EFEKTIVITAS
TEKNIK PELATIHAN KEAKTORAN
DALAM
PEMBELAJARAN DRAMA
TERHADAP
KEMAMPUAN MEMERANKAN TOKOH DALAM PEMENTASAN
DITINJAU DARI
MINAT BERLATIH DRAMA
(Eksperimen pada
Siswa Kelas XI SMAN 1 Gamping, Sleman, D.I. Yogyakarta)
TESIS
Disusun untuk Memenuhi
sebagian Persyaratan Mencapai Derajat
Magister
Pendidikan
Pembimbing :
Prof. Dr. Herman
J. Waluyo, M.Pd.
Dr. Budhi
Setiawan, M.Pd.
Oleh
ANDRI
WICAKSONO
S841008003
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN
BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
ABSTRAK
Andri
Wicaksono. S840908003. 2010. Efektivitas
Teknik Pelatihan Keaktoran dalam Pembelajaran Drama terhadap Kemampuan
Memerankan Tokoh dalam Pementasan Ditinjau dari Minat Berlatih Drama
(Eksperimen pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Gamping, Sleman. D.I. Yogyakarta)
Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji pengaruh teknik pelatihan keaktoran dalam pembelajaran
drama, minat berlatih drama, dan interaksi antara teknik pelatihan keaktoran dalam
pembelajaran drama dan minat berlatih drama terhadap kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan
siswa kelas XI SMAN 1 Gamping, Sleman. D.I. Yogyakarta.
Penelitian ini
dilaksanakan di SMA Negeri 1 Gamping, Sleman, D.I. Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan
adalah eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Populasi penelitian ini
adalah siswa SMA Negeri 1 Gamping, Sleman, D.I.
Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012 sedangkan sampel penelitian diambil siswa kelas XI
sebanyak 32 siswa. Sampel tersebut diambil dengan teknik purposive random sampling. Teknik pengumpulan data kemampuan
memerankan tokoh dalam pementasan menggunakan tes memerankan tokoh, dan data
minat berlatih drama digunakan angket. Teknik analisis data menggunakan
Analisis Varian Dua Jalur.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa : (1) teknik pelatihan keaktoran lebih efektif digunakan dibanding dengan
teknik konvensional, yaitu (Fh(k) = 531,44 > 4, 20 = Ft), (2) kemampuan
memerankan tokoh dalam pementasan pada siswa yang mempunyai minat berlatih drama
yang tinggi lebih efektif dibanding dengan minat berlatih drama yang rendah
(Fh(b) = 132,93 > 4, 20 = Ft), dan (3) terdapat interaksi antara teknik
pelatihan keaktoran dan minat berlatih drama dalam mempengaruhi kemampuan
memerankan tokoh dalam pementasan drama pada siswa (Fh(I) = 26,71 > 4, 20 =
Ft).
Kata kunci:
teknik pelatihan keaktoran, teknik pelatihan konvensional, minat berlatih
drama, kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan.
A. Latar
Belakang Masalah
Pembelajaran drama di
sekolah hanya mengedepankan analisis teks dan pembahasan teori tanpa memberikan
kesempatan yang luas kepada siswa untuk menghayatinya melalui praktik
pementasan (practical performance).
Hal itu akan menyebabkan pembelajaran drama menjadi membosankan. Lebih dari
itu, kurangnya variasi metode dan strategi dalam pembelajaran drama dengan
penekanan sisi afektif dan psikomotorik telah membawa pada sebuah generalisasi
bahwa pembelajaran drama terkesan disajikan seperti apresiasi prosa dan puisi.
Drama, sebagai karya sastra menuntut perlakuan berbeda dalam pembelajarannya
mengingat struktur teks drama yang dirancang sedemikian rupa untuk sebuah
pementasan.
Pembelajaran ekspresi
drama secara formal di sekolah ditujukan bukan saja untuk memperluas
pengetahuan dan mengembangkan emosi anak didik, melainkan ditujukan untuk
mengembangkan kepribadian anak didik. Melalui pembelajaran drama, siswa dapat
berkenalan dengan kehidupan.
Pembelajaran drama
bukan sekedar sebuah proses belajar yang hanya bersifat tekstual, melainkan
sistem dalam keseluruhan sistem pendidikan yang kontekstual. Artinya,
pembelajaran drama tidak pernah steril dari berbagai faktor kehidupan.
Pembelajaran drama terintegrasi dalam sebuah sistem pembelajaran yang
konfiguratif. Guru cenderung lebih memilih mengajarkan puisi dan prosa daripada
mengajarkan apresiasi drama.
Berdasarkan deskripsi
di atas, dipandang perlu untuk menemukan teknik pembelajaran drama yang lebih
relevan, adaptif, efisien, dan produktif untuk dapat membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran. Teknik pembelajaran disebut sebagai bagian
dari proses pembelajaran yang merupakan langkah-langkah taktis bagi guru dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan.
Kondisi pembelajaran
kemampuan memerankan tokoh drama dengan teknik konvensional dirasa hanya
mengedepankan analisis teks dan pembahasan teori tanpa memberikan kesempatan
yang luas kepada siswa untuk menghayatinya melalui praktik pementasan (practical performance) yang menyebabkan
pembelajaran drama kurang menarik dan membosankan. Pembelajaran drama dirasa
kurang adanya variasi metode dan strategi dengan penekanan sisi afektif dan
psikomotorik. Untuk itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui
Efektivitas Teknik Pelatihan Keaktoran dalam Pembelajaran Drama terhadap
Kemampuan Memerankan Tokoh dalam Pementasan Ditinjau dari Minat Berlatih Drama
(Eksperimen pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Gamping, Sleman, D.I. Yogyakarta).
B. Rumusan
Masalah
Adapun permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah
ada perbedaan antara kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama siswa kelas XI SMAN 1 Gamping, Sleman, D.I Yogyakarta
yang diajar dengan teknik pelatihan keaktoran pembelajaran drama dibandingkan
siswa yang diajar dengan menggunakan teknik konvensional?
2. Apakah
ada perbedaan antara kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama siswa
kelas XI SMAN 1 Gamping, Sleman, D.I
Yogyakarta yang memiliki
minat berlatih drama yang tinggi dengan minat berlatih drama yang rendah?
3. Apakah
ada interaksi antara teknik
pelatihan keaktoran dalam
pembelajaran drama dan minat
berlatih drama terhadap kemampuan memerankan tokoh dalam
pementasan siswa kelas XI SMAN 1 Gamping,
Sleman, D.I Yogyakarta?
C.
Kajian
Teori
To act means to do, so
you must always have something speciffc to do onstage or you will immediately
stop acting. This is why physical action is so very important for the actor.
Simply deffned, an action is the physical pursuance of a speciffc goal (Mammet, D, dan
William H. Macy, 2011: 13).
Plot reveals events to us, not only in
their temporal, but also in their causal relationships. Plot makes us aware of
events not merely as elements in a temporal series but also as an intricate
pattern of cause and effects (Kenney
1996 : 14).”
“Every
dramatist has at his fingertips a relatively large galaxy of differing devices
of characterization. Some of the devices are the appearance of the character,
asides and soliloquies, dialogue between characters, hidden narration,
language, and character in action (Reaske, 1966: 46-48).”
Acting
is the life of the human soul receiving ‘its birth through art. In a creative
theatre the object for an actor’s concentration is the human soul. In the first
period of his work the searching, the object for concentration is his own soul
surround. Second period, the constructive one only his own soul. Know how to
concentrate on something materially imperceptible, on something perceive only
by penetrating deeply into entity, recognizing be evidenced in a moment of the
greatest emotion and most violent struggle and need a spiritual concentration
on emotions which do not exist, but are invented or imaged (Boleslavsky, 2005:
8).
Unger, dalam buku Theory of Literature tulisan Rene Wellek
(1976:
115) mengklasifikasikan karakter dalam sastra sebagai:
“The problem of fate, by which he means the relation
of freedom and necessity, spirit and nature; the religious problem, the
attitude towards sin and salvation; the problem of nature, which would include
such questions as the feeling for nature, but also questions of myth and magic;
the problem of man, which concerns questions of the
concept of man, but also of man’s relation to death, man’s concept of love; and
finally there is a group of problems of society, family, and state.”
Kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama adalah bentuk kompetensi berbicara secara produktif dalam kinerja berbahasa untuk mampu menjadi orang lain
sesuai dengan tuntutan lakon drama yang melibatkan keterampilan aktor memasuki
serta mengekspresikan tokoh yang dibawakan. Selain itu, seorang aktor mampu memanfaatkan potensi diri, meliputi
potensi tubuh, potensi driya, potensi akal, potensi hati, potensi imajinasi,
potensi vokal, dan potensi jiwa. Untuk berperan secara natural dan realisitis
diperlukan penghayatan mendalam tentang tokoh yang diperankan itu. Dalam kaitan
itu, gaya, tipe, dan jiwa permainan menentukan corak penghayatan peran.
Jack C. Richard dalam
Elly S., Abdul B., Dyah P. (2008: 43) menyatakan: ...in speaking a foreign language the learner is saying words to express
certain meanings. Dalam berbicara,
siswa mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan maksud tertentu. It would be irrational and unnatural to
expect the EFL learner to produce full, grammatically correct sentences when
speaking (Brown, Yule dalam Maia JAM.,
2011). Hal ini akan menjadi tidak
rasional dan tidak wajar untuk mengharapkan
pembelajar berbahasa untuk menghasilkan hasil baik sehingga
diperlukan tata bahasa yang benar ketika berbicara.
Kurikulum pembelajaran teater seperti yang
diadopsi dari Shakespeare (2011: 27) sebagai berikut.
High school theatre
courses provide students with the knowledge and skills necessary to continue
studies at the college level, pursue theatre as an avocation, and/or become
educated audience members. High school theatre curricula focus on:
·
Enhancing perception,
interpretation, and performance
·
Understanding heritage and
tradition
·
Understanding influences of
theatre, film, television, and technology
·
Reflecting and evaluating
personal work and the work of others.”
Boleslavsky (dalam
Rizki Pradana, 2009) menyampaikan beberapa hal dalam sebuah teater kreatif.
Sasaran seorang aktor adalah sukma manusia yang berperan di atas pentas adalah
memberikan bentuk lahir pada watak dan emosi aktor, baik dengan laku ataupun
ucapan. Dalam watak tersebut ada tiga bagian yang harus nampak, yaitu watak
tubuh, watak emosi, dan watak pikiran.
Dasar teori yang selanjutnya dikembangkan sebagai teknik pelatihan
keaktoran berorientasi PAKEM yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
teori dari tokoh teater modern, yaitu Richard Boleslavsky (tokoh yang dikenal
sebagai murid Stanislavsky mengembangkan teori Stanislavsky. Buku karangannya
sangat terkenal dengan judul Acting:
The First Six Lessons (2005) dan diterjemahkan oleh
Asrul Sani Enam
Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor (1960) dengan didukung oleh sumber lain dan preoses pelatihan teater yang
relevan, di antaranya adalah Herman J. Waluyo (2008: 131-134), W.S. Rendra (1976: 17-19), Hassanuddin W.S. (2009: 213-221), Iman
Sholeh & Rik Rik El Saptaria (2005), dan
Harymawan (1998: 30-41). Selanjutnya,
teori inilah yang dikembangkan menjadi teknik pelatihan keaktoran berorientasi
PAKEM.
Siswa yang memiliki
minat terhadap suatu objek tentu cenderung memberikan perhatian yang lebih
besar terhadap suatu objek tersebut. Timbulnya minat akan disusul dengan
meningkatnya perhatian terhadap objek tersebut. Perhatian yang lahir karena
adanya minat akan membuat individu mengikuti atau memperhatikan suatu objek
secara sungguh-sungguh dengan perasaan senang tanpa ada unsur paksaan dari
dalam atau dari luar diri siswa.
Minat
merupakan sesuatu yang lahir dari dalam diri tiap individu tanpa adanya unsur paksaan dari luar atau
berdasarkan kesadaran. Kesadaran itu timbul karena adanya keyakinan bahwa
perbuatan yang dilakukan akan mendatangkan rasa senang pada dirinya. Minat
dengan perasaan senang mempunyai hubungan timbal balik. Individu melakukan
suatu kegiatan dengan perasaan senang karena di dalam dirinya terdapat minat
terhadap objek tersebut.
Minat berlatih drama dapat diberi pengertian kecenderungan individu untuk
memperhatikan, menyenangi, dan mengakrabi serta berhubungan aktif dengan proses
latihan drama. Minat
merupakan salah satu faktor pendorong yang sangat kuat pada diri seseorang
untuk berbuat dan meningkatkan keberhasilan aktivitasnya. Minat tersebut
dipengaruhi oleh dorongan
untuk maju dalam menekuni latihan drama, kemauan siswa dalam mengikuti berlatih memerankan
tokoh dalam drama dengan teknik pelatihan keaktoran, perhatian siswa terhadap
segala kegiatan yang berkaitan dengan berlatih memerankan tokoh dalam drama
drama dengan teknik pelatihan keaktoran, tujuan atau orientasi berlatih
memerankan tokoh dalam drama drama dengan teknik pelatihan keaktoran.
Penelitian ini
dilaksanakan di SMA Negeri 1 Gamping, Sleman, D.I. Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan
adalah eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Populasi penelitian ini
adalah siswa SMA Negeri 1 Gamping, Sleman, D.I.
Yogyakarta tahun
ajaran 2011/2012
sedangkan sampel penelitian diambil siswa kelas XI sebanyak 32 siswa. Sampel
tersebut diambil dengan teknik purposive
random sampling. Teknik pengumpulan data kemampuan memerankan tokoh
dalam pementasan menggunakan tes memerankan tokoh, dan data minat berlatih
drama digunakan angket. Teknik analisis data menggunakan Analisis Varian Dua
Jalur.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di SMA Negeri 1 Gamping, Sleman, D.I. Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan
adalah eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Populasi penelitian ini
adalah siswa SMA Negeri 1 Gamping, Sleman, D.I.
Yogyakarta tahun
ajaran 2011/2012
sedangkan sampel penelitian diambil siswa kelas XI sebanyak 32 siswa. Sampel
tersebut diambil dengan teknik purposive
random sampling. Teknik pengumpulan data kemampuan memerankan tokoh
dalam pementasan menggunakan tes memerankan tokoh, dan data minat berlatih
drama digunakan angket. Teknik analisis data menggunakan Analisis Varian Dua
Jalur.
Adapun pola rancangan eksperimen dengan
rancangan faktorial 2 x 2 sebagai berikut.
|
|
Teknik Pelatihan
dalam Pembelajaran Drama (A)
|
|
|
|
|
Teknik pelatihan keaktoran (A1)
|
Teknik pelatihan Konvensional (A2)
|
|
Minat berlatih drama (B)
|
Tinggi
(B1)
|
A1B1
(Kelompok 1)
|
A2B1
(Kelompok 3)
|
B1
|
Rendah
(B2)
|
A1B2
(Kelompok 2)
|
A2B2
(Kelompok 4)
|
B2
|
|
|
|
A1
|
A2
|
|
Keterangan
:
A1
|
:
|
kelompok siswa yang berlatih drama
dengan teknik pelatihan keaktoran
|
A2
|
:
|
kelompok siswa yang berlatih drama
dengan teknik pelatihan konvensional
|
B1
|
:
|
Kelompok siswa yang memiliki minat
berlatih drama tinggi
|
B2
|
:
|
Kelompok siswa yang memiliki minat
berlatih drama tinggi
|
A1B1
|
:
|
kelompok siswa
yang berlatih drama dengan teknik pelatihan keaktoran dan minat berlatih drama
yang tinggi
|
A1B2
|
:
|
kelompok siswa
yang berlatih drama dengan teknik pelatihan keaktoran dan minat berlatih
drama yang rendah
|
A2B1
|
:
|
kelompok siswa
yang berlatih drama dengan teknik pelatihan konvensional dan minat berlatih
drama tinggi
|
E.
Hasil
Penelitian
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa : (1) teknik pelatihan keaktoran lebih efektif digunakan
dibanding dengan teknik konvensional, yaitu (Fh(k) = 531,44 > 4, 20 = Ft),
(2) kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan pada siswa yang mempunyai minat
berlatih drama yang tinggi lebih efektif dibanding dengan minat berlatih drama
yang rendah (Fh(b) = 132,93 > 4, 20 = Ft), dan (3) terdapat interaksi antara
teknik pelatihan keaktoran dan minat berlatih drama dalam mempengaruhi
kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama pada siswa (Fh(I) = 26,71
> 4, 20 = Ft).
Berdasarkan data dan
hasil pengujian tersebut, dapat dibuktikan bahwa antara siswa yang mempunyai
minat berlatih drama tinggi dan siswa yang mempunyai minat berlatih drama
rendah mempunyai kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama yang berbeda dan dipengaruhi oleh teknik
pelatihan drama yang digunakan. Kondisi tersebut memberikan bukti empirik bahwa
pengelompokan siswa berdasarkan minat berlatih drama tinggi dan minat berlatih
drama rendah efektif dalam menentukan pengaruh teknik pelatihan keaktoran atau
pengaruh teknik konvensional terhadap kemampuan memerankan tokoh dalam
pementasan drama siswa.
Berdasarkan hasil
pengujian hipotesis, terdapat perbedaan antara kemampuan memerankan tokoh dalam
pementasan drama siswa yang diajar
dengan teknik pelatihan keaktoran lebih efektif dibandingkan dengan
teknik konvensional. Hal ini karena teknik pelatihan keaktoran mempunyai
kelebihan dapat membangkitkan semangat, siswa tidak jenuh dan dapat
meningkatkan partisipasi siswa. Teknik konvensional dikatakan pola yang kuno
dan membosankan karena yang aktif hanya guru. Siswa hanya mendengarkan sehingga
terkadang siswa jenuh. Materi yang disampaikan oleh guru tidak semuanya dapat
diterima atau dipahami.
Hasil analisis data
untuk pengujian hipotesis ketiga tentang interaksi menyimpulkan bahwa terdapat
interaksi antara teknik pelatihandrama yang digunakan dengan minat berlatih
drama dalam mempengaruhi kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama siswa.
Hal ini ditunjukkan oleh hasil pengujian hipotesis tersebut yang menolak
hipotesis H0 pada taraf signifikan α = 0,05 yang berarti terdapat pengaruh dari
interaksi antara teknik pelatihandrama dengan minat berlatih drama terhadap
kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama siswa. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa pengelompokan siswa berdasarkan minat berlatih drama
tinggi dan minat berlatih drama rendah memberikan pengaruh terhadap efektivitas
teknik pelatihan keaktoran atau teknik konvensional dalam mempengaruhi
kemampuan memerankan tokoh drama.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1.
Terdapat
perbedaan antara kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama pada siswa
yang diajar menggunakan teknik pelatihan keaktoran dan siswa yang diajar dengan
teknik konvensional (Fh(k) = 531,44 > 4, 20 = Ft). Teknik pelatihan
keaktoran lebih efektif digunakan dibanding dengan teknik konvensional.
2.
Terdapat
perbedaan antara kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama pada siswa
yang mempunyai minat berlatih drama yang tinggi dan minat berlatih drama yang
rendah Fh(b) = 132,93 > 4,
20 = Ft.
Kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama pada siswa yang mempunyai
minat berlatih drama yang tinggi lebih efektif dibanding dengan minat berlatih
drama yang rendah.
3.
Terdapat
interaksi antara teknik pelatihan keaktoran dan minat berlatih drama dalam
mempengaruhi kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan drama pada siswa
(Fh(I) = 26,71 > 4,
20 = Ft).
Adanya pengaruh dari interaksi antara teknik pelatihan drama dan minat berlatih
drama siswa terhadap kemampuan memerankan tokoh dalam pementasan
drama pada siswa menunjukkan bahwa penggunaan teknik pelatihan drama (teknik
pelatihan keaktoran dan teknik konvensional) dengan minat berlatih drama
mempunyai pengaruh sendiri-sendiri terhadap kemampuan memerankan tokoh dalam
pementasan drama.
Daftar
Pustaka
Boleslavsky, Richard. 2005. Acting: The First Six Lessons. New York:
Routledge (Taylor and Francais)
Coulthard, Molcolm. 1985. An Introduction to Discourse Analysis.
England: Longman House
Elly S., Abdul B., Dyah P. 2008.
“Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris dengan Menggunakan Media Gambar
pada Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 277 Jakarta”. Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan. Volume I No.1 (Hal. 41-48).
Kenney, William. 1966. How To Analyze
Fiction. Manhattan : Monarch Press.
Mamet, David and William H. Macy. 2011. Practical Aesthetics An Acting
Methodology.http://www.lacanadaplayhouse.org/mamet%20and%20macy.PDF.
diunduh pada
Oktober 2010.
Maia, José Antonio Moscoso. 2011. Jurnal. Facing and Analyzing Letras Pre-Intermediate University English Teacher
Trainees Speaking Difficulties. http://www.fama.br/
revista/letras/images/ stories/artigos/ artigo%20moscoso %
20revisado%20-%20english%201.pdf. Diunduh pada 28 Juli
2011.
Reaske,
Christopher Russell. 1966. Analyze Drama. United States of America: Monarch Press.
Rizki Pradana 2009. Akting:
Mendalami diri sendiri http://gurudrama.
wordpress.com/2009/08/06/akting-mendalami-diri-sendiri/
Shakespeare. 2011. Theatre Curriculum Framework.
Center For Educator Development In Fine Arts (CEDFA) http://www.cedxfa.org
Wellek, Rene &
Austin Warren. 1976. Theory of Literature.
New York: Harcourt Brace and Word Inc.