ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi, namun turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan baru yang kritis dan lugas dalam mengeluarkan karya-karya sastra yang bersifat experimental dengan menyuarakan kondisi-kondisi sosial yang selama ini menjadi hal tabu untuk dibicarakan untuk diangkat sebagai karya sastra. Banyak karya sastra pada zaman orde baru yang dicekal dan dilarang bahkan untuk menyimpan atau sekadar membaca karena dianggap tidak sesuai dengan rezim. Mungkin itu sebabnya ketika orde baru tumbang dan Soeharto dipaksa turun dari singgasananya dan militer tak bisa terlalu dominan dalam kehidupan politik di negeri ini buku-buku kiri yang tadinya dilarang dan hanya bisa diakses secara sembunyi-sembunyi dengan resiko hukuman penjara diterbitkan kembali secara luas dan ternyata laris manis (Anton Kurnia: 54-55,2004). Kini setelah reformasi orang bebas untuk membaca, memiliki, tanpa takut untuk dan sembunyi-sembunyi dan sekarang banyak kita jumpai serta diperjual-belikan di toko-toko buku.
Novel Saman karya Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an). Novel Saman merupakan gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani, penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh. Pada masa itu juga terjadi kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa buruh yang memunculkan wajah rasis.
Pemerintah dalam menanggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer yang membela kepentingan Soeharto, yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tuntutan itu dijawab dengan pentungan, gas air mata, aksi penangkapan ilegal, penculikan dan penyiksaan Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan adanya LSM ini, bukannya membawa keadaan semakin membaik, tetapi LSM dianggap sebagai gerakan kiri atau gerakan yang melawan pemerintah. Pada masa rezim Soeharto, LSM selalu diidentikkan sebagai “agen dan antek asing”, “penjual”, dan “pengkhianat bangsa”. Peryataan ini dilakukan untuk mengurangi keberadaan LSM di mata rakyat, mengingat LSM saat itu adalah satu-satunya elemen masyarakat yang kritis terhadap pemerintah Soeharto. Posisi LSM dan rezim Soeharto selalu dalam posisi berlawanan. LSM telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, wajar bila pemerintah selalu mencurigai aktivis LSM. Pemerintah juga melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM.
Selain itu, novel Saman juga bercerita mengenai perjuangan seorang pemuda bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus menyaksikan penderitaan penduduk desa yang tertindas oleh negara melalui aparat militernya. Saman akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan seksual dengan sejumlah perempuan. Keempat tokoh perempuan dalam novel Saman antara lain Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin. Mereka muda, berpendidikan dan berkarir. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam mendefinisikan seksualitas perempuan.
Kemunculan novel Saman menjelang saat-saat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena isinya yang dianggap kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik mengenai represi politik, intoleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada pihak-pihak yang mengkritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan panas dalam membicarakan persoalan seks. Banyak pula yang memujinya karena penggambaran novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan.
Di tengah kontroversi itu, Saman berhasil mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir di New York. Pada tahun 2000, novel Saman mendapatkan penghargaan bergengsi dari negeri Belanda yaitu Penghargaan Prince Clause Award. Suatu penghargaan yang diberikan kepada orang-orang dari dunia ketiga yang berprestasi dalam bidang kebudayaan dan pembangunan. Novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Samans Missie, yang diluncurkan di Amsterdam pada 9 April 2001 dan dihadiri sendiri oleh Ayu Utami.
Ayu Utami merupakan salah satu pengarang wanita yang dinobatkan sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta. Penobatan ini seperti telah menjadi perayaan terhadap “kebangkitan” pengarang wanita dalam khazanah sastra di Tanah Air. Kemenangan Ayu Utami tidak saja telah memberi kepercayaan diri kepada pengarang wanita lain untuk menerbitkan karya-karya mereka, tetapi secara substansif telah mendeskontruksi jarak yang tadinya terbentang antara pengarang dengan pembacanya.
Saman banyak mendapat perhatian dari ilmuwan terkemuka, diantaranya Sapardi Djoko Damono dan Faruk H. T. Sapardi menganggap komposisi Saman sepanjang pengetahuannya tidak ditemukan di negeri lain, padahal karya-karya Ondaatje, Salman Rushdie, Vikram Seth, Milan Kudera adalah contoh cara bercerita sealiran dengan Saman. Yang menyenangkan adalah bahwa teknik itu, aliran bertutur itu, kini hadir dalam sebuah novel Indonesia.
Menurut Faruk, apa yang dilakukan oleh Ayu adalah keberanian melakukan aksentuasi terhadap sesuatu yang tadinya bermakna tabu. “Ini juga patut dihargai, ia telah mengaksentuasikan sesuatu nilai yang tadinya sangat tabu dikatakan oleh kaum perempuan”. Dari segi sosiologi khususnya menggunakan teori Strukturalisme Genetik belum pernah ada yang meneliti. Novel Saman karya Ayu Utami sangat menarik dan perlu dikaji, karena novel Saman mempunyai hubungan antara lingkungan sosial saat novel tersebut diciptakan dengan lingkungan sosial pengarang. Oleh karena itu dari pengkajian novel Saman ini dapat diketahui pandangan dunia pengarang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah eksistensi tokoh utama (Wisanggeni/Saman)?
2. Bagaimanakah lingkungan sosial-budaya pengarang (Ayu Utami)?
3. Bagaimanakah lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman?
4. Bagaimanakah pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman?
C. Tujauan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan eksistensi tokoh utama (Wisanggeni/Saman).
2. Mendeskripsikan lingkungan sosial-budaya pengarang (Ayu Utami).
3. Mendeskripsikan lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman.
4. Mendeskripsikan pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmu sosial khususnya sosiologi sastra. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran sastra dalam mengapresiasi novel-novel Indonesia, khususnya dalam hal ini novel Saman karya Ayu Utami.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial (Damono 1978: 6). Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono 1978: 6).
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra (Damono 1978: 2). Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya (Semi 1993: 73).
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie 2000: 117).
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan) merupakan refleksi pada zaman karya sastra (kesusastraan) itu ditulis yaitu masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya.
Wellek dan Warren (dalam Damono 1978: 3) mengemukakan tiga klasifikasi yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1. Sosiologi pengarang. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi.
2. Sosiologi karya sastra. Masalah yang dibahas mengenai isi karya sastra, tujuan atau amanat, dan hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan berkaitan dengan masalah sosial.
3. Sosiologi pembaca. Membahas masalah pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap pembaca.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt dalam eseinya yang berjudul “Literatur Society” (dalam Damono 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Pertama, konteks sosial pengarang. Ini ada hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat: sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya, (c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal yang perlu dipertanyakan adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur (Damono 1978: 3-4).
Selain itu Laurenson (dalam Fananie 2000: 133) mengemukakan ada tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa satra tersebut diciptakan;
2. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya;
3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.
Menurut Wellek dan Warren (1995: 111) hubungan sastra dengan masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan situasi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di dalam karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial sastra.
Menurut Goldmann (Endraswara 2003: 57) karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Sehingga karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan kejadiannya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterkaitan pandangan dunia pengarang dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik. Oleh karena itu, muncullah teori yang disebut dengan Strukturalisme Genetik.
Strukturalisme Genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, Strukturalisme Genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar, tetap dianggap penting bagi pemahamah karya sastra (Endraswara 2003: 60).
Dalam skripsi ini digunakan klasifikasi yang kedua dari Wellek dan Warren, yaitu sosiologi karya sastra. Dalam klasifikasi sosiologi karya sastra ini akan dibahas mengenai masalah-masalah sosial dan dalam kaitannya dengan isi karya sastra, tujuan, amanat dan hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra. Jadi, dalam sosiologi karya sastra yang menjadi pokok bahasan adalah karya sastra itu sendiri. Pendekatan sosiologi karya sastra akan mengkaji karya sastra yang isinya bersifat sosial. Hal ini dikarenakan sastra sebagai hasil seorang pengarang tidak bisa lepas dari kehidupan sosial suatu masyarakat.
B. Pengertian Strukuralime Genetik
Pencetus pendekatan strukuralime genetik adalah Lucien Goldmann, seorang ahli sastra Prancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Bukan seperti pendekatan Marxisme yang cenderung positivistik dan mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Goldmann tetap berpijak pada strukturalisme karena ia menggunakan prinsip struktural yang dinafikan oleh pendekatan marxisme, hanya saja, kelemahan pendekatan strukturalisme diperbaiki dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo. et al, 2002:60).
Goldmann (dalam Teeuw, 2003: 126:127) menyebut metode kritik sastranya strukturalisme genetik. Ia memakai istilah strukturalisme karena lebih tertarik pada struktur kategori yang ada dalam suatu dunia visi, dan kurang tertarik pada isinya. Genetik, karena ia sangat tertarik untuk memahami bagaimana struktur mental tersebut diproduksi secara historis. Dengan kata lain, Goldmann memusatkan perhatian pada hubungan antara suatu visi dunia dengan kondisi-kondisi historis yang memunculkannya. Kemudian, atas dasar analisis visi pandangan dunia pengarang dapat membandingkannya dengan data dan analisis sosial masyarakat. Untuk menopang teorinya tersebut, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebut sebagai strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan pandangan pengarang. Pandangan pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar belakang kehidupan pengarang (Faruk 1999:12 -13). Orang yang dianggap sebagai peletak dasar mazhab genetik adalah Hippolyte Taine (Sapardi Djoko Damono dalam Zaenudin Fananie 2000:116). Taine mencoba menelaah sastra dari sudut pandang sosiologis. Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan (Umar Junus dalam Zaenudin Fananie 2000:117). Fenomena hubungan tersebut kemudian dikembangkan oleh Lucien Goldmann dengan teorinya yang dikenal dengan Strukturalisme genetik (Zaenudin Fananie 2000:117). Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Strukturalisme-Genetik Goldmann adalah penelitian sosiologi sastra (Umar Junus 1988:20).
Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Zaenudin Fananie 2000:117).
Atar Semi (1987:7) berpendapat bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang subjektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain, kita melihat gambaran tentaang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pemberdayaannya. Sementara, sastra itu sendiri pada dasarnya berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media. Bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Meskipun sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1995: 84), meskipun sastra dianggap cerminan keadaan masyarakat, pengertian tersebut masih sangat kabur. Oleh karena itu banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Namun demikian, Grebstein (dalam Sapardi Djoko Damono 1978: 4) mengatakan bahwa meskipun sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungannya atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari fakta-fakta sosial, kultural yang rumit dan bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
Yakob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra adalah produk masyarakat, berada di tengah masyarakat, karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional dari masyarakat. Konteks sosial novel merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejalagejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 2001:61).
Sapardi Djoko Damono (dalam Faruk 1999 (a) :4-5) menemukan tiga macam pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dalam kaitannya dalam masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah:
1) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya,
2) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi,
3) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang terutama mendapat perhatian adalah:
1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya itu ditulis,
2) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya,
3) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat.
Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian:
1) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat,
2) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan
4) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1 dan kemungkinan 2 di atas.
Strukturalisme-Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur karya sastra, bagi strukturalisme genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan faktor-faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor-faktor itulah yang memberikan kepaduan pada struktur itu (Goldmann dalam Faruk 1999 (b):13).
Penelitian strukturalisme genetik semula dikembangkan di Perancis atas jasa Lucien Goldmann. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar belakang sejarah. Karya sastra, di samping memiliki unsur otonom juga tidak dapat lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sasta sekaligus mempresentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra. Menurut Goldmann (dalam Endraswara, 2003:55-56), studi strukturalisme genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama. Kedua, hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang mengikat. Oleh karena itu, seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri. Pada dasarnya, pengarang akan menyarankan suatu pandangan dunia yang kolektif. Pandangan tersebut juga bukan realitas, melainkan sebuah refleksi yang diungkapkan secara imajinatif.
Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan (Faruk, 1999 (b):12).
1. Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan dapat berwujud aktifitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra (Faruk, 1999 (b):12). Fakta-fakta kemanusiaan pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta yang kedua mempunyai peranan penting dalam sejarah, sedangkan fakta yang pertama tidak memiliki hal itu. Goldmann (dalam Faruk, 1999 (b):12) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Yang dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Dengan kata lain, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar.
2. Subjek kolektif
Subjek kolektif adalah subjek yang berparadigma dengan subjek fakta sosial (historis). Subjek ini juga disebut subjek trans individual. Goldmann mengatakan (dalam Faruk, 1999 (b):14-15) revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar, merupakan fakta sosial (historis).
Pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann terdiri dari empat aspek, yaitu makna totalitas karya sastra, pandangan dunia pengarang, struktur teks karya sastra, dan struktur sosial masyarakat yang terdapat dalam karya sastra (Nugraheni: 159).
Suwardi Endraswara mengatakan bahwa penelitian strukturalisme genetic memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan relitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003:56). Hal senada juga diungkapkan dalam Jabrohim (ed), penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan ini mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna tinggi, apabila para peneliti sendiri tidak melupakan atau tetap memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi (Jabrohim (ed), 2001: 82).
Secara sederhana, strukturalisme genetik dapat dapat diformulasikan dalam tiga langkah. Pertama, peneliti bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhannya. Kedua, mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang (Suwardi Endraswara, 2003: 62).
1. Penelitian bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhan.
Penelitian Strukturalisme Genetik, memandang karya sastra dari dua sudut pandang yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari bagian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensi) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakat. Karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkap aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra. Untuk sampai pada World view yang merupakan pandangan dunia pengarang memang bukan perjalanan mudah. Karena itu, Goldman mengisyaratkan bahwa penelitian bukan terletak pada analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita itu kemudian dicari jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan pada struktur dengan mengabaikan isi kebenarannya merupakan suatu permasalahan tersendiri, karena hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang merupakan tradisi sendiri (Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara 2003: 57-58).
Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan Strukturalisme Genetik terlebih dahulu harus memulai langkah yaitu kajian unsur-unsur intrinsik. Dari pengkajian unsur-unsur intrinsik ini akan dapat memunculkan tokoh problematik dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang terdapat dalam novel akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang akan dimunculkan melalui tokoh problematik (problematic hero). Tokoh problematik (problematik hero) adalah tokoh yang mempunyai wira bermasalah yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic value). Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat dari pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh problematik dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
2. Mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu.
Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra memberi pengaruh pada masyarakat, bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup pada suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya sebagai realitas sosial (Semi 1989: 73).
Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial berarti berkenaan dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat. Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan yang dipandang sebagai karya yang tersusun secara teratur, terbiasa, dan sesuai dengan tata tertib. Hasil budaya tersebut dapat berupa kemahiran teknik, pikiran, gagasan, kebiasaan-kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat kebendaan. Kata kebudayaan mengandung pengertian yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, cara hidup, dan lain-lain. kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat kebudayaan adalah hasil budi, daya kerja akal manusia dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan terbentuk karena adanya manusia, sedang manusia merupakan anggota masyarakat. Simpulan yang diperoleh dari beberapa pengertian sosial budaya di atas adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal budinya sebagai makhluk sosial.
Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas (Damono 1978: 42).
Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen dalam peristiwa munculnya karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha mengaktualisasikan dirinya, menaruh minat terhadap masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, hidup, dan kehidupan melalui karya sastra. Meskipun demikian, karya sastra berbeda dengan rumusan sejarah. Dalam sebuah karya sastra, kehidupan yang ditampilkan merupakan peramuan antara pengamatan dunia keseharian dan hasil imajinasi. Jadi, kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan yang telah diwarnai oleh pandangan-pandangan pengarang.
Latar belakang sosial budaya pengarang dapat mempengaruhi penciptaan karya-karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik secara individual (pengarang) maupun secara kolektif. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antanogis kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas (Sapardi Djoko Damono 1978:42).
Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk dan karya yang diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999 (a) :55) sekolah dan latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang dikerjakan oleh sastrawan.
Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan sosial budaya pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu. Kehidupan sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya. Pengarang menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang satu peristiwa. Kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial budaya pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu. Sehingga kehidupan sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya. Pengarang bukan hanya penyalur dari suatu pandangan dunia kelompok masyarakat, tetapi juga menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang satu peristiwa. Secara singkat, kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat pengarang.
3. Mengkaji latar belakang sosial sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 78).
Karya sastra yang besar menurut Goldman (dalam Fananie 2000: 165) dianggap sebagai fakta sosial dari subjek tran-individual karena merupakan alam semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat historis.
Bonald (dalam Wellek dan Warren 1995: 110) mengemukakan hubungan antara sastra erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra ada hubungan dengan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan kehidupan zaman tertentu secara nyata dan menyeluruh.
Grabstein (dalam Damono 1984: 4) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang menghasilkannya. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya dan tidak hanya menyoroti karya sastra itu sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik antara faktor-faktor sosial kultural dan merupakan objek kultural yang rumit.
Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat berpengaruh terhadap proses penciptaan karya sastra, baik dari segi isi maupun bentuknya atau strukturnya. Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang dengan sendirinya akan melahirkan suatu warna karya sastra tertentu pula (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 64).
Struktiralisme genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, srukturalisme genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra.
Menurut Suwardi Endraswara (2003: 60) yang terpenting dari kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang mampu mengungkapkan fakta kemanusiaan. Fakta ini mempunyai unsur yang bermakna, karena merupakan pantulan responrespaon subyek kolektif dan individual dalam masyarakat. Subyek tersebut selalu berinteraksi dalam masyarakat untuk melangsungkan hidupnya.
C. Pandangan Dunia Pengarang
Karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (visiun du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja (Endraswara 2003:57).
Pandangan dunia itu sendiri menurut Umar Junus (1988:16) terikat pada masa tertentu dan ruang tertentu. Keterlambatannya kepada masa tertentu menyebabkan ia mesti bersifat sejarah. Sehingga, sebuah analisis Strukturalisme-Genetik didasarkan faktor kesejarahan tanpa menghubungkannya dengan fakta-fakta sejarah suatu subjek kolektif di mana suatu karya diciptakan, tidak seorangpun akan mampu memahami secara komprehensif pandangan dunia atau hakikat makna dari karya yang dipelajari (Goldman dalam Zaenudin Fananie, 2000:120).
Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik. (Goldmann dalam Zaenudin Fananie, 2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran hubungan yang meliputi: a) Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan alam ciptaan pengarang. b) Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi, sintaksis, dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan pengarang dalam ciptaannya. Menurut Goldmann (dalam Umar Junus, 1988:16) hubungan genetik antara pandangan dunia pengarang dalam sebuah novel atau karya adalah pandangannya dengan pandangan dunia pada suatu ruang tertentu dalam masa tertentu, sehingga pendekatan ini dikenal dengan Strukturalisme-Genetik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang terdiri dari hubungan antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata dan hubungan latar sosial budaya pengarang dengan karya sastra. Ideologi atau pandangan pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berinteraksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat pengarang. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di dalam karya sastra.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan data secara logika ilmiah bukan berupa angka, jumlah, dan prosentase agar mudah dipahami dan disimpulkan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra khususnya teori Marxis. Dalam melakukan kajian dengan metode strukturalisme genetik, langkah-langkah yang ditawarkan oleh Laurensin dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman (dalam Jabrohim 2001: 64-65) sebagai berikut.
a. Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
b. Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
c. Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencapai premis general.
3. Sumber Data
Data dalam penelitian ini bersumber dari novel Saman karya Ayu Utami. Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta 1998.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan teknik penelitian berupa data primer (novel Saman) dan data sekunder, data ini diperoleh dari beberapa buku lain.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Eksistensi Tokoh Saman
Dalam dunia pewayangan purwa, Wisanggeni adalah putra Arjuna dengan bidadari dari Kahyangan Jonggringsaloka. Sedari lahir, ia di bawa ke kahyangan untuk di tempa di kawah Candradimuka oleh Sang Hyang Wenang. Setelah dewasa, turun ke bumi dan kembali kepada keluarganya, yaitu Pandawa. Ia tidak dapat menyaksikan atau turut berperang dalam Bharatayuda sebab sudah dimatikan dahulu oleh Sri Kresna.
Dalam versi Ayu Utami, Wisanggeni adalah lulusan Institut Pertanian Bogor. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah teologi di Driyakarya. Setah tamat, acara sakramen presbiterat dan pembacaan kaul dan pelantikan dilaksanakan. Sejak saat itu orang-orang memanggil dia Frater Wisanggeni atau Romo Wisanggeni. Tugas untuk melayani umat di manapun dan kapanpun telah siap diemban Wis. Namun dalam hati kecil Wis, dia sangat berharap ditempatkan di pedalaman Perabumulih. Dia merasa banyak yang bisa dikerjakan disana, sebab dia adalah lulusan Institut Pertanian dan mayoritas penduduk Perabumulih bekerja di perkebunan karet. Jadi, Wisanggeni beranggapan bahwa kemampuannya di biadng pertanian dapat diterapkan di area perkebunan tersebut.
Bagi Wis, Perabumulih bukan tempat asing. Masa kecilnya pernah merasakan di Perabumulih karena Bapaknya pernah bekerja dinas sebagai kepala cabang Bank Rakyat Indonesia cabang Perabumulih. Disana juga dia mendapatkan pengalaman yang aneh, suatu pengalaman yang tidak pernah ia ceritakan bahkan pada Ayahnya sendiri. Pengalaman tentang roh-roh yang ada disekitarnya. Yang dianggap Wis adalah roh-roh adiknya yang telah lama tiada. Dari alasan itu mengapa Wis ingin sekali ditugaskan ke Perabulih tempat dimana ia mempunyai ikatan yang sangat erat sejak kecil. Kesempatan untuk ditugaskan ke Perabumulih akhirnya datang dan dikabulkan oleh Keuskupan.
Setelah sepuluh tahun akhirnya Wis datang lagi ke Perabumulih walau menurut Wis sendiri tempat itu tak banyak berubah. Perasaan tentang adik-adiknya yang telah lama tiada membuka kembali akan kenangan tentang masa lalunya. Perasaan pahit dimana Ibunya yang dikasihinya yang juga mengasihinya telah lama meninggal bercampur dengan rasa keingintahuan selama ini tentang Perabumulih selama sepuluh tahun yang telah ditinggalkannya.
Setelah beberapa hari dan beberapa minggu dengan kegelisahan dan kesedihan, apa yang tak pernah dia saksikan. Keterbelakangan dan kemiskinan penduduk membuat Wis bertekad untuk mengabdikan hidupnya dengan orang-orang di desa transmigran Sei Kumbang yang berjarak tujuh puluh kilometer dari Perabumulih.
Di Sei Kumbang, Wis memutuskan untuk membantu meringankan penderitaan gadis yang dianggap gila. Sikap rasa peduli dan keibaan terhadap orang-orang di Sei Kumbang ini, akhirnya dia meminta izin dari pastor kepala Perabumulih agar direstui untuk membantu penduduk Sei Kumbang dan di berjanji akan membagi tugas antara kepastoran parokial dan membantu penduduk di perkebunan karet.
Saman/Wisanggeni adalah sosok yang selalu gelisah melihat sesuatu yang oleh dia dianggap tidak wajar. Jiwa sosialnya akan tergerak dan ikut membantu jika dirasa itu sangat mengusik hatinya. Ketika dia untuk pertama kali melihat kondisi penduduk dusun Sei Kumbang dia sangat merasakan betapa keterbelakangan serta kemiskinan sehingga untuk membeli beras saja tidak mampu sangat mengganngu jiwanya untuk turut membantu.
Setiap malam Wis selalu memikirkan dan gelisah serta selalu bergelut dengan batinnya sendiri. Lalu pada suatu saat ia memberanikan diri untuk berbicara kepada pastor kepala Pater Westenberg mengajukan diri agar ia diberi ijin untuk membantu warga di Sei Kumbang. Karena keterlibatan Wis terhadap Warga Sei Kumbang Wis sering meninggalkan tugas parokialnya. Merasa mendapat teguran dari pator kepala Wis meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dialami dan yang ia kerjakan. Bahwa dia tidak bisa melihat keterbelakangan dan kemiskinan penduduk sedangkan dia sendiri hanya bisa tidur diranjang empuk dan menikmati masakan, sementara di luar sana ada banyak penduduk dusun yang hanya untuk membeli beras saja tak mampu. Itulah yang menjadikan konflik batin Wis .
“Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyamandan makan rantangan lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia bisa diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon agar diberi desempatan itu” (Saman, halaman 84)
Dari petikan di atas betapa Wis ingin sekali ingin membantu warga dusun Sei kumbang dengan cara mengajukan beberapa proposalnya agar dapat dana untuk membantu meringankan warga Sei Kumbang. Keinginan Wis pun akhirnya dikabulkan oleh pastor kepala. Dari sinilah, Wis semakin terlibat bukan hanya membantu warga tetapi juga terlibat dalam konflik-konflik yang dialami oleh penduduk.
Setelah kejadian pembakaran oleh penduduk Sei Kumbang. Wis kemudian ditangkap. Dan dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara Wis mengalami siksaan dan tekanan yang luar biasa dari aparat agar mau mengaku apa yang dituduhkan oleh aparat yang dituduh telah mengahasut penduduk. Tuduhan-tuduhan politis dan SARA bahwa dia seorang komunis yang berkedok rohaniawan dilayangkan pada Wis. Mau tidak mau akibat sikasaan akhirnya Wis mengaku dan membuat karangan tentang dirinya. Bahwa memang benar tuduhan-tudahan yang dialamatkan pada dia semua itu.
“Tapi bagaimanapun yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia di giring ke ruang interrogáis, didudukan atau dibarkan berdiri, sementara ia mendiga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanza selalu ditutup. Kadang mereka menyundut dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau Cuma menggunakan kepalan dan tendangan.” (Saman, halaman 106)
“Rasa sakit yang luar biasa akhirnya menyebabkan ia mengarang ceritayang sebelumnya tak pernah ia pikirkan sama sekali, cerita yang menyenangkan orang-orang itu: saya sesungguhnyaadalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor. Di sebuah negeri di Amerika Selatan, mereka menyebutnya republik pisang atau republik bananas, ia mempelajari teologi pembebasan dan ia kini datang untuk mewartakannya.” (Saman, halaman 107).
Konflik demi konflik mulai dari kekejaman aparat yang membakar dusun, sisksaan fisik yang ia terima hingga perasaan keingintahuan kabar dari orang-orang dusun yang membakar kantor polisi dan pabrik dan nasib Upi gadis gila yang ia rawat, tak tertolong ketika dusun dibakar membuat Wis menanyakan tentang Tuhan. Dalam kondisi inilah Wis mengalami konflik batin akan keberadaan Tuhan yang selama ini dia percaya.
“Ia merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak menebusnyasebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi yang mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur yang tak berdasar, dengan kecepatan tinggi.” (Saman, halaman 105).
“Abang (Wis) pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan abang berkali-kali, pemuda itu memegang lengannya sebelum pergi. Tapi Wis diam saja. Ia hanya berpikir. Tidak Anson. Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia tidak menyelamatkan Upi……….”. (Saman, halaman 115)
Dari kutipan dan pemaparan di atas, konflik yang dialami Wis bukan hanya konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal, dia adalah seseorang yang pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis. Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang tertindas.
“Hirarki gereja hanya mendengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni menghilang. Sebagiian orang mengira dia sudah matiketika disekap di pabrik..
Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan Kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama: Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas dibenaknya.” ( Saman, halaman 117).
B. Lingkungan Sosial Ayu Utami
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia. Ia mengaku sejak kecil memang suka bahasa terutama bahasa yang aneh-aneh, eksotis. Bagi Ayu Utami dunia tulis menulis bukan hal yang baru. Sebelum menjadi penulis novel, ia pernah menjadi wartawan di majalah Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan pers. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi. Baginya, menulis novel merupakan cara untuk mengeksplorasikan bahasa Indonesia, bahasa yang masih muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan.
Ayu Utami merupakan anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Sutaryo dan Suhartinah yang berasal dari Yogyakarta. Sutaryo sebagai ayah Ayu Utami bekerja sebagai jaksa, ia cukup ketat dalam mendidik anaknya untuk disiplin dan bertanggung jawab. Dalam hal ini ia sangat perhitungan terhadap anak-anaknya. Kalau ia memberikan sesuatu, pasti ia akan meminta imbalan yang seimbang dalam bentuk prestasi. Sebaliknya Suhartinah, sebagai ibu Ayu Utami yang dulu pernah bekerja sebagai guru Matematika di sebuah SMP adalah orang yang mencintai anak-anaknya tanpa batas. Baginya prestasi anak-anaknya bukanlah suatu hal yang teramat penting. Jika di lain pihak ayah Ayu Utami bisa kecewa sekali melihat anak-anaknya gagal meraih prestasi terbaik. Malah sebaliknya ia selalu siap menghibur jika anak-anaknya gagal. Kombinasi pola asuh orang tua Ayu Utami yang seperti inilah yang membuat Ayu Utami bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Ayu Utami menghabiskan masa kecil di Bogor hingga tamat sekolah dasar. Kemudian ia melanjutkan SMP di Jakarta, dan SMU di Tarakanita Jakarta.
Semasa SMP dan SMU Ayu Utami melakukan pemberontakan pada orang tua yaitu dengan tidak mau membaca buku, dan tidak mau belajar. Pokoknya meremehkan orang dewasa, meminimalkan usahanya untuk belajar. Baginya, membaca buku bisa mempengaruhi hidupnya, Ia mau tetap orisinil. Namun soal membaca, Ayu Utami masih menyisakan waktu untuk membaca Alkitab. Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merupakan penganut Katolik yang mengagumi buku-buku hasil karya Michael Ondaatje dan Budi Darma. Alkitab adalah buku satu-satunya yang ia baca mulai dari kecil sampai dewasa. Alasannya, Alkitab ditulis oleh orang banyak dengan gaya masing-masing. Ada yang bebentuk puisi, buku, dan surat menyurat. Wajarlah kalau dalam novel Saman, terdapat petikan-petikan ayat Alkitab.
Sejak kecil Ayu Utami gemar menulis. Ketika beranjak remaja, ia menulis beberapa cerita pendek yang kemudian dimuat di majalah ibukota. Namun, bukan berarti cita-cita Ayu Utami sejak kecil memang ingin menjadi penulis. Ayu Utami mempunyai bakat melukis. Ia sering memperoleh order melukis dari teman atau keluarganya. Bahkan impian banyak pelukis pernah menghampirinya, yakni tawaran dari pembimbing melukisnya untuk mengadakan pameran tunggal. Itulah sebabnya, setelah lulus dari SMU Ayu Utami ingin melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Akan tetapi keinginan itu ditentang orang tua. Sebagai pelarian akhirnya Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami memilih UI karena tidak ingin memberatkan orang tuanya, selain lebih murah dibandingkan dengan kuliah di luar negeri, selain itu juga semua kakaknya kuliah di UI.
Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu Utami seperti kehilangan arah. Kuliah ia jalani dengan malas. Ia lebih banyak bekerja di berbagai tempat daripada kuliah. Akan tetapi hal itu bukan merupakan pemberontakan. Ia merasa tidak ada gunanya lulus tanpa pengalaman. Selain itu ia tidak ingin tergantung soal keuangan pada orang tuanya. Kuliah sambil bekerja yang dilakukan Ayu Utami juga mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada zaman kakak-kakaknya hal itu tidak bisa diterima oleh ayahnya. Sifat keras kepala dan kritis Ayu Utami yang membuat ayahnya mengalah. Pekerjaan sebagai purel hotel berbintang pernah ia jalani. Bahkan Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R.
Sejak bergabung dengan Forum Keadilan, jiwa aktivisnya tumbuh dan berkembang. Ia menentang pembredelan pers oleh pemerintah dan mengikuti pendidikan di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Konsekwensinya ia akhirnya dipecat dari majalah Forum. Setelah itu ia sempat bergabung dengan majalah D&R, karena namanya sudah masuk black list, tidak boleh lagi tercantum disusunan redaksional media massa manapun. Di majalah ini ia hanya menjadi kontributor. Saat itu memang tidak ada lagi kemungkinan bagianya untuk menjadi wartawan secara terang-terangan. Ketika akhirnya ia menjadi aktivis, pihak keluarga sangat menentang. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat untuk menjadi aktivis niat utamnya adalah menjadi wartawan professional.
Pada masa Orde Baru sekitar tahun 1993-1994, Ayu Utami mengikuti arus menjadi aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers Sewaktu menjadi aktivis, kedudukannya lebih sebagai kurir atau penghubung. Ia tersentuh sekali melihat teman-teman yang terlibat secara langsung di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian menghindar dari kejaran polisi. Biasanya ia bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan, seperti mengantar uang, pesangon, dan sebagainya. Dengan penampilannya ia bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga dengan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis sosok Ayu Utami cukup bersih dan rapi. Hasilnya sepak terjangnya sebagai aktivis memang tidak pernah tercium oleh pihak aparat.
Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Ia merasa bahagia, bergaul dengan berbagai kalangan yang dapat memperkaya wawasannya. Di sinilah Ayu Utami melahirkan Novel Saman, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis moneter.
Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya, ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salah novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara terbuka.
Pemaparan seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh pihak perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang kalah. Ayu Utami bukannya menganjurkan seks sebelum menikah, tetapi menghimbau pembaca untuk merenungkan kembali isu keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu tersebut sewajarnya saja. Karena apabila perempuan begitu memuja keperawanan, maka ia sendiri yang akan rugi. Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti lagi.
Dalam hal menjalin cinta dengan seseorang, Ayu Utami adalah wanita yang sangat realistis. Dalam arti, pada saat tertentu ia bisa sangat mengagumi kekasihnya dan bergantung kepadanya. Tetapi jika hubungan pada akhirnya memang harus berakhir, ia pun bisa melupakannya sama sekali. Inilah yang membuatnya tidak mengenal istilah patah hati dalam hidupnya. Sebab ia bisa berteman baik dengan mantan kekasihnya, tanpa ada lagi rasa cinta. Soal laki-laki, secara fisik Ayu Utami suka lelaki yang berbadan tegap dan rambutnya cepak. Entah kenapa seperti itu, sebetulnya ia sebal sekali dengan militerisme, tetapi soal laki-laki ia suka yang military look. Dari segi karakter, ia tidak terlalu tertarik dengan laki-laki yang bicaranya terlalu banyak dan suka pesta. Kalau sebatas teman ia senang sekali, tetapi bukan untuk menjadi pacar. Ia suka dengan laki-laki yang military look kemungkinan arena citra laki-laki ganteng yang pertama kali ia lihat adalah Pierre Tendean, orang yang dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi. Seperti kita ketahui bagi orang-orang sebaya Ayu Utami, doktrin mengenai G 30 S/PKI itu kan demikian kuat. Proses pembentukannya sepertinya didoktrinasi oleh nila-nilai kepahlawanan seperti itu. Jadi, meskipun ketika beranjak dewasa apalagi setelah menjadi aktivis, ia benci sekali dengan tentara, tetapi soal laki-laki ia malah tertarik dengan mereka yang bergaya militer.
Ayu Utami tidak mau menikah, itu prinsip yang kini ia pegang. Dalam buku Si Parasit Lajang, ia menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang menurutnya penting yaitu menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun kita selalu mengucapkan bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam kenyataannya menikah itu satu-satunya pilihan. Karena, kalau tidak menikah perempuan akan diejek sebagai perawan tua, dan sebagainya. Yang pada akhirnya, membuat si perempuan menjadi berada di bawah tekanan. Ia ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubungan seks di luar pernikahan. Dalam hal ini, Ayu Utami melihat masyarakat kita memang munafik. Mereka menganggap seolah-olah kalau sudah menikah itu segala sesuatu menjadi beres. Padahal, banyak sekali orang yang sudah menikah tetapi masih melakukan hubungan seks di luar pasangan sahnya. Dalam hal pernikahan, ia melihat banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.
Keputusan Ayu Utami untuk tidak menikah membuat keluarga, terutama ibu sempat merasa sedih. Sampai sekarang Ibu Ayu Utami tetap berharap suatu saat akan menikah. Sebaliknya, di luar pikirannya, Bapak Ayu Utami malah menerima keputusan ini dengan enteng. Ayu Utami juga tidak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang ibu, menurutnya buat apa punya anak, penduduk Indonesia sekarang kan sudah padat sekali.
C. Lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman
Novel Saman merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an. Pemerintah pada waktu itu di bawah kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru muncul konflik baru yang memanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia.
Saman menceritakan peristiwa persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan pesoalan peka bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh. Pada novel ini juga diceritakan mengenai kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa yang memunculkan wajah rasis. Pemerintah dalam menaggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Akan tetapi LSM telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, pemerintah melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM.
Konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan akan kondisi ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet. Sehingga untuk sekedar bertahan hidup mereka menjual hasil kebun kepada tengkulak. Namun dari sinilah konflik dimulai ketika perusahaan berganti. Penduduk dipaksa untuk menanam kelapa sawit di bawah ancaman agar mau menuruti kepentingan perusahaan yang baru. Dapat dilihat lihat juga tentang kepentingan politis Gubernur sebagai kepala daerah yang seharusnya membela hak-hak para buruh kebun karet, tapi akhirnya mereka dikorbankan oleh Gubernur demi kepentingan penanaman kelapa sawit dan segelintir orang (pemilik modal). Teror dan intimidasi akhirnya membuat para penduduk melawan kesewenangan dari perusahaan. Tentu mereka kalah karena petugas dan aparat telah siap merepresif mereka.
Konflik dalam novel Saman mengacu pada konflik eksternal khususnya pada konflik social penduduk Sei Kumbang, yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia. Stara konflik ideologis antara lapisan-lapisan sosial bukannya tidak ada. Lapisan elite yang biasa disebut lapisan priyayi, berpendidikan, dan kebanyakan berasal dari atau tinggal di kota , pada umumnya memandang lapisan bawah atau wong cilik sebagai lapisan orang-orang yang kurang berpendidikan, bodoh tradisional, dan tidak bergairah di dalam mengikuti perubahan.
Semakin kuat watak komoditi dalam pertanian, maka semakin besar jarak yang memisahkan petani dengan pasar, dan semakin besar pula ketergantungan petani pada pedagang yang berfungsi sebagai perantara. Pedagang yang menemukan tempatnya diantara produsen dan konsumen, menghasilkan modal dagang. Seiring dengan kemunculan pedagang, muncul pula lintah darat yang meminjamkan uang pada masa paceklik kepada petani dan yang menciptakan dasar bagi eksploitasi modal lintah darat. Proses ini membuat kecenderungan teraleanisasi petani pada tanahnya sendiri dalam novel Saman, ini ditunjukan ketika petugas perkebunan memergoki para penduduk Sei Kumbang menjual getah karet lateks pada tengkulak karena menawar lebih tinggi dan datang sambil mengutangi beras dan kebutuhan petani.
“Maka mereka lebih memilih menjual kepada tengkulak yang acap menawar lebih tinggi dan datang dengan mengutangi beras serta kebutuhan tani” (Saman, halaman 82).
Petani di Sei Kumbang dianggap oleh PTP perseroan yang mengelola perkebunan karet berhutang kepada PTP atas benih, pupuk dan pembukaan lahan transmigrasi yang ditanggung oleh PTP. Sebagai angsuran hutang lima sampai sembilan juta, maka penduduk wajib menjual hasil perkebunan kepada PTP. Bersamaan dengan ini meningkat pula pembayaran tunai dari tuan tanah kepada petani yang menyebabkan pergantian pembayaran dari bentuk barang kepada pembayaran tunai. Dengan demikian, hal tersebut dapat meningkatkan tingkat pembayaran secara umum. Sementara itu, petani hanya sanggup membayar secara tunai dengan cara menjual hasil produksinya. Hal ini tentu saja sangat membebani penduduk transmigrasi Sei Kumbang sehingga banyak penduduk tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka.
“Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah, untuk dicicil dua puluh lima tahun. Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang” (Saman, halaman 81).
Teror terhadap penduduk semakin gencar agar tanah mereka dijual ke perseroan baru pengganti PTP yang bangkrut. Teror dan intimidasi dilakukan pertama-tama dilakukan dengan menjebol rantai rumah Upi gadis gila yang dirawat Wis lalu disusul dengan merusak dan merobohkan kincir angin yang dibuat Wis dan penduduk sebagai rumah asap dan pembangkit listrik mini bagi penduduk Sei Kumbang karena di tempat itu Belum teraliri listrik. Tak hanya para penduduk yang merasa sedih, tapi Wis juga teramat terpukul.
“ Sejak tiga tahun lalu, instalasi kecil itu menghasilkan dinamo 5000 watt. Dusun yang kini terdiri sekitar delapan puluh rumah dan langgar itu telah diterangi lampu dan diramaikan bunyi radio. Listrik telah menjadi keajaiban tersendiri bagi penduduk dusun. Tapi kini menara kincir itu dirobohkan” (Saman, halaman 91).
Sistem kapitalisme yang dikuasai kaum borjuis semakin bersemangat menghapuskan keadaan terpencar-pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik. Penguasa tersebut telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan mengkonsentrasi milik ke dalam beberapa tangan. Akibat yang sudah dari hal ini adalah pemusatan politik. Sebagai gantinya, datanglah persaingan bebas, disertai oleh susunan sosial dan politik yang diselenggarakan dengannya oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis. PTP sebagai persero yang berwenang di Sei Kumbang terus merugi akhirnya PTP menyerahkan ke perusahaan lain, yaitu PT Anugerah Lahan Makmur yang akan mengubah dusun Sei Kumbang menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun, rencana ini ditolak oleh penduduk desa, lebih-lebih Wis yang menganggap lahan ini milik penduduk dan perkebunan karet dibuka untuk petani bukan perusahaan.
“Kami melihat bahwa dusun ini (Sei Kumbang) saja yang belum patuh untuk menanda tangani kesepakatan dengan perusahaan.” (Saman, halaman 92)
“Kami memang mendengar bahwa PTP merugi di kebun karet ini lalu menyerahkan ke perusahaan baru yang mau menjadikannya kebun sawit” (Saman, halaman 93).
Petugas yang datang memberitahu penduduk gagal untuk membujuk agar mematuhi kesepakatan pergi dengan mengancam akan menggusur perkebunan karet milik penduduk dengan buldózer.
“Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus menanamnya. Jika dalam sebulan tidak menurut, terpaksa buldozer-buldozer membabat perkebunan itu”. (Saman, halaman 93).
Penggusuran dusun yang pernah diancamkan oleh para petugas atas perintah Gubernur memang tertunda berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. Namun perusahaan baru menggunakan teror dan intimidasi terhadap warga yang jauh lebih mengerikan. Puncaknya adalah ketika mereka merobohkan pohon-pohon karet dan oknum satpam suruhan perusahaan kebun memperkosa istri Anson di rumahnya, ketika Anson dan para warga sedang berkumpul untuk membahas perkebunan mereka.
Penduduk dengan spontan mengejar pelaku dan berhasil membunuh dari salah satu pelaku. Anson yang begitu geram memimpin warga untuk meyerang dan membakar pos. Wisanggeni tak sanggup menceggah kemarahan penduduk itu terutama Anson. Sementara para warga khususnya Ibu-ibu dan anak perempuan dikumpulkan di surau. Tak lama setelah para warga laki-laki pergi meyerbu pos datang tiga jip serta sebuah mobil bak terbuka. Petugas akhirnya menangkap Wis, sementara dusun Sie Kumbang dibakar mulai dari rumah asap dan rumah-rumah penduduk.
“ Semenit kemudian Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga Argani, lalu rumah-rumah yang lain. Ia (Wis ) menjerit teringat Upi yang belum Ia sempat gabungkan dengan ibu-ibu. Ia melompat untuk menyelamatkan gadisnya (Upi). Tapi dua orang dengan seragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga dada dan pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangnnya sebelum ia sempat mengerang nyeri.” (Saman, halaman 104).
Pemaparan konflik sosial dan politik yang terjadi pada penduduk Sei Kumbang mengenai sebelum berada atau memutuskan menjadi transmigran di perkampungan tersebut, mereka berharap agar kehidupan mereka lebih baik daripada di tempat asalnya. Namun kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Awal dari pembukaan lahan mereka telah menanggung hutang yang tak pernah mereka bisa bayar terhadap perusahaan yang memberi. Tanah dan perkebunan mereka yang seharusnya dapat dimanfaatkan dan menjadi sumber penghidupan di monopoli oleh perseroan yang telah menghutangi mereka. Di sini, dapat dilihat betapa miskin dan keterbelakangannya penduduk di Sei Kumbang. Hal ini terbukti pada listrik belum masuk dusun mereka, padahal jarak dusun ke Perabumulih yang menjadi kota minyak hanya tujuh puluh kilometer.
Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa beban., ia hanya asyik bercerita. Bahkan, ketika ada sisipan-sisipan pemikiran tentang Tuhan, agama, negara, hubungan mengenai ikon-ikon generasi Orde Baru yaitu generasi yang terlahir dan besar selama Orde Baru, yang dibuai dengan kelimpahan materi atau informasi dan hegemoni pembangunanisme.
Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja yang dikritik, problematika kebudayaan timur pun dibahas, terutama masalah keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka.
Saman menceritakan tentang persoalan antara perempuan dengan seksualitas. Jika laki-laki tidak pernah merasakan ada persoalan dengan seksualitasnya, perempuan sebaliknya, karena seksualitas perempuan selalu dipertanyakan jika dia ingin terjun ke sektor publik. Laki-laki dapat dengan lugas dan terbuka mengungkapkan hasratnya dan tentu saja tidak ada orang yang akan mempertanyakan termasuk pasangannya. Namun apa yang terjadi dengan perempuan, untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada laki-laki saja perempuan menemui kendala, masyarakat tidak mudah menerima hal tersebut inilah yang kemudian terlihat dalam Saman, yaitu bahwa perempuan memiliki hasrat yang sama dengan laki-laki itu bukanlah sesuatu yang buruk. Saman berhasil menggambarkan pemberontakan hak seksual perempuan untuk menggunakan bahasa tubuh. Saman merangkum persoalan seks dan perempuan, menggambarkan perempuan apa adanya, dan semua didefinisikan secara vulgar. Novel Saman berani mendobrak tabu yang sangat kuat membebani kaum hawa. Dalam Saman, seks bukanlah bumbu cerita tetapi menjadi bagian dalam cerita itu sendiri. Dengan ringan para tokoh berbicara tentang seksualitas begitu terbuka, mereka berani menunjukkan hasratnya. Sesuatu yang selama ini dianggap tabu bagi perempuan ternyata ditampilkan dengan cukup memikat bahkan mengejutkan.
Seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan pada pihak yang kalah. Perempuan dalam Saman adalah cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1900-an, yang masih mengalami ketidakadilan dan penindasan yaitu kurangnya perlindungan hukum untuk menangani kekerasan seksual, ataupun norma masyarakat yang membatasi penggunaan hak seksual perempuan. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam memililiki peran mereka. Tiga diantaranya empat karakter perempuan belum menikah pada usia tiga puluhan dan peran mereka tidak sebatas istri atau ibu. Mereka bisa menikmati pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka masing-masing.
Perempuan dalam novel Saman sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria. Dalam novel ini Saman sebagai lak-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok. Saman menjadi buronan karena kegiatan-kegiatan LSMnya.
Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dan mengirimnya ke New York. Proses pelarian ini cukup berbahaya, bahkan Saman mengakui “Dua cewek ini lumayan tangguh dan barangkali menganggap ketegangan sebagai petualangan.” Meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai oleh Shakuntala dan teman-temannya, masih ada juga ketidakadilan bagi perempuan Indonesia di tahun 1990-an, yang tercermin dalam novel Saman. Contoh adalah Upi, gadis Lubukrantau yang menderita kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dari pemerintah untuk merawat orang-orang seperti Upi, dan juga tidak ada perlindungan hukum dan keadilan untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya, dan tidak ada hukum yang melarang perbuatan mereka. Keadaan ini dikritik oleh Ayu Utami dengan cara menampilkan tokoh Saman yang ditampilkan sebagai seorang pastor. Saman bukan hanya tidak memanfaatkan Upi, ia bahkan membuat rumah perlindungan yang lebih bagus untuk Upi, dan selalu memikirkan keselamatannya.
Cerita dalam novel Saman berputar diantara empat perempuan yaitu Shakuntala, Yasmin, Laila, Cok. Novel ini mengisahkan masa kecil mereka sampai saat mereka berumur tiga puluhan. Dalam novel ini juga dijabarkan mengenai pencarian identitas diri mereka sebagai perempuan, konflik batin mereka tentang masalah seksual dan juga norma masyarakat yang tidak mereka setujui. Selain kisah keempat perempuan tersebut, juga diceritakan mengenai perjuangan Saman dalam membantu masyarakat Lubukrantau, masalah politik dan sosial di masa Orde Baru, iman kepada Tuhan yang diuji, dan bahkan juga ada bagian surealistis yang menceritakan masa lalu Saman di Perabumulih.
D. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman
Tokoh problematik dalam novel Saman adalah tokoh yang bernama Saman. Saman ditentukan sebagai tokoh problematik karena Saman merupakan tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui masalah-masalah inilah pengarang memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya.
Masalah pertama yang dihadapi oleh Saman yaitu muncul ketika ia telah diangkat menjadi seorang pastor dan ia berkeinginan untuk ditugaskan di desa tempat masa kecilnya mengalami suatu perjalanan aneh yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Akan tetapi Saman takut kalau keinginannya tidak sesuai dengan keputusan yang diberikan oleh Uskup. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Sesungguhnya persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan.
(Saman, halaman 42)
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Saman di atas pengarang memunculkan tokoh yang bernama Romo Daru sebagai seorang pastor senior yang banyak menghabiskan waktunya di persemedian. Romo Daru berusaha melobi Bapak Uskup supaya Saman dapat ditugaskan di Perabumulih sesuai dengan keinginan Saman. Berkat usaha Romo Daru, akhirnya Saman ditugaskan sebagai Pastor Paroki Parid yang melayani kota kecil di Perabumilih dan Karang Endah wilayah keuskupan Palembang. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Barangkali Tuhan mengutusnya. Barangkali Tuhan Cuma mengabulkan harapannya. Uskup menugaskan dia sebagai Pastor Paroki Parid, yang melayani kota kecil. Perabumulih dan Karang Endah, wilayah keuskupan Palembang. Umat di daerah itu sekitar lima ratus saja. Barangkali Romo Daru melobi untuk dia (Wis belum berhasil menemui dia untuk berterimakasih atau konfirmasi). (Saman, halaman 57)
Pemunculan tokoh Romo Daru yang berkedudukan sebagai pastor senior di atas, merupakan gambaran kehidupan pengarang. Dalam menulis cerita, pengarang cenderung menulis tentang pastor dan suster. Cerita-cerita yang pengarang tulis agak religius. Pengarang menggunakan kata-kata dalam bidang agama seperti Romo, Uskup, Pastor. Kata-kata tersebut merupakan istilah yang terdapat dalam agama Katolik. Pengarang bisa secara jelas menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan agama Katolik. Hal ini merupakan gambaran kehidupan pengarang, yaitu pengarang menganut kepercayaan agama Katolik. Sebagai penganut agama Katolik, pengarang masih menyisakan waktunya untuk membaca Alkitab yang merupakan satu-satunya buku yang ia baca dari kecil sampai dewasa. Alasannya, Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya dan ditulis oleh orang dengan gaya masing-masing ada yang berbentuk buku, puisi, bahkan surat menyurat. Jadi, wajarlah kalau dalam novel Saman terdapat petikan-petikan ayat Alkitab.
Setelah melakukan perjalanan jauh menuju tempat tugasnya Saman beristirahat. Di kamar tidur kepastoran Saman mengalami kegelisahan. Ia telah melihat kesengsaraan di balik kota-kota maju, tetapi belum pernah ia menyaksikan keterbelakangan yang dialami oleh Upi. Upi adalah anak dari salah satu transmigrasi Sei Kumbang yang bertempat di Lubukrantau yang mengalami kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dan pemerintah untuk merawat orang-orang seperti Upi, sehingga Upi harus dikurung dan dikerangkeng di sebuah tempat yang dianggap tidak layak untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya dan tidak ada hukum yang melarang perbuatan mereka.
Permasalahan di atas merupakan permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan. Adanya ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada tahun 1990-an yang tercermin dalam novel Saman yang dimunculkan melalui tokoh yang bernama Upi. Keadaan ini dikritik oleh pengarang dengan cara menampilkan tokoh Saman sebagai seorang yang peduli pada penderitaan. Saman berusaha untuk menyelematkan Upi dengan membuatkan rumah perlindungan yang lebih bagus bagi Upi. Semua ini ia lakukan dengan cara meminta izin kepada Mak Argani yang merupakan orang tua Upi untuk membuatkan tempat yang lebih baik untuk tempat tinggal Upi. Saman diperbolehkan untuk membangun tempat tinggal Upi yang lebih sehat dan menyenangkan. Dengan membangun tempat tinggal yang lebih baik, Saman berharap dapat lebih meringankan penderitaan Upi. Saman begitu memikirkan keselamatan Upi. Sampai-sampai ia memilih untuk tinggal lebih lama bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Dengan bertempat tinggal bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang Saman bisa selalu melihat Upi dan bisa selalu menjaganya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Ketika waktunya gips pada kaki Upi dibuka, Wis meminta izin dari pastor kepala, Pater Wastenberg, untuk pergi lima hari, berangkat Senin siang kembali Sabtu pagi. Kali ini ia membawa gergaji rantai. Juga segulung kawat pagar, satu sak semen, dan beberapa lembar seng yang didapatnya dari toko bangunan Kong Tek. Orang Cina itu memberinya dengan cuma-cuma. Ia juga berbekal mi instan, sekantong beras ukuran lima liter, dan abon. Sekali lagi Rogam mengantarnya dengan jip Ichwan. Mereka membawa seorang dokter muda dari puskesmas. Tengah hari Rogam dan dokter itu kembali ke utara, namun Wis tinggal di Lubukrantau, dusun tempat tingal Upi itu adalah salah satu desa di daerah transmigrasi Sei Kumbang. Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut dan cicakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka. (Saman, halaman 73-74)
Saman juga tidak tahan melihat kemunduran petani yang terjadi pada penduduk transmigrasi Sei Kumbang yang harus pergi meninggalkan desa karena harga karet mereka terus menerus diserang cendawan putih ataupun merah. Orang-orang tidak bisa lagi menggantungkan diri dari hasil panen karet. Saman berusaha untuk memperbaiki keadaan petani di Lubukrantau.
Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh Saman adalah dengan cara memunculkan tokoh Pater Wastenberg, Pak Sarbini, dan Sudoyo. Pater Wastenberg adalah pastor kepala di gereja tempat Saman diangkat menjadi pastor. Pastor Wastenberg memberikan kesempatan kepada Saman untuk melakukan rencana memperbaiki keadaan petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Walaupun awalnya Pater Wastenberg tidak setuju atas keputusan Saman untuk melakukan hal ini, karena ia dianggap telah menyepelekan pelajaran gereja. Ia kerap dipersalahkan karena acap meninggalkan kewajiban itu. Ia lebih sering pergi ke penduduk transmigrasi Sei Kumbang daripada melayani dan memelihara iman umat di sana. Akan tetapi setelah mendengar alasan-alasan yang diucapkan Saman, Pater Wastenberg akhirnya menyetujui akan keputusan yang diambil oleh Saman. Bahkan Pater Wastenberg berani mengusulkan agar Uskup memberi Saman pekerjaan kategorial di perkebunan, jika Saman berhasil dalam usahanya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Si pater Belanda mengamati Wis, akhirnya dengan iba menyerahkan kepada pemuda itu. Apa yang bisa saya lakukan untukmu? tanpa restu Bapa Uskup, tak ada bujet untuk rencana-rencanamu. Uang sakumu amat kecil, saya kira. Namun, agak untung juga bahwa kamu memilih menjadi imam praja, sehingga kamu bisa mengelola uang lepas dari ikatan ordo. Jika kamu bisa mengusahakan dana sendiri satu bulan. Satu minggu sisanya kamu harus di ada paroki. Jika saya melihat hasilnya, saya berani mengusulkan agar Uskup memberimu pekerjaan kategorial di perkebunan.
(Saman, halaman 82)
Pengarang selain memunculkan tokoh Peter Wastenberg sebagai tokoh yang memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi Saman, pengarang juga memunculkan tokoh yang bernama Pak Sarbini. Pak Sarbini adalah teman lampau ayah Saman yang kini menjadi tengkulak karet Sukasari di kawasan transmigrasi Jawa yang letaknya bersebelahan dengan transmigrasi Sei Kumbang. Saman membutuhkan jaringan yang berpengalaman dengan jalur jual beli dan pengolahan getah lateks. Semua itu Saman dapatkan dari Pak Sarbini. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
… Esoknya ia juga menghubungi Pak Sarbini. Teman lampau ayahnya itu kini juga menjadi tengkulak karet di Sukasari, kawasan transmigrasi Jawa yang letaknya bersebelahan dengan Sei Kumbang yang dihuni transmigran lokal. Lelaki itu keturunan buruh Jawa yang dibawa Belanda ke perkebunan karet Deli tahun 1930-an. Dia ikut pendidikan bintara, namun kemudian bertugas dalam Bimas desa-desa transmigrasi. Pak Sarbini begitu berpengalaman dengan jalur jual-beli dan pengolahan getah lateks. Wis membutuhkan jaringan itu.
(Saman, halaman 83)
Selain itu, pengarang juga memunculkan tokoh bernama Sudoyo yang merupakan orang tua Saman. Sudoyo mengabulkan permohonan yang diajukan Saman yaitu dengan memberikan modal kepada Saman sebesar lima atau enam juta rupiah. Dengan pemberian modal tersebut Saman bisa menjalankan rencananya untuk memperbaiki pertanian penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Wis berterima kasih sehingga ia tidak tahu harus mengucapkan apa. Setelah mandi, yang pertama kali ia kerjakan adalah menulis surat kepada ayahnya. Kali ini, tak hanya berisi cerita dan kerinduan seperti biasanya, namun juga permohonan agar si ayah memberinya modal, sekitar lima atau enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya.
(Saman, halaman 83)
Ayahnya memberi balasan setuju. Lalu Wis kembali ke Lubukrantau. Upi menjerit-njerit senang ketika mendengar suara pemuda itu. Tapi ia menemui gadis itu sebentar saja, sebab ia hendak membicarakan sesuatu yang serius dengan ibu dan abangnya.
(Saman, halaman 83)
Setelah semuanya terkumpul Saman menawarkan kerja sama dengan keluarga Argani yang luasnya dua hektar. Mereka menyetujui rencana Saman. Keesokan harinya Saman bersama keluarga Argani mulai memperbaiki lahan, memusnahkan tanaman yang sudah tidak bisa diselamatkan, dan menanami kembali dengan pohon karet yang baru. Berkat bantuan mereka perkebunan karet penduduk transmigrasi Sei Kumbang ini menjadi lebih baik. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Waktu itu petani Lubukrantau sudah mulai menakik getah karet muda yang mereka enam tahun lalu, sebagai ganti pohon-pohon yang tumbang dimakan kapang. Bibit-bibit PR dan BPM itu sebagian dibeli Wis dan dibiakannya sendiri. Sebelumnya, ketika sebagian pohon-pohon belum siap disadap, orang-orang menderes tanaman tua serta memanen kedele dan tumbuhan tumpang sari. Lalu berkat bantuan Pak Sarbini, bundel-bundel smoked sheet yang diproduksi rumah asap sederhana di dusun itu cukup mendapatkan pasarnya.
(Saman, halaman 87)
Ketika kebun karet milik penduduk Sei Kumbang sudah mulai membaik. Saman memenuhi permintaan Pater Wastenberg untuk membantunya di Perabumulih setiap satu pekan dalam sebulan. Saat Saman kembali ke Lubukrantau terjadi peristiwa yang menimpa Upi. Dua lelaki menjebol pintu rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini telah berumur dua puluh satu tahun dan mereka juga menghancurkan menara kincir yang dulu dibangun sebagai pembangkit listrik mini buat rumah asap. Anson yang merupakan kakak Upi merasa yakin bahwa pemerkosaan dan perobohan menara kincir itu adalah sebagai salah satu bentuk teror dari orang-orang yang hendak merebut lahan penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Orang-orang itu sengaja melakukannya untuk mengancam penduduk transmigrasi Sei Kumbang agar mau menyerahkan kebun mereka untuk dijadikan kebun kelapa sawit, karena ada sebagian penduduk Sei Kumbang yang tidak menyetujui usul tersebut. Saman berusaha membantu untuk membebaskan penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui PT ALM. Akan tetapi Saman malah dituduh sebagai orang yang telah mengkristenkan orang-orang Lubukrantau dan mengajari keluarga Argani berburu dan makan babi hutan.
Melihat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui PT ALM, akhirnya Saman melakukan perlawanan dengan cara Saman memutuskan untuk pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang telah maju. Saman juga mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawan ke lahan transmigrasi Sei Kumbang, orang-orang yang akan menggusur dusun tersebut tidak lagi bolak-balik dengan membawa blanko kosong. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang tengah maju. Ia mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita. Ia membujuk: kalau bisa datanglah sendiri dan tengok desa kami. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawannya ke lahan terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-balik dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi tertunda, berbulan-bulan, bahkan hampir setahun.
(Saman, halaman 92-93)
Usaha yang dilakukan oleh Saman untuk mengatasi permasalahan di atas merupakan gambaran dari kegiatan pengarang yang memiliki profesi sebagai wartawan. Kegiatan yang dilakukan oleh Saman seperti memotret desa, dan mengumpulkan data-data di atas merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang wartawan ketika ia akan menulis berita. Pengarang bisa menceritakan secara jelas tentang kegiatan seorang wartawan. Sebelum menjadi penulis novel, pengarang pernah menjadi wartawati di majalah Matra dan Forum. Ia juga menjadi salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen. Pengarang lebih banyak menulis esei serta reportase dari pada menulis fiksi. Pengarang juga pernah menjadi wartawan di majalah khusus trend pria. Bahkan ia sudah mengisi kolom tetap, sketsa, di SK Berita Buana, yang isinya berupa renungan tentang berbagai soal politik. Menurutnya menulis novel merupakan cara untuk mengeksplorasi bahasa Indonesia, bahasa yang masih muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan. Seorang wartawan dituntut untuk memperhitungkan publik baik latar belakang, pengetahuan, maupun tingkat emosionalnya. Ditambah lagi wartawan bisa keluar dari fakta yang menurut pengarang dilematis. Jadi sulit untuk bisa mengembangkan bahasa yang eksploratif.
Usaha yang dilakukan oleh Saman ternyata hanya bisa menunda usaha penggusuran dusun selama beberapa bulan saja bahkan hampir setahun. Akan tetapi orang-orang tersebut menggunakan cara lain supaya penduduk transmigrasi Sei Kumbang mau melepaskan tanahnya. Tindakan yang mereka lakukan adalah dengan cara menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer. Aparat militer melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Mereka meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, Saman dan teman-temannya berusaha untuk melawan dan memprotes tindakan tersebut. Akan tetapi protes dan perlawanan yang dilakukan oleh Saman membuat dirinya ditangkap dan dimasukkan ke ruang penyekapan. Sedangkan Anson dan teman-temannya berhasil lolos dari kejaran aparat militer. Selama di ruang penyekapan Saman selalu disiksa untuk dimintai keterangan tentang keberadaan Anson dan teman-temannya. Saman sudah putus asa akan keadaan yang menimpanya.
Permasalahan mengenai penindasan yang dilakukan oleh aparat militer pada penduduk Sei Kumbang di atas merupakan gambaran atau cerminan dari peristiwa yang terjadi pada masa rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada waktu novel tersebut ditulis. Pada masa Orde Baru ini muncul konflik persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Masyarakat tidak setuju akan perubahan itu, hal ini membuat oknum penguasa Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi oleh Saman yaitu dengan cara memunculkan tokoh yang bernama Anson. Anson berhasil melarikan Saman dari ruang penyekapan dan mengantarkannya ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat untuk menjalani perawatan. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Tapi didengarnya suara-suara itu. Betul, suara-suara yang dirindukannya, yang meninggalkan dia sejak dipenjara. Makin lama makin ramai di sekelilingnya, seperti nyamuk, seperti membangunkan atau membingungkannya. Lalu ia merasa ada energi menyusup ke dalam tubuhnya, ada nyawa-nyawa masuk ke raganya. Dan ia merasa begitu ringan, seperti ia bayangkan pada orangyang sedang trans, seperti kelebihan tenaga untuk tubuhnya yang telah menjadi kurus. Rasanya ia bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah kropos oleh api, lalu di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari, melayang, entah apa yang mengarahkan langkahnya. Dan ia sampai pada pintu terakhir.
(Saman, halaman 108-109)
Wis tidak mau ke Perabumulih, sebab ia khawatir orang-orang yang menyelidiki dirinya mengintai pastoran. Berbahaya bagi Anson, kawannya, dan dia sendiri, serta gereja. Ia minta diantar ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat. Di sana, ia berpisah dari Anson dan teman-temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke tempat ia tidur. (Saman, halaman 110)
Pada saat Saman dalam persembunyian untuk menghindari kejaran polisi, karena Saman dituduh sebagai dalang dalam peristiwa yang terjadi di Lubukrantau, tiba-tiba Yasmin datang menemui Saman. Yasmin membujuk Saman untuk melarikan diri ke luar negeri. Saman merasa tidak mempunyai cukup waktu untuk menimbang-nimbang tawaran. Akhirnya ia menyetujui usul itu, karena menurutnya semakin lama menunda keputusan, semakin sulit untuk keluar dari negeri ini dan menghindari kejaran polisi.
Untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi Saman dalam usahanya untuk melakukan pelarian ke luar negeri, pengarang memberikan solusi yaitu dengan memunculkan tokoh yang bernama Yasmin dan Cok. Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dengan mengirimnya ke New York. Mereka melarikan Saman keluar dari Medan dengan cara melakukan penyamaran pada diri Saman. Yasmin telah menyiapkan segala hal dengan rapi. Walaupun proses pelarian ini cukup berbahaya, tetapi Yasmin dan Cok dapat melampaui rintangan itu dan berhasil melarikan Saman ke New York.
Perempuan dalam novel Saman seperti Yasmin dan Cok di atas adalah cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1990-an. Jaman sudah semakin berkembang, perempuan Indonesia pun turut mengalami kemajuan yang cukup pesat. Mereka mempunyai kepercayaan diri dan pengetahuan luas, sehingga peran mereka tidak hanya sebagai istri atau ibu. Mereka merupakan perempuan yang sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria. Saman sebagai laki-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok, ketika Saman melakukan persembunyian ke luar negeri. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam memilih peranan mereka. Tiga diantara empat karakter perempuan belum menikah pada usia tiga puluhan dan peren mereka tidak sebatas istri atau ibu. Mereka bisa menikmati pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang sama pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas Yasmin dan Laila waktu remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadari umurku sudah mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka masih kecil. Cuma Laila yang agak terhafal karena ia sering mengirim surat. Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan membawaku keluar dari Medan. Semula agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. Tapi Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur rambut, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih seperti ia biasa bekerja. (Saman, halaman 175)
Selain itu, pemunculan tokoh dalam novel Saman seperti Laila, Cok, Shakuntala dan Saman yang belum menikah pada usia tiga puluhan ini, merupakan gambaran dari pengarang yang sampai sekarang belum menikah, bahkan ia memutuskan untuk tidak menikah. Pengarang ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubugan seks di luar pernikahan. Usaha yang ingin disampaikan pengarang dapat dilihat dari pemunculan tokoh dalam novel Saman seperti Shakuntala, dan Cok yang dapat melakukan hubungan seksual dengan sejumlah laki-laki dan diantara mereka belum ada ikatan pernikahan. Selain itu, Yasmin sebagai tokoh yang sudah mempunyai suami dapat melakukan hubungan seksual dengan tokoh yang bernama Saman yang bukan suaminya sendiri. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Namun tak kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil: terbenam di dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami berhimpit gemetar, selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak peduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya. Ketika usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku terlelap.
(Saman, halaman 177)
Usaha yang dilakukan Yasmin dan Cok dalam usahanya melarikan Saman ke luar negeri untuk menghindari kejaran polisi di atas, merupakan gambaran dari kegiatan yang pernah dilakukan oleh pengarang. Pengarang pernah menjadi aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers. Awalnya pengarang tidak berniat untuk menjadi seorang aktivis. Akan tetapi pengarang merasa tersentuh setelah ia melihat keadaan teman-temannya yang terlibat secara langsung di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian dari kejaran polisi. Pada saat itu pengarang berkedudukan hanya sebagai kurir atau penghubung yang bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan. Dengan penampilannya ia memang bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga akan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis, sosoknya cukup bersih dan rapi. Hasilnya, sepak terjangnya sebagai seorang aktivis tidak pernah tercium oleh pihak aparat.
Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang dalam novel Saman karya Ayu Utami yaitu pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik (problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Eksistensi tokoh Wisanggeni/Saman terlihat dalam konflik yang dialami, bukan hanya konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal, dia adalah seseorang yang pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis. Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang tertindas.
2. Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya, ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salah novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara terbuka.
3. Konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan akan kondisi ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet. Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja yang dikritik, problematika kebudayaan timur pun dibahas, terutama masalah keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka.
4. Padangan dunia pengarang dalam novel Saman karya Ayu Utami yaitu pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
B. Saran
Saran yang dapat diajukan berdsarkan penelitian ini adalah:
1. Pembahasan secara keseluruhan terhadap penelitian ini belum dilaksanakan secara maksimal sehingga diperlukan pengkajian secara lebih mendalam terhadap novel ini
2. Novel Saman karya Ayu Utami hendaknya dapat dikaji, dianalisis, dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan yang lain.
3. Hasil penelitian ini semoga bermanfaat bagi perkembangan apresiasi sastra Indonesia, khususny apresiasi novel Indonesia, karangan pengarang Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 1999 (a). Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____. 1999 (b). Strukturalisme – Genetik (Teori General, Perkembangan Teori, dan Metodenya.Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia.
Jabrohim (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Nugraheni E.W.Makna Totalitas Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar Kayam: Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann http://www.uns.ac.id/cp/penelitian.php?act=det&idA=159
Rachmat Djoko Pradopo. 2002. 002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Sapardi Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
Umar Junus. 1986. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.
Yakob Sumardjo. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Zaenuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
LAMPIRAN
Deskripsi Umum “Saman”
Pembicaraan tentang seks, cinta, politik, dan agama serta perasaan-perasaan yg saling bertaut antar tokoh digambarkan tanpa rigiditas, tanpa beban .Novel ini dapat dinikmati dan berguna bagi pembaca yg dewasa. Bahkan amat dewasa. Dan jujur, khusus mengenai dimensi-dimensi politik, antropologi sosial, dan teristimewa lagi agama dan iman. Kisah suka-duka generasi muda Indonesia menjelang keruntuhan Orde Baru. Cara Ayu Utami menyajikan cerita tergolong baru dalam ragam novel karya sastra Indonesia.
Dimulai dengan kisah yang sangat kontemporer, sangat khas Indonesia, yakni krisis Leila, yang terluka hatinya karena cintanya kepada seorang lelaki yang telah menikah dan penghormatannya terhadap nilai-nilai orang tuanya, dan berakhir dengan sebuah kisah penciptaan yang orisinil, dimana kita menemukan bahwa iblis-lah yang bertanggung jawab sampai terjadinya kesengsaraan akibat sistem yang patriarkal ini. Ketika menjelaskan interpretasi saya mengenai Saman, saya berharap untuk membuktikan bahwa penggunaan adegan seksual oleh Ayu Utami bukan hanya memberikan sebuah pukulan yang tepat waktunya terhadap penindasan seksualitas oleh tatanan yang mapan, melainkan juga menimbulkan suatu subversi yang disengaja terhadap sikap-sikap tradisional baik secara umum,
maupun yang spesifik dalam konteks Indonesia.
Di awal novel ini, Leila sedang berada di Central Park, New York, menunggu rendezvous dengan Sihar, lelaki yang sudah menikah yang kepadanya dia jatuh cinta. Di akhir cerita, Leila merasa terbebaskan dari tanggung jawab terhadap orang tuanya dan terhadap istri Sihar. Jarak geografis menciptakan sebuah ruang psikologis antara dirinya dan pengharapan-pengharapan kultural dan sosial Indonesia, akhirnya dia merasa sepenuhnya dan seorang diri memegang kontrol atas tubuhnya:
“Dan kita di New York. Beribu mil dari Jakarta. Tak ada orangtua, tak ada istri. Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan, barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tak ada yang perlu ditangisi.”( 30).
Central Park, 28 Mei 1996
Di taman ini, saya adalah seekor burung.
Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya.
Aroma kayu, dingin batu, bau perdu dan jamur-jamur—adakah mereka bernama, atau berumur? Manusia menamai mereka, seperti orang tua memanggil anak-anaknya, meskipun tetumbuhan itu lebih tua. Rafflesia arnoldi, memang tidak mekar di Central Park, melainkan di hutan tropis dataran tinggi Malaya, tetapi kita tahu laki-laki Inggris kemudian menjadi ayah bunga itu. Orang-orang berbicara tentang segala yang tumbuh, yang ditanam maupun liar, seolah mengenal mereka lebih daripada pokok-pokok itu sendiri mengenal dingin dan matahari, ataupun hangat bumi. Namun binatang idak menghafal pohon-pohon karena namanya, seperti seekor induk atau sepasang tidak memanggil tetasannya atau susuannya dengan nama. Mereka mengenal tanpa bahasa.
Di taman ini hewan hanya bahagia, seperti saya, seorang turis di New York. Apakah keindahan perlu dinamai?
Pukul sepuluh pagi.
Meski hari masih muda, bayang-bayang telah menjadi lisut, sebab setiap tahun di akhir semi siang sudah semakin lama. Unggas kecil mencari matahari dari celah-celah daun, membiarkan garis-garis cahaya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi. Beberapa, yang terdengar bernyanyian, akan pacaran dan kawin di musim ini. Seperti sepasang mungil yang berdada putih itu. Yang jantan bermantel coklat tua, yang betina coklat muda. Kita pun tidak tahu namanya. Kita cuma tahu, mereka bahagia. Adakah keindahan perlu dinamai?
Setelah itu, kemudian beranjak masuk ke kisah Wisanggeni. Wis adalah panggilan akrab dari seorang anak lelaki yang mempunyai nama panjang Wisanggeni. Wis lahir di Muntilan Yogyakarta. Wis termasuk anak yang beruntung karena dia adalah satu-satunya anak yang lahir dari rahim ibunya dan hidup. Dua adiknya tidak pernah lahir. Mereka mengalami suatu peristiwa aneh yang hanya diketahui oleh Wis dan pengalaman ini terjadi pada masa kecilnya. Ayahnya bernama Sudoyo, bekerja sebagai pegawai Bank Rakyat Indonesia dan sebagai mantri kesehatan di Yogyakarta. Ibunya masih keturunan raden ayu.
Pada waktu Wis berumur empat tahun, ayahnya dipindahkan ke Perabumulih yaitu sebuah kota minyak di tengah Sumatra Selatan yang sunyi pada masa itu, hanya ada satu bioskop dan bank yang usianya belum panjang. Di Perabumulih ayah bekerja sebagai kepala cabang Bank Rakyat Indonesia. Beberapa tahun kemudian Wis dan ayahnya pindah ke Jakarta. Wis melanjutkan sekolah dengan mengambil pendidikan teologi dan belajar di Institut Pertanian Bogor. Setelah Wis dan ayahnya pindah di Jakarta. Setelah Wis menamatkan pendidikannya, maka diadakan upacara pengangkatan Wis sebagai pastor dan ia mendapatkan julukan Pastor Wisanggeni atau Romo Wis. Setelah misa, ada acara pesta di balai pastoran untuk merayakan adanya pastor baru. Di acara itu Wis bertemu dengan Romo Daru dan Wis meminta kepada Romo Daru agar dirinya ditugaskan di Perabumulih.
Wis meminta Uskup memberi tugas kepada Wis sebagai Pastor Paroki Parid yang melayani kota kecil Perabumulih dan Karang Endah di Palembang. Wis segera menuju ke kota itu. Setelah sampai di Perabumulih, ia menemukan perubahan-perubahan yang terjadi di kota itu, diantaranya rumah Wis telah dihuni oleh orang lain. Wis mendatangi rumahnya yang dulu dan berkenalan dengan penghuni rumahnya yang sekarang. Ketika di sana Wis mengalami kejadian-kejadian aneh lagi seperti yang pernah ia alami pada waktu kecil.
Wisanggeni terlibat dengan komunitas penyadap karet di Sumatera Selatan, tempat dia menghabiskan sebagian besar dari masa kanak-kanaknya. Bagian ini penuh dengan mitologi yang prima, dan garis antara hal-hal magis di belantara hutan dan realitas kehidupan dikaburkan secara ekstrem. Perjalanan Wis mencari saudara-saudara kandungnya membawanya ke pedalaman-pedalaman hutan dimana dia bertemu dengan Upi, si ‘orang gila’ putri transmigran miskin. Dorongan seksualnya yang tak terkendali dan terkadang sifatnya yang agresif membuat Upi sekaligus mudah diserang dan berbahaya. Keluarganya mengurung Upi dalam sebuah kandang kecil di belakang rumah mereka. Kandang Upi dapat dengan mudah ditafsirkan sebagai suatu parodi tentang sejarah peran kaum perempuan dalam patriarki Indonesia; transisi dari sangkar lama ke sangkar yang baru, kandang yang direkonstruksi merupakan simbol dari konsesi-konsesi yang dibuat sampai ke seruan bagi emansipasi feminis. Wis menyesalkan adanya kebutuhan kandang untuk mengontrol Upi, sebagai kaum marginal dam tertindas.
Wis merasa semakin ia mengetahui penderitaan rakyat Lubukrantau semakin ia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari mereka, yang membuatnya ingin lebih lama tinggal dan ingin memperbaiki penderitaan yang dialami oleh petani di sana. Berkat izin dari Bapak Uskup dan modal dari ayahnya, maka ia mengadakan rapat dengan keluarga Mak Argani dan membicarakan tentang rencananya untuk membangun pengolahan sederhana atau rumah asap di dusun itu sambil memperbaiki kebun. Usul itu disetujui oleh keluarga Argani. Akhirnya mereka membersihkan kebun.
Wis kembali ke Perabumulih selama dua minggu. Ketika Wis kembali ke Lubukrantau, Wis dikejutkan oleh kejadian yang telah menimpa Upi gadis cacat dan gila itu telah diperkosa oleh orang-orang yang hendak merebut lahan mereka dengan cara menjebol rumah baru Upi.
Beberapa tahun yang lalu empat orang lelaki datang ke wilayah transmigrasi Sei Kumbang yang mengaku bahwa mereka menjalankan tugas dari Gubernur tentang lokasi transmigrasi Sei Kumbang yang semula perkebunan karet akan diganti dengan perkebunan kelapa sawit. Para penduduk tidak sepakat untuk menganti kebunya dengan kelapa sawit. Melihat keadaan ini Wis dan penduduk mengadakan rapat yang bertempat di rumah asap. Pada rapat ini menghasilkan kesepakatan supaya penduduk jangan sesekali mau menandatangani pada lembaran kosong yang diberikan oleh pihak perusahaan PT Anugrah Lahan Makmur (ALM).
Tiga minggu kemudian, empat orang itu datang lagi dan menyuruh para penduduk untuk menyetujui usulnya. Namun Wis dan penduduk tidak menyetujui usul itu. Empat orang itu akhirnya pergi sambil menahan marah. Perbuatan Wis ini membuat pihak perusahaan menjadi marah dan memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak benar kepada Wis, seperti dirinya yang dituduh telah mengkristenkan orang Lubukrantau dan mengajari Argani berburu dan maka babi hutan.
Melihat keadaan ini, akhirnya Wis pergi ke Palembang, Lampung dan Jakarta dalam rangka mengumpulkan data, untuk mempertahankan perkebunan di trasmigrasi. Usaha Wis tidak sia-sia karena penggusuran dusun jadi tertunda sampai setahun.
Orang-orang tersebut mengunakan cara lain supaya dapat menggusur dusun itu yaitu dengan cara merobohkan pohon-pohon karet, menghanguskan tanggul yang tersisa, meneror dusun itu, ternak mulai
hilang satu persatu, merusak rumah kincir, memperkosa Upi dan membakar rumah pada penduduk.
Wis bermaksud menyelamatkan Upi tetapi orang-orang itu menangkap Wis dan dimasukkan ke dalam penjara. Selama di dalam penjara Wis selalu disiksa. Pada saat Wis mulai putus asa dengan keadaan yang menimpanya, Anson dan pemuda Lubukrantau menyelamatkan Wis dan membawa kabur Wis dari penjara. Wis keluar dari penjara dalam keadaan yang tidak berdaya. Wis tidak mau dipulangkan ke Perabumulih, ia meminta diantar ke rumah suster-suster Boronous yang berada di Lahat. Di sana Wis dirawat oleh suster Marietta selama kurang lebih tiga bulan. Dalam masa penyembuhan Wis membaca tuduhan-tuduhan terhadap dirinya melalui surat kabar. Setelah sembuh Wis pergi ke sebuah tempat yang hanya diketahui oleh lima orang suster dan satu dokter. Dalam persembunyiannya, tak lama setelah peristiwa itu, Wis mengganti kartu identitasnya dengan mengganti namanya menjadi Saman.
Tak lama kemudian Saman menulis surat untuk ayahnya. Ia menyatakan bahwa ia menyesal karena tidak bisa memberi ayah keturunan karena dirinya menjadi seorang pastor. Ia bercerita tentang rumah asap yang dibangunnya dengan modal awal dari ayahnya, memohon restu kepada ayahnya untuk tetap tinggal di Perabumulih, dan ia memohon maaf karena dirinya memutuskan untuk keluar dari kepastoran. Karena Saman dan beberapa temannya ingin mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengurusi perkebunan guna membantu orang Lubukrantau yang tidak lagi mempunyai tanah dan tidak mempunyai pekerjaan. Akhirnya berkat bantuan Cok dan Yasmin, Saman dapat melarikan diri ke New York. Kini Saman telah mengganti penampilannya dan muncul sebagai aktivis perburuhan dan mengelola LSM.
keren penelitiannya, izin jadi acuan penelitian saya.
BalasHapusmohon maaf, saya ingin bertanya. sebenarnya apa yang menjadi catatan novel itu bisa dikaji menggunakan pendekatan strukturalisme genetik?
BalasHapusizin menjawab, setiap karya sastra dapat dianalisis melalui pendekatan apapun, termasuk strukturalisme genetik. hanya saja tergantung analis ingin menekankan pada pemahasan apa.
Hapus