AUDIOLINGUAL METHODS-SITUATIONAL LANGUAGE TEACHING

AUDIOLINGUAL METHODS-SITUATIONAL LANGUAGE TEACHING
(Pendekatan dan Metode Pengajaran Bahasa sebagai Dasar Pengembangan Silabus)

Oleh: Andri Wicaksono
Pendidikan Bahasa (S3), UNJ-Jakarta 2014

A.  Pendahuluan
Dalam proses pembelajaran bahasa perlu dikembangkan “tata cara memudahkan” atau yang biasa disebut dengan metodologi yang tentu saja proses pembelajarannya tidak terlepas dari adanya peran guru. Guru memerlukan cara-cara atau metode-metode tertentu dalam usaha memudahkan proses pembelajaran bahasa. Pada umumnya, guru selalu berusaha untuk menggunakan metode yang paling efektif. Guru selalu mencari metode-metode penyajian materi pembelajaran yang lebih baik untuk memudahkan dalam membelajarkan siswa.
Guru dan siswa merupakan komponen utama dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru bertanggung jawab mengatur dan mengelola lingkungan sekolah dan pencapaian tujuan pendidikan sesuai arah yang diinginkan. Guru harus mampu mengelola seluruh proses kegiatan pembelajaran dengan menciptakan kondisi-kondisi belajar sedemikian rupa sehingga setiap siswa dapat belajar secara efektif dan efisien[1]. Dalam menciptakan kondisi belajar yang kondusif tidak terlepas dari kemampuan guru dalam memilih pendekatan atau metode pembelajaran yang tepat yang sehingga dapat mengarahkan pembelajar pada tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam bidang pengajaran, metode adalah rencana penyajian bahan secara menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu. Pendekatan adalah seperangkat asumsi korelatif yang menangani hakikat pengajaran dan pembelajaran bahasa. Pendekatan biasa diartikan sebagai cara memulai sesuatu. Atau sering diartikan dengan pengertian yang lebih luas yaitu sebagai seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan proses belajar bahasa. Edward Anthony memaknai pendekatan sebagai satu latar belakang filosofis mengenai pokok bahasan yang hendak diajarkan[2]. Metode merupakan rencana keseluruhan bagi penyajian bahan bahasa secara rapi dan tertib, bagian-bagiannya tidak ada yang berkontradiksi, dan kesemuanya itu didasarkan pada pendekatan terpilih. Jadi, metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan, sedangkan pendekatan bersifat aksioma dan metode bersifat prosedural. Berbeda dengan pendekatan dan metode, teknik mengandung pengertian cara-cara dan alat-alat yang digunakan guru dalam kelas. Teknik adalah daya upaya, usaha-usaha, atau cara-cara yang digunakan guru dalam mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan pengajaran pada waktu itu. Jadi, teknik adalah kelanjutan dari metode, sedangkan arahnya harus sesuai dengan pendekatan.
Dalam makalah ini, penulis tidak membahas semua metode-metode dalam pembelajaran bahasa tujuan. Tapi, hanya akan membahas metode yang berkembang dan digunakan dalam pembelajaran bahasa, lebih khusus lagi mencakup Pendekatan Oral-Aural/Metode Audiolingual dan Pengajaran Bahasa Situasional. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa metode-metode ini masih dipakai hingga sekarang, hanya saja mungkin dalam suatu bentuk lain dan tentu saja telah mengalami modifikasi. Modifikasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan yang kaitannya dengan kurikulum pembelajaran. Meskipun demikian, pendekatan atau metode ini bukanlah satu-satunya yang terbaik yang pernah ada dan yang berkembang pada abad 20-an, tetapi dalam makalah ini dicoba dikembangkan secara ringkas dan sederhana serta mencakup perencanaan aplikasi di dalam kelas yang disesuaikan dengan materi ajar (pengembangan silabus).

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran di mengenai Pendekatan Oral-Aural/Metode Audiolingual dan Pengajaran Bahasa Situasional, berikut diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah perbandingan Pendekatan Oral-Aural/Metode Audiolingual dan Pengajaran Bahasa Situasional?
2.      Bagaimanakah pengembangan silabus pembelajaran bahasa berdasarkan Pendekatan Oral-Aural/Metode Audiolingual dan Pengajaran Bahasa Situasional?

C.  Pengajaran Bahasa Situasional (Situational Language Teaching)
Asal mula Pendekatan Lisan yang menghasilkan Metode Pembelajaran Bahasa (menurut) Situasi ini ialah hasil penelitian terpisah-pisah para ahli linguistik di Inggris pada tahun 1930-an sampai 1960-an[3]. Hasil pengamatan dan penelitian para ahli tersebut adalah suatu studi sistem dari prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dapat diterapkan pada seleksi pengaturan isi (content) suatu program pembelajaran bahasa lisan dalam situasi-situasi berbahasa yang ditentukan (misalnya: situasi di Kantor Pos, di rumah makan, dan sebagainya). Metode ini memiliki kesamaan dengan Metode Langsung karena kedua metode tersebut sama-sama menggunakan pendekatan lisan. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang paling menonjol antara Metode Langsung dengan Pengajaran Bahasa Situasional, yaitu adanya penggunaan benda-benda konkret, gambar-gambar dan media lainnya bersamaan dengan penyajian gerakan/isyarat dan mimik dalam metode Pengajaran Bahasa Situasional.
Situated learning menjadi dikenal dalam pendidikan setelah publikasi dari Brown, Collins dan Duguid dalam artikelnya berjudul “Situated cognition and the culture o learning”[4] dalam jurnal Educational Research pada tahun 1989. Artikel ini dituliskan berdasarkan pandangan teoritis seperti Vigotsky, Leontiev dan Dewey serta penelitian Jean Lave yang memberikan dasar riset dalam pengembagan teori situated learning ini.
Pendekatan lisan tidak boleh dikacaukan dengan Metode Langsung yang membuat siswa dibingungkan oleh aliran peningkatan mutu bicaranya. Siswa mengalami semua kesulitan yang akan dihadapi dalam mengangkat bahasa dalam lingkungan, kehilangan sebagian besar kompensasi yang secara kontekstual bermanfaat dan lebih baik di sirkum mereka.[5]
Pittman dan rekan-rekannya bertanggung jawab untuk mengembangkan seperangkat berpengaruh materi pengajaran berdasarkan pendekatan situasional. Pengajaran situasional diterbitkan untuk digunakan secara mendunia pada tahun 1965 sebagai seri bahasa Inggris. Karakteristik utama dari pendekatan ini adalah:
1.      pengajaran bahasa dimulai dengan bahasa lisan. Bahan yang diajarkan secara lisan sebelum disajikan dalam bentuk witten.
2.      Target bahasa adalah bahasa di dalam kelas.
3.      Poin bahasa baru diperkenalkan dan dipraktikkan secara situasional.
4.      Prosedur seleksi kosakata diikuti untuk memastikan bahwa layanan umum penting kosakata ditutupi.
5.      Produk tata bahasa yang dinilai mengikuti prinsip bahwa bentuk-bentuk sederhana harus diajarkan sebelum yang kompleks.
6.      Membaca dan menulis diperkenalkan setelah secara leksikal dan gramatikal dengan cukup mapan.
Brown, Collins, dan Dugoid[6] merupakan peneliti peneliti pertama yang mengembangkan model instruksi pembelajaran dengan model ini. Dalam penelitiannya, beberapa mata pelajaran seperti matematika, membaca dan menulis telah dikembangkan model instruksi pembelajarannya menjadi proses pembelajaran yang efektif dan bermakna. Model ini muncul dari pengamatan situasi belajar yang berhasil oleh peneliti. Mereka berangkat untuk mencari contoh-contoh pembelajaran dalam konteks atau budaya yang efektif, dan untuk menganalisis fitur kunci dari model tersebut. Mereka menemukan contoh pelajaran sekolah tradisional, seperti matematika, membaca, dan menulis, yang diajarkan dengan cara yang inovatif dan efektif. Brown, Collins dan Dugoid menyatakan bahwa pembelajaran menjadi bermakna apabila dilakukan melekat dengan realita fisik dan social di dunia nyata. Pembelajaran di kelas sering kali jauh dengan situasi kenyataan di lapangan. Apa yang diperoleh oleh siswa dalam pembelajaran di kelas, kadang tidak bersesuaian dengan praktek sehari-hari para praktisi di lapangan. Untuk dilakukan upaya pembenahan dengan melakukan cognitive apprenticeship (situated learning), sebuah metode yang didesain untuk melibatkan siswa dalam praktek dan interaksi sosial di lapangan kerja. Aspek kritis dalam pemagangan yaitu melakukan pengamatan terhadap praktik praktisi di lapangan.
Etienne Wenger dan Jean Lave[7] menciptakan istilah "komunitas praktik" dalam buku mereka, Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation.
1.      Dalam buku itu, mereka berpendapat bahwa belajar terjadi sebagai salah satu berpartisipasi dalam komunitas praktek. "Belajar melibatkan seluruh orang; itu berarti tidak hanya hubungan kepada masyarakat itu sosial menyiratkan menjadi peserta penuh, anggota, semacam orang. "
2.      Keikutsertaan pendatang baru adalah bagian yang sah, tetapi dari waktu ke waktu akan ditarik menjadi lebih terlibat dan lebih kompleks. Teori belajar ini menjanjikan kita bergelut pada konsep komunikasi formatif dengan masyarakat praktik, baik secara pribadi maupun digital dalam format pembelajaran.
Ciri-ciri program penyajian Situational Language Teaching (George Pittman dkk.) secara sederhana antara lain:
a.       Butir-butir tata bahasa disajikan “secara situasional” dalam pola kalimat yang menunjukkan fungsi dan maknanya yang diurutkan secara bertahap, mulai dari situasi yang paling dekat hingga yang lebih jauh.
b.      Setiap pola kalimat memperkenalkan hanya satu butir struktur kalimat
c.       Butir-butir yang menyebabkan kesulitan untuk para pembelajar bahasa diberi perhatian khusus
d.      Latihan tertulis diberikan kepada para siswa sebagai rangkuman dari apa yang telah dipelajari secara lisan

Pendekatan Teori bahasa
Teori bahasa yang mendasari Pengajaran Bahasa Situasional dapat dicirikan sebagai jenis Inggris "strukturalisme". "Urutan kata, kata-kata struktural, beberapa infleksi bahasa Inggris, dan “Conten Words”, akan membentuk materi  mengajar kami" (Frisby, 1957). Teori Strukturalisme di Inggris, bagaimanapun, memiliki fokus yang berbeda dengan versi structrualism dengan Amerika. Gagasan "situasi". "Kegiatan kelas utama kita dalam pengajaran Struktur bahasa Inggris akan menjadi praktik oral struktur. Praktek lisan ini pola kalimat terkontrol harus diberikan dalam situasi yang dirancang untuk memberikan jumlah praktik yang banyak dalam pidato bahasa ke siswa."

Teori Pembelajaran
Teori belajar pengajaran bahasa situasional yang mendasari adalah jenis behavioris kebiasaan-teori belajar. Ini adresses terutama proses daripada kondisi pembelajaran. Frisby, misalnya, mengutip pandangan Palmer sebagai otoritatif: Sebagaimana Palmer telah menunjukkan tiga proses dalam belajar bahasa, yaitu menerima pengetahuan atau materi, memperbaiki memori dengan pengulangan, dan menggunakannya dalam praktik yang sebenarnya sampai terampil.
 Pengajaran Bahasa Situasional mengadopsi pendekatan induktif untuk tata bahasa mengajar. Arti kata-kata atau struktur tidak boleh diberikan melalui penjelasan, baik dalam bahasa bahasa target atau asli tapi harus diinduksi dari cara bentuk bahasa digunakan dalam suatu situasi. "Jika kita memberikan arti kata baru, segera setelah kami memperkenalkan, kita melemahkan kesan di pikiran" (Billoows 1961). Hal ini adalah tentang bagaimana pembelajaran bahasa anak diyakini berlangsung, proses yang sama diperkirakan terjadi pada pembelajaran bahasa (asing) kedua, menurut praktisi dari Pengajaran Bahasa Situasional.

Tujuan Pembelajaran
Tujuan dari metode Pengajaran Bahasa Situasional adalah untuk mengajarkan empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) yang bertujuan berbagi dengan kebanyakan metode pengajaran bahasa, tapi keterampilan melalui pendekatan struktur tertentu. Pengendalian otomatis struktur pokok dan pola kalimat merupakan dasar untuk keterampilan membaca dan menulis. Hal ini dicapai melalui kerja berbicara. "Sebelum siswa kita membaca struktur baru dan kosa kata baru, kita akan mengajarkan secara lisan, baik struktur baru maupun kosakata baru."

Pengembangan Silabus
Dasar pengajaran bahasa Inggris di Pengajaran Situasional Bahasa adalah silabus struktural dan daftar kata. Dalam pengajaran bahasa situasional, struktur selalu diajarkan dalam kalimat, dan kosa kata yang dipilih sesuai dengan seberapa baik memungkinkan pola kalimat yang akan diajarkan.  
Sebaliknya, situasi mengacu pada cara penyajian dan berlatih pola kalimat, seperti yang akan kita lihat nanti.
Silabus situasional menawarkan pemilihan dan pengurutan situasi kehidupan nyata yang beragam dan tidak menawarkan butir-butir gramatikal, kosa kata, atau fungsi-fungsi (Harmer, 2001). Feez dan Helen Joyce (1998) mengemukakan unsur-unsur silabus situasional yaitu (1) Materi disusun berdasarkan perspektif lapangan dan pengalaman yang bermakna. (2) Unsur-unsur berupa dialog ditempatkan dalam seting sehari-hari.(3) Dialog-dialog mengandung butir-butir leksikal dan struktur-struktur gramatikal yang dilaksanakan oleh pembelajar dalam kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan. (4) Seting disusun berdasarkan persepsi terhadap kebutuhan pembelajar berdasarkan persepsi terhadap tingkat kesulitan grammar dan kosa kata.
Kekurangan silabus situasional ialah (1) Beberapa silabus situasional dikritik sebagai silabus struktural karena struktur-gramatikal dan kosa kata dipilih lebih dahulu dan baru kemudian situasinya dibangun berdasarkan struktur gramatikal dan kosa kata terpilih tersebut. (2) Cenderung menempatkan tekanan yang kurang berimbang dalam topik-topik dan aktivitas sosial. (3) Kurang tepat bagi siswa yang belajar bahasa secara umum karena tidak ada jaminan bahwa bahasa dengan situasi yang khusus akan benar-benar berguna bagi siswa tertentu (Feez dan Helen Joyce, 1998) [8].

Jenis Kegiatan Belajar Mengajar
Situasi akan dikontrol dengan hati-hati untuk mengajarkan materi bahasa baru. Dalam sedemikian rupa sehingga tidak ada keraguan dalam pikiran pelajar tentang makna apa yang ia dengar. Hampir semua kosa kata dan struktur diajarkan dalam pertama, empat, lima tahun, dan bahkan kemudian dapat ditempatkan dalam situasi di mana artinya cukup jelas.
Berdasarkan Situasi, Pittman mengartikan penggunaan benda konkret, gambar dan realia, yang bersama-sama dengan tindakan dan gerakan dapat digunakan untuk menunjukkan makna bahasa baru. Teknik praktik yang digunakan umumnya terdiri dari pengulangan dan substitusi yang dipandu kegiatan, termasuk pengulangan, dikte, drill, dan membaca berbasis lisan dikendalikan dan menulis tugas. Teknik praktik lisan lainnya terkadang digunakan, termasuk praktik kerja berpasangan dan kelompok.

Peran Peserta Didik
Pada tahap awal pembelajaran, peserta didik dituntut untuk hanya mendengarkan dan mengulangi apa yang dikatakan guru dan untuk menanggapi pertanyaan dan perintah. Misalnya, pelajar lupa sesuatu yang sudah mereka dapatkan seperti kosakata yang salah, dan lin-lain. Hal ini siswa mulai menanggapi dan mengajukan pertanyaan lain.
Secara logis, pendengar yang menghargai ketidakpastian pengamatan tidak akan beralih ke kesimpulan tentang arti kata hasil pengamatan pertama, melainkan akan mengadakan pilihan dalam penundaan sampai bukti dari paparan lebih lanjut telah terkumpul. Pada sebagian besar akun, siswa mengejar strategi tersebut dengan menyimpan ganda dugaan yang dihasilkan pada setiap pengamatan dari sebuah kata dalam konteks situasional, dan kemudian membandingkan antara daftar dugaan-situasi tersebut. Seiring waktu dan eksposur, ada kiranya akan meningkatkan co-kejadian antara kata dan tujuan makna dan mengurangi co-kejadian antara kata dan makna lain yang potensial. Literatur terbaru mencoba untuk mengoperasionalkan prosedur pembelajaran lintas-situasional dan mengujinya dalam pengaturan eksperimental yang dikontrol. Untuk mencapai kontrol eksperimental atas besarnya dugaan yang ditetapkan untuk sebuah kata, sebagian besar studi menggunakan seperangkat rangsangan artifisial dan sejumlah paparan tertentu. Tetapi, berbeda tingkat ketidakpastian dalam uji coba.[9]
Medina et all.[10] menemukan bahwa ketika peserta menduga sebuah kata (diidentifikasi sebagai kata omong kosong seperti '' mipen '' atau '' pilk '') dengan benar dalam konteks pertama di mana mereka mengamati itu, mereka cenderung untuk mempertahankan penafsiran ini dalam konteks kemudian di mana kata itu terjadi. Sebaliknya, ketika partisipan menebaknya salah dalam konteks awal, mereka jarang ditemukan di seluruh contoh pembelajaran nanti. Sebaliknya, mereka membuat dugaan baru tapi masih salah untuk tiap contoh pembelajaran berikutnya untuk kata itu. Bukti penting bahwa siswa yang menelusuri hanya sekedar hipotesis kata-yang berarti untuk di seluruh contoh pembelajaran berasal dari lebih rinci kesatuan-respon analisis terkait dengan fenomena ini.

Peran Guru
Fungsi guru berlipat. Guru menjadi model, menyiapkan situasi di mana kebutuhan untuk struktur target dibuat dan kemudian pemodelan struktur baru bagi siswa untuk mengulang. Pengorganisasian ulasan merupakan tugas utama bagi guru, menurut Pittman (1963) tanggung jawab guru berurusan dengan:
a.       waktu
b.      praktik oral
c.       revisi
d.      Penyesuaian dengan kebutuhan khusus individu
e.       pengujian
f.       Mengembangkan kegiatan bahasa

Peran Bahan Ajar
Pengajaran tergantung pada kedua buku teks dan alat bantu visual. Buku Pegangan Guru berisi materi yang terorganisir pada sekitaran struktur gramatikal. Alat Bantu Visual dapat dihasilkan oleh guru atau mungkin diproduksi secara komersial; terdiri dari grafik, flashcards, gambar, angka tongkat, dan lain-lain. Elernen visual merupakan aspek penting dari Pengajaran Bahasa Situasional. Pada prinsipnya buku teks "hanya sebagai panduan dalam proses pembelajaran. Guru ini diharapkan menjadi tuan dari buku teksnya."

Prosedur
Prosedur Kelas dalam Pengajaran Bahasa situasional bervariasi sesuai dengan tingkat kelas dia, tapi prosedur di lavel setiap bertujuan untuk beralih dari dikontrol untuk latihan bebas struktur dan bentuk penggunaan oral pola kalimat dengan penggunaan otomatis mereka dalam berbicara, membaca, dan menulis. Pittman memberi contoh RPP khas:
Bagian pertama dari pelajaran akan stres dan praktik intonasi biasa...  bagian utama dari pelajaran kemudian harus diikuti. Hal ini dapat terdiri dari pengajaran struktur. Jika demikian, pelajaran kemudian terdiri dari empat bagian:
1.      Pelafalan
2.      Revisi
3.      Presentasi
4.      Praktik Oral
5.      Materi membaca pada struktur baru.

Kelebihan-kelebihan Metode Pembelajaran Bahasa Situasional ialah :
a.       Siswa mendapat latihan yang cukup banyak dalam kosa kata dan membaca.
b.      Siswa mendapat latihan yang cukup banyak dalam berbicara dan menyimak.
c.       Siswa mendapat latihan dalam sistem bunyi bahasa, tekanan, ritme, dan intonasi

Kelemahan-kelemahan Metode Pembelajaran Bahasa Situasional yakni :
a.       Siswa terlalu banyak mendapat latihan dalam stuktur dan kurang dalam berkomunikasi yang wajar.
b.      Siswa mendapat latihan dalam berbicara ‘situasional’ yang tidak berarti dengan siapa, dimana, topik apa, dan waktu kapan sehingga ragam yang dipelajari hanya satu saja.

D.  Metode Audiolingual (Audiolingual Method)/Pendekatan Oral-Aural (Aural and Oral approach)
Metode ini berawal dari diberlakukannya sebuah program pengajaran bahasa asing untuk para personalia militer yang mempunyai kemampuan berbahasa asing yang nantinya dapat ditempatkan di negara-negara, seperti Perancis, Belanda, Cina, dan jajahan-jajahan Amerika Serikat. Hal ini erat kaitannya dengan Perang Dunia II. Pendekatan intensif dan berdasarkan penyajian lisan seperti Army Method banyak hasilnya dan patut diterapkan secara umum dalam pembelajaran bahasa di luar konteks dan suasana Tentara Amerika Serikat pada masa itu.
Istilah audio-lingualisme pertama-tama dikemukakan oleh Prof. Nelson Brooks pada tahun 1964. Metode ini mengklaim sebagai metode yang paling efektif dan efisien dalam pembelajaran bahasa asing dan menyatakan sebagai metode yang telah mengubah pengajaran bahasa dari hanya sebuah metode keilmuan bahasa. Audio-Lingual Method (ALM) merupakan hasil kombinasi pandangan dan prinsip-prinsip Linguistik Struktural, Analisis Kontrastif, pendekatan Aural-Oral, dan psikologi Behavioristik. Dasar pemikiran ALM mengenai bahasa, pengajaran, dan pembelajaran bahasa adalah sebagai berikut:
-        Bahasa adalah lisan, bukan tulisan
-        Bahasa adalah seperangkat kebiasaan
-        Ajarkan bahasa dan bukan tentang bahasa
-        Bahasa adalah seperti yang diucapkan oleh penutur asli
-        Bahasa satu dengan yang lainnya itu berbeda

Metode ini berdasarkan pada pendekatan struktural. Pendekatan ini menggunakan  teori tata bahasa struktural yang menempatkan tata bahasa atau struktur sebagai fokus perhatian. Struktur tata bahasa dianggap sama dengan pola-pola kalimat. Pandangan strukturalis mengenai struktur bahasa ialah mengasosiasikannya dengan fonem sebagai unit fonologi (sistem bunyi), dan morfem sebagai unit tata bahasa. Dalam metode ini, pembelajaran bahasa diajarkan dengan mencurahkan perhatian pada lafal kata dan pada latihan berkali-kali  (drill) secara intensif pola-pola kalimat. Bahkan, drill inilah yang merupakan teknik yang paling utama dalam metode ini.
Drill adalah suatu teknik pembelajaran bahasa yang dipakai oleh semua guru bahasa pada suatu waktu untuk memaksa para siswa mengulang dan mengucapkan suatu pola kalimat dengan baik tanpa ada kesalahan. Drill dalam kelas didasarkan langsung pada teori psikologi yang disebut Behaviorisme. Gerakan Behaviorisme dalam psikologi menjadi sangat berpengaruh pada tahun 1950-an, dan teori belajar berdasarkan Behaviorisme ini menjadi salah satu metode yang dianggap meyakinkan. Tokoh Behavioristik dari Harvard University yang bernama B.F Skinner mengadakan eksperimen-eksperimen dengan anak-anak kecil untuk mengetahui reaksi atau respons mereka dalam asosiasi kata, pengelompokkan bunyi dan sebagainya.
Perilaku berbahasa manusia dibentuk oleh penguatan yang lazim dipakai dalam masyarakat, dengan urutan: rangsangan – jawaban- penguatan (atau stimulus→respons→reinforcement) yang dalam psikologi behaviorisme biasa disebut ”operant conditioning” atau “pembiasaan yang membuahkan hasil”. Menurut Skinner, suatu program pembelajaran bahasa harus disajikan sedemikian rupa sehingga merupakan serangkaian langkah yang tidak boleh terlalu sukar bagi siswa. Setelah siswa berhasil menguasai satu langkah dengan baik, Ia boleh bergerak ke langkah yang selanjutnya.

Pendekatan Teori Bahasa
Teori bahasa Audiolingual yang mendasarinya berasal dari pandangan yang diusulkan oleh ahli bahasa Amerika pada 1950-an-pandangan yang kemudian dikenal sebagai linguistik struktural. Sebagai ahli bahasa menemukan jenis suara baru dan pola baru dari penemuan linguistik dan organisasi, minat baru dalam fonetik, fonologi, morfologi, dan sintaksis dikembangkan. Istilah struktural dimaksud karakteristik ini:
a.       Unsur-unsur dalam bahasa yang dianggap sebagai yang linear diproduksi dalam (struktural) cara aturan-diatur.
b.      Sampel Bahasa bisa dijelaskan secara mendalam pada setiap tingkat struktural deskripsi (fonetik, fonemik, morfologi, dll)
c.       Tingkat Linguistik merupakan sistem dalam sistem

Teori Pembelajaran
Para ahli teori pengajaran bahasa dan metodologi yang dikembangkan Audiolinguis tidak hanya memiliki teori meyakinkan dan bahasa yang kuat untuk memanfaatkan tetapi mereka juga bekerja di sekolah psikologi terkemuka di Amerika. 
Penguatan merupakan unsur penting dalam proses pembelajaran karena meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku akan terjadi lagi dan akhirnya menjadi kebiasaan. Di antaranya yang lebih utama sebagai berikut.
1.      Pembelajaran bahasa asing
2.      Keterampilan berbahasa
3.      Pemberian analogi
4.      Makna

Tujuan Pembelajaran
Brooks membedakan tujuan dari program audiolingual, di antaranya jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jarak pendek meliputi pelatihan dalam mendengarkan pemahaman, pengucapan yang akurat, pengakuan simbol berbicara sebagai tanda grafis pada halaman yang dicetak, dan kemampuan untuk mereproduksi simbol-simbol tertulis. Tujuan jangka panjangnya adalah bahasa harus berada sebagai penutur asli penggunanya.
Pengajaran pemahaman berbicara dipakai karena itu kepentingan utama jika tujuan komunikasi adalah untuk tercapai. Mengingat pentingnya keterampilan mendengarkan, Chastain (1988)[11] menyatakan bahwa, "untuk belajar berbicara, siswa harus terlebih dahulu belajar untuk memahami bahasa lisan yang mereka dengar. Efek negatif yang keterampilan mendengarkan berkembang terhadap pembelajaran bahasa kedua cukup mendalam. Untuk berkomunikasi dengan penutur asli, siswa harus terlebih dahulu belajar untuk memahami cukup dalam situasi bahasa yang nyata untuk memahami intisari dari apa yang dikatakan penutur asli "
Bentuk kegiatan pengajaran dan pembelajaran ALM pada dasarnya adalah percakapan dan latihan-latihan (drills) dan latihan pola (pattern practice), (Prator & Celce-Murcia, 1979)[12]. Karakteristik ALM bisa dirangkum dalam daftar berikut.
a.        Materi harus disajikan dalam bentuk dialog.
b.        Terdapat ketergantungan pada cara peniruan, penghafalan frase, dan pembelajaran ekstra.
d.      Struktur diurutkan dengan analisis “lawan-kata” dan diajarkan satu per satu.
e.       Pola-pola struktural diajarkan dengan dril berulang-ulang.
f.       Hanya sedikit atau tidak ada penjelasan gramatikal: tata bahasa diajarkan dengan analogi induktif, bukan penjelasan deduktif.
g.      Kosakata sangat dibatasi dan dipelajari dalam konteks.
h.      Banyak penggunaan kaset, laboratorium bahasa, dan alat bantu visual.
i.        Pelafalan sangat dipentingkan.
j.        Penggunaan bahasa ibu dizinkan sedikit saja oleh guru.
k.      Respons yang berhasil segera didorong.
l.        Ada upaya siswa memproduksi ujaran yang bebas kesalahan.
m.    Ada kecenderungan memanipulasi bahasa dan mengabaikan isi.

Percakapan berfungsi sebagai alat untuk meletakkan struktur-struktur kunci pada konteksnya dan sekaligus memberikan ilustrasi situasi dimana struktur-struktur tersebut digunakan oleh penutur asli, jadi juga sebagai penerapan aspek kultural bahasa target. Pengulangan dan penghafalan menjadi kegiatan yang dominan pada metode ini. Pola-pola gramatika tertentu pada percakapan dipilih untuk dijadikan pola kegiatan latihan. Kegiatan-kegiatan pembelajaran berdasarkan ALM adalah: repetition, inflection, relplacement, restatement, completion, transposition, expansion, contraction, transformation, integration, rejoinders, dan restoration.

Silabus Pembelajaran
Silabus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum. Silabus merupakan keterangan dan penjelasan yang lebih rinci dan operasional mengenai berbagai unsur pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menerjemahkan dan mewujudkan apa yang terkandung dalam kurikulum ke dalam bentuk langkah-langkah untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus sesuai dengan tingkatan siswa.
Dubin dan Olshtain[13] mengatakan "a syllabus is a more detailed and operational statement of teaching and learning elements which translates the philosophy of the curriculum into a series of planned steps leading towards more narrowly defined objectives at each level."
Silabus audiolingualis adalah linguistik, atau struktur - berbasis, pendekatan pengajaran bahasa. Kemampuan bahasa yang diajarkan di urutan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.
Prinsip-prinsip metode audiolingual sebagai berikut.
a.       Siswa harus menyimak (Listening Comprehension), kemudian berbicara (Speaking), lalu membaca (Reading Comprehension) dan akhirnya mengarang (Writing). Ini urutan penyajian yang benar.
b.      Tata bahasa disajikan dalam bentuk pola kalimat atau dialog dengan topic situasi sehari-hari.
c.       Drill harus mengikuti operant-conditioning seperti yang telah dijelaskan di atas. ”Hadiah” harus diberikan.
d.      Semua unsur tata bahasa disajikan secara bertahap dari yang mudah ke yang sukar (graded excercise)
e.       Menerapkan prinsip “penghindaran kesalahan” (error prevention).

Teori Bahasa
Teori Belajar
Tujuan-tujuan
Silabus
Audiolingual:
Bahasa adalah sistem dengan struktur-struktur yang diatur dengan kekuasan yang diatur secara hirarkis.

Pembentukan kebiasaan; ketrampilan-ketrampilan dipelajari secara lebih efektif jika lisan mendahului tertulis; analogy, bukan analisa.

Kontrol struktur-struktur berupa suara, bentuk dan tatanan dan kepenguasaan atas simbol-simbol dari bahasa; sasaran; kepenguasaan pembicara-bahasa ibu.

Silabus yang dikelas-kelaskan berupa fonologi, morfologi, dan sintaks. Analisa yang kontrastif.

Jenis Pembelajaran
Dialog dan drill membentuk dasar dari praktIk di ruang kelas audiolingual. Dialog menyediakan sarana mengontekstualisasikan struktur kunci dan menggambarkan situasi di mana struktur dapat digunakan serta beberapa aspek budaya bahasa sasaran. Penggunaan latihan dan pola praktik adalah ciri khas dari Metode Audiolingual. Berbagai macam drill yang digunakan meliputi:
1.      Pengulangan. Siswa mengulangi ucapan keras begitu ia telah mendengarnya. Dia melakukan ini tanpa melihat teks dicetak. Ucapan harus ia cukup singkat untuk ditahan oleh telinga. Suara sama pentingnya dengan membentuk perintah.
2.      Infleksi. Satu kata Dalam ucapan muncul dalam bentuk lain ketika ulang.
3.      Penggantian. Satu kata dalam ucapan digantikan oleh yang lain.
4.      Pernyataan Kembali. Mahasiswa rephrases ucapan dan alamat kepada orang lain, sesuai dengan instruksi.
5.      Penyelesaian. Siswa mendengar ucapan yang lengkap kecuali satu kata, kemudian mengulangi ucapan dalam bentuk selesai.
6.      Transposisi. Perubahan urutan kata diperlukan ketika kata ditambahkan.
7.      Ekspansi. Saat sebuah kata ditambahkan dibutuhkan tempat tertentu dalam urutan.
8.      Kontraksi. Sebuah kata tunggal singkatan frase atau klausa.
9.      Transformasi. Sebuah kalimat diubah dengan cara membuat negatif atau interogatif atau melalui perubahan dalam tegang, suasana hati, suara, aspek, atau modalitas.
10.  Integrasi. Dua ucapan terpisah diintegrasikan menjadi satu.
11.  Rejoinder. Siswa membuat duplik yang tepat untuk ucapan yang diberikan. Dia mengatakan di muka untuk merespon dalam salah satu cara berikut.
12.  Restorasi. Siswa diberikan urutan kata-kata yang telah diambil dari kalimat tetapi masih menanggung makna dasarnya, minimal perubahan dan penambahan mengembalikan kalimat ke bentuk aslinya: waktunya kini, masa lalu, masa depan.

Peran Peserta Didik
Peserta didik dipandang sebagai organisme yang dapat diarahkan oleh teknik pelatihan keterampilan untuk tanggapan dengan prosedur yang benar.
1.      Mendengarkan sebuah percakapan sebagai model (guru atau kaset) yang berisi struktur kunci yang menjadi fokus pembelajaran, mereka mengulangi setiap baris percakapan tersebut secara individu maupun bersama-sama, menghafalkannya dan siswa tidak melihat buku.
2.      Mengganti dialog dengan setting tempat atau yang lainnya sesuai dengan selera siswa.
3.      Berlatih struktur kunci dari percakapan secara bersama-sama dan kemudian secara individual.
4.      Mengacu ke buku teks dan menindaklanjuti dengan kegiatan membaca, menulis atau kosakata yang berdasarkan percakapan yang ada, menulis dimulai dalam  bentuk  kegiatan menyalin.

Peran Guru
Dalam audiolingual, seperti dalam pengajaran bahasa situasional, peran guru sebagai pusat dan aktif; itu adalah metode guru yang didominasi. Model guru bahasa target, mengontrol arah dan kecepatan belajar, dan monitor dan memperbaiki kinerja peserta didik. Brooks berpendapat bahwa guru harus dilatih untuk melakukan hal berikut:
~        Perkenalkan, mempertahankan, dan menyelaraskan pembelajaran empat keterampilan dalam urutan ini: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.
~        Gunakan-dan tidak menggunakan-bahasa Inggris di kelas bahasa.
~        Model berbagai jenis bahasa dalam bentuk dialog.
~        Ajarkan bahasa lisan dalam bentuk dialog.
~        Tanggapan paduan suara langsung oleh semua atau bagian dari kelas.
~        Ajarkan penggunaan struktural melalui praktek pola.
~        Tanggapan paduan suara langsung oleh semua atau bagian dari kelas.
~        Ajarkan penggunaan struktur melalui latihan pola.
~        Membimbing siswa dalam memilih dan kosa kata belajar.
~        Tampilkan bagaimana kata-kata berhubungan dengan arti dalam bahasa target.
~        Dapatkan individu siswa untuk berbicara.
~        Reward percobaan oleh siswa sedemikian rupa bahwa belajar diperkuat.
~        Ajarkan cerita pendek dan bentuk sastra lainnya.
~        Membangun dan memelihara sebuah pulau budaya.
~        Meresmikan pada hari pertama aturan sesuai dengan yang kelas bahasa harus dilakukan, dan menerapkannya (Brooks, 1964).

Peran Bahan Ajar
Bahan ajar dalam Metode Audiolingual membantu guru untuk mengembangkan penguasaan bahasa pelajar. Tape recorder dan peralatan audiolingual sering memiliki peran sentral adalah kursus audiolingual.

Tipe-tipe Aktivitas
Peran-peran bahasa
Peran-peran guru
Peran materi
Dialog-dialog dan latihan-latihan, pengulangan dan memorisasi/ pengingatan, praktek pola.
Organisme yang dapat diarahkan oleh teknik latihan untuk menghasilkan respon yang benar.
Metode yang didominasi guru yang bersifat aktif dan sentral. Menyediakan model, mengontrol arahan dan pacuan.
Berorientasi guru secara dasar. Kaset dan visual, lab bahasa yang kerap digunakan.
Latihan-latihan imperatif untuk mengangkat tindakan-tindakan fisik.
Pendengar dan pelaksana, sedikit pengaruh terhadap isi belajar.
Peran aktif dan langsung: “direktur permainan panggung: dengan para siswa sebagai aktor-aktornya.
Tanpa teks dasar; materi dan media mempunyai peran penting. Awalnya suara, aksi/tindakan, gerak-gerik adalah memadai.
Respon-respon pembelajar untuk perintah-perintah, pertanyaan-pertanyaan dan petunjuk-petunjuk visual. Aktivitas mendorong respon-respon lisan tanpa penjelasan gramatikal atau pemodelan.
Proses pertumbuhan pribadi. Pembelajar bertanggung jawab untuk belajarnya sendiri dan harus mengembangkan independensi, otonomi, dan tanggungjawab.
Guru-guru harus (a) mengajar (b) menguji, (c) keluar dari cara/jalan. Tidak pasif, Menolak godaan untuk memodel, , membantu, mengarahkan dan mendesak.
Materi-materi unik: batang-batang yang berwarna, pengucapan-pengucapan yang dikode dengan warna dan grafik/chart kosa kata.
Kombinasi dari yang inovatif dan yang konvensional. Terjemahan, kerja grup, perekaman, transkripsi, refleksi, dan observasi, mendengarkan, percakapan bebas.
Para pembelajar adalah anggota- sebuah komunitas. Belajar tidak diamati sebagai prestasi/pencapaian individu, tetapi sesuatu yang dicapai secara kolaboratif.
Konseling/analogi orangtua. Guru menyediakan lingkungan yang aman yang siswa-siswanya dapat belajar dan berkembang tumbuh.
Tanpa buku teks, yang akan menghalangi / merintangi pertumbuhan. Bahan/materi dikembangkan kemajuan kursus.
Aktivitas-aktivitas yang mempermudah input yang dapat dipahami, tentang banyak hal disini dan sekarang. Berfokus pada makna, bukan bentuk.
Seharusnya tidak berusaha mempelajari bahasa dalam arti biasa,tetapi seharusnya  mencoba kehilangan diri mereka sendiri dalam aktivitas-aktivitas yang melibatkan komunikasi yang penuh makna.
Guru adalah sumber primer dari input yang dapat dipahami. Harus menciptakan iklim kegelisahan yang rendah. Harus memilih dan mengarang campuran kaya akan aktivitas-aktivitas ruang kelas.
Materi-materi berasal dari realita daripada buku-buku teks. Sasaran primernya adalah mempromosikan pemahaman dan komunikasi.
Inisiatif-inisiatif, pertanyaan, dan jawaban, permaian-peran, mendengarkan latihan-latihan berdasarkan relaksasi yang dalam.
Harus menjaga keadaan pasif dan mempermudah materi-materi yang dikerjakan pada mereka (daripada sebaliknya).
Menciptakan situasi dimana pembelajar dapat disarankan dan menghadirkan bahan yang cenderung mendorong penerimaan positif.
Teks-teks, kaset-kaset, dan musik. Teks-teks mempunyai kekuatan, kualitas terkait kesusasteraan, dan karakter menarik.
Mengikutkan para pembelajar dalam komunikasi, melibatkan proses-proses seperti berbagi informasi, negosiasi makna dan interaksi.
Pembelajar sebagai negosiator, interaktor, memberi serta mengambil.
Fasilitator proses komunikasi, tugas-tugas peserta, dan teks-teks; membutuhkan analis, konselor, dan manajer proses.
Peran primer dalam mempromosikan kegunaan/penggunaan bahasa komunikatif; bahan-bahan yang berbasis tugas; bersifat otentik.




Prosedur Pembelajaran
Sejak Audiolingual terutama pendekatan oral untuk pengajaran bahasa, tidak mengherankan bahwa proses pengajaran melibatkan instruksi lisan yang luas. Ada lima prosedur dalam pelajaran audiolingual khas.
1.      Siswa pertama kali mendengar dialog model yang berisi struktur kunci yang menjadi fokus dari pelajaran.
2.      Dialog
3.      Struktur kunci tertentu dari dialog
4.      Siswa dapat merujuk ke buku teks mereka, dan menindaklanjuti membaca, menulis, atau kosa kata.
5.      Tindak lanjut kegiatan

Langkah-langkah penyajian materi menurut metode audiolingual secara umum sebagai berikut.
a.       Penyajian dialog atau bacaan pendek yang dibacakan guru berulang kali. Siswa menyimak dan tidak melihat pada teksnya.
b.      Peniruan dan penghafalan dialog atau bacaan pendek dengan teknik meniru setiap kalimat secara serentak dan menghafal kalimat-kalimat itu. Teknik ini disebut peniruan penghafalan (mimicry-memorization technique atau mim-memtechnique)
c.       Penyajian pola-pola kalimat yang terdapat dalm dialaog atau bacaan pendek yang dianggap pendidik (guru) sukar karena terdapat strukur/ungkapan yang sukar. Ini dilatih dengan teknik drill. Dengan teknik ini, dilatih struktur dan kosakata.
d.      Dramatisasi dari dialog/bacaan yang sudah dilatih di atas. Siswa yang sudah hafal diminta memperagakan di depan kelas.
e.       Pembentukan kalimat-kalimat lain yang sesuai pola-pola kalimat yang sudah diberikan.

Kosakata sederhana dipelajari dalam suatu konteks. Poin pengajaran ditentukan oleh adanya analisis antara B1 dan B2. Terdapat banyak penggunaan laboratorium bahasa, kaset dan alat. Ada perpanjangan periode pra-membaca di awal pelatihan. Sangat mementingkan pronounsiasi. Penggunaan bahasa ibu oleh pengajar diperbolehkan agar memudahkan pembelajar. Ketepatan tanggapan pembelajar sangat diperhatikan untuk menghindari kesalahan. Ada kecenderungan untuk terlalu berfokus pada bahasa target dengan mengabaikan isi dan makna kebahasaan.

Penurunan Audiolingual
Audiolingual mencapai periode yang digunakan paling luas di tahun 1960-an dan diterapkan baik untuk pengajaran bahasa asing di Amerika Serikat dan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (asing). Keyakinan teoretis bahwa audiolingual dihasilkan dari perubahan dalam teori linguistik Amerika di tahun 1960-an.

Kelebihan-kelebihan metode audiolingual ini, antara lain :
a.       Siswa menjadi terampil dalam membuat pola-pola kalimat yang sudah di-drill.
b.      Siswa mempunyai ucapan atau lafal (pronouncation) yang baik dan benar.
Siswa tidak tinggal diam, tetapi harus terus-menerus memberi respons pada rangsangan yang diberikan oleh pendidik.

Kelemahan metode audiolingual, antara lain :
a.       Siswa cenderung untuk memberi respon secara serentak (atau secara individual) seperti membeo, dan sering tanpa mengetahui makna dari apa yang diucapkan. Respon itu terlalu mekanik.
b.      Para siswa tidak diberi latihan dalam pemaknaan lain dari kalimat-kalimat yang dilatih. Akibatnya, siswa hanya mengenal satu makna dari suatu kalimat dan komunikasi hanya dapat lancar apabila kalimat yang digunakan diambil dari kalimat yang sudah dilatih sebelumnya.
c.       Guru harus  berperan aktif dalam menentukan semua latihan dan materi pelajaran di kelas karena pendidik mengetahui semua jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan. Sedangkan siswa hanya memberi respon pada rangsangan yang diberikan.
d.      Siswa dianjurkan untuk berinteraksi secara lisan atau tulisan sebelum mereka menguasai pola-pola kalimat yang lebih banyak.
e.       Jika pada tahap permulaan siswa tidak atau belum mengerti makna dari kalimat-kalimat yang ditirunya, tidak dianggap sebagai hal yang meresahkan. Padahal, meniru tanpa mengetahui makna adalah suatu aktivitas yang sia-sia. Selain itu, penghafalan pola-pola kalimat dengan lafal yang baik dan benar belum menjamin bahwa siswa akan mampu berkomunikasi dengan wajar. Untuk itu, sangat diperlukan bimbingan dalam mencapai kemampuan komunikatif ini.

Metode audiolingual mencapai puncak ketenarannya pada tahun 1951-an dan permulaan tahun 1960-an. Tetapi, sesudah itu para pendidik bahasa dan para ahli linguistik mulai mengecamnya dari dua jurusan, yakni : (1) teori-teori yang mendasarinya (struktural dan behaviorisme) dan (2) hasil-hasil pembelajaran yang kurang memuaskan karena para siswa tetap belum lancar dalam berkomunikasi menggunakan bahasa.

E.  Kesimpulan
Metode-metode yang berkembang dan digunakan dalam proses pembelajaran
bahasa pada masa audiolingualisme meliputi metode tata bahasa/terjemahan, metode langsung, metode membaca, oral approach dan situational language teaching (pendekatan lisan dan metode pembelajaran bahasa situasional) serta metode audiolingual (dengan pendekatan berbicara dan mendengarkan). Tiap-tiap metode tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan yang telah diuraikan pada bagian pembahasan. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu pula dengan metode-metode tersebut. Namun, perlu diingat bahwa metode-metode tersebut secara silih berganti yang pada suatu waktu diutamakan atau digemari orang dan tidak pernah terjadi sekali pun suatu metode mengambil ‘monopoli’ dalam satu periode waktu. Dengan kata lain, dalam penerapanmetode-metode tersebut dapat dikombinasikan satu dengan lainnya. Hal ini tentunya juga dimaksudkan agar siswa atau pendidik tidak mengalami kebosanan dalam proses pembelajaran bahasa.





[1] Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta), 2003, Hal. 98
[2] Brown, H.D., Teaching by principles: An Active Approach to Language  Pedagogy. (2nd ed.), (San Francisco: Addison Wesley Longman, Inc.), 2001, Hal.  14
[3] Richards dan Rodgers, Approach and Methode in Language Teaching, A Description Analysis, (London: Cambridge University), 1999, Hal. 31-63)
[4] Lave, J. and Wenger, E., Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation, (Cambridge, UK: Cambridge University Press), 1991, hal. 1-4.
[5] ibid. hal. 33-34
[6] Jan Herrington and Ron Oliver, Critical Characteristics of Situated Learning: Implications for the Instructional Design of Multimedia, Edith Cowan University, j.herrington@cowan.edu.au (1)
[7] Floding dan Swier, Legitimate Peripheral Participation: Entering A Community of Practice. http://journals.sfu.ca/rpfs/index.php/rpfs/article/view/116
[8] Hayati, Nur. Pengembangan Silabus Pembelajaran  Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama di Kota Palembang, (Palembang: FKIP-UNSRI), 2014. hal.Vii-viii
[9] J.C. Trueswell et al., Cognitive Psychology 66 (2013) 126–156: 128
[10] Ibid. Hal 129
[11] Mall-Amiri, Behdokht. 2013.  Comparing The Performance Of Extrovert And Introvert Intermediate Female Efl Learners On Listening And Reading Tasks. The International Journal of Language Learning and Applied Linguistics World (IJLLALW) Volume (3), July 2013 (page 16)
[12] Brown, H. Douglas, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (New York: Pearson Education), 2007, hal. 119-120
[13] Dubin, F. & Olshtain, E., Course Design: Developing Programs and Materials for Language Learning, (Cambridge: Cambridge University Press), 1997, hal. 34-35

Komentar

  1. numpang nanya mas.. apa uda ada terjemahan buku : Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation (Lave J & Wenger E), yg diterjemahkan ke B.Indonesia....? trima ksih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer