penghidupan
kembali bahasa tersebut. Kata-kata Sanskerta sering diserap dari sumber yang
tidak langsung, yaitu Jawa Kuna. Sistem morfologi bahasa Jawa Kuna lebih dekat
kepada bahasa Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Sanskerta-Jawa Kuna misalnya acara, bahtera, cakrawala, darma,
gapura, jaksa, kerja, lambat, menteri, perkasa, sangsi, tatkala, dan wanita.
Bahasa Arab
menjadi sumber serapan ungkapan, terutama dalam bidang agama Islam. Kata rela
(senang hati) dan korban (yang menderita akibat suatu kejadian), misalnya, yang
sudah disesuaikan lafalnya ke dalam bahasa Melayu pada zamannya dan yang
kemudian juga mengalami pergeseran makna, masing-masing adalah kata yang seasal
dengan rida (perkenan) dan kurban (persembahan kepada Tuhan). Dua kata terakhir
berkaitan dengan konsep keagamaan. Ia umumnya dipelihara betul sehingga makna
(kadang-kadang juga bentuknya) cenderung tidak mengalami perubahan.
Sebelum Ch. A. van Ophuijsen menerbitkan sistem ejaan untuk
bahasa Melayu pada tahun 1910, cara menulis tidak menjadi pertimbangan
penyesuaian kata serapan. Umumnya kata serapan disesuaikan pada lafalnya saja.
Meski kontak
budaya dengan penutur bahasa-bahasa itu berkesan silih berganti, proses
penyerapan itu ada kalanya pada kurun waktu yang tmpang tindih sehingga
orang-orang dapat mengenali suatu kata serapan berasal dari bahasa yang mereka
kenal saja, misalnya pompa dan kapten sebagai serapan dari bahasa Portugis,
Belanda, atau Inggris. Kata alkohol yang sebenar asalnya dari bahasa Arab,
tetapi sebagian besar orang agaknya mengenal kata itu berasal dari bahasa
Belanda.
Kata serapan
dari bahasa Inggris ke dalam kosa kata Indonesia umumnya terjadi pada zaman
kemerdekaan Indonesia, namun ada juga kata-kata Inggris yang sudah dikenal,
diserap, dan disesuaikan pelafalannya ke dalam bahasa Melayu sejak zaman
Belanda yang pada saat Inggris berkoloni di Indonesia antara masa kolonialisme
Belanda.. Kata-kata itu seperti kalar, sepanar, dan wesket. Juga badminton,
kiper, gol, bridge.
Sesudah
Indonesia merdeka, pengaruh bahasa Belanda mula surut sehingga kata-kata
serapan yang sebetulnya berasal dari bahasa Belanda sumbernya tidak disadari
betul. Bahkan sampai dengan sekarang yang lebih dikenal adalah bahasa Inggris.
PENUTUP
Secara Sejarah, Bahasa Indonesia merupakan salah satu
dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian
besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti
bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan
bahwa bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima
keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18
Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah
mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya
dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang
digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia.
itu sedikit kutipan mengenai Sejarah
Bahasa Indonesia semoga berkenan di hati Para Pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar