sampai juni 2012

Tangisan Tambatan Jembatan

Lesap purnama terhapus mega berarak, hanya bayang semu
Igau melaju menjelma desau peluru, tembus segala penjuru

Yang mana lagi akan kau lukai. Tak ada sisa hati dapat tersakiti
Untuk dikenangkan runtuhan cerita lara sepanjang jalan, koyak moyak
Nanar senyuman gadis di pertigaan. Lanskap keindahan tinggal sejarah
Ibarat prasasti yang teguh berdikari di balik pagar berduri sepi prosesi

Risak gerimis dan kilat melilit langit, jamah resah-belah gundah
Utopis melukis senja yang mewarna merah, asmara berdarah
Sejak sebaris bias sajak tak menjadi berarti. Diterbangkan badai
Lenyap terbawa deras arus sampai karam, mati setangkai puisi
Ini kali tak ada muara, tiada tepi, tanpa melankoli romantisasi

Gajahwong, 02-2012


Menampar Angin
: Li Yuni R.

Wanita tak berhati, setubuh tiada degub jantung
Hanya gumpalan darah tanpa sekat dan ruang
Untuk kusinggah ketika raga telah goyah
Sebab resah menjajah ke segala celah

Wanita tak berhati melari hari-hari
Melesat meninggalkan derita tersakiti
Sejak jejak sajak terhapus tamparan angin
Tak ada lagi cerita pijak kaki di sepanjang jalan

Wanita tak berhati menuai badai hilang tuju
Dikirim kemari lewat tarian serumpun bambu
Meliuk di lekang cuaca, hadang di padang perang
Sedang aku menjemur murung terpasung mendung

Papringan, Maret 2012


Maaf, Masih Ada . . .
: LYR.

Pisau membelah jengah
Keris mengiris-iris risau
Sembilu menyayat nyata pilu
Pedang menantang padang radang
Peluru menembus ruas rusuk, hati terburai
Senjata apa lagi bisa membunuh penuh harap
Sebab perisai sebentuk hati takkan tertandingi

Aku menanti jawab di balik pintu yang pilu, menantang
Ruang bertelanjang remang semakin mengangkang
Dinding mencumbu cicak, mencakar seisi kamar
Berolok dalam ratap sebisanya, binasa tersia-sia
Lalu sekawanan anjing memakan bangkai puisi
Dan sisanya dikuburkan dalam -
Dalam . . .

Papringan, Maret 2012


puisi cinta tanpa tanda baca
LYR

ada jarak yang menjejak
sampai kutub dalam hati kita

betapa bias batas nyata dan maya
sampai segala terlepas dari masa bersama
dan sesat di pekuburan masih saja percuma
sampai yang baru terbujur layu tak seirama
lalu catatan lama serupa kata pertama
sampai terlupa ruparupa tanda baca

sampai berkesudahan di mana akhir kisah
ada antara yang semestinya bisa diterabas
sampai benarbenar tandas perahu kertas
lalu namanama yang tertulis tak lagi dieja
sampai frasa demi frasa serasa serangkai puisi
cinta yang baik dan benar tanpa tanda baca

maret 2012


Naik Komidi Putar
(malam sehati – tiada hati)

Kita ada di sana sama-sama sadar di lingkar tangan
Dada berdetak seirama langkah jejalan kita
Untuk sesekali mengikut kota yg tergesa
Oleh mereka yang menjual tulang untuk ditukarkan
Selaksa rombengan tawa dan tawar bahkan raungan
Barangkali masih menyisa cerita untuk bisa dibagi,
Ada peramal malam menjaja cita dan cinta di hamparan
Lenyap dalam sekumpul bual, aku mual oleh putaran
Komidi putar membayang rona seterang tengah bulan
Beriring mewarna lelangit berdebu dengan sorak-sorai
Cahaya maya di jeruji jiwa jumawa, sewaktu
Kita baru saja menghibur diri
Naik komidi. Malam Sekati, sehati kita
Mengamati si bocah tampak atas
Dengan gula-gula dan balon di timangan
Tak ada tangis, hanya tawa riang
Dalam lingkar bayang. Kita beranjak
Ada romansa kolong waktu sedang kasmaran
Saling pandang, kita duduk berhadapan;
“Memusingkan; walau pusing memikir kamu lagi apa
Ngapain aja. Tapi, senang, cinta, dan suka di dekatmu”
--
Dinding ini mencipta jeruji, di komidi tak jenaka kini
Matanya basah, raganya lungkrah, darahnya mengalah
Pada kungkungan cahaya beda warna, berputar ke bawah
Paling dasar, mengusirnya keluar dari lingkaran tanpa sisa
Tanpa hati                  
Tanpa caci                  
Tanpa . . .

Yogyakarta, 2012


Kamis Sore
:Li Y.R.

Kelana senja perjalanan paripurna
Kita langkahi dengan sebait hati dan hati
Kendara rasa menua dipasung sungsang
Dan lelaki yang sama tinggal sebatang
Sedang perempuan matahari dikangkang
Tertinggal masa tak pernah berganti warna
Putih helai kertas tanpa sebaris puisi
Semua padamu jua akan akhir cerita
Tentang segala rasa yang sara
Sengsara menanggung sengketa
Ketika kata membabi-buta menjelma luka
Ah, tentu jalan ini tak bisa dieja tanpa rambu
Luasnya hati, sedang meratap tepian curam
Rumpun bambu tumbuh di batu-batu
Horison yang selalu keemasan
Tak mungkin aku sendiri ke seberang
Karena kupaham harap, kasihku
Telah terbang layang kembali ke sarang
Aku dan kendaraku hanya bisa terpaku
Menyaksikan ia menghadang laju gaharu
Baiklah, kita turuti jejalan ini
Tapi, kau hendak henti, berbalik arah
Lalu kau lempar aku ke kedalaman
Tanpa sela, tanpa cela
Di senja ini sukmaku berlalu, lara
Dan malamnya tersisih ke tepian jalan
Dan sukmaku turut terbang sebagai
Beribu kelelawar, hitam merajam dendam
sedang di sana ia memangsa sepi
Sepi yang baru, sangat baru

Cepitbaru, 7 Juni 2012


Rudatin
:Li Y.R.

Pegang erat ruas jemari
Akan kusimak sajak kota tua
Melodi patah hati menyesakkan setiap rongga dada
Hilang kenyamanan seisi kota di ujung fatamorgana
Lepas segala cengkeram yang mengekang, bagimu
Hanya jiwa yang pasrah pada sebaris serapah
Jatuh merengkuh tanah, hujan senja tadi
Ia menyerah kalah, sumarah pada sejarah

Jejalan meraung garang, gedung menantang gaung
Engkau riang di luar ruang, sedang aku meradang

Solo, Juni 2012



Penguji
:Li Y.R.

setiap lembaran yang akan diujikan
esok pun seakan menjadi tissue, basah
oleh tangis dan tetesan air mata

terima kasih telah menguji sebelumnya
ujian yang sebenarnya

Karangmalang, 130612


MATAHARI
: Li Yuni Rusli

Sesak menjejak setumpuk sajak
Hancur berkeping, di hamparan berserak
Dipanggang matahari yang sangsi, membakar semak
Bunga layu dihempas seteru saat beranjak semerbak
Sisanya diterbangkan angin kemarau, baru saja sebabak

Akan lama, tak seperti kisah lalu. Sesuatu yang baru
Jika saja matahari tak seterik ini, akan aku tunggu
Ketika awan putih menari pada angkasa membiru
Itu hatiku yang merindu menunggu di balik pintu
Untuk sejumput senyuman dan bujuk rayu

Aku harap rerintik menghapus derita daun jendela
Dan embun di dedaunan dihempas panas segala
Meski sangat pagi kala itu. Di ufuk masih juga jingga
Kau tahu, tetesan embun itu adalah sisa air mata
Kutumpahkan di bumi pertiwi, tumpah darah kita

(hari kemarin atau esok sama saja hari ini
duka dan suka menjadi seirama lagu,
matahari di luar, matahari dalam hati
menyatu dalam kepiluan sukmaku)

Papringan, Juni 2012

Komentar

Postingan Populer