Puisi Pilihan Penyisihan dan Final




 Chairil Anwar
AKU

Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943

  
Sutardji Calzoum Bachri
PERJALANAN KUBUR

Luka ngucap dalam badan
Kau telah membawaku ke atas bukit
Ke atas karang ke atas gunung
Ke bintang-bintang
Lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
Untuk kuburmu alina

Untuk kuburmu alina
Aku menggali-gali dalam diri
Raja darah dalam darah mengaliri sungai-sungai
mengibarkan bendera hitam
Menyeka matari membujuk bulan
Teguk tangismu alina

Sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
Laut pergi ke laut membawa kubur-kubur
Awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
Hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
Membawa kuburmu alina

 
Sapardi Djoko Damono
SELAMAT PAGI INDONESIA

selamat pagi Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu
akupun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku kepadamu
dalam kerja yang sederhana

bibirku tak bisa mengucapkan kata-kata yang sukar
dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan,
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku

seekor ayam jantan menegak dan menjeritkan salam padamu,
kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya,
akupun pergi bekerja, menaklukkan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu

pada setiap matahari terbit, o, anak jaman yang megah,
biarkan aku memandang ke timur untuk mengenangmu,
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta,
khianat, dan pura-pura

selamat pagi, Indonesia,
seekor burung kecil memberi salam kepada si anak kecil,
terasa benar: aku tak lain milikmu



Ahmadun Yosi Herfanda

SEMBAHYANG RERUMPUTAN

walau kaubungkam suara azan
walau kaugusur rumah-rumah tuhan
aku rumputan takkan berhenti sembahyang
:inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi rabbil ‘alamin

topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi

sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan badan
yang rindu berbaring di pangkuan tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan habis-habisan

walau kautebang aku
akan tumbuh sebagai rumput baru
walau kaubakar daun-daunku
akan bersemi melebihi dulu
 aku rumputan kekasih tuhan
di kota-kota disingkirkan
alam memeliharaku subur di hutan

aku rumputan
tak pernah lupa sembahyang
:sesungguhnya shalatku dan ibadahku
hidupku dan matiku hanyalah
bagi allah tuhan sekalian alam

pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
pada tanah akar kupertahankan
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
menggetarkan jagat raya
: la ilaaha illalah
muhammadar rasululah

aku rumputan kekasih tuhan
seluruh gerakku adalah sembahyang
     1992


Sutardji Calzoum Bachri
TANAH AIR MATA


Tanah airmata tanah tumpah dukaku
Mata air air mata kami
Airmata tanah air kami

Disinilah kami berdiri
Menyanyikan airmata kami

Di balik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Di balik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami

Kami coba simpan nestapa
Kami coba kuburkan dukalara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana

Bumi memang tak sebatas pandang
Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Kemanapun melangkah
Kalian pijak airmata kami
Kemana pun terbang
Kalian kan hinggap di airmata kami
Kemanapun berlayar
Kalian  arungi airmata kami

Kalian sudah terkepung
Takkan bisa mengelak
Takkan bisa kemana pergi
Menyerahlah pada kedalaman airmata kami




Taufiq Ismail
MEMBACA TANDA-TANDA


Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara  abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak asam arang
dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Air
Mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu


Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukannya



Ahmadun Yosi Herfanda
NYANYIAN KEMERDEKAAN

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu tak mampu lagi menyebut namamu

Berabad-abad aku terlelap
Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung        
Yang semula Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar    
Yang terkunci pintu-pintunya
Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya

Berikan suaramu, kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang kupilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia

Orang asing itu berabad-abad
Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro
Bangkitlah semua dada yang terluka
“Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.”

Suaramu sayup di udara
Membangunkanku dari mimpi siang yang celaka

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Atau mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap udara yang tak bertiup
Dari rahimmu, kemerdekaan

Jantungku hampir tumpas
Karena racunnya

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia!
(Matahari yang kita tunggu        Akankah bersinar juga Di langit kita?).
Mei  1985
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil


Toto Sudarto Bachtiar
GADIS PEMINTA-MINTA
 
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah-jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di air yang kotor, tetapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

                                                Suara, 1962

Agus R. Sarjono

Sajak Palsu

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

1998

GUGUR
Puisi. W.S. Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak.
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya.
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya.
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
Menatap musuh pergi dari kotanya.
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
diantaranya anaknya .
Ia menolak
dan tetap merangkak
Menuju kota kesayangannya.
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Belum lagi selusin tindak
Mau tpun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata:
”Yang berasal dari tanah
kembali repah pada tanah.
Dan akupun berasal dari tanah:
tanah Ambarawa yang kucinta.
Kita bukanlah anak jadah
kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang”.
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa.

Orang tua itu kembali berkata:
”Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan
buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun akan berkata:
- Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Haripun lengkap malam
Ketika ia menutup matanya



 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer