AUDIOLINGUAL METHODS-SITUATIONAL
LANGUAGE TEACHING
(Pendekatan dan Metode Pengajaran Bahasa sebagai
Dasar Pengembangan Silabus)
Oleh: Andri Wicaksono
Pendidikan Bahasa (S3), UNJ-Jakarta 2014
A. Pendahuluan
Dalam proses pembelajaran bahasa perlu dikembangkan
“tata cara memudahkan” atau yang biasa disebut dengan metodologi yang tentu
saja proses pembelajarannya tidak terlepas dari adanya peran guru. Guru
memerlukan cara-cara atau metode-metode tertentu dalam usaha memudahkan proses
pembelajaran bahasa. Pada umumnya, guru selalu berusaha untuk menggunakan
metode yang paling efektif. Guru selalu mencari metode-metode penyajian materi
pembelajaran yang lebih baik untuk memudahkan dalam membelajarkan siswa.
Guru dan siswa merupakan komponen utama
dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru bertanggung jawab mengatur dan
mengelola lingkungan sekolah dan pencapaian tujuan pendidikan sesuai arah yang
diinginkan. Guru harus mampu mengelola seluruh proses kegiatan pembelajaran
dengan menciptakan kondisi-kondisi belajar sedemikian rupa sehingga setiap siswa
dapat belajar secara efektif dan efisien[1].
Dalam menciptakan kondisi belajar yang kondusif tidak terlepas dari kemampuan
guru dalam memilih pendekatan atau metode pembelajaran yang tepat yang sehingga
dapat mengarahkan pembelajar pada tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam bidang pengajaran, metode adalah
rencana penyajian bahan secara menyeluruh dengan urutan yang sistematis
berdasarkan pendekatan tertentu. Pendekatan adalah seperangkat asumsi korelatif
yang menangani hakikat pengajaran dan pembelajaran bahasa. Pendekatan biasa
diartikan sebagai cara memulai sesuatu. Atau sering diartikan dengan pengertian
yang lebih luas yaitu sebagai seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa,
pengajaran bahasa, dan proses belajar bahasa. Edward Anthony memaknai
pendekatan sebagai satu latar belakang filosofis mengenai pokok bahasan yang
hendak diajarkan[2].
Metode merupakan rencana keseluruhan bagi penyajian bahan bahasa secara rapi
dan tertib, bagian-bagiannya tidak ada yang berkontradiksi, dan kesemuanya itu
didasarkan pada pendekatan terpilih. Jadi, metode merupakan cara melaksanakan
pekerjaan, sedangkan pendekatan bersifat aksioma dan metode bersifat
prosedural. Berbeda dengan pendekatan dan metode, teknik mengandung pengertian
cara-cara dan alat-alat yang digunakan guru dalam kelas. Teknik adalah daya
upaya, usaha-usaha, atau cara-cara yang digunakan guru dalam mencapai tujuan
langsung dalam pelaksanaan pengajaran pada waktu itu. Jadi, teknik adalah
kelanjutan dari metode, sedangkan arahnya harus sesuai dengan pendekatan.
Dalam makalah ini, penulis tidak
membahas semua metode-metode dalam pembelajaran bahasa tujuan. Tapi, hanya akan
membahas metode yang berkembang dan digunakan dalam pembelajaran bahasa, lebih
khusus lagi mencakup Pendekatan Oral-Aural/Metode Audiolingual dan Pengajaran
Bahasa Situasional. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa metode-metode ini masih
dipakai hingga sekarang, hanya saja mungkin dalam suatu bentuk lain dan tentu
saja telah mengalami modifikasi. Modifikasi tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan yang kaitannya dengan kurikulum pembelajaran. Meskipun demikian,
pendekatan atau metode ini bukanlah satu-satunya yang terbaik yang pernah ada
dan yang berkembang pada abad 20-an, tetapi dalam makalah ini dicoba
dikembangkan secara ringkas dan sederhana serta mencakup perencanaan aplikasi
di dalam kelas yang disesuaikan dengan materi ajar (pengembangan silabus).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran di mengenai
Pendekatan Oral-Aural/Metode Audiolingual dan Pengajaran Bahasa Situasional,
berikut diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah
perbandingan Pendekatan Oral-Aural/Metode Audiolingual dan Pengajaran Bahasa
Situasional?
2.
Bagaimanakah
pengembangan silabus pembelajaran bahasa berdasarkan Pendekatan
Oral-Aural/Metode Audiolingual dan Pengajaran Bahasa Situasional?
C. Pengajaran Bahasa Situasional (Situational Language
Teaching)
Asal mula Pendekatan Lisan yang
menghasilkan Metode Pembelajaran Bahasa (menurut) Situasi ini ialah hasil
penelitian terpisah-pisah para ahli linguistik di Inggris pada tahun 1930-an
sampai 1960-an[3].
Hasil pengamatan dan penelitian para ahli tersebut adalah suatu studi sistem
dari prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dapat diterapkan pada seleksi
pengaturan isi (content) suatu program pembelajaran bahasa lisan dalam situasi-situasi
berbahasa yang ditentukan (misalnya: situasi di Kantor Pos, di rumah makan, dan
sebagainya). Metode ini memiliki kesamaan dengan Metode Langsung karena kedua
metode tersebut sama-sama menggunakan pendekatan lisan. Akan tetapi, terdapat
perbedaan yang paling menonjol antara Metode Langsung dengan Pengajaran Bahasa
Situasional, yaitu adanya penggunaan benda-benda konkret, gambar-gambar dan
media lainnya bersamaan dengan penyajian gerakan/isyarat dan mimik dalam metode
Pengajaran Bahasa Situasional.
Situated
learning
menjadi dikenal dalam pendidikan setelah publikasi dari Brown, Collins dan
Duguid dalam artikelnya berjudul “Situated cognition and the culture o
learning”[4]
dalam jurnal Educational Research pada tahun 1989. Artikel ini dituliskan
berdasarkan pandangan teoritis seperti Vigotsky, Leontiev dan Dewey serta
penelitian Jean Lave yang memberikan dasar riset dalam pengembagan teori situated learning ini.
Pendekatan lisan tidak boleh dikacaukan
dengan Metode Langsung yang membuat siswa dibingungkan oleh aliran peningkatan
mutu bicaranya. Siswa mengalami semua kesulitan yang akan dihadapi dalam
mengangkat bahasa dalam lingkungan, kehilangan sebagian besar kompensasi yang
secara kontekstual bermanfaat dan lebih baik di sirkum mereka.[5]
Pittman dan rekan-rekannya bertanggung
jawab untuk mengembangkan seperangkat berpengaruh materi pengajaran berdasarkan
pendekatan situasional. Pengajaran situasional diterbitkan untuk digunakan
secara mendunia pada tahun 1965 sebagai seri bahasa Inggris. Karakteristik
utama dari pendekatan ini adalah:
1.
pengajaran
bahasa dimulai dengan bahasa lisan. Bahan yang diajarkan secara lisan sebelum
disajikan dalam bentuk witten.
2.
Target
bahasa adalah bahasa di dalam kelas.
3.
Poin
bahasa baru diperkenalkan dan dipraktikkan secara situasional.
4.
Prosedur
seleksi kosakata diikuti untuk memastikan bahwa layanan umum penting kosakata
ditutupi.
5.
Produk
tata bahasa yang dinilai mengikuti prinsip bahwa bentuk-bentuk sederhana harus
diajarkan sebelum yang kompleks.
6.
Membaca
dan menulis diperkenalkan setelah secara leksikal dan gramatikal dengan cukup
mapan.
Brown, Collins, dan Dugoid[6]
merupakan peneliti peneliti pertama yang mengembangkan model instruksi
pembelajaran dengan model ini. Dalam penelitiannya, beberapa mata pelajaran
seperti matematika, membaca dan menulis telah dikembangkan model instruksi
pembelajarannya menjadi proses pembelajaran yang efektif dan bermakna. Model
ini muncul dari pengamatan situasi belajar yang berhasil oleh peneliti. Mereka
berangkat untuk mencari contoh-contoh pembelajaran dalam konteks atau budaya
yang efektif, dan untuk menganalisis fitur kunci dari model tersebut. Mereka
menemukan contoh pelajaran sekolah tradisional, seperti matematika, membaca,
dan menulis, yang diajarkan dengan cara yang inovatif dan efektif. Brown,
Collins dan Dugoid menyatakan bahwa pembelajaran menjadi bermakna apabila
dilakukan melekat dengan realita fisik dan social di dunia nyata. Pembelajaran
di kelas sering kali jauh dengan situasi kenyataan di lapangan. Apa yang
diperoleh oleh siswa dalam pembelajaran di kelas, kadang tidak bersesuaian
dengan praktek sehari-hari para praktisi di lapangan. Untuk dilakukan upaya
pembenahan dengan melakukan cognitive
apprenticeship (situated learning), sebuah metode yang didesain untuk
melibatkan siswa dalam praktek dan interaksi sosial di lapangan kerja. Aspek
kritis dalam pemagangan yaitu melakukan pengamatan terhadap praktik praktisi di
lapangan.
Etienne
Wenger dan Jean
Lave[7] menciptakan istilah "komunitas
praktik" dalam buku mereka, Situated
Learning: Legitimate Peripheral Participation.
1. Dalam
buku itu, mereka berpendapat
bahwa belajar terjadi sebagai
salah satu berpartisipasi dalam komunitas
praktek. "Belajar melibatkan
seluruh orang; itu berarti
tidak hanya hubungan kepada masyarakat itu sosial
menyiratkan menjadi peserta penuh, anggota,
semacam orang. "
2.
Keikutsertaan pendatang baru adalah bagian yang sah, tetapi dari waktu
ke waktu akan ditarik menjadi lebih terlibat dan lebih kompleks. Teori belajar ini menjanjikan kita
bergelut pada konsep
komunikasi formatif dengan
masyarakat praktik, baik secara pribadi maupun digital dalam format pembelajaran.
Ciri-ciri program penyajian Situational Language Teaching (George
Pittman dkk.) secara sederhana antara lain:
a.
Butir-butir
tata bahasa disajikan “secara situasional” dalam pola kalimat yang menunjukkan
fungsi dan maknanya yang diurutkan secara bertahap, mulai dari situasi yang
paling dekat hingga yang lebih jauh.
b.
Setiap
pola kalimat memperkenalkan hanya satu butir struktur kalimat
c.
Butir-butir
yang menyebabkan kesulitan untuk para pembelajar bahasa diberi perhatian khusus
d.
Latihan
tertulis diberikan kepada para siswa sebagai rangkuman dari apa yang telah
dipelajari secara lisan
Pendekatan Teori
bahasa
Teori bahasa yang mendasari Pengajaran
Bahasa Situasional dapat dicirikan sebagai jenis Inggris
"strukturalisme". "Urutan kata, kata-kata struktural, beberapa
infleksi bahasa Inggris, dan “Conten Words”, akan membentuk materi mengajar kami" (Frisby, 1957). Teori
Strukturalisme di Inggris, bagaimanapun, memiliki fokus yang berbeda dengan
versi structrualism dengan Amerika. Gagasan "situasi". "Kegiatan
kelas utama kita dalam pengajaran Struktur bahasa Inggris akan menjadi praktik
oral struktur. Praktek lisan ini pola kalimat terkontrol harus diberikan dalam
situasi yang dirancang untuk memberikan jumlah praktik yang banyak dalam pidato
bahasa ke siswa."
Teori Pembelajaran
Teori belajar pengajaran bahasa
situasional yang mendasari adalah jenis behavioris kebiasaan-teori belajar. Ini
adresses terutama proses daripada kondisi pembelajaran. Frisby, misalnya,
mengutip pandangan Palmer sebagai otoritatif: Sebagaimana Palmer telah
menunjukkan tiga proses dalam belajar bahasa, yaitu menerima pengetahuan atau
materi, memperbaiki memori dengan pengulangan, dan menggunakannya dalam praktik
yang sebenarnya sampai terampil.
Pengajaran Bahasa Situasional mengadopsi
pendekatan induktif untuk tata bahasa mengajar. Arti kata-kata atau struktur
tidak boleh diberikan melalui penjelasan, baik dalam bahasa bahasa target atau
asli tapi harus diinduksi dari cara bentuk bahasa digunakan dalam suatu
situasi. "Jika kita memberikan arti kata baru, segera setelah kami
memperkenalkan, kita melemahkan kesan di pikiran" (Billoows 1961). Hal ini
adalah tentang bagaimana pembelajaran bahasa anak diyakini berlangsung, proses
yang sama diperkirakan terjadi pada pembelajaran bahasa (asing) kedua, menurut
praktisi dari Pengajaran Bahasa Situasional.
Tujuan Pembelajaran
Tujuan dari metode Pengajaran Bahasa
Situasional adalah untuk mengajarkan empat keterampilan berbahasa (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis) yang bertujuan berbagi dengan kebanyakan
metode pengajaran bahasa, tapi keterampilan melalui pendekatan struktur
tertentu. Pengendalian otomatis struktur pokok dan pola kalimat merupakan dasar
untuk keterampilan membaca dan menulis. Hal ini dicapai melalui kerja
berbicara. "Sebelum siswa kita membaca struktur baru dan kosa kata baru,
kita akan mengajarkan secara lisan, baik struktur baru maupun kosakata baru."
Pengembangan
Silabus
Dasar pengajaran bahasa Inggris di
Pengajaran Situasional Bahasa adalah silabus struktural dan daftar kata. Dalam
pengajaran bahasa situasional, struktur selalu diajarkan dalam kalimat, dan
kosa kata yang dipilih sesuai dengan seberapa baik memungkinkan pola kalimat
yang akan diajarkan.
Sebaliknya, situasi mengacu pada cara
penyajian dan berlatih pola kalimat, seperti yang akan kita lihat nanti.
Silabus situasional menawarkan pemilihan
dan pengurutan situasi kehidupan nyata yang beragam dan tidak menawarkan
butir-butir gramatikal, kosa kata, atau fungsi-fungsi (Harmer, 2001). Feez dan
Helen Joyce (1998) mengemukakan unsur-unsur silabus situasional yaitu (1)
Materi disusun berdasarkan perspektif lapangan dan pengalaman yang bermakna.
(2) Unsur-unsur berupa dialog ditempatkan dalam seting sehari-hari.(3)
Dialog-dialog mengandung butir-butir leksikal dan struktur-struktur gramatikal
yang dilaksanakan oleh pembelajar dalam kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan.
(4) Seting disusun berdasarkan persepsi terhadap kebutuhan pembelajar
berdasarkan persepsi terhadap tingkat kesulitan grammar dan kosa kata.
Kekurangan silabus situasional ialah (1)
Beberapa silabus situasional dikritik sebagai silabus struktural karena
struktur-gramatikal dan kosa kata dipilih lebih dahulu dan baru kemudian
situasinya dibangun berdasarkan struktur gramatikal dan kosa kata terpilih
tersebut. (2) Cenderung menempatkan tekanan yang kurang berimbang dalam
topik-topik dan aktivitas sosial. (3) Kurang tepat bagi siswa yang belajar
bahasa secara umum karena tidak ada jaminan bahwa bahasa dengan situasi yang
khusus akan benar-benar berguna bagi siswa tertentu (Feez dan Helen Joyce,
1998) [8].
Jenis Kegiatan
Belajar Mengajar
Situasi akan dikontrol dengan hati-hati
untuk mengajarkan materi bahasa baru. Dalam sedemikian rupa sehingga tidak ada
keraguan dalam pikiran pelajar tentang makna apa yang ia dengar. Hampir semua
kosa kata dan struktur diajarkan dalam pertama, empat, lima tahun, dan bahkan
kemudian dapat ditempatkan dalam situasi di mana artinya cukup jelas.
Berdasarkan Situasi, Pittman mengartikan
penggunaan benda konkret, gambar dan realia, yang bersama-sama dengan tindakan
dan gerakan dapat digunakan untuk menunjukkan makna bahasa baru. Teknik praktik
yang digunakan umumnya terdiri dari pengulangan dan substitusi yang dipandu
kegiatan, termasuk pengulangan, dikte, drill, dan membaca berbasis lisan
dikendalikan dan menulis tugas. Teknik praktik lisan lainnya terkadang
digunakan, termasuk praktik kerja berpasangan dan kelompok.
Peran Peserta
Didik
Pada tahap awal pembelajaran, peserta
didik dituntut untuk hanya mendengarkan dan mengulangi apa yang dikatakan guru
dan untuk menanggapi pertanyaan dan perintah. Misalnya, pelajar lupa sesuatu
yang sudah mereka dapatkan seperti kosakata yang salah, dan lin-lain. Hal ini siswa
mulai menanggapi dan mengajukan pertanyaan lain.
Secara logis,
pendengar yang menghargai ketidakpastian pengamatan tidak akan beralih ke kesimpulan tentang arti kata hasil pengamatan pertama, melainkan akan mengadakan pilihan dalam penundaan sampai bukti dari paparan lebih lanjut telah terkumpul. Pada sebagian besar
akun, siswa mengejar strategi tersebut dengan menyimpan ganda dugaan
yang dihasilkan pada setiap pengamatan dari sebuah kata dalam konteks situasional, dan kemudian membandingkan antara daftar
dugaan-situasi tersebut.
Seiring waktu dan eksposur, ada kiranya akan meningkatkan co-kejadian antara kata
dan tujuan makna
dan mengurangi co-kejadian
antara kata dan makna lain yang potensial. Literatur
terbaru mencoba untuk mengoperasionalkan
prosedur pembelajaran lintas-situasional
dan mengujinya dalam pengaturan eksperimental yang dikontrol.
Untuk mencapai kontrol eksperimental atas besarnya dugaan yang ditetapkan untuk sebuah kata,
sebagian besar studi menggunakan
seperangkat rangsangan artifisial dan sejumlah
paparan tertentu. Tetapi, berbeda
tingkat ketidakpastian dalam uji coba.[9]
Medina
et all.[10] menemukan bahwa ketika peserta menduga sebuah kata (diidentifikasi sebagai kata omong kosong seperti '' mipen '' atau
'' pilk '')
dengan benar dalam konteks pertama di
mana mereka mengamati itu,
mereka cenderung untuk
mempertahankan penafsiran ini dalam
konteks kemudian di mana kata
itu terjadi. Sebaliknya, ketika partisipan menebaknya
salah dalam konteks awal, mereka jarang ditemukan
di seluruh contoh pembelajaran nanti. Sebaliknya, mereka membuat dugaan baru tapi masih salah untuk tiap contoh pembelajaran berikutnya untuk kata itu. Bukti penting bahwa siswa yang menelusuri hanya sekedar
hipotesis kata-yang
berarti untuk di seluruh contoh
pembelajaran berasal dari lebih rinci kesatuan-respon analisis terkait
dengan fenomena ini.
Peran Guru
Fungsi guru berlipat. Guru menjadi
model, menyiapkan situasi di mana kebutuhan untuk struktur target dibuat dan
kemudian pemodelan struktur baru bagi siswa untuk mengulang. Pengorganisasian
ulasan merupakan tugas utama bagi guru, menurut Pittman (1963) tanggung jawab
guru berurusan dengan:
a.
waktu
b.
praktik
oral
c.
revisi
d.
Penyesuaian
dengan kebutuhan khusus individu
e.
pengujian
f.
Mengembangkan
kegiatan bahasa
Peran Bahan Ajar
Pengajaran tergantung pada kedua buku
teks dan alat bantu visual. Buku Pegangan Guru berisi materi yang terorganisir
pada sekitaran struktur gramatikal. Alat Bantu Visual dapat dihasilkan oleh
guru atau mungkin diproduksi secara komersial; terdiri dari grafik, flashcards, gambar, angka tongkat, dan
lain-lain. Elernen visual merupakan aspek penting dari Pengajaran Bahasa
Situasional. Pada prinsipnya buku teks "hanya sebagai panduan dalam proses
pembelajaran. Guru ini diharapkan menjadi tuan dari buku teksnya."
Prosedur
Prosedur Kelas dalam Pengajaran Bahasa
situasional bervariasi sesuai dengan tingkat kelas dia, tapi prosedur di lavel
setiap bertujuan untuk beralih dari dikontrol untuk latihan bebas struktur dan
bentuk penggunaan oral pola kalimat dengan penggunaan otomatis mereka dalam
berbicara, membaca, dan menulis. Pittman memberi contoh RPP khas:
Bagian pertama dari pelajaran akan stres
dan praktik intonasi biasa... bagian utama dari pelajaran kemudian harus
diikuti. Hal ini dapat terdiri dari pengajaran struktur. Jika demikian,
pelajaran kemudian terdiri dari empat bagian:
1.
Pelafalan
2.
Revisi
3.
Presentasi
4.
Praktik
Oral
5.
Materi
membaca pada struktur baru.
Kelebihan-kelebihan Metode Pembelajaran
Bahasa Situasional ialah :
a.
Siswa
mendapat latihan yang cukup banyak dalam kosa kata dan membaca.
b.
Siswa
mendapat latihan yang cukup banyak dalam berbicara dan menyimak.
c.
Siswa
mendapat latihan dalam sistem bunyi bahasa, tekanan, ritme, dan intonasi
Kelemahan-kelemahan
Metode Pembelajaran Bahasa Situasional yakni :
a.
Siswa
terlalu banyak mendapat latihan dalam stuktur dan kurang dalam berkomunikasi
yang wajar.
b.
Siswa
mendapat latihan dalam berbicara ‘situasional’ yang tidak berarti dengan siapa,
dimana, topik apa, dan waktu kapan sehingga ragam yang dipelajari hanya satu
saja.
D. Metode Audiolingual (Audiolingual Method)/Pendekatan
Oral-Aural (Aural and Oral approach)
Metode ini berawal dari diberlakukannya
sebuah program pengajaran bahasa asing untuk para personalia militer yang
mempunyai kemampuan berbahasa asing yang nantinya dapat ditempatkan di
negara-negara, seperti Perancis, Belanda, Cina, dan jajahan-jajahan Amerika
Serikat. Hal ini erat kaitannya dengan Perang Dunia II. Pendekatan intensif dan
berdasarkan penyajian lisan seperti Army
Method banyak hasilnya dan patut diterapkan secara umum dalam pembelajaran
bahasa di luar konteks dan suasana Tentara Amerika Serikat pada masa itu.
Istilah audio-lingualisme pertama-tama
dikemukakan oleh Prof. Nelson Brooks pada tahun 1964. Metode ini mengklaim
sebagai metode yang paling efektif dan efisien dalam pembelajaran bahasa asing
dan menyatakan sebagai metode yang telah mengubah pengajaran bahasa dari hanya
sebuah metode keilmuan bahasa. Audio-Lingual Method (ALM) merupakan hasil
kombinasi pandangan dan prinsip-prinsip Linguistik Struktural, Analisis
Kontrastif, pendekatan Aural-Oral, dan psikologi Behavioristik. Dasar pemikiran
ALM mengenai bahasa, pengajaran, dan pembelajaran bahasa adalah sebagai
berikut:
-
Bahasa
adalah lisan, bukan tulisan
-
Bahasa
adalah seperangkat kebiasaan
-
Ajarkan
bahasa dan bukan tentang bahasa
-
Bahasa
adalah seperti yang diucapkan oleh penutur asli
-
Bahasa
satu dengan yang lainnya itu berbeda
Metode ini berdasarkan pada pendekatan
struktural. Pendekatan ini menggunakan
teori tata bahasa struktural yang menempatkan tata bahasa atau struktur
sebagai fokus perhatian. Struktur tata bahasa dianggap sama dengan pola-pola
kalimat. Pandangan strukturalis mengenai struktur bahasa ialah
mengasosiasikannya dengan fonem sebagai unit fonologi (sistem bunyi), dan
morfem sebagai unit tata bahasa. Dalam metode ini, pembelajaran bahasa
diajarkan dengan mencurahkan perhatian pada lafal kata dan pada latihan berkali-kali (drill) secara intensif pola-pola kalimat.
Bahkan, drill inilah yang merupakan
teknik yang paling utama dalam metode ini.
Drill adalah suatu
teknik pembelajaran bahasa yang dipakai oleh semua guru bahasa pada suatu waktu
untuk memaksa para siswa mengulang dan mengucapkan suatu pola kalimat dengan
baik tanpa ada kesalahan. Drill dalam
kelas didasarkan langsung pada teori psikologi yang disebut Behaviorisme.
Gerakan Behaviorisme dalam psikologi menjadi sangat berpengaruh pada tahun
1950-an, dan teori belajar berdasarkan Behaviorisme ini menjadi salah satu
metode yang dianggap meyakinkan. Tokoh Behavioristik dari Harvard University
yang bernama B.F Skinner mengadakan eksperimen-eksperimen dengan anak-anak
kecil untuk mengetahui reaksi atau respons mereka dalam asosiasi kata,
pengelompokkan bunyi dan sebagainya.
Perilaku berbahasa manusia dibentuk oleh
penguatan yang lazim dipakai dalam masyarakat, dengan urutan: rangsangan –
jawaban- penguatan (atau stimulus→respons→reinforcement) yang dalam psikologi
behaviorisme biasa disebut ”operant conditioning” atau “pembiasaan yang
membuahkan hasil”. Menurut Skinner, suatu program pembelajaran bahasa harus
disajikan sedemikian rupa sehingga merupakan serangkaian langkah yang tidak
boleh terlalu sukar bagi siswa. Setelah siswa berhasil menguasai satu langkah
dengan baik, Ia boleh bergerak ke langkah yang selanjutnya.
Pendekatan Teori Bahasa
Teori bahasa Audiolingual yang
mendasarinya berasal dari pandangan yang diusulkan oleh ahli bahasa Amerika
pada 1950-an-pandangan yang kemudian dikenal sebagai linguistik struktural.
Sebagai ahli bahasa menemukan jenis suara baru dan pola baru dari penemuan
linguistik dan organisasi, minat baru dalam fonetik, fonologi, morfologi, dan
sintaksis dikembangkan. Istilah struktural dimaksud karakteristik ini:
a.
Unsur-unsur
dalam bahasa yang dianggap sebagai yang linear diproduksi dalam (struktural)
cara aturan-diatur.
b.
Sampel
Bahasa bisa dijelaskan secara mendalam pada setiap tingkat struktural deskripsi
(fonetik, fonemik, morfologi, dll)
c.
Tingkat
Linguistik merupakan sistem dalam sistem
Teori
Pembelajaran
Para ahli teori pengajaran bahasa dan
metodologi yang dikembangkan Audiolinguis tidak hanya memiliki teori meyakinkan
dan bahasa yang kuat untuk memanfaatkan tetapi mereka juga bekerja di sekolah
psikologi terkemuka di Amerika.
Penguatan merupakan unsur penting dalam
proses pembelajaran karena meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku akan terjadi
lagi dan akhirnya menjadi kebiasaan. Di antaranya yang lebih utama sebagai
berikut.
1.
Pembelajaran
bahasa asing
2.
Keterampilan
berbahasa
3.
Pemberian
analogi
4.
Makna
Tujuan
Pembelajaran
Brooks membedakan tujuan dari program
audiolingual, di antaranya jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jarak
pendek meliputi pelatihan dalam mendengarkan pemahaman, pengucapan yang akurat,
pengakuan simbol berbicara sebagai tanda grafis pada halaman yang dicetak, dan
kemampuan untuk mereproduksi simbol-simbol tertulis. Tujuan jangka panjangnya
adalah bahasa harus berada sebagai penutur asli penggunanya.
Pengajaran pemahaman berbicara dipakai karena itu kepentingan utama jika tujuan komunikasi adalah untuk tercapai. Mengingat pentingnya
keterampilan mendengarkan, Chastain (1988)[11] menyatakan bahwa, "untuk belajar berbicara, siswa harus terlebih dahulu belajar untuk memahami
bahasa lisan yang mereka dengar. Efek negatif yang keterampilan
mendengarkan berkembang terhadap
pembelajaran bahasa kedua cukup mendalam. Untuk
berkomunikasi dengan penutur asli, siswa harus terlebih dahulu belajar untuk memahami cukup dalam situasi bahasa yang
nyata untuk memahami intisari
dari apa yang dikatakan penutur
asli "
Bentuk kegiatan pengajaran dan
pembelajaran ALM pada dasarnya adalah percakapan dan latihan-latihan
(drills) dan latihan pola (pattern practice), (Prator
& Celce-Murcia, 1979)[12]. Karakteristik
ALM bisa dirangkum dalam daftar berikut.
a.
Materi
harus disajikan dalam bentuk dialog.
b.
Terdapat
ketergantungan pada cara peniruan, penghafalan frase, dan pembelajaran ekstra.
d.
Struktur
diurutkan dengan analisis “lawan-kata” dan diajarkan satu per satu.
e.
Pola-pola
struktural diajarkan dengan dril berulang-ulang.
f.
Hanya
sedikit atau tidak ada penjelasan gramatikal: tata bahasa diajarkan dengan
analogi induktif, bukan penjelasan deduktif.
g.
Kosakata
sangat dibatasi dan dipelajari dalam konteks.
h.
Banyak
penggunaan kaset, laboratorium bahasa, dan alat bantu visual.
i.
Pelafalan
sangat dipentingkan.
j.
Penggunaan
bahasa ibu dizinkan sedikit saja oleh guru.
k.
Respons
yang berhasil segera didorong.
l.
Ada
upaya siswa memproduksi ujaran yang bebas kesalahan.
m.
Ada
kecenderungan memanipulasi bahasa dan mengabaikan isi.
Percakapan berfungsi sebagai alat untuk
meletakkan struktur-struktur kunci pada konteksnya dan sekaligus memberikan
ilustrasi situasi dimana struktur-struktur tersebut digunakan oleh penutur
asli, jadi juga sebagai penerapan aspek kultural bahasa target. Pengulangan dan
penghafalan menjadi kegiatan yang dominan pada metode ini. Pola-pola gramatika
tertentu pada percakapan dipilih untuk dijadikan pola kegiatan latihan.
Kegiatan-kegiatan pembelajaran berdasarkan ALM adalah: repetition, inflection, relplacement, restatement, completion,
transposition, expansion, contraction, transformation, integration, rejoinders,
dan restoration.
Silabus
Pembelajaran
Silabus merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kurikulum. Silabus merupakan keterangan dan penjelasan yang
lebih rinci dan operasional mengenai berbagai unsur pembelajaran yang dapat
dijadikan sebagai pedoman untuk menerjemahkan dan mewujudkan apa yang
terkandung dalam kurikulum ke dalam bentuk langkah-langkah untuk mencapai
tujuan pembelajaran khusus sesuai dengan tingkatan siswa.
Dubin dan Olshtain[13] mengatakan
"a syllabus is a more detailed and operational statement of teaching
and learning elements which translates the philosophy of the curriculum into a
series of planned steps leading towards more narrowly defined objectives at
each level."
Silabus audiolingualis adalah
linguistik, atau struktur - berbasis, pendekatan pengajaran bahasa. Kemampuan bahasa
yang diajarkan di urutan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.
Prinsip-prinsip
metode audiolingual sebagai berikut.
a.
Siswa
harus menyimak (Listening Comprehension), kemudian berbicara (Speaking), lalu
membaca (Reading Comprehension) dan akhirnya mengarang (Writing). Ini urutan
penyajian yang benar.
b.
Tata
bahasa disajikan dalam bentuk pola kalimat atau dialog dengan topic situasi
sehari-hari.
c.
Drill
harus mengikuti operant-conditioning seperti yang telah dijelaskan di atas.
”Hadiah” harus diberikan.
d.
Semua
unsur tata bahasa disajikan secara bertahap dari yang mudah ke yang sukar
(graded excercise)
e.
Menerapkan
prinsip “penghindaran kesalahan” (error prevention).
Teori
Bahasa
|
Teori
Belajar
|
Tujuan-tujuan
|
Silabus
|
Audiolingual:
Bahasa
adalah sistem dengan struktur-struktur yang diatur dengan kekuasan yang
diatur secara hirarkis.
|
Pembentukan
kebiasaan; ketrampilan-ketrampilan dipelajari secara lebih efektif jika lisan
mendahului tertulis; analogy, bukan analisa.
|
Kontrol
struktur-struktur berupa suara, bentuk dan tatanan dan kepenguasaan atas
simbol-simbol dari bahasa; sasaran; kepenguasaan pembicara-bahasa ibu.
|
Silabus
yang dikelas-kelaskan berupa fonologi, morfologi, dan sintaks. Analisa yang
kontrastif.
|
Jenis
Pembelajaran
Dialog dan drill membentuk dasar dari
praktIk di ruang kelas audiolingual. Dialog menyediakan sarana
mengontekstualisasikan struktur kunci dan menggambarkan situasi di mana
struktur dapat digunakan serta beberapa aspek budaya bahasa sasaran. Penggunaan
latihan dan pola praktik adalah ciri khas dari Metode Audiolingual. Berbagai
macam drill yang digunakan meliputi:
1.
Pengulangan.
Siswa mengulangi ucapan keras begitu ia telah mendengarnya. Dia melakukan ini
tanpa melihat teks dicetak. Ucapan harus ia cukup singkat untuk ditahan oleh
telinga. Suara sama pentingnya dengan membentuk perintah.
2.
Infleksi.
Satu kata Dalam ucapan muncul dalam bentuk lain ketika ulang.
3.
Penggantian.
Satu kata dalam ucapan digantikan oleh yang lain.
4.
Pernyataan
Kembali. Mahasiswa rephrases ucapan dan alamat kepada orang lain, sesuai dengan
instruksi.
5.
Penyelesaian.
Siswa mendengar ucapan yang lengkap kecuali satu kata, kemudian mengulangi
ucapan dalam bentuk selesai.
6.
Transposisi.
Perubahan urutan kata diperlukan ketika kata ditambahkan.
7.
Ekspansi.
Saat sebuah kata ditambahkan dibutuhkan tempat tertentu dalam urutan.
8.
Kontraksi.
Sebuah kata tunggal singkatan frase atau klausa.
9.
Transformasi.
Sebuah kalimat diubah dengan cara membuat negatif atau interogatif atau melalui
perubahan dalam tegang, suasana hati, suara, aspek, atau modalitas.
10. Integrasi. Dua
ucapan terpisah diintegrasikan menjadi satu.
11. Rejoinder. Siswa
membuat duplik yang tepat untuk ucapan yang diberikan. Dia mengatakan di muka
untuk merespon dalam salah satu cara berikut.
12. Restorasi. Siswa
diberikan urutan kata-kata yang telah diambil dari kalimat tetapi masih
menanggung makna dasarnya, minimal perubahan dan penambahan mengembalikan
kalimat ke bentuk aslinya: waktunya kini, masa lalu, masa depan.
Peran Peserta
Didik
Peserta didik dipandang sebagai
organisme yang dapat diarahkan oleh teknik pelatihan keterampilan untuk
tanggapan dengan prosedur yang benar.
1.
Mendengarkan
sebuah percakapan sebagai model (guru atau kaset) yang berisi struktur kunci
yang menjadi fokus pembelajaran, mereka mengulangi setiap baris percakapan
tersebut secara individu maupun bersama-sama, menghafalkannya dan siswa tidak
melihat buku.
2.
Mengganti
dialog dengan setting tempat atau yang lainnya sesuai dengan selera siswa.
3.
Berlatih
struktur kunci dari percakapan secara bersama-sama dan kemudian secara
individual.
4.
Mengacu
ke buku teks dan menindaklanjuti dengan kegiatan membaca, menulis atau kosakata
yang berdasarkan percakapan yang ada, menulis dimulai dalam bentuk
kegiatan menyalin.
Peran Guru
Dalam audiolingual, seperti dalam
pengajaran bahasa situasional, peran guru sebagai pusat dan aktif; itu adalah
metode guru yang didominasi. Model guru bahasa target, mengontrol arah dan
kecepatan belajar, dan monitor dan memperbaiki kinerja peserta didik. Brooks
berpendapat bahwa guru harus dilatih untuk melakukan hal berikut:
~
Perkenalkan,
mempertahankan, dan menyelaraskan pembelajaran empat keterampilan dalam urutan
ini: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.
~
Gunakan-dan
tidak menggunakan-bahasa Inggris di kelas bahasa.
~
Model
berbagai jenis bahasa dalam bentuk dialog.
~
Ajarkan
bahasa lisan dalam bentuk dialog.
~
Tanggapan
paduan suara langsung oleh semua atau bagian dari kelas.
~
Ajarkan
penggunaan struktural melalui praktek pola.
~
Tanggapan
paduan suara langsung oleh semua atau bagian dari kelas.
~
Ajarkan
penggunaan struktur melalui latihan pola.
~
Membimbing
siswa dalam memilih dan kosa kata belajar.
~
Tampilkan
bagaimana kata-kata berhubungan dengan arti dalam bahasa target.
~
Dapatkan
individu siswa untuk berbicara.
~
Reward
percobaan oleh siswa sedemikian rupa bahwa belajar diperkuat.
~
Ajarkan
cerita pendek dan bentuk sastra lainnya.
~
Membangun
dan memelihara sebuah pulau budaya.
~
Meresmikan
pada hari pertama aturan sesuai dengan yang kelas bahasa harus dilakukan, dan
menerapkannya (Brooks, 1964).
Peran Bahan Ajar
Bahan ajar dalam Metode Audiolingual
membantu guru untuk mengembangkan penguasaan bahasa pelajar. Tape recorder dan
peralatan audiolingual sering memiliki peran sentral adalah kursus
audiolingual.
Tipe-tipe Aktivitas
|
Peran-peran bahasa
|
Peran-peran guru
|
Peran materi
|
Dialog-dialog dan latihan-latihan, pengulangan dan memorisasi/
pengingatan, praktek pola.
|
Organisme yang dapat diarahkan oleh teknik latihan untuk menghasilkan
respon yang benar.
|
Metode yang didominasi guru yang bersifat aktif dan sentral.
Menyediakan model, mengontrol arahan dan pacuan.
|
Berorientasi guru secara dasar. Kaset dan visual, lab bahasa yang kerap
digunakan.
|
Latihan-latihan imperatif untuk mengangkat tindakan-tindakan fisik.
|
Pendengar dan pelaksana, sedikit pengaruh terhadap isi belajar.
|
Peran aktif dan langsung: “direktur permainan panggung: dengan para
siswa sebagai aktor-aktornya.
|
Tanpa teks dasar; materi dan media mempunyai peran penting. Awalnya
suara, aksi/tindakan, gerak-gerik adalah memadai.
|
Respon-respon pembelajar untuk perintah-perintah, pertanyaan-pertanyaan
dan petunjuk-petunjuk visual. Aktivitas mendorong respon-respon lisan tanpa
penjelasan gramatikal atau pemodelan.
|
Proses pertumbuhan pribadi. Pembelajar bertanggung jawab untuk
belajarnya sendiri dan harus mengembangkan independensi, otonomi, dan
tanggungjawab.
|
Guru-guru harus (a) mengajar (b) menguji, (c) keluar dari cara/jalan.
Tidak pasif, Menolak godaan untuk memodel, , membantu, mengarahkan dan
mendesak.
|
Materi-materi unik: batang-batang yang berwarna, pengucapan-pengucapan
yang dikode dengan warna dan grafik/chart kosa kata.
|
Kombinasi dari yang inovatif dan yang konvensional. Terjemahan, kerja
grup, perekaman, transkripsi, refleksi, dan observasi, mendengarkan,
percakapan bebas.
|
Para pembelajar adalah anggota- sebuah komunitas. Belajar tidak diamati
sebagai prestasi/pencapaian individu, tetapi sesuatu yang dicapai secara
kolaboratif.
|
Konseling/analogi orangtua. Guru menyediakan lingkungan yang aman yang
siswa-siswanya dapat belajar dan berkembang tumbuh.
|
Tanpa buku teks, yang akan menghalangi / merintangi pertumbuhan.
Bahan/materi dikembangkan kemajuan kursus.
|
Aktivitas-aktivitas yang mempermudah input yang dapat dipahami, tentang
banyak hal disini dan sekarang. Berfokus pada makna, bukan bentuk.
|
Seharusnya tidak berusaha mempelajari bahasa dalam arti biasa,tetapi
seharusnya mencoba kehilangan diri mereka sendiri dalam
aktivitas-aktivitas yang melibatkan komunikasi yang penuh makna.
|
Guru adalah sumber primer dari input yang dapat dipahami. Harus
menciptakan iklim kegelisahan yang rendah. Harus memilih dan mengarang
campuran kaya akan aktivitas-aktivitas ruang kelas.
|
Materi-materi berasal dari realita daripada buku-buku teks. Sasaran
primernya adalah mempromosikan pemahaman dan komunikasi.
|
Inisiatif-inisiatif, pertanyaan, dan jawaban, permaian-peran,
mendengarkan latihan-latihan berdasarkan relaksasi yang dalam.
|
Harus menjaga keadaan pasif dan mempermudah materi-materi yang
dikerjakan pada mereka (daripada sebaliknya).
|
Menciptakan situasi dimana pembelajar dapat disarankan dan menghadirkan
bahan yang cenderung mendorong penerimaan positif.
|
Teks-teks, kaset-kaset, dan musik. Teks-teks mempunyai kekuatan,
kualitas terkait kesusasteraan, dan karakter menarik.
|
Mengikutkan para pembelajar dalam komunikasi, melibatkan proses-proses
seperti berbagi informasi, negosiasi makna dan interaksi.
|
Pembelajar sebagai negosiator, interaktor, memberi serta mengambil.
|
Fasilitator proses komunikasi, tugas-tugas peserta, dan teks-teks;
membutuhkan analis, konselor, dan manajer proses.
|
Peran primer dalam mempromosikan kegunaan/penggunaan bahasa
komunikatif; bahan-bahan yang berbasis tugas; bersifat otentik.
|
Prosedur Pembelajaran
Sejak Audiolingual terutama pendekatan
oral untuk pengajaran bahasa, tidak mengherankan bahwa proses pengajaran
melibatkan instruksi lisan yang luas. Ada lima prosedur dalam pelajaran
audiolingual khas.
1.
Siswa
pertama kali mendengar dialog model yang berisi struktur kunci yang menjadi
fokus dari pelajaran.
2.
Dialog
3.
Struktur
kunci tertentu dari dialog
4.
Siswa
dapat merujuk ke buku teks mereka, dan menindaklanjuti membaca, menulis, atau
kosa kata.
5.
Tindak
lanjut kegiatan
Langkah-langkah penyajian materi menurut
metode audiolingual secara umum sebagai berikut.
a.
Penyajian
dialog atau bacaan pendek yang dibacakan guru berulang kali. Siswa menyimak dan
tidak melihat pada teksnya.
b.
Peniruan
dan penghafalan dialog atau bacaan pendek dengan teknik meniru setiap kalimat
secara serentak dan menghafal kalimat-kalimat itu. Teknik ini disebut peniruan
penghafalan (mimicry-memorization technique atau mim-memtechnique)
c.
Penyajian
pola-pola kalimat yang terdapat dalm dialaog atau bacaan pendek yang dianggap
pendidik (guru) sukar karena terdapat strukur/ungkapan yang sukar. Ini dilatih
dengan teknik drill. Dengan teknik ini, dilatih struktur dan kosakata.
d.
Dramatisasi
dari dialog/bacaan yang sudah dilatih di atas. Siswa yang sudah hafal diminta
memperagakan di depan kelas.
e.
Pembentukan
kalimat-kalimat lain yang sesuai pola-pola kalimat yang sudah diberikan.
Kosakata sederhana dipelajari dalam
suatu konteks. Poin pengajaran ditentukan oleh adanya analisis antara B1 dan
B2. Terdapat banyak penggunaan laboratorium bahasa, kaset dan alat. Ada
perpanjangan periode pra-membaca di awal pelatihan. Sangat mementingkan
pronounsiasi. Penggunaan bahasa ibu oleh pengajar diperbolehkan agar memudahkan
pembelajar. Ketepatan tanggapan pembelajar sangat diperhatikan untuk
menghindari kesalahan. Ada kecenderungan untuk terlalu berfokus pada bahasa
target dengan mengabaikan isi dan makna kebahasaan.
Penurunan Audiolingual
Audiolingual mencapai periode yang
digunakan paling luas di tahun 1960-an dan diterapkan baik untuk pengajaran
bahasa asing di Amerika Serikat dan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua (asing). Keyakinan teoretis bahwa audiolingual dihasilkan dari perubahan
dalam teori linguistik Amerika di tahun 1960-an.
Kelebihan-kelebihan
metode audiolingual ini, antara lain :
a.
Siswa
menjadi terampil dalam membuat pola-pola kalimat yang sudah di-drill.
b.
Siswa
mempunyai ucapan atau lafal (pronouncation) yang baik dan benar.
Siswa tidak
tinggal diam, tetapi harus terus-menerus memberi respons pada rangsangan yang
diberikan oleh pendidik.
Kelemahan
metode audiolingual, antara lain :
a.
Siswa
cenderung untuk memberi respon secara serentak (atau secara individual) seperti
membeo, dan sering tanpa mengetahui makna dari apa yang diucapkan. Respon itu
terlalu mekanik.
b.
Para
siswa tidak diberi latihan dalam pemaknaan lain dari kalimat-kalimat yang
dilatih. Akibatnya, siswa hanya mengenal satu makna dari suatu kalimat dan
komunikasi hanya dapat lancar apabila kalimat yang digunakan diambil dari
kalimat yang sudah dilatih sebelumnya.
c.
Guru
harus berperan aktif dalam menentukan
semua latihan dan materi pelajaran di kelas karena pendidik mengetahui semua
jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan. Sedangkan siswa hanya memberi
respon pada rangsangan yang diberikan.
d.
Siswa
dianjurkan untuk berinteraksi secara lisan atau tulisan sebelum mereka
menguasai pola-pola kalimat yang lebih banyak.
e.
Jika
pada tahap permulaan siswa tidak atau belum mengerti makna dari kalimat-kalimat
yang ditirunya, tidak dianggap sebagai hal yang meresahkan. Padahal, meniru
tanpa mengetahui makna adalah suatu aktivitas yang sia-sia. Selain itu,
penghafalan pola-pola kalimat dengan lafal yang baik dan benar belum menjamin
bahwa siswa akan mampu berkomunikasi dengan wajar. Untuk itu, sangat diperlukan
bimbingan dalam mencapai kemampuan komunikatif ini.
Metode audiolingual mencapai puncak
ketenarannya pada tahun 1951-an dan permulaan tahun 1960-an. Tetapi, sesudah itu
para pendidik bahasa dan para ahli linguistik mulai mengecamnya dari dua
jurusan, yakni : (1) teori-teori yang mendasarinya (struktural dan
behaviorisme) dan (2) hasil-hasil pembelajaran yang kurang memuaskan karena
para siswa tetap belum lancar dalam berkomunikasi menggunakan bahasa.
E. Kesimpulan
Metode-metode yang berkembang dan
digunakan dalam proses pembelajaran
bahasa
pada masa audiolingualisme meliputi metode tata bahasa/terjemahan, metode
langsung, metode membaca, oral approach dan situational language teaching (pendekatan
lisan dan metode pembelajaran bahasa situasional) serta metode audiolingual
(dengan pendekatan berbicara dan mendengarkan). Tiap-tiap metode tersebut
tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan yang telah diuraikan pada bagian pembahasan.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu pula dengan metode-metode tersebut.
Namun, perlu diingat bahwa metode-metode tersebut secara silih berganti yang
pada suatu waktu diutamakan atau digemari orang dan tidak pernah terjadi sekali
pun suatu metode mengambil ‘monopoli’ dalam satu periode waktu. Dengan kata
lain, dalam penerapanmetode-metode tersebut dapat dikombinasikan satu dengan
lainnya. Hal ini tentunya juga dimaksudkan agar siswa atau pendidik tidak
mengalami kebosanan dalam proses pembelajaran bahasa.
[1] Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang
mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta), 2003, Hal. 98
[2]
Brown, H.D., Teaching by principles: An Active Approach to Language Pedagogy. (2nd ed.), (San Francisco: Addison
Wesley Longman, Inc.), 2001, Hal. 14
[3]
Richards dan Rodgers, Approach and Methode in Language Teaching, A Description
Analysis, (London: Cambridge University), 1999, Hal. 31-63)
[4]
Lave, J. and Wenger, E., Situated Learning: Legitimate Peripheral
Participation, (Cambridge, UK: Cambridge University
Press), 1991, hal. 1-4.
[5]
ibid. hal. 33-34
[6] Jan Herrington and Ron Oliver, Critical Characteristics of Situated
Learning: Implications for the Instructional Design of Multimedia, Edith Cowan University, j.herrington@cowan.edu.au
(1)
[7] Floding dan Swier, Legitimate Peripheral Participation: Entering A
Community of Practice.
http://journals.sfu.ca/rpfs/index.php/rpfs/article/view/116
[8]
Hayati, Nur. Pengembangan Silabus Pembelajaran
Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama di Kota Palembang,
(Palembang: FKIP-UNSRI), 2014. hal.Vii-viii
[9] J.C. Trueswell et al., Cognitive
Psychology 66 (2013) 126–156: 128
[10]
Ibid. Hal 129
[11] Mall-Amiri, Behdokht. 2013. Comparing The Performance Of Extrovert And
Introvert Intermediate Female Efl Learners On Listening And Reading Tasks. The
International Journal of Language Learning and Applied Linguistics World (IJLLALW)
Volume (3), July 2013 (page 16)
[12]
Brown, H. Douglas, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (New York:
Pearson Education), 2007, hal. 119-120
[13]
Dubin, F. & Olshtain, E., Course Design: Developing Programs and Materials
for Language Learning, (Cambridge: Cambridge University Press), 1997, hal.
34-35