EVOLUSI SISTEM LOKAL PROPINSI YOGYAKARTA: Mengapa Daerah Istimewa Yogyakarta Harus Tetap Istimewa?**
Evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu. Contoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat meramu.
Menurut Soerjono Soekanto, terdapat tiga teori yang mengupas tentang evolusi, yaitu: Unilinier Theories of Evolution: menyatakan bahwa manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu, dari yang sederhana menjadi kompleks dan sampai pada tahap yang sempurna.
Universal Theory of Evolution: menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Menurut teori ini, kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu.
Multilined Theories of Evolution: menekankan pada penelitian terhadap tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya, penelitian pada pengaruh perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke pertanian.
Perubahan revolusi merupakan perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada kehendak atau perencanaan sebelumnya. Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Dalam revolusi, perubahan dapat terjadi dengan direncanakan atau tidak direncanakan, dimana sering kali diawali dengan ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan.
Revolusi tidak dapat terjadi di setiap situasi dan kondisi masyarakat. Secara sosiologi, suatu revolusi dapat terjadi harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain adalah: Ada beberapa keinginan umum mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.
Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat. Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya adalah bahwa tujuan tersebut bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Misalnya perumusan sesuatu ideologi tersebut. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk memulai dengan gerakan revolusi. Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat) yang dipilih keliru, maka revolusi apat gagal.
Pada Jumat 26 November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat kabinet terbatas di kantornya mengatakan tidak pernah melupakan sejarah dan keistimewaan DIY. Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Maka itu harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi. Pernyataan ini yang mungkin menuai kontroversi. "Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi," kata SBY.
Sejak sebelum Indonesia merdeka, baru kali ini Keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan. Status sebagai Daerah Istimewa itu merujuk pada runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.
Sehari sesudah Soekarno dan Muhamad Hatta memproklamirkan bangsa ini pada 17 Agustus 1945, spirit keistimewaan DIJ mulai tumbuh. Ibarat akar sebatang pohon, keistimewaan DIJ terus tumbuh menjalar dari waktu ke waktu. Sebagaimana pohon, akar itulah yang menyangga sebatang pohon tetap kokoh berdiri. Tak berlebihan, jika kemudian banyak kalangan mengatakan keistimewaan DIJ merupakan benteng terakhir dari tegak dan bertahannya NKRI. Tanpa penggabungan diri Kasultanan Jogjakarta dan Paku Alaman, sangat mungkin terjadi enclave atau ada negara di dalam negara. Artinya, tak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti diketahui, peradaban bangsa ini terbentuk oleh serangkaian evolusi zaman kerajaan demi kerajaan. Sebelum tahun 1945, Kasultanan Jogjakarta yang berdiri pada 1755 Masehi juga merupakan kerajaan besar dan merdeka pewaris kejayaan Mataram Islam.
Campur tangan pihak kolonialisme Belanda, Jepang dan Inggris adalah bagian dari perjuangan para raja Mataram dan kawulonya. Kesan tunduk raja kepada kolonialisme di zaman itu, bukan berarti seratus persen terjajah. Tetapi, merupakan bentuk perlawanan non fisik agar tak jatuh banyak korban jiwa. Sampai pada masa Sultan HB IX, Kasultanan Jogjakarta adalah bumi merdiko. Sultan HB IX yang naik tahta pada 18 Maret 1940 harus menghadapi pergantian zaman pendudukan Belanda ke Jepang. Tahun 1942, Belanda kalah perang melawan Jepang. Dari tangan Belanda, Nusantara kembali jatuh di tangan penjajahan Jepang. Sementara, Sultan HB IX menolak tawaran pihak Belanda untuk mengungsi ke Australia guna menghindari pendudukan Jepang. Sultan HB IX kukuh memilih tetap bersama rakyatnya dan mengambil langkah langkah penting. Sultan HB IX segera membenahi struktur pemerintahannya.
Kekuasaan yang diberikan oleh Belanda kepada patih Danurejo, diambil-alih. Lalu dengan berbagai perubahan, Sultan HB IX kembali dilantik oleh Jepang pada 1 Agustus 1942. Diberi wewenang penuh mengurusi pemerintahan kerajaan. Jepang menyebut pemerintahan kerajaan Kasultanan Jogjakarta sebagai daerah istimewa. Dalam istilah Jepang, daerah istimewa disebut kochi. Inikah awal mula lahirnya konsep keistimewaan DIJ? Benteng Terakhir NKRI Pada perkembangannya, kepengurusan daerah istimewa atau kochi Kasultanan Jogjakarta diberikan oleh Kepala Pemerintahan Militer yang dijabat Kepala Staf Tentara Jepang, Gunseikan. Sultan mendapat kewenangan lebih luas, sehingga pada 1944 kekuasaan yang semula dipegang oleh Pepatih Dalem dipecah menjadi enam jawatan. Pada 1945, jawatan itu dipecah lagi menjadi tujuh jawatan. Jawatan jawatan itu, oleh Sultan HB IX disebut paniradya. Pejabat kepalanya disebut paniradyapati. Jepang menyebut paniradyapati sebagai kyokuco. Pani berarti tangan dan radya berarti negari atau pemerintahan. Paniradya berarti lembaga pemerintahan di bawah Sultan. Munculnya wacana lembaga pararadya dalam konsep monarkhi konstitusional pada kemelut RUUK DIJ, sudah pasti akan ditolak. Pasalnya, lembaga itu akan menempatkan jabatan Sultan sebagai raja merosot menjadi hanya setingkat patih atau lebih rendah dari gubernur atau kepala daerah. Berada di bawah pendudukan Jepang, Nusantara semakin tertindas dan sengsara. Namun di Jogjakarta, penderitaan tak separah di tempat lain. Banyak kalangan sejarawan mencatat, kemampuan Sultan HB IX dalam mengayomi rakyatnya telah banyak menyelamatkan nyawa kawulonya. Tak hanya itu, Sultan HB IX bahkan berhasil mendapatkan bantuan Jepang untuk membangun irigasi yang kini terkenal disebut Selokan Mataram.
Sampai pada 18 Agustus 1945, sehari setelah gema proklamasi kemederkaan RI, Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII segera mengirim ucapan selamat dan dukungan kepada proklamator Soekarno-Hatta dan kepada ketua BPUPKI, Dr. KRT. Rajiman Wedyodiningrat. Soekarno segera menanggapi dukungan Sultan HB IX dengan mengirimkan Piagam Penetapan Kedudukan Jogjakarta. Ditandatangani oleh Soekarno selaku presiden RI di Jakarta, pada 19 Agustus 1945. Intinya, piagam itu menetapkan Sultan HB IX pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sultan HB IX akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerah Jogjakarta sebagai bagian NKRI. Menyusul kemudian Maklumat 5 September 1945, yang dibuat secara terpisah oleh Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII.
Jogjakarta yang berbentuk kerajaan merupakan daerah istimewa dan bagian dari NKRI. Segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Sultan HB IX. Hubungan pemerintahan Jogjakarta dengan pemerintahan NKRI bersifat langsung dan Sultan HB IX bertanggung-jawab kepada presiden RI. Ketika Badan Komite Nasional Daerah Jogjakarta terbentuk pada 29 Oktober 1945, sehari berikutnya Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII yang menyadari pentingnya kesatuan dan persatuan kembali mengukuhkan integrasi Jogjakarta kepada NKRI dengan membuat secara bersama-sama, Maklumat 30 Oktober 1945.
Sebuah Amanat yang menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan satu Daerah Istimewa Negara RI yang dipimpin oleh dua Kepala Daerah (HB IX dan PA VIII). Pada tahun 1945 itu, Pemerintahan di Yogyakarta telah mengeluarkan beberapa Maklumat yang di dalamnya memuat penegasan status Keistimewaan Yogya. Contohnya adalah Maklumat No 8 yang ditandatangani oleh HB IX, PA VIII, dan Moh Saleh (7 Desember 1945), pada butir 1 terdapat kalimat “...Komite Nasional Pusat Daerah Istimewa Yogyakarta....” Masih di tahun 1945, muncul pula UU No 1/1945 yang penjelasannya menyatakan sebuah Daerah Istimewa bernama Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta (meliputi Kasultanan Yogya, Kasultanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, Kadipaten Mangkunegaran). Rupanya pernah ada upaya untuk menjadikan wilayah-wilayah dari empat Praja Kejawen itu menjadi sebuah Daerah Istimewa ‘Mataram’. Status Keistimewaan Yogya semakin menguat selama tahun 1946, sementara upaya untuk menetapkan Daerah Istimewa ‘Mataram’ tidak kesampaian. Status Keistimewaan Yogya semakin diteguhkan secara politis setelah Ibukota RI diungsikan ke Yogya sejak tanggal 4 Januari 1946. Pada tahun itu, seperti disinggung oleh Slamet Sutrisno (KR, 17 Maret 2008) Kasultanan dan Pakualaman Yogya ibarat seorang ibu yang dengan sabar mengasuh dan menyelamatkan bayi NKRI. Beberapa Maklumat Pemerintahan Yogya yang terbit pada tahun 1946 menegaskan status Keistimewaan Yogya. Maklumat No 14, No 15, dan No 17 (11 April 1946) menegaskan status Daerah Istimewa Negara RI Yogyakarta yang meliputi Kasultanan dan Pakualaman Yogya dengan HB IX dan PA VIII sebagai Kepala Daerahnya. Pada Maklumat No 18 (18 Mei 1946) jelas-jelas disebut tentang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Melalui Maklumat No 18 ini ditegaskan bahwa DIY yang terdiri dari Kasultanan dan Pakualaman adalah satu (sebuah) Daerah Istimewa. Upaya untuk menjadikan empat Praja Kejawen menjadi sebuah Daerah Istimewa ‘Mataram’ tidak pernah terwujud meskipun muncul Penetapan Pemerintah No 16/S.D Tahun 1946 (15 Juli 1946).
Keistimewaan Jogjakarta pun semakin dipertegas dengan Maklumat No 6/1948 dan Maklumat No 10/1948, yang menyatakan daerah Istimewa Jogjakarta sebagai bekas daerah swapraja sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Keistimewaan DIJ juga kian diperkuat lagi dengan UU No 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dan jabatan gubernur yang bersifat melekat pada Sultan yang bertahta. Keistimewaan DIJ dengan berbagai landasan yuridis tersebut, bukan sekedar penghargaan kosong tanpa peran. Sejarah di awal terbentuknya NKRI sungguh menampakkan peran besar Sultan HB IX dan rakyatnya dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Ini tampak ketika ibukota negara berpindah ke Jogjakarta karena alasan keamanan pada 3 Januari 1946, yang ternyata kemudian disusul oleh kedatangan Belanda pada 19 Desember 1948. Soekarno-Hatta terpaksa menyingkir lagi ke Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Kedatangan Belanda itu mengoyak kemerdekaan RI. Pada saat genting inilah Sultan HB IX beserta rakyat Jogjakarta tampil sebagai benteng terakhir dari tegaknya NKRI.
Selama Belanda berusaha menanamkan kukunya, Sultan HB IX melakukan berbagai strategi gerilya. Tak bergeming dengan tawaran Belanda yang akan menjadikan beliau sebagai raja se-Jawa. Sebaliknya, Sultan HB IX justru menyusun rencana untuk mengadakan serangan terhadap Belanda, yang kemudian terkenal dengan Serangan Umum 1 Maret. Berbagai langkah Sultan HB IX membuahkan hasil. Belanda kemudian hengkang dari Jogjakarta pada 29 Juni 1949. Peristiwa ini kemudian dikenang dalam Peringatan Jogja Kembali. Lalu, pada 30 Juni 1949, Sultan HB IX membacakan kembali teks proklamasi kemerdekaan RI sebagai wujud kesetiaan kepada NKRI dan pengobaran semangat. Proklamasi kedua itu juga merupakan langkah Sultan HB IX agar kedaulatan RI tetap diakui dunia internasional.
Realitas sejarah inilah yang sungguh menempatkan Jogjakarta sebagai benteng terakhir NKRI di awal kelahirannya dan di saat-saat paling gawat. Sementara itu, Soekarno-Hatta baru kembali ke Jogjakarta pada saat keadaan sudah aman pada 6 Juli 1949.
Faktor yang paling menyebabkan terhapusnya swapraja di Surakarta adalah gerakan anti swapraja yang dimotori oleh PKI dan golongan-golongan kiri lainnya. Pada waktu itu, HB IXdan PA VIII di satu sisi secara tegas menyatakan keinginan untuk menjadikan Kasultanan dan Pakualaman sebagai satu Daerah Istimewa (DIY), namun di sisi lain juga menghormati kebijakan Pemerintah Pusat yang ingin menjadikan keempat Praja Kejawen di atas sebagai sebuah Daerah Istimewa (Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta). Ternyata, sejarah memang mengarah pada pembentukan DIY. Tahun 1947 dan 1948 merupakan masa pembangunan sistem pemerintahan di DIY. Muncul UU No 17/1947 (7 Juni 1947) tentang Pembentukan Hamin te - Kota Yogyakarta yang mengatur bahwa Kota Yogyakarta merupakan sebuah daerah otonom (kabupaten-kabupaten di DIY baru dinyatakan otonom pada tahun 1950). Pemerintahan Haminte - Kota Yogya terdiri dari DPR Haminte (Dewan Kota), Dewan Eksekutif Haminte Kota, dan Walikota. Menurut Soedarisman Poerwokoesoemo (1984), pembentukan Haminte - Kota Yogya pada hakikatnya memisahkan Haminte itu (yang semula adalah Kabupaten Kota Yogya ditambah beberapa wilayah yang termasuk Kabupaten Bantul) keluar dari wilayah DIY. Selanjutnya, pada tahun 1948, muncul UU No 22/1948 yang mengatur lebih lanjut tata pemerintahan di DIY. Undang-undang inilah yang kemudian dijelaskan dalam UU No 3/1950 yang berkaitan dengan Pembentukan DIY. Tahun 1949 merupakan masa genting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Melalui Serang Umum 1 Maret 1949, Yogya menyelamatkan eksistensi RI di mata dunia. Sekali lagi Yogya menunjukkan peran istimewanya dalam perjuangan RI sehingga Presiden Soekarno mengatakan bahwa hal itulah yang membuat Yogya termasyur. Melalui UU No 1/1949 dibentuklah Daerah Militer Daerah Istimewa Yogyakarta dengan PA VIII sebagai Gubernur Militernya. Pada masa-masa darurat itu, HB IX menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI. Kemudian, pada tanggal 30 Juli 1949 dikeluarkanlah PP Pengganti UU No 1/1949 yang menurut Soedarisman Poerwokoesoemo (1984) menjadikan Haminte Kota - Yogya kembali berada di bawah DIY. Klimaks penegasan Keistimewaan Yogya terjadi pada tahun 1950. Terbitnya UU No 3/1950 (3 Maret 1950) jelas-jelas memutuskan tentang status final Daerah Istimewa Yogyakarta. Sayangnya, UU itu baru menetapkan tentang Urusan Rumah Tangga DIY (Bab II, pasal 4-6), dan belum menetapkan masalah kepemimpinan dan prosedur suksesinya, dan sebagainya. q - c. (Bersambung hal 15) Final Decision Sejarah Keistimewaan Yogya (1945-1950) di atas menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut.
Pertama, pada awalnya, secara konstitusional Negara sangat “memandang” dan “mengingat” hak-hak “asal usul” dan “susunan asli” setiap daerah istimewa di Indonesia (UUD 45 Pasal 18 sebelum diamandemen).
Kedua, Keistimewaan Yogya adalah konsekuensi logis dari keputusan politik dua raja Yogya untuk berintegrasi dengan RI.
Ketiga, pengakuan terhadap Keistimewaan Yogya terakselerasi oleh political will yang tegas dan tangkas dari Presiden Soekarno yang dengan serta merta memberikan “Piagam Kedudukan” kepada HB IX dan PA VIII sebagai dwi tunggal pemimpin Yogya.
Keempat, Keistimewaan Yogya adalah visi dan keputusan tegas dari HB IX dan PA VIII, terlihat dari Amanat-amanat dan Maklumat-maklumat yang dikeluarkan. Kelima, Keistimewaan Yogya benar-benar diperjuangkan oleh HB IX dan PA VIII bukan dalam rangka makar namun justru dalam rangka menjadi pilar bagi berdiri tegaknya NKRI. Jadi, Keistimewaan Yogya adalah visi dan keputusan final dari pihak Yogya yang direspons sangat positif dan relatif cepat meskipun suasana pada masa itu (1945-1950) sangat genting.
Sepeninggal wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1988 di Washington, Pemerintah Pusat lalu menunjuk Wakil Gubernur saat itu yaitu Sri Paduka Paku Alam VIII untuk merangkap menjadi penjabat kepala pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta sampai waktu yang tak ditentukan. Pada tanggal 26 Agustus 1998, kawula Ngayogyakarta mendaulat Sri Sultan HB X untuk ditetapkan sebagai Gubernur. Lalu sepeninggal wafatnya Paduka Paku Alam VIII pada tahun 2001, selanjutnya pada pada tahun itu juga, putra beliau yang menggantikan beliau sebagai Paku Alam IX juga didaulat oleh rakyat Yogyakarta untuk ditetapkan sebagai Wakil Gubernur di Propinsi DI Yogyakarta.
Sementara itu, payung hukum berupa UU dari Pusat (NKRI) belum ada (satu pun) yang secara khusus dibuat untuk Yogyakarta. Tata aturan dari Pusat untuk mekanisme pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Yogyakarta belum ada. Bila untuk aturan khusus dalam wilayah ‘sempit’ itu saja belum ada, tentu belum ada pula UU untuk Yogyakarta yang mencakup sifat Keistimewaan propinsi ini secara lebih luasnya lagi itu.
Sudah terbukti dalam beberapa kali momentum bahwa rakyat Yogyakarta menghendaki suatu ‘keistimewaan’. Bukannya rakyat Yogyakarta tidak tahu, tidak mau tahu, atau tidak mau mentaati aturan hukum yang berlaku secara umum di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Sebuah bentuk otonomi dalam suatu tingkatan atau aspek tertentu, tentu saja masih diharapkan. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah; bahwa nilai kearifan lokal Yogyakarta musti dihargai. Propinsi kecil dengan hanya sekitar enam juta-an penduduk ini memiliki nilai-nilai musyawarah tradisional dan tradisi kedekatan antara rakyat dengan Sultan-nya dalam budaya. Banyak penduduk Yogyakarta (terutama para Kepala Desa/Lurah yang tergabung dalam paguyuban Ismaya (Ing Sedya Memetri Asrining Yogyakarta) merasa khawatir bahwa Pilkada Langsung akan mengganggu kerukunan dan harmoni kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta yang selama ini terjaga. Padahal, bukankah Pilkada Langsung itu bila benar akan diselenggarakan juga belum tentu akan menghasilkan sesuatu yang nyata bagi kesejahteraan rakyat, bagaimanapun hasilnya dan siapapun yang terpilih.
Posisi Sultan sebagai pengayom (pelindung) budaya, dengan sebagai Gubernur, memang terlanjur menjadi satu kesatuan dalam benak sebagian besar rakyat Yogyakarta. Pelaksanaan demokrasi prosedural mengikuti konstitusi yang berjalan dengan demikian dianggap belum tentu akan mencapai tujuan demokrasi secara substansial. Lebih daripada kesemuanya itu, semua hal terkait hal-hal ini memang belum ada aturannya dari Pemerintah Pusat, padahal Propinsi Yogyakarta masih menyandang nama Istimewa.
Kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah menyusul penyelenggaraan Pilkada bukan mustahil menjadi kekhawatiran para Kepala Desa di propinsi Yogyakarta yang tergabung dalam Ismaya itu, bilamana Pilkada itu juga akan terjadi di Yogyakarta. Nilai adiluhung hubungan antara rakyat dengan pemimpin yang sekaligus dianggap sebagai pelindungnya sebagaimana hingga sampai saat ini masih dirasakan banyak kalangan rakyat, justru dikhawatirkan akan dapat ‘ternodai’ dengan diselenggarakannya Pilkada. Demikianlah kiranya yang banyak menjadi pemikiran di kalangan kawula alit tradisional.
Sejak/pada tahun 2003 Gubernur DIY atas nama PemDa Propinsi DIY juga telah mengajukan draft Rancangan Undang-undang (RUU) kepada Pemerintah Pusat perihal Keistimewaan yang “dalam pemikiran yang berjalan” ini. Setahu saya, yang dipercaya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk memimpin tim penyusunan draft usulan RUU itu adalah Dr. Affan Gaffar, akademisi dari Fisipol UGM. Affan Gaffar meninggal dunia tidak terlalu lama dari sejak usulan draft itu diajukan ke Pemerintah Pusat.
Hingga tahun 2008, draft usulan (dan telah disampaikan) tersebut sama sekali belum masuk dalam Agenda Pembahasan DPR (Pusat). Baru September 2008 lalu, Pemerintah c.q. Kementerian Dalam Negeri dan lewat Sekretariat Negara secara resmi mengajukan RUU itu ke DPR. Menteri Dalam Negeri Mardianto memberikan keterangan kepada pers setelah melakukan pertemuan dengan Komisi II DPR.
Pemerintah Pusat, juga para anggota DPR di Senayan tidak peduli propinsi Yogyakarta ini mau Istimewa atau tidak. Buktinya, sejak tahun 2003 usulan RUU Keistimewaan tidak pernah diperhatikan. Di sini, tampaklah kepentingan lagi-lah yang berbicara. Orang-orang Pusat tidak merasakan adanya kepentingan untuk mengurusi Yogyakarta. Seakan bila ditanya ”Bagaimana tentang Yogyakarta?” Jawaban mereka: “Wah, itu tidak penting.” “Biar saja diurus oleh Sultan. Kalau Sultan mau berkelahi dengan politikus lokal setempat ya silakan” “Kalau di antara sesama warga Yogyakarta sendiri terjadi perbedaan pendapat yang meruncing, lalu terjadi bentrokan di tingkat bawah ya silakan. Biar Yogyakarta ada ramenya dikit, deh. Selama ini kan adem-ayem terus.”
Dalam kondisi seperti itu, Sultan seperti disepelekan. Padahal, Sultan adalah seorang Raja, keturunan langsung raja-raja besar dinasti Mataram. Sultan juga masih dihormati di kalangan para keluarga keturunan raja-raja Nusantara. Kawula Ngayogyakarta yang siap ‘sendika dhawuh Sinuwun’ juga banyak. Maka pada 7 April 2008, Sultan pun merajuk. Sultan bilang kalau ia tidak mau lagi dicalonkan sebagai gubernur. Tentu saja lewat forum Pisowanan Ageng. Lalu dalam sebuah acara ulang tahun Partai Golkar di Yogyakarta, Sultan menyatakan bahwa pernyataan ketidak-sediaannya itu hanyalah ‘manuver politik’).
Selain gusar, tampaknya Sultan juga gamang, bingung dan gugup. Sultan salah tingkah, lebih salah-tingkah daripada saat ia dapat kabar bahwa rating-nya bagus dalam pollling CaPres.
Jadi, dalam hal mekanisme pengangkatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan gak mau kalau dicalonkan; tetapi, kalau ditetapkan ya, ia akan siap.
Untuk menentukan keputusan final akan hal ini, dapat saja langsung dilakukan ‘Referendum’ = Penentuan Pendapat Rakyat (=Pepera), untuk mengetahui bagaimana yang diinginkan oleh rakyat Yogyakarta sendiri. Apapun yang hendak dibilang orang di muka bumi ini, apapun kata dunia bahawa mereka orang Jawa, kawula Ngayogyakarta, apapun yang akan dibilang orang akan tetap teguh dalam kesetiaan untuk terus memeluk nilai-nilai budaya kami yang kami junjung tinggi. Yogyakarta adalah komunitas budaya yang sejak dulu hingga sampai kapan pun sepanjang mampu, akan rela siap sedia menjadi benteng terakhir nilai-nilai ketimuran.
Manunggaling Kawula lan Gusti, dalam arti menyatunya rakyat dengan pemimpinnya, adalah sesuatu yang dirasakan, hayati, nikmati dan dijalin. Itu adalah sebentuk surga ketenteraman yang diciptakan sebagai olah rasa, karsa dan cipta budaya masyarakat Yogyakarta yang telah mengakar kuat. Adalah bagai dalam puncak kenikmatan surgawi ketika rakyat dengan pemimpinnya/Raja-nya tercipta hubungan saling percaya-mempercayai, saling cinta-mencintai. Ikatan hubungan batin itu terjalin mesra dan tulus sembari menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan masing-masing..
Telah tiba kini saatnya gelombang ketergiuran akan kebendaan itu telah menggerus nilai-nilai indah adiluhung itu. Kepercayaan rakyat kecil yang benar-benar tulus tanpa reserve harus diatur dalam mekanisme-prosedural dengan apa yang menamakan dirinya akuntabilitas. Sebagai kawula Ngayogyakarta seyogyanya mampu memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada para pemimpin kami, juga para leluhurnya.
Sejak beberapa minggu terakhir ini, setelah Yogyakarta diluluhlantakkan bencana Merapi, kini pun diguncang dengan “Keistimewaan DIY”. Posisi dasar pemerintah berkaitan dengan Undang Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta atau tentang pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertama-tama pilarnya adalah sistem nasional yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang Undang Dasar telah diatur dengan gamblang termasuk dalam pasal 18.
Kedua, harus sungguh dipahami keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri dari bentangan sejarah dari aspek-aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus, sebagaimana pula yang diatur dalam Undang Undang Dasar yang harus nampak dalam struktur pemerintahan keistimewaan itu.
Ketiga, negara adalah negara hukum dan negara demokrasi. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi, democratic values, tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.
Sistem nasional dan keutuhan NKRI, keistimewaan yang harus dihormati dan harus dijunjung tinggi di Yogyakarta, dan implementasi nilai-nilai demokrasi untuk negeri yang itupun sesungguhnya secara implisit juga terkandung dalam UUD 45.
Kalau disimak apa yang saya sampaikan waktu itu, Gubernur DIY mesti dipilih secara demokratis atau otomatis ditetapkan sebagaiamana yang diperdebatkan dengan hangat dewasa ini. Sekali lagi kepada masyarakat luas, untuk memeriksa, membaca, atau mendengarkan kembali, kalau yang punya rekaman, pernyataan saya pada tanggal 26 November itu di depan sidang kabinet.
Seolah-olah Presiden SBY mengahalang-halangi Pak Sultan untuk menjadi gubernur kembali di Yogyakarta untuk lima tahun berikutnya lagi setelah masa perpanjangan beliau selesai pada bulan Oktober 2011 mendatang.
Bersama DPR RI akan disusun dan ditetapkan dalam undang-undang adalah keistimewaan Yogyakarta dalam arti yang utuh dan menyeluruh yang dalam Undang Undang yang telah miliki dewasa ini belum diatur secara eksplisit. Jadi, bukan hanya soal kedudukan, kekuasaan, masa jabatan dan cara pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIY, meskipun itu penting. Apakah nantinya dipilih secara demokratis atau otomatis langsung ditetapkan dalam proses pembahasan antara DPR RI dan pemerintah yang juga akan mendengarkan pandangan dan masukan dari masyarakat luas.
Hal yang dimaksudkan dengan keistimewaan DIY yang tengah dipikirkan dan wadahi nanti dalam undang undang mendatang. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan sisi pemerintahan dan sekaligus nantinya posisi gubernur dan wakil gubernur yang pas dan khusus bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentang penghormatan, perlakukan khusus dan peran istimewa bagi pewaris Kesultanan dan Pakualaman secara permanen. Selamanya, diatur sekaligus dalam undang undang. Tentang hak ekslusif pengolahan tanah di Yogyakarta, baik yang menjadi otoritas Kesultanan maupun Pakualaman dan tata ruang khusus pula bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tentang upaya pelestarian budaya dan warisan sejarah yang harus dijunjung tinggi dan sejumlah elemen keistimewaan lain yang perlu pengukuhan agar pasti dan berlaku selamanya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Itulah sesungguhnya keistimewaan yang dalam cara pandang pemerintah hendak dirumuskan, dan nantinya dibahas bersama-sama DPR RI dalam proses politik yg diatur oleh Undang Undang Dasar maupun undang undang.
Pemerintah berpendapat bahwa Undang Undang tentang Keistimewaan DIY juga mesti mencakup kepemimpinan, baik yang sedang memimpin sekarang ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Pakualam IX, termasuk suksesinya nanti jika kedua beliau itu berhalangan tetap di masa depan. Undang undang tentu tidak hanya mengatur masa kepemimpinan dan pemerintahan kedua, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Pakualam saja, tetapi juga mengatur suksesi kepemimpinan yang tentu akan terjadi kelak di kemudian hari.
Dengan demikian Undang-undang ini justru berlaku ke depan dan tidak situasional sifatnya karena tidak diatur dalam undang undang, persoalan suksesi lantas menjadi masalah di kemudian hari. Tapi satu hal, aturan dalam suksesi ini tentu pemerintah akan sangat mendengar pandangan dari Pak Sultan sendiri, dari Pak Pakualam sendiri beserta kerabat Kesultanan dan Pakualaman lain. Beliau-beliau lah yang memiliki otoritas, yang lebih tahu bagaimana proses mekanisme dan kearifan. Semua hal inilah yang ingin disusun dan tuangkan dalam RUU. Mana tatanan yang paling baik dan yang paling tepat, baik dan tepat bagi Daerah Istimewa Yogyakarta, baik dan tepat bagi negara Republik Indonesia menganut konstitusi dan menganut sistem nasional.
Elaborasi dan dinamika yang hangat baik di masyarakat luas, baik di Yogyakarta, di Jakarta, maupun di tempat-tempat lain di negeri ini, dari semua elemen penting dari keistimewaan Yogyakarta, yang menjadi perhatian publik dan sekaligus menjadi perdebatan akhirnya mengarah pada opsi pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Ada yang berpendapat yang tepat adalah pengangkatan secara otomatis tanpa pemilihan, itulah istimewanya. Ada yang berpendapat yang lain, tetap pemilihan secara demokratis tapi tunjukkan juga keistimewaan bagi Yogyakarta. Mungkin ada alternatif yang lain, ada varian lain yang mungkin belum dibahas.
Undang Undang Dasar pasal 18B ayat 1, untuk dimana titik temunya. Pasal 18B ayat 1 dalam Undang Undang Dasar 1945 dikatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Silahkah carikan titik temunya.
Bagi yang berpendapat bahwa yang paling baik adalah model penetapan langsung, otomatis saja, ditetapkan, saya berharap temukan pula dengan pasal 18 ayat 4 Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi dan walikota dipilih secara demokratis.
Apapun model dan opsi yang dipilih jangan lupa memberikan hak peran dan peluang yang besar kepada para pewaris Kesultanan dan Pakualaman. Sejarah mengatakan demikian. Keistimewaan Yogyakarta juga bisa ditarik dari sisi itu dan yang penting pula bagi pemerintah dan harapan saya juga bagi DPR RI ketika kelak mulai membahas secara formal hendaknya sungguh memperhatikan pandangan dan masukan dari berbagai pihak di negeri ini, baik dari kalangan Yogyakarta, maupun sekali lagi dari kalangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Pemerintah hendaknya menentukan posisi tentang ini semua, tentang elemen-elemen mendasar dari keistimewaan Yogyakarta ini yang akan diajukan ke DPR RI untuk dilaksanakan pembahasan bersama. Tetapi pada akhirnya nanti, apapun yang akan menjadi kesepakatan bersama antara DPR RI dan pemerintah, pemerintah akan tunduk, pemerintah akan menghormati dan pemerintah akan menjalankannya. Itulah hakikat dan makna dari demokrasi.
Pemerintah menyiapkan RUU ini dengan niat yang baik serta dengan pikiran yang jernih dan rasional. Dan apapun nanti yang menjadi pilihan negara, pemerintah akan menghormati, tunduk, dan menjalankannya. Kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk warga ‘kerajaan’ Daerah Istimewa Yogyakarta untuk semuanya kembali tenang, tetap berpikir dan bertindak jernih, menghormati proses dan mekanisme pembuatan undang undang, masukan, dan rekomendasi secara terbuka.
“YOGYAKARTA TETAP ISTIMEWA!”
** Andri Wicaksono, PBI PPs-UNS 2010
Komentar
Posting Komentar