ANALISIS WACANA KRITIS DAN SEMIOTIK IKLAN ROKOK SAMPOERNA MILD EDISI “TANYA KENAPA?”

BAB I
PENDAHULUAN

Iklan selalu hidup dan berada kapan saja dan di mana saja dalam kehidupan kita. Iklan dirancang sebagai headline yang memenuhi halaman depan surat kabar yang terbit secara berkala. Benyamin Franklin adalah orang pertama yang memperkaya informasi iklan dengan menambah ilustrasi sehingga efek iklan semakin kuat (Darmawan, 2005: 103-114). Di Indonesia, pada masa perkembangannya, bentuk iklan ber-sandar pada bahasa verbal yang tertulis dan tercetak.
Dalam tulisan yang tercetak, setiap kalimat adalah suatu pernyataan yang bisa diuji ulang, dicari relevansinya dengan kenyataan yang diacu dan diusut arah logikanya secara berulang-ulang guna menguji koheren-sinya. Akan tetapi, bahasa yang dipergunakan dalam iklan di media massa dan elektronik seringkali tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar.
Iklan memerlukan tampilan yang dikemas dengan bahasa membumi, kontekstual, dan ‘gaul’. Kondisi ini yang menye-babkan ada keprihatinan pada banyak kalangan. Ada yang berpendapat bahwa bahasa iklan tidak mesti sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi belum ada kriteria bagaimana sebaiknya bahasa iklan tersebut.
Pengembangan laras bahasa iklan menjadi daya tarik untuk tujuan ekonomi dalam ranah advertising. Selain itu, diharapkan melalui pene-laahan yang mendalam eksistensi bahasa iklan memberikan informasi yang positif yang dapat mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku yang dapat menyadarkan masyarakat untuk dapat memilah mana yang diperlukan sehing-ga tidak berperilaku konsumtif. Dengan kata lain, melalui pilihan kata yang tepat diharapkan iklan dapat memberi pembelajaran yang positif pada berbagai kalangan masyarakat Indonesia untuk malu melakukan sesuatu perbuatan, pekerjaan, kebi-asaan, dan tingkah laku yang kurang baik. Melalui sindiran, ejekan yang bersifat sarkasme dan sinisme mampu mengungkapkan kondisi sosial, budaya, politik, dan lain-lain. Seperti kita ketahui bahwa iklan-iklan seri tersebut selalu berisi kritik sosial. Dalam konteks ini, iklan rokok A-Mild mengusung brand rokok yang cerdas dan kritis terhadap kondisi masyarakat. Iklan A-mild ini unik sekaligus menghibur.
Pendekatan humor sering dipakai dalam sebuah iklan produk mungkin tujuannya agar produk yang diiklankan mudah di ingat oleh konsumen, apalagi dalam sebuah iklan produk rokok ada aturan bahwa tidak boleh menampilkan produknya dalam iklan oleh karena itu harus pandai-pandai menyiasatinya, salah satunya A mild dalam iklannya yang cukup tajam dan berani yaitu dengan mengunakan pendekatan humor serta didalamnya terdapat pesan berupa kritik.
Secara ringkas, tulisan ini akan memaparkan pilihan kata yang digunakan dalam bahasa iklan. Diharapkan melalui penelaahan lebih lanjut dapat ditentukan pola pilihan kata dalam wacana iklan berbahasa Indonesia seperti apa yang dapat menarik perhatian konsumen yang diungkapkan dalam bentuk yang singkat, diketahui makna acuan apa saja yang terkandung dalam wacana iklan berbahasa Indonesi. Tulisan ini adalan kajian singkat terhadap iklan berbahasa Indonesia.
Penulis mengambil data dari media cetak dan audiovisual. Data media tulis, penulis ambil dari surat kabar, spanduk, baliho, papan reklame, sedangkan data dari media elektronik penulis ambil dari iklan. Data dipilih secara acak sesuai dengan trend masyarakat. Data dan analisisnya masih sangat sederhana sehingga temuannya pun boleh jadi baru bersifat hipotetis. Kajian lebih lanjut dengan data yang lebih memadai, dengan kedalaman analisis yang lebih baik tentu akan dapat menjelaskan temuan dalam tulisan ini.
Berdasarkan paparan di atas, timbul pertanyaan:
1. bagaimana bentuk pilihan kata dalam wacana iklan berbahasa Indonesia dalam iklan rokok A Mild edisi ‘Tanya Kenapa’?
2. Makna acuan apa saja yang terdapat dalam pilihan kata wacana iklan berbahasa Indonesia dalam iklan rokok A Mild edisi ‘Tanya Kenapa’?

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Analisis Wacana Kritis
Menurut Douglas dalam Mulyana (2005: 3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana.
Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69) membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa. Menurut Kamus Linguistik Dewan Bahasa dan Pustaka (1997) dalam Tengku Silvana Sinar (2008: 5), wacana diterjemahkan sebagai discourse yaitu unit bahasa yang lengkap dan tertinggi yang terdiri daripada deretan kata atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan atau tulisan, yang dijadikan bahan analisis linguistik. Kata wacana berasal dari kata vacana ‘bacaan’ dalam bahasa Sansekerta. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru wacana atau vacana atau’ bicara, kata, ucapan’. Kata wacana dalam bahasa baru itu kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana ‘ucapan, percakapan, kuliah’ (Poerwadarminta 1976: 1144).
Kata wacana dalam bahasa indonesia dipakai sebagai padanan (terjemahan) kata discourse dalam bahasa inggris. Secara etimologis kata discourse itu berasal dari bahasa latin discursus ‘lari kian kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari, berjalan kencang’ (Wabster dalam Baryadi 2002:1). Wacana atau discourse kemudian diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik, wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat (Baryadi 2002:2).
Secara garis besar, dapat disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem, morfem, kata, klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto (2001: 4) ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis.
Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006: 12) mengatakan bahwa analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) juga merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Tampak adanya kurang komunikasi diantara kedua disiplin ilmu tersebut. Pada satu sisi, sosiolog cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam melihat fenomena sosial meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa.
Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips, 2007: 114). Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini (Jorgensen dan Philips, 2007: 116).
Dengan demikian, analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa karakteristik dan pendekatan.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana untuk memperjelas suatu maksud. Sarana yang dimaksud ialah bagian ekspresi yang mendukung kejelasan maksud dan situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat memperjelas maksud disebut ko-teks (co-text). Konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan kejadian lazim disebut konteks (context) ( Hallyday,M.A.K & Hasan R, 1976 : 29; Rustono, 1999 : 20; Rani, dkk., 2006 : 16).
Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, saluran (Alwi 1998:421). Konteks wacana meliputi:
a. konteks fisis (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa pada suatu komunitas, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari pada peran dalam peristiwa komunikasi itu.
b. konteks epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh para pembicara maupun pendengar.
c. Konteks linguistik (linguistic context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.
d. Konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar
(mitra tutur).
Wacana memiliki dua unsur utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal wacana berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal wacana berkaitan dengan unsur luar bahasa, seperti latar belakang budaya pengguna bahasa tersebut. Kedua unsur itu membentuk suatu kepaduan dalam satu struktur yang utuh dan lengkap (Paina, 2010: 53).
Unsur internal wacana terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud satuan kata ialah tuturan yang berwujud satu kata. Untuk menjadi susunan wacana yang lebih besar, satuan kata atau kalimat tersebut akan bertalian dan bergabung (Mulyana, 2005 : 9).
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang juga merupakan bagian wacana, tetapi tidak eksplisit, sesuatu yang berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal wacana itu terdiri atas implikatur, praanggapan, referensi, dan konteks (Paina, 2010: 54).
Pendekatan analisis wacana kritis menurut Eriyanto terdiri dari lima bagian yaitu analisis bahasa kritis, analisis wacana pendekatan Prancis, pendekatan kognisi sosial, pendekatan perubahan sosial, dan pendekatan wacana sejarah. Namun yang ingin dikaji oleh penulis disini hanya karakteristiknya saja yang terdiri dari lima bagian.
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks

3. Historis
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
4. Kekuasaan
Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana.
5. Ideologi
Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran.

B. Iklan
Iklan adalah produk tontonan yang dikemas dalam sebuah rangkaian yang berisi berbagai tanda, ilusi, manipulasi, citra, dan makna (Arixs, 2006). Informasi melalui iklan dinilai berpengaruh langsung maupun taklangsung terhadap persepsi, pema-haman, dan tingkah laku masyarakat (Darmawan, 2006).
Kata iklan didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berita pesanan untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; iklan dapat pula berarti pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang didalam media massa seperti surat kabar dan majalah (KBBI:322). Iklan memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi tentang penawaran suatu produk, gagasan atau jasa. Keberadaan suatu barang atau jasa diketahui konsumen lewat iklan. Iklan berusaha memberikan informasi tentang keunggulan, kelebihan, manfaat dan sifat yang diberikan barang, jasa atau gagasan yang dimaksudkan atau dianjurkan. Di sisi yang lain iklan merupakan alat persuasi agar konsumen membeli atau menggunakan barang, jasa atau gagasan tersebut. Berbeda dengan sebuah berita dalam suratkabar, iklan tidak sekedar menyampaikan informasi tentang suatu benda atau jasa, tetapi mempunyai sifat "mendorong" dan "membujuk" agar orang menyukai, memilih dan kemudian membelinya.
Dalam proses periklanan terjadi proses yang berkaitan dengan disiplin psikologi; mulai dari tahap penyebaran informasi sebagai proses awal, hingga ke tahap menggerakkan konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa adalah suatu proses psikologi. Iklan dapat dikatakan berhasil apabila mampu menggerakan konsumen untuk pertama kali saat melihat penampilan iklan tersebut; rangsangan visual dari penampilan iklan langsung mendapat perhatian dari pemerhati. Proses berikut adalah hadirnya penilaian akhir terhadap isi atau pesan dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan calon konsumen, yang memunculkan tindakan atau sikap sesuai dengan penilaian akhirnya.
Fenomena-fenomena sosial-budaya seperti fashion, makanan, furniture, arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan dapat dipahami berdasarkan model bahasa (Yasraf Amir Piliang,1995: 27). Menurut ancangan semiotik apabila keseluruhan praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya juga dapat dianggap sebagai "tanda-tanda" (signs). Dalam semiotika Saussurean 'tanda' merupakan dua bidang yang tak dapat ipisahkan, yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified) atau makna. Menurut semiotika Saussurean tanda harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti.
Studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Pragmatik merupakan tataran yang ikut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa.
Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (a) bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (c) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh pembicara; (d) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas (1995:2) memandang pragmatik dari dua sudut pandang, (1) sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara speaker meaning; (2) sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran utterance interpretation. Selanjutnya Thomas (1995:22) mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi meaning in interaction.
J.L. Austin (dalam Thomas 1995:31) melalui analisis perfor-matifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech act), berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsi-kan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran, benar-salah (truth condi-tion) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan, 2004:8).
Leech (1993:162) membagi tindak ilokusi dalam empat kategori, yaitu a. kompetitif, tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, missalnya:
a. memerintah, meminta, menuntut, dan mengemis;
b. menyenangkan, tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan, mengajak / mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan mengucapkan selamat;
c. bekerja sama, tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, melapor, mengumumkan, dan menga-jarkan;
d. bertentangan, tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi.

C. Studi semiotika
Studi semiotika adalah disiplin ilmu yang mempelajari makan dari tanda-tanda. Teori Semiologi yang juga disebut Semiotik mempunyai dua pengertian mendasar. Pertama semiologi signifikaansi dan yang kedua semiologi komunikasi atau semiologi pragmatik. Semiologi signifikansi adalah alat tafsir yang digunakan oleh masyarakat untuk memberi makna pada tanda-tanda. Sedangkan semiologi komunikasi juga alat tafsir yang digunakan oleh masyarakat untuk memberi makna pada tanda-tanda, tetapi mengkhususkan mengkaji makna-makna pesan yang disampaikan komunikator dalam proses komunikasi, jadi tanda mempunyai maksud tertentu yaitu pesan komunikator kepada komunikan, khalayak atau publik. Jika komunikasi adalah produksi simbol-simbol oleh manusia, maka semiologi adalah tafsir pesan dari seluruh produk pesan komunikator yang ditujukan secara jelas kepada komunikan dengan subyek berupa simbol-simbol komunikasi (Purwasito, 2003.).
Proses representasi sesuatu oleh tanda dengan istilah signifikasi atau semiosis, yang meliputiempat bagian sistem yaitu:
1. kondisi-kondisi objek di dunia
2. tanda-tanda
3. daftar respon-respon
4. seperangkat aturan-aturan persesuaian antara tanda-tanda dan objek-objek, dan antara tanda-tanda dan respon-respon.
Studi bahasa telah dipengaruhi oleh semiotik dan sebaliknya,keduanya saling berinteraksi dan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi keduanya. Bahasa oleh Saussure dipandang sebagai sistem terstruktur yang mempresentasikan realitas. Ia mengarahkan bahwa kajian-kajian mengenai bentuk, bunyi dan tata bahasa menjadi sangat penting dalam kajian atau studi-studi bahasa. Sekalipun tanda termasuk didalam bahasa, bahasa adalah arbiter, namun fungsi aktual bahasa tidak semua arbiter. Penggunaan bahasa membutuhkan konvensi yang mapan. Bahasa dalam istilah struktural merupakan sistem formal yang ketat. De Saussure memberikan penegasan bahwa kunci pemahaman dari mengenai sistem struktural bahasa adalah perbedaan. Elemen dan hubungan yang melekat dalam bahasa dibedakan dengan perbedaannya, baik dari bunyi, kata atau huruf ataupun tata bahasanya.

BAB III
METODE PENELITIAN

Pada bab ini dipaparkan secara berurutan pendekatan penelitian, sasaran, data dan sumber data, metode pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode pemaparan hasil akhir.
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini ada dua, yaitu secara teoritis dan secara metodologis. Secara teoritis yang digunakan adalah pendekatan analisis wacana, yaitu pendekatan yang mengkaji wacana baik secara internal maupun eksternal dengan tujuan untuk mengungkapkan kaidah bahasa yang mengkonstruksi wacana, pemproduksian wacana, pemahaman wacana, dan pelambangan suatu hal dalam wacana dalam fungsinya sebagai alat komunikasi.
Selain secara teoritis, digunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Bogdan dan Tylor (dalam Moleong 1989:3) mendiskripsikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, tentang orang-orang yang diamati. Dengan pernyataan lain Kirk dan Miller (dalam Moleong 1989:3) menyatakan penelitian kualitatif sebagai suatu tradisi dalam ilmu-ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan langsung atas manusia di lingkungan hidup mereka yang nyata. Alasan pemilihan pendekatan ini adalah karena penelitian ini berkaitan dengan data yang tidak berupa angka-angka, melainkan berupa penggunaan bentuk-bentuk bahasa berupa bentuk-bentuk verbal yang berwujud tuturan.
Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan deskriptif, artinya data yang akan dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi atau fenomena tidak berupa angka-angka koefesian tentang hubungan antarvariabel. Oleh karena penelitian ini tidak terkait dengan variabel-variabel terukur.

B. Sasaran
Sasaran atau objek penelitian ini berupa penggalan wacana yang diambil dari wacana yang berupa wacana tulis dalam iklan. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini berupa deskripsi mengenai tipe, jenis, wujud penanda referensial. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan data yang berwujud wacana tulis yang diindikasikan mengandung jenis dan wujud penanda referensial dalam iklan rokok A Mild edisi ‘Tanya Kenapa’.

C. Data dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah wacana tulis dalam iklan rokok A Mild edisi ‘Tanya Kenapa’. Pemilihan wacana dalam iklan rokok A Mild edisi ‘Tanya Kenapa’ sebagai sumber data dalam penelitian dengan pertimbangan, yaitu Indonesia di banjiri oleh beragam bentuk iklan rokok A-Mild. Sarana-sarana komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan pesan-pesan iklan A-Mild ini, antara lain melalui surat-kabar, majalah, papan-iklan, baliho, umbul-umbul, sticker-sticker sampai penutup ban mobil.

D. Metode Pengumpulan dan Teknik Analisis Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak merupakan cara pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih, yaitu metode yang alat penentunya merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan, yaitu berupa wacana tulis yang dibentuk dengan menggunakan bahasa. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung yaitu cara yang digunakan pada awal kerja analisis dengan membagi satuan lingual data menjadi beberapa bagian atau unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto 1993:31).

BAB IV
PEMBAHASAN

A mild merupakan produk rokok keluaran sampoerna yang mempunyai pangsa pasar besar di Indonesia khususnya konsumen para remaja ,banyak dari mereka menginginkan produk rokok dengan kadar nikotin rendah serta kemasan menarik tanpa mengurangi rasa kenikmatan itulah kesan yang ingin ditonjolkan dari produk rokok A mild sehingga menjadi icon rokok mild di Indonesia Kompetisi persaingan semakin ketat antara perusahaan rokok dalam berebut pangsa pasar rokok mild baik dari segi rasa, kemasan serta iklannya dibuat semenarik mungkin.
Sampoerna tidak hanya bergerak di bidang rokok saja tetapi sudah bergerak dalam bisnis sponsor, tujuannya untuk mengenalkan produk di international serta untuk memperluas pasar, serta ada tujuan lain yang berkaitan dengan kasino, lain di Indonesia melalui produk mildnya sampoerna cukup dengan mempertahan kan image produk Amild dalam benak konsumen melalui iklannya, seperti yang dapat kita lihat iklannya sekarang ini, iklannya tidak lagi gencar membujuk konsumen untuk membeli produknya tetapi cenderung hanya mengingatkan produknya kepada konsumen tentunya dengan kata-kata yang mudah diingat konsumen khususnya para perokok setia A mild, pokoknya kalau merokok harus A mild, kalau konsumen sudah begitu produk mild yang lain susah untuk menggeser posisi produk A mild pada konsumen.
Iklan A-Mild telah membuka kemungkinan multi-interpretasi dengan sangat terbuka. Teks tersebut, iklan A-Mild, menekankan pada ketidakstabilan makna-makna. Berbeda dengan tanda lampu lalu-lintas yang memiliki makna ideologis yang mapan. Maka tanda-tanda post-modern digunakan secara ironis, bahkan cenderung anarkis dan "tak bertanggung-jawab". Masyarakat konsumer saat ini justru senang bermain-main dengan tanda dan "makna" yang ironis atau makna yang skizofreniklah yang cenderung dibeli ketimbang nilai utilitas (nilai guna). Sebuah iklan A-Mild ternyata tidak semata-mata mempunyai fungsi untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan (rokok A-Mild), yang mempunyai "nilai-guna sebuah iklan" saja, melainkan iklan ini menghadirkan sebuah perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-suara, dari teks-teks lain, kode-kode lain. Karena memang sebuah teks post-modern (tampilan iklan A-Mild) bukanlah sebuah produk yang dihasilkan melalui suatu aturan atau kode yang kaku, yang bukan menjadi model yang tunggal.
Dengan mengacu pada interpretasi saja, iklan A-Mild memiliki arti yang beragam dan membawa pesan-pesan yang filosofis. Iklan A-Mild tidak hanya bermakna tunggal atau pesan pengarang melainkan sebuah ruang multidimensional yang didalamnya bercampur aduk dan berinteraksi berbagai macam tulisan dan tidak satupun diantaranya orisinil. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam suatu dimensi Kebangsaan, iklan tersebut mempertunjukan bagaimana suatu teks post-modern bersikap. Iklan-iklan tersebut tidak berbicara pada nilai utilitas sebagai suatu iklan yang mengundang masyarakat untuk membeli produk rokoknya yang meluas dan menembus pada dimensi-dimensi politik, kebangsaan, persatuan dan kesatuan bangsa.
Pesan tersebut mudah ditemukan dan terlihat di mana-mana. Pesan tersebut merupakan bentuk pemasaran iklan yang dibuat oleh salah satu merek dari produk rokok terkenal, A MILD. Redaksi pesan tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak pesan yang disampaikan oleh A MILD. Sebut saja yang lainnya, “Jalan Pintas Dianggap Pantas”, “Gali Lubang Tutup Lupa”, “Kalo Masih Banyak Celah Kenapa Harus Nyerah”, “Terus Terang, Terang Ga Bisa Terus-terusan”, “Mau Pintar Ko’ Mahal?”, “Susah Ngeliat Orang Seneng, Seneng Ngeliat Orang Susah” atau pesan berbau religius ketika di bulan Ramadhan, seperti “Ngobrol Jangan Cuma Setahun Sekali!” atau “Malu Sama Yang di Atas!” yang semua itu diakhiri dengan kalimat, “Tanya Kenapa?”
Jika kita baca, resapi dan pahami, pesan-pesan tersebut merupakan bentuk kritik moral terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah atau pun kepada sikap kita sehari-hari. Pesan-pesan yang ringan, santai dan tidak menggurui tetapi memiliki makna yang tajam dan mendalam. Tajam karena bersifat menggugat sesuatu yang umumnya biasa terjadi atau sering dilakukan tetapi justru merupakan sikap yang harus dirubah. Mendalam karena sangat menyadarkan kita, dan dengan perkataan akhir “Tanya Kenapa(?)”, menjadikan diri kita berintropeksi dan tergerak.
Perusahaan rokok semakin dibatasi kesempatannya dalam mengiklankan produknya, baik itu dalam hal ruang pemasaran maupun dalam hal waktu pemasaran. Perusahaan rokok dilarang memasarkan produknya serta tidak boleh menjadi sponsor kegiatan pada umumnya institusi pendidikan. Dalam mengiklankan pun perusahaan rokok tidak boleh menampilkan wujud rokok serta aktivitas merokok baik itu dalam visualisasi berupa gambar atau film pada media televisi, internet dan reklame ataupun suara pada media radio. Waktu pemasaran pun dibatasi, yaitu di atas jam setengah sepuluh malam sampai jam lima pagi, dengan asumsi anak-anak pada waktu tersebut tidak menggunakan media elektronik yang informatif (Peraturan Pemerintah No.38 Th.2000). Dan rokok pun dalam pemasarannya “wajib” menyertakan peringatan pemerintah bahwa merokok dapat merusak kesehatan.
Kebijakan tersebut (termasuk kebijakan pengontrolan perokok dan asap rokok dengan menyediakan smoking room khususnya di kota Jakarta) ada karena secara mendasar orang tahu bahwa rokok merupakan produk yang merusak kesehatan. Bahan yang ada pada rokok (banyak) merupakan racun yang tentu saja tidak baik dikonsumsi/ dihisap, dalam hal ini rokok merusak kesehatan dan berbahaya bagi keselamatan jiwa si penghisap. Saat merokok, orang menghisap kurang lebih 4000 bahan kimia dengan tiga komponen utama, yaitu: nikotin yang menyebabkan ketergantungan/ adiksi, tar (benzo-a-piren, piren) yang bersifat karsinogenik dan karbon monoksida yang afinitasnya sangat kuat terhadap hemoglobin sehingga kadar oksigen dalam darah (terutama bagi perokok pasif) berkurang -sumber: Health Departement of Western Australia dari Lembaga M3 (Menanggulangi Masalah Merokok). Jika hal tersebut terakumulasi akan menimbulkan penyakit kanker, impotent, atau merusak jantung, paru-paru, janin, kandungan dan lainnya –Peringatan Pemerintah, tertera pada kemasan dan penyampaian iklan rokok. Dari hal-hal tersebut kita (termasuk perokok aktif) sepakat bahwa rokok merupakan produk yang merusak kesehatan. Produk yang membahayakan keselamatan jiwa. Rokok bersifat mematikan.
Dengan tersosialisasikannya pengetahuan atau informasi itu oleh para pakar, praktisi, dan aktivis kesehatan (atau yang lainnya) pada khalayak umum baik itu melalui media elektronik dan cetak maupun melalui kegiatan seminar, diskusi dan kampanye, serta dengan adanya kebijakan pemerintah yang membatasi pemasaran/ iklan rokok, tidak membuat perusahaan rokok dengan tim kreatif dan marketingnya “kehilangan akal”. Di saat perusahaan lain (selain perusahaan rokok) memasarkan produknya dengan cara mengatakan dan menampilkan keunggulan-keunggulan produknya ditambah dengan slogan-slogan seperti “propaganda konsumtif”, rokok yang sebelumnya juga dianggap sebagai “teman” kesendirian, kecemasan, kepusingan dan stress (candu), kini hadir sebagai “teman” yang senantiasa menyapa kita dengan pesan-pesan yang mencerahkan, bermakna, berguna dan bermanfaat.
Dalam ilmu komunikasi, dikenal kajian semiotika dan representasi,dalam kajian semiotika itu kita dapat melihat bagaimana tanda bahasa (sign) dapat digunakan untuk menginterpretasi realitas disekitar kita dan menjadi alat yang bermanfaat untuk mengaanalisis makna dari teks pesan media sedangkan representasi dipahami sebagai produksi makna dari konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran manusia melalui bahasa, pertama seperti halnya yang ada dalam iklan A mild Tanya kenapa versi banjir,dalam iklan itu terdapat teks kalimat “tenang-tenang banjir segera tiba” dengan visualisasi orang berseragam pemerintah hanya melambaikan tangan seakan-akan merepresentasikan kurang pedulinya orang-orang dipemerintahan dalam mengatasi masalah banjir dinegara kita,kemudian yang kedua iklan A mild Tanya kenapa versi permohonan setempel dengan visualisasi orang sampai ketiduran sewaktu meminta stempel serta tingkah yang konyol dilakukan oleh pemberi setempel iklan ini merepresentasikan orang kecil yang tidak berdaya dan otoritas orang yang mempunyai wewenang dengan tingkah laku seenaknya pada pemohon stempel, betapa susahnya orang kecil untuk meminta setempel dengan birokrasinya yang dipersulit “harusnya gampang di bikin susah” yang sering terjadi dinegara kita jika orang kaya atau orang yang mempunyai kekuasaan meminta setempel harusnya susah malah dibikin gampang ,sebenarnya ada apa di balik itu? Kemudian untuk pengucapan slogan Tanya kenapa di back sound pengucapannya diganti dengan tanyaken kenapa kata ken ini merupakan tanda bahasa yang dapat menimbulkan makna mengingatkan kita pada jaman orde baru mantan presiden soeharto dalam pengucapannya sering mengganti kata kan menjadi ken dari situ dapat kita liha bahwa iklan A mild versi Tanya kenapa merepresentasikan masih adanya kebiasaan –kebiasan di jaman orde baru, menginterpretasi realitas dimana sampai saat ini belum ada perubahan di dalam birokrasi pemerintahan sejak jaman arde baru sampai yang sekarang ,sungguh luar biasa ide yang diciptakan pada iklan itu tidak rugi sampoerna membayar mahal untuk sebuah iklan kreatif dan unik.
Iklan A Mild dengan tema Tanya Kenapa? Versi “Siang Dipendam Malam Balas Dendam”

“Siang dipendam malam balas dendam”. Demikian tag line di sebuah media iklan. Iklan ini sungguh menarik. Tulisan berada di atas, di bawahnya tergambar sejumlah mangkuk, piring, gelas yang terbuat dari kaca tampak kosong. Tapi itu saat saya melintasinya di siang hari. Waktu malam harinya saya kembali melewati media iklan tersebut, tampak berbagai mangkok dan piring tersebut penuh dengan berbagai makanan yang menggiurkan.
Teknik iklan seperti itu dimungkinkan dengan penggunaan dua poster dalam satu iklan tersebut. Dimana poster yang berisi makanan berada di dalamnya akan menampilkan makanan apabila tersorot oleh lampu neon dari dalam. Ketika siang hari, dimana intensitas cahaya matahari tinggi, dan otomatis lampu neon di dalam iklan tersebut dimatikan, poster yang akan tampil adalah poster luar dimana yang ditampilkan hanyalah piring-piring kosong saja. Begitu “katanya” teknik untuk membuat poster iklan A-mild yang kreatif tersebut.
Dapat diasosiasikan tagline itu dengan suasana puasa ramadhan. Tagline itu menyindir umat muslim yang sedang berpuasa di siang hari tapi sering malah berpesta pora di malam harinya, dengan alasan balas dendam. Mudah-mudahan, mereka yang tersindir kemudian malah menemukan jalan hakekat puasa dan bukan malah menyerang dan merusak perusahaan iklan yang terkait.
Sejujurnya, iklan-iklan dari perusahaan yang terkait dengan iklan itu selalu menarik. Iklan dari rokok yang mengusung bendera “bukan basa-basi” dan “tanya kenapa” ini sejak dahulu tampil konsisten dengan tagline yang tajam menyindir dan mudah diasosiasikan oleh pembaca iklannya. Entah berapa persentase pembaca iklan yang terpengaruh oleh iklan ini dan berapa pula yang terkonversi menjadi pembeli bahkan menjadi customer loyal seperti halnya saya.
Iklan ini diasosiasikan dengan Sampoerna A Mild, salah satu varian produk dari HM Sampoerna Tbk, perusahaan rokok dari Surabaya yang kini telah dimiliki oleh Philip Morris International. Awal 2000-an, rokok ini harganya masih di kisaran seribu rupiah dan kini telah berlipat lebih dari sepuluh kalinya. Cukainya pun senilai 40 persen. Tinggal hitung saja berapa rupiah yang sudah disisihkan ke negara.
Bagi perusahaan rokok yang kian lama kian dimusuhi oleh publik, penampilan iklan semacam yang ditampilkan Sampoerna A Mild ini secara konsisten sejak bertahun-tahun yang lalu dan hingga sekarang saat berganti kepemilikan pun, akan tampil menyegarkan dan cerdas. Ketika iklan rokok tidak boleh tampil di publik lagi, orang akan senantiasa ingat akan iklan itu. Orang akan senantiasa ingat bahwa masih ada segelintir orang cerdas dan kreatif yang senantiasa mengingatkan rakyat negerinya bahwa kita sering berperilaku keliru. Berbeda dengan produk rokok lain, yang lebih menonjolkan keperkasaan, kegantengan, bahkan sebagai gaya hidup.
“Siang dipendam malam balas dendam”. Sindiran tagline ini sebenarnya tidak saja bagi pelaku puasa yang belum menemukan jalan hakekat puasa. Sindiran ini juga berlaku bagi masyarakat kita yang banyak berperilaku dua topeng. Saat bertemu muka berbaik muka. Saat tak ada di muka, kita lebih suka mengomel di belakang, bahkan mengambil jalan hitam yang culas, jahat dan penuh aroma balas dendam.
Pandangan masyarakat tidak tentu positif, ada saja yang menganggap iklan itu sangat tidak etis dan menyudutkan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Dalam konfirmasi yang dilakukan Head Of External Communication HM SAMPOERNA menjelaskan dalam membaca iklan itu harus secara komplit bahwa di iklan itu ditulis Siang Dipendam Malam Balas Dendam, Tanya Kenapa ? ini yang sering kali kata-kata "Tanya Kenapa" atau "Bukan Basa Basi" tidak dibaca sebagai satu kesatuan.
Maksud iklan itu justru kalau kita mau jujur berkata pada diri sendiri bahwa dalam menjalankan ibadah dibulan puasa apa mengerti arti dari nilai-nilai ramadhan atau hanya ikut-ikutan saja. Nilai-nilai ramadhan itu adalah Kesederhanaan, Berbagi dan Kumpul dengan keluarga. Kalau diperhatikan, “Siang Dipendam Malam Balas Dendam” bahkan sekarang menjadi fenomena berbuka puasa. Di tempat-tempat tertentu pada saat berbuka puasa justru ramai dan menimbulkan biaya yang tinggi sehingga nilai kesederhanaan malah tidak nampak di bulan ramadhan. Intinya Inilah cermin masyarakat. Tanya Kenapa ?
Jika masyakarat mengamati iklan-iklan A Mild selalu mengandung kata-kata dan selalu mempunya arti "bersayap" dan selalu menyadarkan orang bahwa ada nilai di balik iklan itu sendiri. Iklan tersebut tidak ada maksud untuk mendiskreditkan agama Islam"
Iklan A Mild dengan tema Tanya Kenapa? Versi “Gampang kok di bikin susah”.


Dalam versi tersebut di ceritakan ada seorang warga yang datang ke kantor kecamatan untuk mengurus administrasi. Ketika dia bertemu dengan staf kantor tersebut paras muka sang staf tersebut menunjukkan ekspresi yang tidak ramah, dan warga tersebut menyodorkan berkas administrasi untuk di sahkan. Namun yang terjadi adalah staf tersebut tidak langsung melayani permohonan tersebut, tetapi malah menunda dengan alasan yang tidak jelas, sehingga karena terlalu lama menunggu sampai-sampai warga tersebut tertidur. Di gambarkan staf kantor kecamatan melakukan kegiatan yang memperlambat proses administrasi tersebut, seperti makan, minum, baca koran, sampai di tinggal tidur. Padahal hanya dengan memberikan stempel, proses tersebut tidak memakan waktu yang lama, mungkin hanya beberapa menit saja proses tersebut dapat terselesaikan.
Dalam proses penyampaian pesan pada iklan tersebut tedapat hal yang unik dan menarik. Dalam memasarkan produknya iklan rokok tersebut menggunakan pesan yang tidak biasanya digunakan oleh iklan-iklan rokok yang lain. Jika biasanya iklan rokok identik dengan petualangan, sosok seorang lelaki perkasa, dan hal-hal yang meningkatkan adrenalin. Iklan rokok A Mild menggunakan pesan yang mengkritisi realitas sosial dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan salah satu dari tujuh tradisi dalam Teori Komunikasi, yaitu tradisi kritis. Dalam tradisi tersebut dikemukakan bahwa pesan-pesan yang disampaikan cenderung berkaitan dengan ideologi, dialektika, penindasan, kebangkitan kesadaran, resistansi, dan emansipasi.
Pesan yang sangat dominan pada iklan A Mild versi “Gampang kok di bikin susah” tersebut ialah tentang penindasan dan dominasi kekuasaan. Penindasan dapat kita lihat dari adanya adegan seorang warga yang dipersulit saat meminta pengesahan dari staf kantor camat tersebut. Sedangkan dominasi kekuasaan dapat dilihat dari adanya staf yang merasa memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam memberikan pelayanan kepada warga, sehingga warga di anggap tidak memiliki eksistensi.
Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, kita sering menemukan kejadian-kejadian seperti kasus di atas. Banyak instansi-instansi pemerintah yang sangat buruk terhadap pelayanan masyarakat, contoh halnya di kantor polisi, kantor kecamatan, dsb. Masyarakat cenderung harus melalui prosedur yang berbelit-belit, sehingga menyusahkan warga. Hal ini berkaitan dengan adanya birokrasi yang terlalu rumit sehingga memerlukan waktu yang lama dalam mengurus suatu kepentingtan. Pada dasarnya birokrasi yang berbelit tersebut dapat dihilangkan atau dipotong dengan adanya kebijakan dari pemerintah pusat. Sehingga masyarakat dapat menerima pelayanan yang bagus dan tidak berbelit-belit. Dengan demikian, citra dari instansi pemerintah akan bagus di mata masyarakat. Dan yang perlu untuk ditekankan adalah bahwasalnya pemerintah seharusnya jangan terlalu sewenang-wenang terhadap masyarakat pada umumnya, sehingga masyarakat dapat merasakan kemudahan-kemudahan pada setiap pelayanan. Mentalitas dari orang-orang di pemerintahan harus bersih dan profesional
Iklan A Mild versi Harusnya Gampang di Bikin Susah, A Mild versi Banjir Kok Jadi Tradisi, A Mild versi Jalan Pintas di Anggap Pantas. Peneliti mencoba memilih iklan A Mild versi Taat Cuma Kalo Ada Yang Liat karena disamping ada unsur humor yang digunakan untuk menarik perhatian audiens juga terdapat makna pesan-pesan yang ditampilkan secara tersembunyi yaitu mengenai kritik social pada perilaku pelanggaran.
Iklan A Mild dengan tema Tanya Kenapa? Versi "Harusnya Gampang Dibikin Susah" dan "Taat Cuma Kalo Ada yang Liat". Iklan Sampoerna A Mild di televisi memang merepresentasikan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Presentasi tersebut mengandung ideologi tentang sistem kapitalisme yang menindas kaum terdominasi. Dengan mengangkat permasalahan-permasalahan sosial A Mild telah berhasil menciptakan market stories di kalangan konsumennya.
Untuk mengetahui bentuk kritik sosial apa saja yang ada pada iklan A Mild versi Taat Cuma Kalo Ada Yang Liat peneliti menggunakan analisis semiotik dua tingkatan untuk mengetahui maknanya. Tingkatan pertama adalah pemaknaan denotasi sedangkan pada tingkatan kedua yaitu pemaknaan pada tingkatan konotasi. Pada tingkatan konotasi makna tersembunyi pada iklan akan tampak.


Iklan rokok A Mild versi “Taat Cuma Kalo Ada Yang Liat” mengandung makna bahwa telah terjadi banyak pelangaran yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya dari kalangan kelas social yang tinggi beserta pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri yang menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. Itu bisa dilihat dari tanda yang terdapat pada iklan saat aparat dengan sengaja menjebak seseorang untuk melakukan pelanggaran sementara dia penegak hukum itu sendiri bukannya mencegah terjadinya pelanggaran melainkan membuat seseorang untuk melakukan pelanggaran. Sementara si pelanggar sendiri melakukan pelanggaran jika tidak ada saksi.
Iklan sampoerna A Mild “Tanya kenapa” versi “Taat Cuma kalo ada yang liat” ini , visualisasi iklan menceritakan tentang seorang gadis yang membawa mobil Honda Jazz. Sekilas gadis itu tampak ragu apakah akan berbelok atau tidak, sementara di depannya terpampang dengan jelas rambu lalu lintas “dilarang berputar“. Akhirnya si gadis tersebut dengan beberapa pertimbangan yang dibuatnya, dia pun nekat berputar arah.
Setelah berputar, tiba-tiba saja dari balik semak-semak ada suara peluit. Peluit siapa itu? Ya tidak lain dan tidak bukan (atau bukan sulap bukan sihir?) adalah peluit polisi lalu lintas. Dan muncullah sosok polisi tersebut. Memang sikapnya baik seperti kebanyakan polisi yang menegur pengendara yang “nakal”.
Polisi : ”Siang Mbak….. Nggak lihat rambunya?”
Gadis : “Lihat”
Polisi : ”Lalu kenapa masih dilanggar?”
Gadis : “
Kan
…nggak ada yang jaga…..”
“Tanya Kenapa…Tanya Kenapa…..“
Berdasarkan visualisasi iklan rokok Sampoerna A Mild “Tanya Kenapa” versi “Taat Kalo Cuma Ada Yang Liat” ini dapat kita ambil beberapa hal:
1. Masih banyak pelanggar lalu lintas di negeri ini.
Kita semua masih harus mengakui bahwa tingkat kesadaran berlalu lintas di negeri kita ini masih sangat sangat rendah. Tidak perlu bicara tentang data. Setiap hari kita berjalan dengan menggunakan kendaraan, pasti saja kita bisa melihat bahwa ada saja yang melanggar lalu lintas. Dari mulai kendaraan umum yang berhenti tidak pada tempatnya (kadang berhenti pun juga agak ke tengah sehingga menghalangi kendaraan lain yang hendak melaju), kendaraan umum yang “ngetem” seenaknya, saling serobot di lampu merah, memakai bahu jalan di jalan tol, dan masih banyak lagi. Belum lagi sangat tidak disiplinnya pengendara sepeda motor. Misalkan sepeda motor ingin berputar arah tetapi tanpa mengantisipasinya dengan mengambil posisi kanan. Akibatnya, kalau tidak mencederai kendaraan lain, perselisihan atau bahkan perkelahian di tengan jalan pun bisa terjadi.
2. Banyak aparat kepolisian yang memanfaatkan keadaan ini.
Apa yang ada di benak kita apabila ada polisi yang menghentikan kendaraan? Apa yang kita pikirkan? Itu kalau kendaraan pribadi. Bagaimana kalau yang kita lihat itu adalah truk atau mobil box? “Tanya Kenapa” pada diri kita sendiri. Jangan berbicara mengenai “teori-teori” yang dikatakan pejabat polisi lalu lintas bahwa polisi kita melindungi masyarakat. Mereka tidak pernah merasakan di”semprit” polisi atau dianggap “bermasalah” dengan polisi. Mereka tidak tahu kondisi di lapangan, tidak tahu rasanya ”diperas” oleh polisi. Atau bahkan mereka hanya mengatakan bahwa itu hanya oknum saja. Bagaimana kalau dibalik, katakan bahwa polisi yang bersih itu adalah “oknum”? Dengan analogi bahwa yang namanya oknum itu sedikit atau sebagian atau segelintir saja, maka bisa dikatakan bahwa polisi lalu lintas yang benar-benar berkomitmen menjalankan tugasnya hanya sedikit. Bahkan sesuai dengan iklan tersebut, istilah “polisi ngumpet” pun memang ada.
3. Adalah kenyataan di lapangan bahwa masyarakat Indonesia, kalau tidak ada polisi yang menjaganya, nyaris yang namanya “hukum rimba” itu berlaku.
Pada saat kondisi lalu lintas semrawut, siapa kuat dia menang. Memang tidak semuanya bertindak demikian. Bahkan beberapa mobil yang bisa dikatakan kelas menengah ke atas, bisa berani bertindak nekat. Kesalahan di sistem atau peraturan yang kurang tegas, kesadaran berlalu lintas kita yang rendah, mudahnya orang yang melanggar peraturan dapat memberi “uang damai” kepada polisi meskipun tidak semua polisi bertindak demikian.

BAB V
KESIMPULAN

Iiklan A-Mild memperlihatkan suatu fenomena bahwa makna itu sudah mati karena iklan A-Mild menawarkan interpretasi yang sangat terbuka bagi siapa saja yang akan menikmatinya. Makna pada sajian gambar dan teks iklan A-Mild tidak memiliki ikatan-ikatan yang ideologis, stabil dan mapan, bahkan ironis.
Efek-efek kelucuan atau absurditas biasanya dihasilkan dari distorsi atau plesetan ungkapan yang ada. Meskipun parodi adalah suatu bentuk imitasi, akan tetapi imitasi yang ditandai oleh kecenderungan ironik. Parodi adalah penggunaan kembali karya masa lalu yang dimuati dengan ruang kritik, yang menekankan pada kritik, sindiran, kecaman, sebagai ungkapan rasa tidak puas atau sekedar menggali rasa humor dari karya rujukan yang bersifat serius. Namun, sajian gambar yang ditampilkan sungguh menggelikan, sebuah humor telah dipresentasikan. Kemudian apa yang terjadi pada hubungan antara teks, gambar dan produk yang dipasarkan, penanda/signifier gambar tidak memiliki makna yang jelas, membingungkan dan bahkan sangat ironik.
Sampoerna A Mild mengajak konsumennya untuk tidak ragu bersikap kritis terhadap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat. Hanya saja, dalam iklan-iklannya tersebut Sampoerna A Mild cenderung menghindari efek negatif rokok bagi konsumen sehingga fakta bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan konsumen tertutupi dengan citra kritis yang melekat erat dengan produk tersebut. Kendati demikian, sekritis apapun iklan tetap menyembunyikan kepentingan tertentu. Di balik wacana kritis yang dikumandangkan, terselubung ideologi dan kepentingan terkait dengan kapitalisme. Meski, di satu sisi A Mild mengkritik fenomena yang mentradisi di masyarakat, di sisi lain A Mild justru menciptakan tradisi tersendiri, yaitu tradisi merokok dan perilaku konsumtif.
Dengan cara ini diharapkan akan semakin memantapkan citra positif perusahaan di benak masyarakat luas yaitu sebagai sebuah institusi yang mempunyai tanggung jawab sosial, citra positif perusahaan tersebut diharapkan juga akan melekat pada produk Sampoerna A Mild di benak masyarakat sehingga dapat meningkatkan penjualan produk.


DAFTAR PUSTAKA

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.

B.H. Hoed. 1992. Dampak Komunikasi Periklanan, Sebuah Ancangan Dari Segi Semiotika. Seminar Semiotika, Jakarta.Baryadi Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli.

Bambang Kaswanti, (ed). 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Brown, Gillian., George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Burhan Bungi,. 2006. Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana

Darmawan, Ferry. “Posmodernisme Kode Visual dalam Iklan Komersial”. Jurnal Komunikasi Mediator. 2006.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS

Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta : Jalasutra.

Asim Gunarwan. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.

Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta : UI Press.
Lukmana dan E. Aminuddin Aziz dan Dede Kosasih. 2006. Linguistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nurhayati, Eva. upt@pustakaupi.or.id URN etd-1221105-100307. Kajian Wacana Iklan Berbahasa Indonesia di Radio Ditinjau dari Sudut Pragmatik. Bandung:UPI.

Paina. 2010. “Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa: Kajian Sosiopragmatik”. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Piliang. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Modernisme. Bandung : Penerbit Mizan,
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Silvana Sinar, Tengku. 2008. Teori dan Analisis Wacana : Pendekatan Sistematik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda.
Thomas, Linda., & Shan Wareing. 2007. Bahasa Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Tri Sulistyaningtyas. 2008. Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik . Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008

Yasraf Amir Piliang. 1995. Jurnal Seni Rupa. Volume I/95, hal.27.
Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
http://www.Kompas.com/Kompas-cetak/0611/18/humaniora/3101490
http://peni-usd.vox.com/Library/post/Kegiatan belajar-2-bahasa-iklan-html.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer