Senin, 28 Maret 2011

EVOLUSI SISTEM LOKAL PROPINSI YOGYAKARTA: Mengapa Daerah Istimewa Yogyakarta Harus Tetap Istimewa?**


Evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu. Contoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat meramu.
Menurut Soerjono Soekanto, terdapat tiga teori yang mengupas tentang evolusi, yaitu: Unilinier Theories of Evolution: menyatakan bahwa manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu, dari yang sederhana menjadi kompleks dan sampai pada tahap yang sempurna.
Universal Theory of Evolution: menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Menurut teori ini, kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu.
Multilined Theories of Evolution: menekankan pada penelitian terhadap tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya, penelitian pada pengaruh perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke pertanian.
Perubahan revolusi merupakan perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada kehendak atau perencanaan sebelumnya. Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Dalam revolusi, perubahan dapat terjadi dengan direncanakan atau tidak direncanakan, dimana sering kali diawali dengan ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan.
Revolusi tidak dapat terjadi di setiap situasi dan kondisi masyarakat. Secara sosiologi, suatu revolusi dapat terjadi harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain adalah: Ada beberapa keinginan umum mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.
Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat. Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya adalah bahwa tujuan tersebut bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Misalnya perumusan sesuatu ideologi tersebut. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk memulai dengan gerakan revolusi. Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat) yang dipilih keliru, maka revolusi apat gagal.
            Pada Jumat 26 November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat kabinet terbatas di kantornya mengatakan tidak pernah melupakan sejarah dan keistimewaan DIY. Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Maka itu harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi. Pernyataan ini yang mungkin menuai kontroversi. "Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi," kata SBY.
Sejak sebelum Indonesia merdeka, baru kali ini Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan. Status sebagai Daerah Istimewa itu merujuk pada runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.
Sehari sesudah Soekarno dan Muhamad Hatta memproklamirkan bangsa ini pada 17 Agustus 1945, spirit keistimewaan DIJ mulai tumbuh. Ibarat akar sebatang pohon, keistimewaan DIJ terus tumbuh menjalar dari waktu ke waktu. Sebagaimana pohon, akar itulah yang menyangga sebatang pohon tetap kokoh berdiri. Tak berlebihan, jika kemudian banyak kalangan mengatakan keistimewaan DIJ merupakan benteng terakhir dari tegak dan bertahannya NKRI. Tanpa penggabungan diri Kasultanan Jogjakarta dan Paku Alaman, sangat mungkin terjadi enclave atau ada negara di dalam negara. Artinya, tak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti diketahui, peradaban bangsa ini terbentuk oleh serangkaian evolusi zaman kerajaan demi kerajaan. Sebelum tahun 1945, Kasultanan Jogjakarta yang berdiri pada 1755 Masehi juga merupakan kerajaan besar dan merdeka pewaris kejayaan Mataram Islam.
Campur tangan pihak kolonialisme Belanda, Jepang dan Inggris adalah bagian dari perjuangan para raja Mataram dan kawulonya. Kesan tunduk raja kepada kolonialisme di zaman itu, bukan berarti seratus persen terjajah. Tetapi, merupakan bentuk perlawanan non fisik agar tak jatuh banyak korban jiwa. Sampai pada masa Sultan HB IX, Kasultanan Jogjakarta adalah bumi merdiko. Sultan HB IX yang naik tahta pada 18 Maret 1940 harus menghadapi pergantian zaman pendudukan Belanda ke Jepang. Tahun 1942, Belanda kalah perang melawan Jepang. Dari tangan Belanda, Nusantara kembali jatuh di tangan penjajahan Jepang. Sementara, Sultan HB IX menolak tawaran pihak Belanda untuk mengungsi ke Australia guna menghindari pendudukan Jepang. Sultan HB IX kukuh memilih tetap bersama rakyatnya dan mengambil langkah langkah penting. Sultan HB IX segera membenahi struktur pemerintahannya.
Kekuasaan yang diberikan oleh Belanda kepada patih Danurejo, diambil-alih. Lalu dengan berbagai perubahan, Sultan HB IX kembali dilantik oleh Jepang pada 1 Agustus 1942. Diberi wewenang penuh mengurusi pemerintahan kerajaan. Jepang menyebut pemerintahan kerajaan Kasultanan Jogjakarta sebagai daerah istimewa. Dalam istilah Jepang, daerah istimewa disebut kochi. Inikah awal mula lahirnya konsep keistimewaan DIJ? Benteng Terakhir NKRI Pada perkembangannya, kepengurusan daerah istimewa atau kochi Kasultanan Jogjakarta diberikan oleh Kepala Pemerintahan Militer yang dijabat Kepala Staf Tentara Jepang, Gunseikan. Sultan mendapat kewenangan lebih luas, sehingga pada 1944 kekuasaan yang semula dipegang oleh Pepatih Dalem dipecah menjadi enam jawatan. Pada 1945, jawatan itu dipecah lagi menjadi tujuh jawatan. Jawatan jawatan itu, oleh Sultan HB IX disebut paniradya. Pejabat kepalanya disebut paniradyapati. Jepang menyebut paniradyapati sebagai kyokuco. Pani berarti tangan dan radya berarti negari atau pemerintahan. Paniradya berarti lembaga pemerintahan di bawah Sultan. Munculnya wacana lembaga pararadya dalam konsep monarkhi konstitusional pada kemelut RUUK DIJ, sudah pasti akan ditolak. Pasalnya, lembaga itu akan menempatkan jabatan Sultan sebagai raja merosot menjadi hanya setingkat patih atau lebih rendah dari gubernur atau kepala daerah. Berada di bawah pendudukan Jepang, Nusantara semakin tertindas dan sengsara. Namun di Jogjakarta, penderitaan tak separah di tempat lain. Banyak kalangan sejarawan mencatat, kemampuan Sultan HB IX dalam mengayomi rakyatnya telah banyak menyelamatkan nyawa kawulonya. Tak hanya itu, Sultan HB IX bahkan berhasil mendapatkan bantuan Jepang untuk membangun irigasi yang kini terkenal disebut Selokan Mataram.
Sampai pada 18 Agustus 1945, sehari setelah gema proklamasi kemederkaan RI, Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII segera mengirim ucapan selamat dan dukungan kepada proklamator Soekarno-Hatta dan kepada ketua BPUPKI, Dr. KRT. Rajiman Wedyodiningrat. Soekarno segera menanggapi dukungan Sultan HB IX dengan mengirimkan Piagam Penetapan Kedudukan Jogjakarta. Ditandatangani oleh Soekarno selaku presiden RI di Jakarta, pada 19 Agustus 1945. Intinya, piagam itu menetapkan Sultan HB IX pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sultan HB IX akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerah Jogjakarta sebagai bagian NKRI. Menyusul kemudian Maklumat 5 September 1945, yang dibuat secara terpisah oleh Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII.
Jogjakarta yang berbentuk kerajaan merupakan daerah istimewa dan bagian dari NKRI. Segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Sultan HB IX. Hubungan pemerintahan Jogjakarta dengan pemerintahan NKRI bersifat langsung dan Sultan HB IX bertanggung-jawab kepada presiden RI. Ketika Badan Komite Nasional Daerah Jogjakarta terbentuk pada 29 Oktober 1945, sehari berikutnya Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII yang menyadari pentingnya kesatuan dan persatuan kembali mengukuhkan integrasi Jogjakarta kepada NKRI dengan membuat secara bersama-sama, Maklumat 30 Oktober 1945.
Sebuah Amanat yang menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan satu Daerah Istimewa Negara RI yang dipimpin oleh dua Kepala Daerah (HB IX dan PA VIII). Pada tahun 1945 itu, Pemerintahan di Yogyakarta telah mengeluarkan beberapa Maklumat yang di dalamnya memuat penegasan status Keistimewaan Yogya. Contohnya adalah Maklumat No 8 yang ditandatangani oleh HB IX, PA VIII, dan Moh Saleh (7 Desember 1945), pada butir 1 terdapat kalimat “...Komite Nasional Pusat Daerah Istimewa Yogyakarta....” Masih di tahun 1945, muncul pula UU No 1/1945 yang penjelasannya menyatakan sebuah Daerah Istimewa bernama Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta (meliputi Kasultanan Yogya, Kasultanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, Kadipaten Mangkunegaran). Rupanya pernah ada upaya untuk menjadikan wilayah-wilayah dari empat Praja Kejawen itu menjadi sebuah Daerah Istimewa ‘Mataram’. Status Keistimewaan Yogya semakin menguat selama tahun 1946, sementara upaya untuk menetapkan Daerah Istimewa ‘Mataram’ tidak kesampaian. Status Keistimewaan Yogya semakin diteguhkan secara politis setelah Ibukota RI diungsikan ke Yogya sejak tanggal 4 Januari 1946. Pada tahun itu, seperti disinggung oleh Slamet Sutrisno (KR, 17 Maret 2008) Kasultanan dan Pakualaman Yogya ibarat seorang ibu yang dengan sabar mengasuh dan menyelamatkan bayi NKRI. Beberapa Maklumat Pemerintahan Yogya yang terbit pada tahun 1946 menegaskan status Keistimewaan Yogya. Maklumat No 14, No 15, dan No 17 (11 April 1946) menegaskan status Daerah Istimewa Negara RI Yogyakarta yang meliputi Kasultanan dan Pakualaman Yogya dengan HB IX dan PA VIII sebagai Kepala Daerahnya. Pada Maklumat No 18 (18 Mei 1946) jelas-jelas disebut tentang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Melalui Maklumat No 18 ini ditegaskan bahwa DIY yang terdiri dari Kasultanan dan Pakualaman adalah satu (sebuah) Daerah Istimewa. Upaya untuk menjadikan empat Praja Kejawen menjadi sebuah Daerah Istimewa ‘Mataram’ tidak pernah terwujud meskipun muncul Penetapan Pemerintah No 16/S.D Tahun 1946 (15 Juli 1946).
Keistimewaan Jogjakarta pun semakin dipertegas dengan Maklumat No 6/1948 dan Maklumat No 10/1948, yang menyatakan daerah Istimewa Jogjakarta sebagai bekas daerah swapraja sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Keistimewaan DIJ juga kian diperkuat lagi dengan UU No 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dan jabatan gubernur yang bersifat melekat pada Sultan yang bertahta. Keistimewaan DIJ dengan berbagai landasan yuridis tersebut, bukan sekedar penghargaan kosong tanpa peran. Sejarah di awal terbentuknya NKRI sungguh menampakkan peran besar Sultan HB IX dan rakyatnya dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Ini tampak ketika ibukota negara berpindah ke Jogjakarta karena alasan keamanan pada 3 Januari 1946, yang ternyata kemudian disusul oleh kedatangan Belanda pada 19 Desember 1948. Soekarno-Hatta terpaksa menyingkir lagi ke Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Kedatangan Belanda itu mengoyak kemerdekaan RI. Pada saat genting inilah Sultan HB IX beserta rakyat Jogjakarta tampil sebagai benteng terakhir dari tegaknya NKRI.
Selama Belanda berusaha menanamkan kukunya, Sultan HB IX melakukan berbagai strategi gerilya. Tak bergeming dengan tawaran Belanda yang akan menjadikan beliau sebagai raja se-Jawa. Sebaliknya, Sultan HB IX justru menyusun rencana untuk mengadakan serangan terhadap Belanda, yang kemudian terkenal dengan Serangan Umum 1 Maret. Berbagai langkah Sultan HB IX membuahkan hasil. Belanda kemudian hengkang dari Jogjakarta pada 29 Juni 1949. Peristiwa ini kemudian dikenang dalam Peringatan Jogja Kembali. Lalu, pada 30 Juni 1949, Sultan HB IX membacakan kembali teks proklamasi kemerdekaan RI sebagai wujud kesetiaan kepada NKRI dan pengobaran semangat. Proklamasi kedua itu juga merupakan langkah Sultan HB IX agar kedaulatan RI tetap diakui dunia internasional.
Realitas sejarah inilah yang sungguh menempatkan Jogjakarta sebagai benteng terakhir NKRI di awal kelahirannya dan di saat-saat paling gawat. Sementara itu, Soekarno-Hatta baru kembali ke Jogjakarta pada saat keadaan sudah aman pada 6 Juli 1949.
Faktor yang paling menyebabkan terhapusnya swapraja di Surakarta adalah gerakan anti swapraja yang dimotori oleh PKI dan golongan-golongan kiri lainnya. Pada waktu itu, HB IXdan PA VIII di satu sisi secara tegas menyatakan keinginan untuk menjadikan Kasultanan dan Pakualaman sebagai satu Daerah Istimewa (DIY), namun di sisi lain juga menghormati kebijakan Pemerintah Pusat yang ingin menjadikan keempat Praja Kejawen di atas sebagai sebuah Daerah Istimewa (Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta). Ternyata, sejarah memang mengarah pada pembentukan DIY. Tahun 1947 dan 1948 merupakan masa pembangunan sistem pemerintahan di DIY. Muncul UU No 17/1947 (7 Juni 1947) tentang Pembentukan Hamin te - Kota Yogyakarta yang mengatur bahwa Kota Yogyakarta merupakan sebuah daerah otonom (kabupaten-kabupaten di DIY baru dinyatakan otonom pada tahun 1950). Pemerintahan Haminte - Kota Yogya terdiri dari DPR Haminte (Dewan Kota), Dewan Eksekutif Haminte Kota, dan Walikota. Menurut Soedarisman Poerwokoesoemo (1984), pembentukan Haminte - Kota Yogya pada hakikatnya memisahkan Haminte itu (yang semula adalah Kabupaten Kota Yogya ditambah beberapa wilayah yang termasuk Kabupaten Bantul) keluar dari wilayah DIY. Selanjutnya, pada tahun 1948, muncul UU No 22/1948 yang mengatur lebih lanjut tata pemerintahan di DIY. Undang-undang inilah yang kemudian dijelaskan dalam UU No 3/1950 yang berkaitan dengan Pembentukan DIY. Tahun 1949 merupakan masa genting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Melalui Serang Umum 1 Maret 1949, Yogya menyelamatkan eksistensi RI di mata dunia. Sekali lagi Yogya menunjukkan peran istimewanya dalam perjuangan RI sehingga Presiden Soekarno mengatakan bahwa hal itulah yang membuat Yogya termasyur. Melalui UU No 1/1949 dibentuklah Daerah Militer Daerah Istimewa Yogyakarta dengan PA VIII sebagai Gubernur Militernya. Pada masa-masa darurat itu, HB IX menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI. Kemudian, pada tanggal 30 Juli 1949 dikeluarkanlah PP Pengganti UU No 1/1949 yang menurut Soedarisman Poerwokoesoemo (1984) menjadikan Haminte Kota - Yogya kembali berada di bawah DIY. Klimaks penegasan Keistimewaan Yogya terjadi pada tahun 1950. Terbitnya UU No 3/1950 (3 Maret 1950) jelas-jelas memutuskan tentang status final Daerah Istimewa Yogyakarta. Sayangnya, UU itu baru menetapkan tentang Urusan Rumah Tangga DIY (Bab II, pasal 4-6), dan belum menetapkan masalah kepemimpinan dan prosedur suksesinya, dan sebagainya. q - c. (Bersambung hal 15) Final Decision Sejarah Keistimewaan Yogya (1945-1950) di atas menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut.
Pertama, pada awalnya, secara konstitusional Negara sangat “memandang” dan “mengingat” hak-hak “asal usul” dan “susunan asli” setiap daerah istimewa di Indonesia (UUD 45 Pasal 18 sebelum diamandemen).
Kedua, Keistimewaan Yogya adalah konsekuensi logis dari keputusan politik dua raja Yogya untuk berintegrasi dengan RI.
Ketiga, pengakuan terhadap Keistimewaan Yogya terakselerasi oleh political will yang tegas dan tangkas dari Presiden Soekarno yang dengan serta merta memberikan “Piagam Kedudukan” kepada HB IX dan PA VIII sebagai dwi tunggal pemimpin Yogya.
Keempat, Keistimewaan Yogya adalah visi dan keputusan tegas dari HB IX dan PA VIII, terlihat dari Amanat-amanat dan Maklumat-maklumat yang dikeluarkan. Kelima, Keistimewaan Yogya benar-benar diperjuangkan oleh HB IX dan PA VIII bukan dalam rangka makar namun justru dalam rangka menjadi pilar bagi berdiri tegaknya NKRI. Jadi, Keistimewaan Yogya adalah visi dan keputusan final dari pihak Yogya yang direspons sangat positif dan relatif cepat meskipun suasana pada masa itu (1945-1950) sangat genting.
Sepeninggal wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1988 di Washington, Pemerintah Pusat lalu menunjuk Wakil Gubernur saat itu yaitu Sri Paduka Paku Alam VIII untuk merangkap menjadi penjabat kepala pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta sampai waktu yang tak ditentukan. Pada tanggal 26 Agustus 1998, kawula Ngayogyakarta mendaulat Sri Sultan HB X untuk ditetapkan sebagai Gubernur. Lalu sepeninggal wafatnya Paduka Paku Alam VIII pada tahun 2001, selanjutnya pada pada tahun itu juga, putra beliau yang menggantikan beliau sebagai Paku Alam IX juga didaulat oleh rakyat Yogyakarta untuk ditetapkan sebagai Wakil Gubernur di Propinsi DI Yogyakarta.
Sementara itu, payung hukum berupa UU dari Pusat (NKRI) belum ada (satu pun) yang secara khusus dibuat untuk Yogyakarta. Tata aturan dari Pusat untuk mekanisme pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Yogyakarta belum ada. Bila untuk aturan khusus dalam wilayah ‘sempit’ itu saja belum ada, tentu belum ada pula UU untuk Yogyakarta yang mencakup sifat Keistimewaan propinsi ini secara lebih luasnya lagi itu.
Sudah terbukti dalam beberapa kali momentum bahwa rakyat Yogyakarta menghendaki suatu ‘keistimewaan’. Bukannya rakyat Yogyakarta tidak tahu, tidak mau tahu, atau tidak mau mentaati aturan hukum yang berlaku secara umum di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Sebuah bentuk otonomi dalam suatu tingkatan atau aspek tertentu, tentu saja masih diharapkan. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah; bahwa nilai kearifan lokal Yogyakarta musti dihargai. Propinsi kecil dengan hanya sekitar enam juta-an penduduk ini memiliki nilai-nilai musyawarah tradisional dan tradisi kedekatan antara rakyat dengan Sultan-nya dalam budaya. Banyak penduduk Yogyakarta (terutama para Kepala Desa/Lurah yang tergabung dalam paguyuban Ismaya (Ing Sedya Memetri Asrining Yogyakarta) merasa khawatir bahwa Pilkada Langsung akan mengganggu kerukunan dan harmoni kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta yang selama ini terjaga. Padahal, bukankah Pilkada Langsung itu bila benar akan diselenggarakan juga belum tentu akan menghasilkan sesuatu yang nyata bagi kesejahteraan rakyat, bagaimanapun hasilnya dan siapapun yang terpilih.
Posisi Sultan sebagai pengayom (pelindung) budaya, dengan sebagai Gubernur, memang terlanjur menjadi satu kesatuan dalam benak sebagian besar rakyat Yogyakarta. Pelaksanaan demokrasi prosedural mengikuti konstitusi yang berjalan dengan demikian dianggap belum tentu akan mencapai tujuan demokrasi secara substansial. Lebih daripada kesemuanya itu, semua hal terkait hal-hal ini memang belum ada aturannya dari Pemerintah Pusat, padahal Propinsi Yogyakarta masih menyandang nama Istimewa.
Kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah menyusul penyelenggaraan Pilkada bukan mustahil menjadi kekhawatiran para Kepala Desa di propinsi Yogyakarta yang tergabung dalam Ismaya itu, bilamana Pilkada itu juga akan terjadi di Yogyakarta. Nilai adiluhung hubungan antara rakyat dengan pemimpin yang sekaligus dianggap sebagai pelindungnya sebagaimana hingga sampai saat ini masih dirasakan banyak kalangan rakyat, justru dikhawatirkan akan dapat ‘ternodai’ dengan diselenggarakannya Pilkada. Demikianlah kiranya yang banyak menjadi pemikiran di kalangan kawula alit tradisional.
Sejak/pada tahun 2003 Gubernur DIY atas nama PemDa Propinsi DIY juga telah mengajukan draft Rancangan Undang-undang (RUU) kepada Pemerintah Pusat perihal Keistimewaan yang “dalam pemikiran yang berjalan” ini. Setahu saya, yang dipercaya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk memimpin tim penyusunan draft usulan RUU itu adalah Dr. Affan Gaffar, akademisi dari Fisipol UGM. Affan Gaffar meninggal dunia tidak terlalu lama dari sejak usulan draft itu diajukan ke Pemerintah Pusat.
Hingga tahun 2008, draft usulan (dan telah disampaikan) tersebut sama sekali belum masuk dalam Agenda Pembahasan DPR (Pusat). Baru September 2008 lalu, Pemerintah c.q. Kementerian Dalam Negeri dan lewat Sekretariat Negara secara resmi mengajukan RUU itu ke DPR. Menteri Dalam Negeri Mardianto memberikan keterangan kepada pers setelah melakukan pertemuan dengan Komisi II DPR.
Pemerintah Pusat, juga para anggota DPR di Senayan tidak peduli propinsi Yogyakarta ini mau Istimewa atau tidak. Buktinya, sejak tahun 2003 usulan RUU Keistimewaan tidak pernah diperhatikan. Di sini, tampaklah kepentingan lagi-lah yang berbicara. Orang-orang Pusat tidak merasakan adanya kepentingan untuk mengurusi Yogyakarta. Seakan bila ditanya ”Bagaimana tentang Yogyakarta?” Jawaban mereka: “Wah, itu tidak penting.” “Biar saja diurus oleh Sultan. Kalau Sultan mau berkelahi dengan politikus lokal setempat ya silakan” “Kalau di antara sesama warga Yogyakarta sendiri terjadi perbedaan pendapat yang meruncing, lalu terjadi bentrokan di tingkat bawah ya silakan. Biar Yogyakarta ada ramenya dikit, deh. Selama ini kan adem-ayem terus.”
Dalam kondisi seperti itu, Sultan seperti disepelekan. Padahal, Sultan adalah seorang Raja, keturunan langsung raja-raja besar dinasti Mataram. Sultan juga masih dihormati di kalangan para keluarga keturunan raja-raja Nusantara. Kawula Ngayogyakarta yang siap ‘sendika dhawuh Sinuwun’ juga banyak. Maka pada 7 April 2008, Sultan pun merajuk. Sultan bilang kalau ia tidak mau lagi dicalonkan sebagai gubernur. Tentu saja lewat forum Pisowanan Ageng. Lalu dalam sebuah acara ulang tahun Partai Golkar di Yogyakarta, Sultan menyatakan bahwa pernyataan ketidak-sediaannya itu hanyalah ‘manuver politik’).
Selain gusar, tampaknya Sultan juga gamang, bingung dan gugup. Sultan salah tingkah, lebih salah-tingkah daripada saat ia dapat kabar bahwa rating-nya bagus dalam pollling CaPres.
Jadi, dalam hal mekanisme pengangkatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan gak mau kalau dicalonkan; tetapi, kalau ditetapkan ya, ia akan siap.
Untuk menentukan keputusan final akan hal ini, dapat saja langsung dilakukan ‘Referendum’ = Penentuan Pendapat Rakyat (=Pepera), untuk mengetahui bagaimana yang diinginkan oleh rakyat Yogyakarta sendiri. Apapun yang hendak dibilang orang di muka bumi ini, apapun kata dunia bahawa mereka orang Jawa, kawula Ngayogyakarta, apapun yang akan dibilang orang akan tetap teguh dalam kesetiaan untuk terus memeluk nilai-nilai budaya kami yang kami junjung tinggi. Yogyakarta adalah komunitas budaya yang sejak dulu hingga sampai kapan pun sepanjang mampu, akan rela siap sedia menjadi benteng terakhir nilai-nilai ketimuran.
Manunggaling Kawula lan Gusti, dalam arti menyatunya rakyat dengan pemimpinnya, adalah sesuatu yang dirasakan, hayati, nikmati dan dijalin. Itu adalah sebentuk surga ketenteraman yang diciptakan sebagai olah rasa, karsa dan cipta budaya masyarakat Yogyakarta yang telah mengakar kuat. Adalah bagai dalam puncak kenikmatan surgawi ketika rakyat dengan pemimpinnya/Raja-nya tercipta hubungan saling percaya-mempercayai, saling cinta-mencintai. Ikatan hubungan batin itu terjalin mesra dan tulus sembari menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan masing-masing..
Telah tiba kini saatnya gelombang ketergiuran akan kebendaan itu telah menggerus nilai-nilai indah adiluhung itu. Kepercayaan rakyat kecil yang benar-benar tulus tanpa reserve harus diatur dalam mekanisme-prosedural dengan apa yang menamakan dirinya akuntabilitas. Sebagai kawula Ngayogyakarta seyogyanya mampu memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada para pemimpin kami, juga para leluhurnya.
Sejak beberapa minggu terakhir ini, setelah Yogyakarta diluluhlantakkan bencana Merapi, kini pun diguncang dengan “Keistimewaan DIY”. Posisi dasar pemerintah berkaitan dengan Undang Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta atau tentang pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertama-tama pilarnya adalah sistem nasional yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang Undang Dasar telah diatur dengan gamblang termasuk dalam pasal 18.
Kedua, harus sungguh dipahami keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri dari bentangan sejarah dari aspek-aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus, sebagaimana pula yang diatur dalam Undang Undang Dasar yang harus nampak dalam struktur pemerintahan keistimewaan itu.
Ketiga, negara adalah negara hukum dan negara demokrasi. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi, democratic values, tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.
Sistem nasional dan keutuhan NKRI, keistimewaan yang harus dihormati dan harus dijunjung tinggi di Yogyakarta, dan implementasi nilai-nilai demokrasi untuk negeri yang itupun sesungguhnya secara implisit juga terkandung dalam UUD 45.
Kalau disimak apa yang saya sampaikan waktu itu, Gubernur DIY mesti dipilih secara demokratis atau otomatis ditetapkan sebagaiamana yang diperdebatkan dengan hangat dewasa ini. Sekali lagi kepada masyarakat luas, untuk memeriksa, membaca, atau mendengarkan kembali, kalau yang punya rekaman, pernyataan saya pada tanggal 26 November itu di depan sidang kabinet.
Seolah-olah Presiden SBY mengahalang-halangi Pak Sultan untuk menjadi gubernur kembali di Yogyakarta untuk lima tahun berikutnya lagi setelah masa perpanjangan beliau selesai pada bulan Oktober 2011 mendatang.
Bersama DPR RI akan disusun dan ditetapkan dalam undang-undang adalah keistimewaan Yogyakarta dalam arti yang utuh dan menyeluruh yang dalam Undang Undang yang telah miliki dewasa ini belum diatur secara eksplisit. Jadi, bukan hanya soal kedudukan, kekuasaan, masa jabatan dan cara pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIY, meskipun itu penting. Apakah nantinya dipilih secara demokratis atau otomatis langsung ditetapkan dalam proses pembahasan antara DPR RI dan pemerintah yang juga akan mendengarkan pandangan dan masukan dari masyarakat luas.
Hal yang dimaksudkan dengan keistimewaan DIY yang tengah dipikirkan dan wadahi nanti dalam undang undang mendatang. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan sisi pemerintahan dan sekaligus nantinya posisi gubernur dan wakil gubernur yang pas dan khusus bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentang penghormatan, perlakukan khusus dan peran istimewa bagi pewaris Kesultanan dan Pakualaman secara permanen. Selamanya, diatur sekaligus dalam undang undang. Tentang hak ekslusif pengolahan tanah di Yogyakarta, baik yang menjadi otoritas Kesultanan maupun Pakualaman dan tata ruang khusus pula bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tentang upaya pelestarian budaya dan warisan sejarah yang harus dijunjung tinggi dan sejumlah elemen keistimewaan lain yang perlu pengukuhan agar pasti dan berlaku selamanya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Itulah sesungguhnya keistimewaan yang dalam cara pandang pemerintah hendak dirumuskan, dan nantinya dibahas bersama-sama DPR RI dalam proses politik yg diatur oleh Undang Undang Dasar maupun undang undang.
Pemerintah berpendapat bahwa Undang Undang tentang Keistimewaan DIY juga mesti mencakup kepemimpinan, baik yang sedang memimpin sekarang ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Pakualam IX, termasuk suksesinya nanti jika kedua beliau itu berhalangan tetap di masa depan. Undang undang tentu tidak hanya mengatur masa kepemimpinan dan pemerintahan kedua, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Pakualam saja, tetapi juga mengatur suksesi kepemimpinan yang tentu akan terjadi kelak di kemudian hari.
Dengan demikian Undang-undang ini justru berlaku ke depan dan tidak situasional sifatnya karena tidak diatur dalam undang undang, persoalan suksesi lantas menjadi masalah di kemudian hari. Tapi satu hal, aturan dalam suksesi ini tentu pemerintah akan sangat mendengar pandangan dari Pak Sultan sendiri, dari Pak Pakualam sendiri beserta kerabat Kesultanan dan Pakualaman lain. Beliau-beliau lah yang memiliki otoritas, yang lebih tahu bagaimana proses mekanisme dan kearifan. Semua hal inilah yang ingin disusun dan tuangkan dalam RUU. Mana tatanan yang paling baik dan yang paling tepat, baik dan tepat bagi Daerah Istimewa Yogyakarta, baik dan tepat bagi negara Republik Indonesia menganut konstitusi dan menganut sistem nasional.
Elaborasi dan dinamika yang hangat baik di masyarakat luas, baik di Yogyakarta, di Jakarta, maupun di tempat-tempat lain di negeri ini, dari semua elemen penting dari keistimewaan Yogyakarta, yang menjadi perhatian publik dan sekaligus menjadi perdebatan akhirnya mengarah pada opsi pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Ada yang berpendapat yang tepat adalah pengangkatan secara otomatis tanpa pemilihan, itulah istimewanya. Ada yang berpendapat yang lain, tetap pemilihan secara demokratis tapi tunjukkan juga keistimewaan bagi Yogyakarta. Mungkin ada alternatif yang lain, ada varian lain yang mungkin belum dibahas.
Undang Undang Dasar pasal 18B ayat 1, untuk dimana titik temunya. Pasal 18B ayat 1 dalam Undang Undang Dasar 1945 dikatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Silahkah carikan titik temunya.
Bagi yang berpendapat bahwa yang paling baik adalah model penetapan langsung, otomatis saja, ditetapkan, saya berharap temukan pula dengan pasal 18 ayat 4 Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi dan walikota dipilih secara demokratis.
Apapun model dan opsi yang dipilih jangan lupa memberikan hak peran dan peluang yang besar kepada para pewaris Kesultanan dan Pakualaman. Sejarah mengatakan demikian. Keistimewaan Yogyakarta juga bisa ditarik dari sisi itu dan yang penting pula bagi pemerintah dan harapan saya juga bagi DPR RI ketika kelak mulai membahas secara formal hendaknya sungguh memperhatikan pandangan dan masukan dari berbagai pihak di negeri ini, baik dari kalangan Yogyakarta, maupun sekali lagi dari kalangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Pemerintah hendaknya menentukan posisi tentang ini semua, tentang elemen-elemen mendasar dari keistimewaan Yogyakarta ini yang akan diajukan ke DPR RI untuk dilaksanakan pembahasan bersama. Tetapi pada akhirnya nanti, apapun yang akan menjadi kesepakatan bersama antara DPR RI dan pemerintah, pemerintah akan tunduk, pemerintah akan menghormati dan pemerintah akan menjalankannya. Itulah hakikat dan makna dari demokrasi.
Pemerintah menyiapkan RUU ini dengan niat yang baik serta dengan pikiran yang jernih dan rasional. Dan apapun nanti yang menjadi pilihan negara, pemerintah akan menghormati, tunduk, dan menjalankannya. Kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk warga ‘kerajaan’ Daerah Istimewa Yogyakarta untuk semuanya kembali tenang, tetap berpikir dan bertindak jernih, menghormati proses dan mekanisme pembuatan undang undang, masukan, dan rekomendasi secara terbuka.
“YOGYAKARTA TETAP ISTIMEWA!”

** Andri Wicaksono, PBI PPs-UNS 2010

FILSAFAT ILMU


Dosen Pengampu : Prof. Dr. Herman J. Waluyo


oleh

Andri Wicaksono
NIM S841008003


PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010

A. ONTOLOGI
1.      Jelaskan arti filsafat idealisme, materialisme, dan eksistensialisme!
a.      Pengertian filsafat idealisme
Filsafat idealisme adalah aliran filsafat yang mempercayai bahwa aspek rohani, baik berupa ide ataupun konsep tata nilai yang berkaitan dengan moralitas, sebagai hal penting yang memberi pengaruh dominan bagi keberadaan atau eksistensi sesuatu. Filsafat idelalisme adalah suatu aliran ilmu filsafat yang  mengagungkan jiwa. Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea. Idealisme ialah filsafat yang pandangan yang menganggap atau memandang ide itu primer dan materi adalah sekundernya, dengan kata lain menganggap materi berasal dari ide atau diciptakan oleh ide.
Dengan David Hume sebagai filsuf idealis subyektif, kita dapat menggambarkan seluruh ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel, “if I go into myself”, “kalau saya memasuki diri saya sendiri”, kata Hume, maka saya jumpai “bundles of conception”, bermacam pengertian, bermacam-macam gambaran tentang benda. “Engkau”, kata Hume cuma “ide” bagi saya (Hume).
Tapi “Engkau” buat Hume adalah saya buat Udin, misalnya. Jadi Udin bagi Hume hanyalah “Ide”, tetapi Hume juga cuma “ide” buat Udin, Udin dipandang dari pihak Hume hanya Ide, hanya gambaran di otak Hume begitu juga sebaliknya. Dengan begitu Hume membatalkan dirinya sendiri , mengakui bahwa dia sendiri tidak ada dan, hanya ide.
Terhadap adanya pandangan idealisme demikian itu, Lenin dengan tajam mengeritik idealisme sebagai filsafat yang tanpa otak dan dikonsolidasikan oleh kepentingan klas-klas yang berkuasa -- klas-klas pemilik budak, kaum feodal dan kaum borjuas.
b.            Pengertian filsafat materialisme
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer sedangkan ide ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu baru ada ide. Pandangan ini berdasakan atas kenyataan menurut proses waktu dan zat. Misal, menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu ada didunia, alam raya ini sudah ada. Menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide bila tidak mempunyai otak, otak itu adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada baharu muncul ide dari padanya. Atau seperti kata Marx “Bukan fikiran yang menentukan pergaulan, melainkan keadaan pergaulan yang menentukan fikiran.” Maksudnya sifat/fikiran seorang individu itu ditentukan oleh keadaan masyarakat sekelilingnya, “masyarakat sekelilingnya” ini menjadi materi atau sebab yang mendorong terciptanya fikiran dalam individu tersebut.
Materialisme adalah salah satu paham filsafat yang banyak dianut oleh para filosof, seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya dan biasanya paham ini dihubung-hubungkan dengan teori atomistik yang berpendapat bahwa benda-benda tersusun dari sejumlah unsur.  Artinya adalah bahwa filsafat materialisme ini merupakan pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Ini sesuai dengan kaidah dalam bahasa indonesia. Jika ada kata benda berhubungan dengan kata isme maka artinya adalah paham atau aliran.
Kaum materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh, mereka menganggapnya hanya sebagai pancarari materi. Thomas Hobbes (1588-1679), seorang ahli pikir Inggris beralasan bahwa seperti perjalanan yang tidak lepas dari orang yang berjalan, demikian juga gagasan, sebagai sesuatu yang bersifat rohani juga tidak lepas dari organisme yang berpikir, yang mempunyai gagasan. Materialisme pada abad 18 dan 19 seringkali sangat bersifat mekanistis, seperti pernah diutarakan oleh Holbach (1723-1789) bahwa segi manusia yang tidak kelihatan disebut jiwa, sedangkan segi alam yang tidak kelihatan disebut Tuhan.
c.             Arti filsafat eksistensialisme
Aliran filsafat Eksistensialisme adalah filsafat yang pemahamannya berpusat pada manusia/individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa mendalami nilai kebenaran sesuatu. Sebenarnya bukannya tidak mendalami atau mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu relatif, maka masing-masing individu bebas menentukan sesuatu mereka anggap benar.
Filsafat eksistensialisme hadir lewat Jean Paul Sartre (versi pembelajaran filsafat di sekolahan), Sartre terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. Maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Søren Aabye Kierkegaard  Søren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 dan meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun. Dia adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.

2. Ya, karena ilmu, agama, dan seni adalah tiga bidang pengetahuan yang sangat erat kaitannya dalam kehidupan manusia.
Pengalaman religius berdampak eksternal, yaitu perubahan sikap dan tingkah laku manusia terhadap hidup dan sesama manusia dengan akibat timbulnya:
(1)          sikap penuh kerendahan hati;
(2)          memiliki rasa syukur;
(3)          tumbuhnya kejelasan tentang tujuan hidup;
(4)          terjadinya sintesis terhadap wujud kehidupan;
(5)          menjadikan agama sebagai fondasi kebenaran dalam diri manusia;
(6)          menanamkan adanya kepastian akan aturan main dalam pergaulan sesama manusia. Kesadaran yang bersifat religius bersifat ekristensial teleologis.
Agama berisi aturan dan pedoman yang datangnya dari Tuhan dan memiliki sifat das sollens atau bagaimana seharusnya. Dalam agama terdapat perintah-perintah yang harus dipatuhi berdasarkan iman dan tanpa harus membantah dan mempertanyakan. Penganut agama tertentu mematuhi semua ajaran agama yang berasal dari Tuhan. Kepatuhan dan sikap transendensi adalah dasar dari iman terhadap agama itu.
Dalam penerapan Ilmu dan teknologi peranan agama dan moral sangat penting bagi ilmuwan dan teknologinya. Makin maju ilmu dan teknologi maka diperlukan pegangan agama dan moral yang kokoh. Agama berdasar atas religious experience (pengalaman religi, transendental, dan dasar akan finalitas (Sangkan Paraning Dumadi).
Ketiganya erat dan terkait karena orang yang banyak ilmunya apabila tanpa ditopang dengan agama semua ilmu tidak akan membawa kemaslahatan umat. Contoh, negara-negara maju yang sangat gigih mendalami  ilmu dan teknologi seering menjadi sumber pemicu tejadi peperangan.
Sebaliknya orang yang sangat sibuk dengan belajar dengan agama, tetapi tidak mau menggali ilmu dan pengetahuan alam di sekitar kita, maka akan mengalami kemunduran, sedangkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat haruslah berbuat, beibadah dalam hal-hal untuk kemujuan umat.
3. Renaissance dan aufklsrung dipandang sebagai tonggak penting bagi kemajuan peradaban karena merupakan suatu periode sejarah yang menyatakan kelahiran dan pencerahan kembali budaya klasik terutama budaya yunani kuno dan budaya romawi kuno. Masa ini ditandai oleh kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran, maupun kesustraan yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual abad pertengahan. Masa renaissance bukan suatu perpanjangan yang berkembang secara alami dari abad pertengahan, melainkan revolusi budaya, suatu reaksi terhadap kakunya pemikiran serta tradisi abad pertengahan.
Latar belakangnya munculnya renaissance adalah sebagai usaha pembaharuan kebudayaan Romawi dan Yunani yang pada masa abad tengah atau  masa kegelapan sempat dilupakan, yaitu tipe manusia yang otonom dan mandiri.  Disini Renaissance lahir sebagai pembaharu untuk membentuk manusia yang mandiri, utuh, otonom, dan bertanggungjawab. Pola pikir abad tengah (terbelenggu ajaran gereja ; disalahgunakan ) diganti dengan pola pikir rasional baik SDA maupun SDM nya sehingga manusia bisa berkembang.

Dampak Renaissance
1.   Berkembangnya ilmu pengetahuan (IPTEK)
2. Orang mulai berpikir kritis. Menjadi maju, baik SDM maupun kebudayaannya
3.   Reformasi Gereja
Renaissance di Indonesia menyatakan tentang perputaran bumi pada porosnya mengitari matahari. Mataahri adalah pusat semesta. Pandangan ini merupakan kontraversi dan Kopernikus tidak berani mengkomunikasikannya karena takut kepada tokoh- tokoh gereja yang sangat berwibawa yang bersifat relijius yang berpandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta.

B. EPISTEMOLOGI
1.  Menurut Pater Drijarkara (1986) fenomenologi adalah metode filsafat yang mencoba melihat dan menganalisa serta menafsirkan gejala atau fenomena. Ada fenomena yang terlihat( tampak ) dan ada fenomena di balik yang nampak itu. Fenomenalogi berusaha untuk menelaah fenomena yang tampak dan menafsirkan fenomena di balik fenomena yang nampak itu. Fenomenon adalah penampakan realitas pada kesadaran kita, sedangkan noumenon adalah wujud realitas itu sendiri. Noumenon berada di balik batas- batas pengalaman dan tidak data dimasuki oleh perenungan manusia ( fenomena fisik dan makna di baliknya) dengan menganggap bahwa hakikat sebagai suatu yang tidak tentu terlihat tetapi dapat dipahami melalui penafsirannya. Fenomelogi berkaitan dengan fenomena atau sesuatu yang sedang menampakkan diri atau sesuatu yang sedang menggejala. Penampakan itu dapat langsung terlihat, dapat pula harus dilihat di balik apa yang nampak. Misalnya, seorang istri yang menjemput suaminya di sirport  Panasan yang baru pulang dari Amerika setelah belajar di sana selama 3 tahun. Suami isti itu berpelukan dan tidak saling bicara.
2.   Empat tokoh hermeneutika
      a. Dithley
         Dithley mencetuskan suatu istilah ” verstehen ” atau ” mudheng ” yang artinya adalah tujuan penting dalam penafsiran.Seseorang yang menafsirkan sesuatu harus sampai ke tahap mudheng, yaitu kemengertian sampai selengkap – lengkapnya. Sebagai contoh seorang suami terkejut karena tiba- tiba istrinya ” purik ” dan pulang ke rumah mertua dengan anak semata wayangnya. Suami tersebut kemudian mengumpulkan data- data tentang hubungan terakhir dengan istrinya. Berbagai fenomena dikumpulkan dan ditelaah. Mungkin juga sahabat- sahabat istrinya secara hati – hati diwawancarai atau diobservasi. Tentu hal ini memerlukan waktu beberapa hari. Ternyata kemudian didapati data tentang tetangga di kompleks perumahan yang baru saja membeli mobil baru dan ini membuat gejolak dalam jiwa sang istri. Namun penemuan ini mungkin belum ” mudheng ” bentuk. Masih harus dilacak. Pemahaman yang mendalam berarti pengetahuan bukan hanya realitas luar, tetapi juga ” realitas dalam ” atau makna sebenarnya yang berada di balik apa yang kasat mata. Justru tafsir harus sampai ke ” Kemengertian ” ( Understanding). Untuk sampai ke arah itu, perlu ” explanation ” ( Penjelasan ), ” explication ” ( penguraian ), dan interpretion ( penafsiran ). Untuk mencapai ” verstehen ” menurut Dithley, juru tafsir juga harus melalui ” experience ( pengalaman), ” expression ” ( ekpresi ), ” lived experience ” atau ” objectivication ” ( pengalaman pribadi ). Menurut Dithley, agar juru tafsir memiliki kecakapan yang cukup tinggi dalam menafsirkan sesuatu cukup lama atau memiliki ” historical being ”. Semakin banyak menafsirkan hal – hal yang berkaitan dengan bidangnya,semakin tajam atau peka daya tafsirkan. Dalam penafsiran itu, Dithley menyatakan adanya lingkaran hermeneutik, yaitu lingkaran penafsiran yang terus- menerus. Tingkah laku manusia dan fenomena sosial merupakan seseuatu yang sulit ditafsirkan karena selalu saja ada misteri dalam sulit dipahami. Bahkan, sepasang suami istri hingga akhir hayatnya ada misteri yang disembunyikan sekecil apaun.Bidang penafsiran Dithley adalah dalam pengkajian sejarah. Ada informasi dan fakta sejarah yang tidak ada angka tahunnya dan penuh dengan simbol – simbol. Dalam mite dan eposm, misalnya. Dalam cerita Ken Arok dikisahkan bahwan” dari kepaala Ken Arok muncul kelelawar yang sangat banyak jumlahnya yang memangsa buah jambu di kebun tetangga yang sangat diingini oleh Ken Arok”. Juga terdapat pernyataan ” dari bagian bawah perut Ken dedes keluar cahaya yang terang ”. Dalam sejarah Kartasura, kita mengenal cerita tentang ” semut ireng anak – anak sapai/ kebo bongkang nyabrang kali bengawan/ keyong gondang carak sungute/ timun wuku gotong wolu/ Surabaya gegere kepati/ gegere wong ngoyak sima/ den wadhahi bumbung/ alun – alun Kartosuro/ gajah meta cinancang wit sidoguri/ matine cineker ayam.
b. Schleiermacher
      Schleiermacher adalah juru tafsir bidang linguistik dan seni. Baginya penafsiran adalah merupakan rekontruksi historis, artinya bahwa fenomena masa lalu yang harus ditafsirkan saat ini ( misalnya berita atau karya sastra ) tidak dapat ditafsirkan begiru saja karena harus melalui rekontruksi historis, yaitu rekontruksi terhadap peristiwa masa lalu untuk masa yang kini si juru tafsir. Dengan rekontruksi itu, akan terjadi ” fusi cakrawala ” yaitu fusi antara cakrawala pandangan teks masa lalu yang ditafsirkan dengan cakrawala pemikiran si juru tafsir di masa kini. Juru tafsir harus aktif merekontruksi makna fenomena masa lalu dengan visinya. Schleiermacher mengemukakan istilah ” anschauung ” yaitu terjadinya keluluhan intiusi juru tafsir dengan fenomena masa lalu. Dengan proses keluluhan ini, proses rekontruksi historis akan lebih mudah dilakukan oleh juru tafsir. Fenomena masa lalu itu tidak bersifat partial ( misalnya hanya waktu atau tempat tertentu ), namun bersifat menyeluruh atau globlal ( dari berbgai segi). Agar fenomena dapat dipahami secara lengkap dan baik, Schleiermacher menyebut adanya tiga tahap, yaitu (1) tahap interpretasi dan pemahaman secara mekanis; (2) tahap ilmiah; (3) tahap estesis. Pada tahap estesis itu, pemahaman akan suatu fenomena sudah mencapai keluluhan dan kedalaman emosi dan rasio. Dalam tahap ketiga, sudah berperan imajinasi. Hanya ilmuwan – ilmuwan besar yang mampu memadukan berbagai kecakapan sehingga menghasilkan tahap estetis.
c. Hans George Gadamer
    Hans George Gadamer menyebut penafsirannya sebagai reaksi. Dalam reaksi, juru tafsir memiliki kemerdekaan dalam menafsirkan fenomena seni dan tidak perlu terikat oleh fusi cakrawala dengan pencipta karya seni. Juru tafsir membuat kreasi lagi tentang ciptaan yang ditafsirkan itu berdasarkan visinya. Pemahaman menurut Gadamer, harus dilaksanakan secara dialektik melalui ( 1) rekreasi ( membuang prakonspsi dan hal yang berkaitan dengan teks); (2) ” vorhabe ” ( mengadakan interpretasi berdasarkan apa yang dilihat); (4) ”vorgrift” ( menafsirkan berdasarkan hal – hal yang diperoleh kemudian, atau kesan- kesan menyeluruh yang muncul ). Untuk melakukan penafsiran, hendaknya diperhatikan ”bildung” atau membuat pertimbangan untuk mengelompokkan hal – hal praktis yang baik; dan ” selera” yaitu keseimbangan antara instin, pancaindera dengan kebebesan intelektual.
d. Paul Ricoeur
     Ricoeur berkecimpung dalam bidang kebudayaan. Ia menyatakan bahwa dalam hermeneutik, harus ada interpretasi terhadap interpretasi. Penafsiran dapat merupakan pembongkaran makna terselubung dalam kata- kata atau fenomena yang sedang dihadapi. Ricoer memperkenalkan istilah ” distansi cultural ” dalam suatu penafsiran. Juru tafsir harus mengambil jarak agar tidak luluh dengan fenomena yang ditafsirkan sehingga kehilangan kesempatan untuk memahami maknanya. Juru tafsir harus mampu memandang fenomena yang ditafsirkan dengan pikiran jernih dan ” dari luar bidang itu”. Dengan demikian, sifat dan hakikat fenomena itu dapat ditafsirkan secara lengkap. Seorang juru tafsir tidak mulai dengan kepala kosong, namun dengan ”vorhabe” artinya ada modal gagasan yang dimiliki/ bekal teoritis tentang fenomena. Ruang lingkup materi penafsiran adalah teks. Dengan teks budaya oral dipersempit. Kata – kata tertulis memiliki makna yang lebih terbatas daripada lisan. Karena itu, kata- kata tertulis lebih sulit ditafsirkan maknanya. Manusia pada prinsipnya adalah bahasa dan bahasa merupakan syarat utama untuk mengungkapkan pengalaman. Dengan bahsa, kita berkomunikasi, berunding, dan bermusyawarah agar dapat saling memahami. Metode penafsiran Ricoer bersifat open ended artinya selalu memungkinkan untuk adanya jawaban – jawaban baru atau tafsiran – tafsiran baru. Perkembangan situasi dunia menuntut jawaban open edend ini. Di sampaing itu, juru tafsir harus memahami cakrawala yang luas dan menyempit dari suatu fenomena yang ” tersituasi ”.




3.      jelaskan jasa- jasa positivisme dalam kehidupan kita di Indonesia!
Jasa-jasa positivisme dalam kehidupan kita di Indonesia terjadi pada abad ke – 8 yang membawa perubahan pola pikir manusia. Manusia telah menggunakan akalnya untuk meneliti secara kritis segala yang ada. Jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 268). Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan sosiolog tertentu, rupanya adalah dengan menempatkan sosiolog dalam posisinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori) antarsosiolog, bukan menggolong-golongkan.
Upaya yang paling aman dan lebih tepat dalam menggolongkan sosiolog tertentu, adalah dengan menempatkan sosiolog dalam pemosisian dirinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran dan teori antar sosiolog, bukan menggolong-golongkannya. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog sebelumnya yang begitu mempengaruhi teorinya sebagaimana digambarkan di atas adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi.
4.      ciri- ciri bahasa ilmiah dan kalimat yang efektif
a. Ciri – ciri bahasa Imiah adalah sebagai berikut :
1.      Cendekia
Bahasa yang cendekia mampu membentuk pernyataan yang  tepat dan seksama, sehingga gagasan yang disampaikan penulis dapat diterima secara tepat oleh pembaca.
2.      Lugas
Paparan bahasa yang lugas akan menghindari kesalah-pahaman dan kesalahan menafsirkan isi kalimat dapat dihindarkan.  Penulisan yang bernada sastra perlu dihindari.
3.      Jelas
  Gagasan akan mudah dipahami apabila (1) dituangkan dalam  bahasa yang jelas dan  hubungan antara gagasan yang satu  dengan yang lain juga jelas. Kalimat yang tidak jelas, umumnya akan muncul pada kalimat yang sangat panjang.
Contoh : Struktur Cendawan pembentuk Mikoriza (CPM) pada apikal  akar berbentuk bebas dan berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas serapan hara oleh akar, misalnya dalam kompetisi dalam memanfaatkan karbohidrat. Cendawan  pembentuk mikorisa sangat tergantung kepada kandungan  karbon tanaman inang sebagai sumber energinya. Kapasitas dan mekanisme CPM dalam menyerap hara hanya akan dievaluasi asosiasinya dengan tanaman inang.
4. Formal
   Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah bersifat formal. Tingkat   keformalan bahasa dalam tulisan ilmiah dapat dilihat pada lapis kosa kata, bentukan kata, dan kalimat.
     Contoh :
Kata Formal
Kata  Non Formal
Bagaimana
gimana
Hanya
Cuma
dipikirkan
dipikirirn
saya
gue

5.      Obyektif
 Sifat obyektif tidak cukup dengan hanya menempatkan gagasan sebagai pangkal tolak, tetapi juga diwujudkan dalam  penggunaan kata.

6.      Konsisten
      Unsur bahasa, tanda baca, dan istilah, sekali digunakan sesuai dengan kaidah maka untuk selanjutnya digunakan secara  konsisten.
7.      Bertolak dari Gagasan
       Bahasa ilmiah digunakan dengan orientasi gagasan. Pilihan  kalimat yang lebih cocok adalah kalimat pasif, sehingga kalimat  aktif dengan penulis sebagai pelaku perlu dihindari.
8. Ringkas dan Padat
          Ciri padat merujuk pada kandungan gagasan yang diungkapkan dengan unsur-unsur bahasa. Karena itu, jika gagasan yang terungkap sudah memadai dengan   unsur bahasa yang terbatas tanpa pemborosan, ciri kepadatan sudah terpenuhi.
b. Ciri – ciri kalimat efektif adalah sebagai berikut :
1)      Memiliki Kesatuan Gagasan
Memiliki subyek,predikat, serta unsur-unsur lain ( O/K) yang saling mendukung serta membentuk kesaruan tunggal.
2)      Memiliki Kesejajaran
Memiliki kesamaan bentukan/imbuhan. Jika bagian kalimat itu menggunakan kata kerja berimbuhan di-, bagian kalimat yang lainnya pun harus menggunakan di- pula.
3)      Kehematan
Kalimat efektif tidak boleh menggunakan kata-kata yang tidak perlu.
Kata-kata yang berlebih. Contoh : Mawar,anyelir, dan melati sangat disukainya.
4)      PenekananKalimat yang dipentingkan harus diberi penekanan.
5)      Kalimat efektif harus mudah dipahami. Dalam hal ini hubungan unsur-unsur dalam kalimat harus memiliki hubungan yang logis/masuk akal.
Contoh : Waktu dan tempat saya persilakan.



C. AKSIOLOGI
1.   Pandangan Ranggawarsita berkaitan dengan moral dan etika
Di dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengantar Populer (1986), Jujun S. Suriasumantri mengutip satu pupuh tembang dandang gula dari buku Kalatida (zaman samar-samar) karya pujangga besar Ranggawarsita. Inti nasihat dalam tembang tersebut antara lain bahwa dalam zaman pancaroba (disebut zaman edan) banyak orang yang serakah, jahat, korupsi, dan lupa da­ratan. Mereka yang bertindak menyimpang dikatakan “edan”.. Orang yang beretika, bermoral dan lebih lagi beragama akan memiliki keyakinan seperti Ranggawarsita bahwa “begja-begjane kang kali, luwih begja kang eling lawan waspada”. Per­nyataan tersebut kurang lebih mempunyai makna bahwa betapapun orang yang lupa daratan (gila-gilaan) itu memperoleh kebahagiaan, namun akan lebih bahagia orang yang ingat dan waspada akan ajaran etika, moral dan agama. Seorang ilmuwan diharapkan menjadi kekuatan oral untuk me­negakkan etika, moral, agama (kebaikan) meski­­­pun seorang ilmuwan ter­sebut berada di tengah badai korupsi atau kejahatan yang melanda bangsa.
Pandangan  nasihat Ki Hajar Dewantara berkaitan dengan penerapan etika, moral, dan budi pekerti bagi seorang cendikiawan ( cerdik pandai ) adalah ” Luwih becik mikul dhawet karo rengeng – rengeng tinimbang numpak mersi karo nangis nggriyeng , artinya lebih baik memikul dhawet sambil menyenandungkan nyanyian, dibandingkan dengan mengendarai mobil mersi sambil menangis tersedu – sedu.Jadi orang yang berkecimpung harta belum tentu bahagia ( kalau hartanya bukan harta yang halal), sebaliknya di tengah keluarga yang hidupnya serba pas – pasan, belum tentu orang menderita, kalau hidupnya dalam cahaya Ilahi.

2. Jelaskan tentang kejujuran ilmiah, tanggungjawab sosial, moral, dan tanggungjawab politik ilmuwan! suara batin , imperatif kategori, dan hak/ kewajiban ilmuan sebagai pembangun bangun bangsa!
a.      Kejujuran ilmiah
Kejujuran ilmiah ialah seorang ilmuwan dituntut untuk memiliki kejujuran ilmiah yang ditandai dengan menunjukkan bahwa karyanya merupakan karyanya sendiri bukan jiplakan dari kaarya orang lain. Jika ilmuwan itu mengutip dari karya orang lain maka ia harus menyebutkan sumbernya dengan jelas dan lengkap. Dalam hal ini kita kenal kode etik keilmuwan yang menjadi kesepakatan bersama para ilmuwan dan setiap ilmuwan  secara bertanggungjawab menggunakan prinsip-prinsip kejujurannya dalam menyebut karyanya dan tata cara pengutipan ini dengan baik.
Tata cara  pengutipan diatur dalam kaidah penulisan karya ilmiah. Ada aturan yang sifanya umum dan universal, namun ada pula aturan yang sifatnya rasional, regional, bahkan ada yang lokal (lembaga tertentu di kota tertentu). Kejujuran ilmiah akan menunjukkan kehormatan diri  seorang ilmuwan. Dalam makalah, tesis, disertasi, atau karya-karya penelitian ilmuwan haris mengusahakan adanya  kepatuhan dalam kaiadah ini. Inilah etika dan moral yang harus dipenuhi ilmuwan dalam memasyarakatkan atau mengkomunikasikan ilmunya kepada masyarakat.  Karya orang lain tidak boleh sebagai karyanya.

b.       Tangung Jawab sosial dan Tanggung Jawab Politik
Seorang ilmuwan harus mempunyai tanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya demi kepentingan masyarakat dan bangsa. Ia tidak boleh tinggal diam melihat kehancuran bangsanya karena kerusakan dalam bidang ilmunya. Ia dipanggil untuk membela keadilan yang benar, kalau keadilan diinjak-injak (misalnya ia seorang ilmuwan hukum). Ia berrtanggungjawab  untuk memperbaiki ekonomi dan menarik bangsanya dari jurang kehancuran (jika ia seorang ahlii ekonomi). Bukannya ia malah mengkhianati hukum dan keadilan padahal ia seorang pakar hukum atau memperkaya diri sendiri di tengah-tengah kemelaratan rakyat (padahal ia ahli ekonomi).
Tanggungjawab ditandai oleh kenyataan bahwa seseorang mengerti perbuatannya sebagai subyek memandang obyek. Perbuatannya selalu disadari dan direnungkan, apakah sudah sesuai dengan etika dan moral yang seharusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan atau belum. Karena itu ia menjadi subyek (yang menyadari perbuatannya) dan obyek (orang yang bperbuatannya dikontrol atau dinilai sendiri). Ada dua penting dalam tanggungjawab ini yaitu suara batind dan keheningan budi (Drijakara,1986).
Orang yang bertanggungjawab tidak hanya berani melakukan suatu perbuatan, namun juga berani menanggung akibat dari perbuatannya itu, termasuk berani menanggung akibat  jika terjadi kesalahan atau kegagalan. Jika terjadi kesalahan ataui kegagalan dari dirinya ia tidak akan melempar keslahan atau keggalan itu kepada oranglain atau hal lain (misalnya saat tabrakan menyalahkan sepeda motornya, dan bukan dirinya). Ia tidak akan mencari kambing hitam karena pencarian kambing hitam  adalah merupakan awal dari kealpaan seseorang terhadap kesalahan moral, kesusilaan, dan nilai.Menurut Immanuel Kant, dalam suara batinnya, manusia   mengerti adanya imperatif, kategoris (artinya perintah dari dalam dirinya secara memaksa).Imperatif itu datang dari batinnya  sendiri yang tulus dan suci. Semakin kecil dan hilang suara batin dan keheningan budi, orang semakin tidak memiliki imperatif kategoris dalam dirinya dan semakin tidak bertanggungjawab.
·      Tanggung jawab sosial ilmuwan
Tanggungjawab ilmuwan dalam penerapan ilmiah adalah menerapkan ilmu yang menjadi bidang kajian  dengn prinsip-prinsip etika, moral, dan agama agar penerapan ilmu itu tidak mnurunkan keluhuran martabat manusia. Segala penemuan ilmu di dalm wujud teknologi adalah untuk klemaslahatan manusia, namun jangan sampai hal itu  menurunkan keluhuran martabanya. Adalah seorang ilmuwan harus mempunyai tanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya demi kepentingan masyarakat dan bangsa. Ia tidak  boleh tinggal diam melihat kehancuran bangsanya karena kerusakan dalam bidang ilmunya. Tanggung jawab ditandai oleh kenyataan bahwa seseorang mengerti perbuatannya selalu disadari dan direnungkan, apakah sesuai dengan etika dan moral yang seharusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan.
                         Menurut Jujun S. Suriasumantri ada 5 tanggung jawab sosial ilmuwan, yaitu (1) Objektif artinya menilai dan memutuskan sesuatu dengan pertimabangan umum dan bukan pribadi; (2 ) terbuka artinya terbuka untuk kebenaran, rela disalahkan kalau memang salah dan tentu akan senang jika dibenarkan; (3) menerima kritik artinya bersikap terbuka, bahwa ilmuwan tidak marah atau patah arang jika mendapatkan kritikan, dan sebaliknya akan lebih bersemangat mengoreksi karyanya; (4) kokoh dalam pendirian dan mengandalkan kekuatan argumentasi artinya kokoh dalam membela kebenaran teorinya secara rasional dalam diskusi atau dialog/ bukan menggerutu; (5) berani mengakui kesalahan artinya terbuka dan menerima kritikan orang lain.
                        Tanggung jawab moral artinya (1) membela kebenaran; (2) tanpa kepentingan langsunag  artinya benar- benar untuk kepentingan ilmu dan bukan untuk pamrih pribadi; (3) rasional artinya memmentingkan pertimbangan rasio dan akal sehat, bukan emosi; (4) kritis artinya teliti dan peka akan kebenaran atau kesalahan yang ditemui; ( 5) pragmatis artinya berpandangan bahwa ilmu harus memiliki nilai kegunaan bagi kehidupan masyarakat; (6) memelihara kejujuran artintya tidak melaporkan sesuatu yang palsu, tidak menjiplak, tidak menambah atau mengurangi sesuatu, mencoba mengatakan segala sesuatu apa adanya; (7 ) menyandarkan pada kekuatan argumentasi ; (8) objektif ; (9) terbuka; dan (10) netral dari nilai – nilai dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas artinya harus dibedakan dalam menafsirkan hakikat realitas.
·    Tanggung jawab politik
Artinya (1) berorientasi pada kepentingan nasional; (2) bersikap ilmiah yang mendorong kehidupan demokratis sebagai cerminan asas moral dengan kehidupan yang : (a) menjunjung tinggi kebenaran; (b) tanpa ikatan primodial secara moral, psikilogis, sosial, dan politis dalam mengambil putusan ( ikatan suku, desa, agama, asal – usul, saudara/ keluarga, dan sebagainya); (c) lebih mengembangkan diri untuk mengenal dirinya dan masyarakat/ bangsa yang majemuk sebagai mono- dualiatas.
c.       Suara batin
Adalah situasi psikis yang menyatakan diri memiliki kesadaran akan dimana yang salah dan mana yang memalukan ( shame feeling dan quitly feeling). Rasa bersalah dan rasa malu adalah dasar dari rasa tanggung jawab yang murni dari seseorang dan bukan tanggung jawab semu. Ia tidak akan mencari kambing hitam karena pencarian kambing hitam adalah merupakan awal dari kealpaan seseorang terhadap kesalahan moral, kesusilaan, dan nilai.
d.       Imperatif kategoris
 Artinya perintah dari dalam dirinya secara memaksa. Artinya imperatif itu datang dari batinnya sendiri yang tulus dan suci. Semakin kecil dan hilang suara batinnnn dan keheningan budi, orang semakin tidak memiliki imperatif kategoris dalam dirinya, dan semakin tidak bertanggung jawab.

3. Makna etika, nilai, moral, hak dan kewajiban! Jelaskan juga tingkatan- tingkatan nilai
Bangsa kita adalah yang bersifat majemuk, dengan keanekaragaman suku bangsa ( etnis), agama, berbagai pulau, latar belakang, ideologi, dan sebagainya. Semboyan kita adalah ” Bhineka tunggal Ika”. Ilmuwan Indonesia mestinya selalu ingat akan tugas dan tanggung jawab untuk menjaga keutuhan bangsa dan negaranya. Dengan dalih mencontoh negara modern, tidak dibenarkan sekiranya seorang ilmuwan menjadi provokator yang menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Negara kita dalam kesulitan multidimensial. Kesulitan itu disebabkan oleh ktisis berkepanjangan sebagai kesalahan masa lalu. Mestinya di dalam menilai pengelola pemerintah, ilmuwan hendaknya bersikap adil. Tidak bisa menilai keadaan Indonesia dengan ukuran negara- negara lain yang tidak dalam keadaan krisis dengan latar belakang situasi seperti negara kita.
Menyikapi demokrasi dan kebebsan pers, mestinya kita tidak menggunakan tolak ukur negara- negara maju. Iilmuwan dalam menerapkan ilmu mestinya harus bijaksana, sehingga gejolak kekacauan tidak terus- menerus berlangsung dan dengan demikian kita sempat membangun dan memperbaiki keadaan yang kacau balau.\
Jika menjadi birokrat, ilmuwan hendaknya berdiri paling depan menjadi contoh birokrat yang baik yang mengabdi kepentingan rakyat. Juga jika menjadi wakil rakyat, seorang ilmuwan hendaknya betul – betul mewakili rakyat. Suara rakyat dan nurani rakyat hendaknya masuk ke dalam hati nurani. Ditengah – tengah rakyat ang menderita tidak berusaha memperoleh uang rakyat sebanyak – banyaknya.

a.       Makna etika yaitu tanggung jawab ilmuwan memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap masalah – masalah dalam bidang kajiannya dan masalah kemanusian pada umumnya. Ilmuwan memeliki kelebihan yaitu kemampuan analisis baik dalam bidang ilmunya maupun dalam bidang ilmu pada umumnya, sehingga diharapkan mampu ikut menjawab problem kemasyarakatan dan kebangsaan secara holistik.
b.      Nilai moral berkaitan dengan tanggung jawab dari hati nurani kita. Nilai bersifat mewajibkan dan formal. Nilai merupakan fenomena psikis manusia yang menganggap sesuatu hal bermanfaat dan berharga dalam kehidupannya, sehingga seseorang dengan suka rela terlibat fisik dan mental ke dalam fenomena tersebut.
c.       Norma adalah aturan atau kaidah yang dipakai untuk tolak ukur dalam menilai sesuatu. Ada tiga jenis norma umum, yaitu norma kesopanan atau etikat, norma hukum, dan norma moral. Etikat hanya mengukur apakah suatu situasi sopan atau tidak. Norma moral menentukan perilaku seseorang baik atau buruk dari segi etis. Norma moral adalah norma tinggi yang tidak dapat dikalahkan. Norma moral bertugas meniali norma- norma yang lainnya.
d.      Hak dan kewajiban . Kata’hak’ dapat memiliki arti umum dan khusus. Dalam arti umum, hak adalah keseluruhan undang-undang, aturan dan lembaga yang mengatur kehidupan  masyarakat umum. Dalam arti khusus hak adalah kesanggupan seseorang  untuk dengan sesuka hati menguasai sesuatu atau  melakukan sesuatu. Orang yang memiliki hak dapat menuntut bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati haknya. Dengan hak orang dapat mengklaim tentang sesuatau yang dianggap berkaitan dengan dirinya.
Dipandang dari segi hak maka apa yang dimiliki seseorang tidak selalu menyebabkan orang lain atau intitusi tertentu berkewajiban memenuhi suatu hak tertentu atas apa yang dimiliki tersebut, sehingga menuntut haknya. Hak selalu berkaitan dengan orang lain atau lembaga tertentu. Namun dapat juga terjadi, hak dan kewajiban bersama-sama berada dalam diri satu orang. Misalnya” orang berhak atas penghasilan tertentu dan karena itu, orang tersebut berkewajiabn menunaikan tugas sesuai dengan hak tersebut.
Kewajiaban seseorang terhadap diri sendiri tidak dapat dilepaskan dengan hubungan seseorang dengan orang  lain. Orang berkewajiban mempertahankan hidupnya sendiri, tetapi kewajiaban itu tidak terlepas dari tanggungjawab untuk keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan lingkungan tempat kita hidup.



2.      a.  Nilai dan budaya bangsa adalah kepercayaan bersama atau norma kelompok yang telah diserap oleh individu.
         Nilai dan budaya bangsa adalah kepercayaan bersama atau norma kelompok yang telah diserap oleh individu misalnya nilai kesopanan. Selain itu, nilai adalah ide umum tentang tujuan yang baik dan yang buruk. Dari alur norma atau aturan yang menjelaskan tentang yang benar atau yang salah, yang bisa diterima dan yang tidak. Beberapa norma dikatakan sebagai enacted norms, di mana maksud dari norma tersebut terlihat secara eksplisit, benar dan salah. Namun, banyak norma lain yang lebih halus, ini adalah crescive norm yang telah tertanam dalam budaya dan hanya bisa terlihat melalui interaksi antaranggota dalam budaya.  Nilai-nilai budaya yang berlaku berbeda di setiap wilayah. Nilai yang berlaku di suatu Negara belum tentu berlaku di Negara atau bahkan bisa bertolak belakang dari nilai yang berlaku di Negara lain tersebut. Budaya mempengaruhi konsumen dalam sudut pandang terhadap dirinya dan orang lain, dan karenanya mempengaruhinya dalam berperilaku. Oleh karenanya, nilai budaya bangsa kita selalu berubah mengikuti perkembangan zaman.
         Gambaran tentang perubahan nialai budaya antara masyarakat traadisionil dan masyarakat modern sebagai berikut:
No.
Masyarakat Tradisonal
Masyarakat Modern
1.
Mistik/ sistematik.
Analis
2.
Pengalaman/perasaan intuisi.
Rasional/ ilmiah
3.
Peralatan primitif.
Teknologi
4.
Kebiasaan/ trial and  error
Efisien/ penelitian
5.
Nilai sosial:pengalaman, generalis, status penting, kekerabatan.
Pendidikan, keahlian, prestasi, dan mementingkan individu.
6.
Nilai kekuasaan: keputusan diambil orang lain, orientasi, kestabilitas, menolak perubahan.
Sendiri, orientasi, kemajuan, dan menerima kemajuan.
7.
Nilai ekonomi: insentif non ekonomi kerja untuk subsistem, dan konsumtif.
Ekonomis, kerja keras, dan bersifat produktif.
8.
Nilai agama bersifat fanatisme
Nilai agama aktif memperbaiki nasib.





Penelitian Kausal Komparatif (Ex Post Facto)

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Masalah Dalam penelitian pendidikan setidaknya dikenal dua jenis penelitian , ya itu penel...