Tindak Tutur Komisif Pementasan Drama “Mangir Wanabaya”

Tindak Tutur Komisif Pementasan Drama “Mangir Wanabaya”[1]
(Analisis Sosiopragmatik)
Andri Wicaksono[2]
Abstract

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk dan konteks sosial tuturan yang digunakan untuk menyatakan tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam Pementasan drama Mangir Wanabaya. Penelitian ini mempergunakan pendekatan pragmatik dan sosiolinguistik, yang selanjutnya disebut pendekatan sosiopragmatik. Masalah yang akan diteliti ialah bentuk pemakaian dan konteks tindak tutur komisif.
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi dokumen. Pengumpulan data penelitian, yaitu dengan mencatat konteks penggunaan bahasa yang alamiah agar dapat mengungkap maksud tuturan komisif secara tepat.
Hasil penelitian membuktikan bahwa bentuk tindak tutur komisif pementasan drama Mangir Wanabaya dapat berupa kata, predikat propositif, dan konteks yang menyatakan komisif. Konteks dalam kajian pragmatik dapat dijadikan petunjuk untuk mengenali maksud. Tindak tutur komisif yang didapat adalah tindak tutur komisif berniat,tindak tutur komisif berjanji, tindak tutur komisif bersumpah, tindak tutur komisif bernadar.

Kata kunci: tindak tutur, tindak tutur komisif, pementasan drama Mangir Wanabaya

1.      PENDAHULUAN
Bahasa adalah aspek yang penting dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memerlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunaannya. Hal itu dikemukakan oleh Malinowski dalam Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989:15) yang  membedakan fungsi bahasa menjadi dua, yaitu fungsi pragmatik dan magis. Fungsi pragmatik meliputi penggunaan bahasa yang naratif dan penggunaan bahasa yang aktif. Fungsi pragmatik lebih menekankan pada fungsi bahasa untuk berkomunikasi dalam kehidupan seharihari. Seorang penutur harus dapat memilih dan menggunakan bahasa dengan tepat agar maksud sebuah tuturan dapat dipahami oleh mitra tutur.
Dalam berbahasa terdapat sebuah hal yang disebut dengan tindak tutur. Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Sifatnya yang fungsional tersebut menyebabkan setiap manusia selalu berupaya untuk mampu melakukan tindak tutur dengan sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya.
Tuturan yang dikaji dalam cabang ilmu bahasa disebut pragmatik. Sehubungan dengan itu, Frawly (dalam Paina, 2009: 234) menjelaskan bahwa pragmatik itu berkaitan dengan konteks akan dapat menentukan makna. Rupa-rupanya, Frawly tidak membedakan makna dan maksud. Pada tingkat kajian pragmatik bukan lagi kajian makna, makna yang terikat oleh konteks dalam tataran pragmatik disebut maksud (I Dewa Putu Wijana, 1996 : 2; Rustono, 1999 : 14). Bentuk komunikasi itu secara pragmatik terdapat tindak tutur komisif yang perlu dipahami secara komprehensif. Terpahaminya tindak tutur komisif secara pragmatis diharapkan dapat memperlancar komunikasi, meningkatkan kesantunan berkomunikasi, mengurangi kesalahpahaman berkomunikasi, dan memperjelas ketepatan pesan dalam komunikasi.
Penelitian Tindak Tutur Komisif Drama “Mangir Wanabaya” menekankan pada penggunaan ragam tindak tutur komisif dalam dialog drama “Mangir Wanabaya” yang dipentaskan di GOR UNY dan tayang di Jogja TV. Drama “Mangir Wanabaya” karya Pramudya Ananta Toer merupakan gambaran sejarah atau cikal bakal berkembangnya kerajaan Mataram Islam di Tanah Jawa yang di dalam tulisannya dinilai kaya akan pesan sosial, sebagaimana dikenal bahwa Pramudya Ananta Toer dikenal sebagai sastrawan beraliran sosialis. Oleh sebab itu, kajian bahasa yang berfokus pada aspek struktural saja belumlah cukup dalam studi linguistik. Hal ini dikarenakan kajian yang berancang struktural pasti tidak akan mampu mengungkapkan masalah-masalah yang berada di luar lingkup struktural. Selain itu, tuturan yang disampaikan oleh penutur dan diterima mitra tutur menuntut reaksi atau tanggapan. Reaksi yang diharapkan lazimnya dapat berupa tanggapan verbal maupun tanggapan nonverbal, gabungan antara tanggapan yang bersifat verbal maupun tanggapan yang bersifat nonverbal dan semuanya berwujud tindakan.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat diajukan dalam penelitian mengenai Tindak Tutur Komisif Drama “Mangir Wanabaya” akan membahas mengenai, pertama, bagaimanakah bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam dalam pementasan drama “Mangir Wanabaya”. Kedua, bagaimanakah konteks sosial tuturan yang digunakan untuk menyatakan tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam Tujuan dari penelitian mengenai Tindak Tutur Komisif Drama “Mangir Wanabaya” adalah mendeskripsikan bentuk dan konteks sosial tuturan yang digunakan untuk menyatakan tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam Pementasan drama “Mangir Wanabaya”.

2.      KAJIAN TEORI
a.      Tindak Tutur
Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan; menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Di dalam retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip kerjasama. Dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan, yaiyu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan pelaksanaan (I Dewa Putu Wijana, 1996:46).
Sementara itu, Austin (dalam Abdul Syukur Ibrahim 1992: 106) sebagai peletak dasar teori tindak tutur mengungkapkan bahwa sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu, tetapi merupakan tindakan (action). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujaran sesuatu dapat disebut sebagai tindakan atau aktifitas. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud tertentu, maksud inilah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang lain, seperti halnya mencubit atau memukul. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Austin mengungkapkan teori tindak tutur yang memiliki pengertian bahwa tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu.
Sejalan dengan teori yang dikemukakan Austin, Rustono (1999:24) mengemukakan pula bahwa aktivitas mengujarkan atau menuturkan tuturan dengan maksud tertentu merupakan tindak tutur atau tindak ujar. Rumusan tersebut merupakan simpulan dari dua pendapat, yaitu pendapat Austin (dalam Gunarwan 1994:43) yang menyatakan bahwa mengujarkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Karena disamping melakukan ujaran, ujaran tersebut dapat berpengaruh terhadap orang lain yang mendengarkan sehingga menimbulkan respon dan terjadilah peristiwa komunikasi. Dalam menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur.
Dengan mencermati pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
Bambang Kaswanti Purwo dalam Rustono (1999: 33) menyatakan rasionalitas ditampilkannya istilah tindak tutur adalah bahwa di dalam mengucapkan sesuatu ekspresi, pembicara tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan mengucapkan ekspresi itu. Dalam mengucapkan ekspresi juga melakukan sesuatu.
Tindakan bertutur memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.

b.      Tindak Tutur Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi
Austin dan Searle membagi tuturan menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusioner (locutionary act), tindak ilokusione (ilokutionary act) dan perlokusioner (perlocutionary act) atau biasa disebut dengan istilah lokusi, ilokusi dan perlokusi yang akan dijabarkan berikut ini.
1)      Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Dalam tindak tutur ini dihasilkan serangkaian bunyi bahasa yang berarti sesuatu (Abdul Syukur Ibrahim, 1993: 15). Lebih jauh tindak tutur yang relative paling mudah untuk diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan (I Dewa Putu Wijana 1996: 17-18). Lokusi semata-mata tindak mengucapkan sesuatu dengan kata-kata. Dalam tindak lokusi mengacu pada apa makna tuturan yang diucapkan tanpa mengikutsertakan maksud. Tuturan berikut adalah tindak tutur lokusi:
2)      Tindak Tutur Ilokusi
Tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak ilokusi ini merupakan bagian yang penting dalam memahami tindak tutur (I Dewa Putu Wijana 1996:19).
Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Leech (dalam Rustono 1999:38) menjelaskan bahwa untuk mempermudah identifikasi ada beberapa verba yang menandai tindak tutur ilokusi, antara lain melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterimakasih, mengusulkan, mengakui, mengucapkan selamat, berjanji, mendesak, dan sebagainya.
3)      Tindak Tutur Perlokusi
Tin¬dak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Tuturan yang diucapkan oleh seseorang penutur sering kali memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat terjadi karena disengaja ataupun tidak disengaja oleh penuturnya. Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah oleh Austin (1962 dalam Rustono 1999:38) sebut tindak perlokusi.
Rustono (1999:38) menyatakan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. Sementara itu Tarigan (1987:35) mengatakan bahwa ujaran yang diucapkan penutur bukan hanya peristiwa ujar yang terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan ujaran yang diujarkan mengandung maksud dan tujuan tertentu yang dirancang untuk menghasilkan efek, pengaruh atau akibat terhadap lingkungan mitra tutur atau penyimak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur perlokusi berhubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 1995:70)
Leech (dalam Rustono 1999: 39) menjelaskan terdapat beberapa verba yang menandai sekaligus menjadi fungsi tindak perlokusi. Beberapa verba tersebut antara lain membujuk, menipu, mendorong, membuat jengkel, menakut-nakuti, menyenangkan, melegakan, mempermalukan, menarik perhatian dan sebagainya. Tuturan berikut adalah tindak tutur perlokusi yang masing-masing mempunyai efek pada mitra tutur.

c.       Tindak Tutur Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, Deklarasi
Searle (1976: 59-82). mengklasifikasi tindak tutur menjadi lima kelompok, yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi.
1)      Representatif; adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Jenis tindak tutur ini kadang-kadang disebut juga tindak tutur asertif. Tuturan yang memberikan pernyataan atau menyatakan termasuk tuturan representatif. Termasuk ke dalam jenis tindak tutur representatif adalah tuturantuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan kesaksian, berspekulasi dan sebagainya. Dalam tuturan itu, penutur bertanggung jawab atas kebenaran isi tuturannya.
2)      Direktif; adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan-tuturan memaksa, memohon, menyarankan, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, menyarankan, memerintah, memberi aba-aba dan menantang termasuk ke dalam jenis tindak tutur direktif ini. Jenis tindak tutur ini disebut juga tindak tutur impositif.
3)      Ekspresif; adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur ekspresif ini disebut juga sebagai tindak tutur evaluatif. Tuturantuturan memuji, mengucapkan terima kasih, menkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, menyanjung termasuk dalam tindak tutur ekspresif.
4)      Komisif; adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan merupakan tuturan yang termasuk dalam jenis tindak komisif.
5)      Deklarasi; adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tuturan-tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menolong, mengampuni, memaafkan termasuk dalam tindak tutur deklaratif.
Tindak tutur direktif adalah tindak ilokusi yang menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. Tindak tutur komisif adalah tindak ilokusi yang, sedikit banyak, terkait dengan tindakan di masa depan, misalnya berniat, berjanji, bersumpah, bernadar. Tindak tutur deklaratif adalah tindak ilokusi yang menyatakan kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat pegawai. Tindak tutur ekspresif adalah tindak ilokusi untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan bela sungkawa.

d.      Tipe Tindak Tutur Komisif
Dalam penelitian ini akan dibahas secara mendalam mengenai tindak tutur komisif sehingga kajian teori yang menjadi acuan adalah yang menyinggung mengenai seluk-beluk tindak tutur komisif. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penutur untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam tuturan. Penutur dituntut tulus dalam melaksanakan apa yang telah dituturkan (Paina, 2010: 3). 
Tindak tutur komisif berniat adalah tindakan bertutur untuk menyatakan niat melakukan suatu pekerjaan/tindakan bagi orang lain. Niat itu dilakukan dalam kondisi ketulusan dengan pelaku tindakan betul-betul penutur sendiri. Tindakan tersebut belum dilakukan, dan akan dilakukan pada masa mendatang. Tindak tutur komisif berjanji adalah suatu tindakan bertutur yang dilakukan oleh penutur dengan menyatakan janji akan melakukan suatu pekerjaan yang diminta orang lain. Janji itu dilakukan dalam kondisi tulus (sungguh-sungguh). Orang yang akan melakukan tindakan itu ialah orang yang mempunyai kesanggupan atas pekerjaan/tindakan. Tindak tutur komisif bersumpah adalah tindak tutur untuk meyakinkan mitra tutur tentang apa yang dilakukan/dituturkan oleh penutur ialah benar seperti yang dikatakan. Tuturan bersumpah ini menggunakan penanda tuturan yang dapat meyakinkan lawan tutur, sering kali dengan menyebut saksi yang derajatnya lebih tinggi.
Tindak tutur komisif bernadar adalah tindak tutur yang kemunculannya dilatarbelakang keinginan khusus, tetapi belum terlaksana. Apabila hal yang dikehendaki itu telah terlaksana/terwujud, penutur akan melaksanakan apa yang dinadarkan (Paina, 2010: 7-16).  Kridalaksana (1993) menjelaskan bahwa tindak tutur komisif adalah pertuturan yang mempercayakan tindakan yang akan dilakukan penutur sendiri. Tindak tutur komisif merupakan tindak ilokusioner, yaitu tindakan dengan tujuan yang mewajibkan si penutur untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur komisif adalah tuturan yang berfungsi untuk mengutarakan niat, janji, sumpah, dan nadar.
Tindak tutur komisif mempunyai fungsi tertentu dan dapat diberi nama sendiri-sendiri berdasarkan tujuan komunikasi.Yang dimaksud fungsi tertentu adalah fungsi tuturan untuk menyatakan tindakan yang akan dilaksanakan (penutur) dan belum terlaksana, seperti berniat, berjanji, bersumpah,dan bernadar. Dalam tindak tutur komisif, tiap-tiap tipe dan pola tindak tutur komisif itu mempunyai maksud secara pragmatis. Pada tingkat pragmatis itu, kajian bukan lagi sebatas makna, tetapi makna yang terikat oleh konteks (I Dewa Putu Wijana, 1996: 2). Makna dalam tataran pragmatik disebut maksud (Rustono,1999: 14).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur komisif adalah tuturan yang menyatakan bahwa penutur akan melakukan suatu tindakan, tindakan itu memang belum dilakukan.Oleh karena itu, di dalam tindak tutur komisif terdapat tipe tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar—yang akan diteliti—karena menyatakan tindakan yang belum dilakukan, tetapi akan dilakukan pada masa mendatang.
Tipe tindak tutur komisif (commissives) menyatakan tindakan berjanji, bersumpah kepada Tuhan, bersumpah akan memberi/mengikat perjanjian/mufakat, kontrak, garansi, penawaran, dan sumpah (Abderrahim dalam Paina, 2009: 44).
Unsur yang paling kecil dalam komunikasi adalah tindak tutur. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar juga dipahami sebaga satu tindakan. Pada tindakan berjanji (promise), demi sah dan validnya tindakan, ada lima syarat yang harus dipenuhi.
1)      The speaker must intend to Do What He Promises ‘Penutur harus sunggung-sungguh bermaksud melakukan apa yang dijanjikan’.
2)      The speaker must believe (That the hearer bilieves) That action is in the Hearer’s best interest ‘Penutur harus percaya bahwa lawan tutur percaya tindakan tersebut adalah yang terbaik untuk pihak lawan tutur’.
3)      The speaker must believe that he can perform the action ‘Penutur harus percaya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tindakan tersebut’.
4)      The speaker must predict a future action ‘Penutur harus menyatakan tindakan di masa yang akan datang’.
5)      The speaker must predict an act of himself ‘Penutur harus menyatakan tindakannya sendiri (Searle dalam Paina, 2009: 45-46)
Dalam penelitian ini, tipe tindak tutur komisif diklasifikasikan menjadi tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar. Alasan klasifikasi didasarkan pada prinsip tindak tutur komisif yang merupakan tindak tutur untuk menyatakan akan melakukan tindakan, dan tindakan itu belum dilakukan.

e.       Teori Sosiolinguistik
Joshua A. Fishman  (dalam Mansur Pateda, 1987: 3) memformulakan Sosiolinguistik is the study of the characteristik of language vareities, the cracteristics of their functions, and the charecteristics of their speakers as these three constantly interact, change and change one another within a speech community. Dalam pandangan sosiolinguistik suatu komunitas penutur (speech community), adalah semua orang yang memakai bahasa atau dialek tertentu atau kelompok masyarakat berdasarkan bahasa.
Teori sosiolinguistik menekankan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat. Studi sosiolinguistik memandang bahasa bukan sekadar sebagai tanda, tetapi pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Penelitian linguistik memberikan perhatian pada sifat pemakaiannya di dalam masyarakat yang mempengaruhi pemakaian bahasa ialah faktor situasional, siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai apa. Seperti yang dirumuskan Fishman, “Who speaks what language to whom and when” (dalam Suwito, 1985:3). Dalam pandangan sosiolinguistik, suatu komunitas penutur adalah semua orang yang memakai bahasa atau dialek tertentu atau kelompok masyarakat berdasarkan bahasa.
Untuk mengkaji pemakaian bahasa (khususnya tindak tutur komisif), diikuti pandangan tentang komponen tutur. Hymes (dalam Mulyana, 2005: 23; Renkema, 1993: 44) mengemukakan bahwa konteks dalam wacana dibentuk dari delapan unsur seperti yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Hymes menyebut kedelapan unsur tersebut di atas dalam akronim SPEAKING.
S          : setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan.
P          : participants, peserta tuturan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan, seperti usia, latar belakang sosial, pendidikan dan sebagainya juga menjadi perhatian.
E          : ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir (ends in view goals).
A         : act sequences, pesan atau amanat, terdiri dari bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content).
K         : key, meliputi cara, nada, sikap atau semangat dalam melakukan percakapan. Semangat percakapan misalnya akrab, santai dan serius.
I           : instrumentaities atau sarana, yaitu sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa percakapan tersebut disampaikan, misalnya dengan cara lisan, tertulis, surat, televisi dan sebagainya.
N         : norm, atau norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan. Misalnya apa yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara membicarakanny: halus, kasar, jorok dan sebagainya.
G         : genres, atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang.
Kajian tindak tutur komisif adalah kajian pragmatik yang menyangkut masalah bentuk tindak tutur komisif, pemakaian tindak tutur komisif, maksud tindak tutur komisif, dan pemakaian verba performatif dalam tindak tutur komisif dalam pementasan drama Mangir Wanabaya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kajian bersifat pragmatik sekaligus sosiolinguistik. Penjelasan secara sosiolinguistik diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai pemakaian bahasa, khususnya tindak tutur komisif pementasan drama Mangir Wanabaya. Penjelasan secara pragmatis diharapkan dapat memudahkan orang untuk memahami maksud yang terkandung dalam bentuk tindak tutur yang menurut Leech (1993: 15), penelitian ini merupakan penelitian sosiopragmatik, yaitu pertemuan antara sosiologilinguistik dan pragmatik.

3.      METODE PENELITIAN
Berdasarkan masalah yang diajukan maka bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Peneliti mencatat dan meneliti tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam Pementasan drama “Mangir Wanabaya”. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Analisis konten atau kajian isi adalah suatu bentuk teknik penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik simpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Peer dan Nesbitt.
The content analysis includes all types of information that appear all fall within the scope of this study. The analysis consists of counting and classifying types of content. While gathered information, the bulk of the analysis focused on each content item in depth (Limor Peer dan Mary Nesbitt, 2004).

            Teknik pengumpulan data adalah dengan studi dokumen dengan memanfaatkan berbagai bahan dokumen baik dokumen tertulis, gambar, hasil karya, maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis, dibandingkan, dan dipadukan membentuk suatu kajian yang sistematis, padu, dan utuh (Yin dalam H.B. Sutopo, 2002: 69-70). Dokumen tersebut berupa transkrip dialog dalam pementasan drama. Penelitian kualitatif mengedepankan analisis induktif dengan menghadirkan uraian-uraian mengenai bentuk tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam Pementasan drama “Mangir Wanabaya” diikuti dengan uraian pemaknaan konteks sosial tiap-tiap tindak tutur komisif berniat, berjanji, bersumpah, dan bernadar dalam Pementasan drama “Mangir Wanabaya”. Selanjutnya, pembahasan mengerucut dan mengkristal ke perumusan-perumusan singkat padat dan kesimpulan.


4.      PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Pada bagian ini dibahas bentuk tindak tutur komisif pementasan drama mangir Wanabaya yang meliputi tindak tutur komisif (1) berniat, (2) berjanji, (3) bersumpah, dan (4) bernadar. Satuan lingual sebagai penanda tindak tutur komisif. Bentuk penanda tuturan komisif itu dapat berupa kata, predikat berjenis propositif, atau konteks tuturan.
a.      Bentuk Tindak Tutur Komisif Berniat
Tindak tutur komisif berniat adalah tindakan bertutur untuk menyatakan niat melakukan suatu tindakan. Tindakan belum dilaksanakan karena masih sebatas tuturan, tetapi akan dilaksanakan di masa yang akan datang oleh penuturnya sendiri untuk orang lain.
Data (1)
Baru Klinting: Mataram takkan lagi mampu melangkah ke selatan. Kepungan Mangir sama tajam dengan mata pedang pada lehernya. Pada akhirnya bakal datang dia merangkak pada kaki kita hanya untuk minta hidup.
Suriwang:Panembahan Senopati, anak ingusan kemarin, ini mau coba-coba kuasai Mangir. Perdikan Mangir hendak dicoba! Pulang  tangan hampa balik kembali dengan balatentara.
Pada data (1) terdapat peristiwa tutur berbentuk dialog antara Baru Klinting selanjutnya disebut (O1) dan Suriwang, abdi Perdikan Mangir, yang selanjutnya disebut (O2). Warna emosi dalam pembicaraan itu merendahkan atau menghina. Maksud atau tujuan pembicaraan dalam dialog itu ialah (O1) memberitahukan tentang kerajaan Mataram yang tak akan mampu meneruskan penyerangan ke Mangir. Cita rasa bahasa yang digunakan dalam pembicaraan formal antara Pimpinan Perang dengan abdi.
Norma dialog yang berlangsung berupa interaksi antara penutur (O1) dan lawan tutur (O2) adat sopan santun dan status sosial berdasarkan lawan bicaranya. Adegan tutur dialog ini dilakukan di Perdikan Mangir. Register dialog adalah wacana lisan. Bentuk tuturan secara pragmatis dikenal dengan norma komunikasi prinsip kesopanan, yaitu kebijaksanaan, kemurahan, penerimaan, kecocokan, dan kesimpatian.
Tindakan berniat (O1) mengungkapkan akan terus menerus mengepung pergerakan serangan Mataram dari segala penjuru hingga akhirnya Mataram mundur atau menyerah pada perdikan Mangir. Kata ‘takkan’ dan ‘pada akhirnya bakal datang’ menyatakan sebuah tindakan yang belum dilakukan, dan akan dilakukan pada masa waktu mendatang. Oleh karena itu, secara pragmatik, kata ‘takkan’ dan ‘pada akhirnya bakal datang’ menjadi penanda untuk mengenali bentuk tuturan komisif. Verba penentu yang mengikutinya adalah ‘melangkah’ dan ‘merangkak.
Tindakan berniat (O2) mengungkapkan hinaan terhadap serangan Mataram. Kata ‘mau’ dan ‘hendak’ menyatakan sebuah tindakan yang belum dilakukan. Oleh karena itu, secara pragmatik, kata ‘mau‘ dan ‘hendak’ menjadi penanda untuk mengenali bentuk tuturan komisif. Verba penentu yang mengikutinya adalah ‘kuasai‘ dan ‘dicoba’. Bentuk itu menunjukkan tindakan yang akan dilakukan.
Data (2)
Demang Patalan: Langsung masuk Mataram atau tidak?
Baru Klinting: Akan datang masanya masuki Mataram dengan tangan berlenggang. Tidak sekarang, Seanapati masih berjaga oleh berlapis-lapis balatentara.
Pada data (2) terdapat peristiwa tutur berbentuk dialog antara Demang patalan selanjutnya disebut (O1) dan Baru Klinting yang selanjutnya disebut (O2). Warna emosi dalam pembicaraan itu bertanya. Maksud atau tujuan pembicaraan dalam dialog itu ialah (O1) menanyakan penyerangan langsung ke kerajaan Mataram. Cita rasa bahasa yang digunakan dalam pembicaraan nonformal Pimpinan Perang dengan para demang.
Norma dialog yang berlangsung berupa interaksi antara penutur (O1) dan lawan tutur (O2) adat sopan santun dan status sosial berdasarkan lawan bicaranya. Adegan tutur dialog ini dilakukan di Perdikan Mangir. Register dialog adalah wacana lisan.
Tindakan berniat (O2) mengungkapkan akan datang masanya untuk dapat Mataram dengan mudah. Tapi, tidak sekarang, Senapati masih berjaga oleh berlapis-lapis balatentara, benteng batu bata, dusun-dusun bersenjata di sekitar benteng. Kata ‘akan’ menyatakan sebuah tindakan yang belum dilakukan, dan akan dilakukan pada masa waktu mendatang. Oleh karena itu, secara pragmatik, kaya ‘akan’ menjadi penanda untuk mengenali bentuk tuturan komisif. Verba penentu yang mengikutinya adalah ‘datang masanya masuki Mataram’.
Data (4) menunjukkan terpenuhinya maksim kualitas, yaitu setiap peserta tuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang diperlukan oleh lawan bicara. O1 (Demang Patalan) berniat akan langsung menyerang Mataram dan tindakan itu akan dilaksanakan apabila mendapat persetujuan O2 (baru Klinting). Informasi yang dibutuhkan O1 adalah persetujuan atau tidak setuju O2. O2 tidak memberikan persetujuan melalui tuturan ‘Tidak sekarang, Seanapati masih berjaga oleh berlapis-lapis balatentara’. Dengan demikian, O2 memberikan kontribusi secukupnya dalam komunikasi itu. O2 dapat memahami dan memberikan kontribusi yang relevan dengan yang diperlukan O1. Berdasarkan itu, dapat dikatakan bahwa daya pragmatis pada data (2) berhasil.
Data (3)
Putri Pambayun: Tak sabar diri ingin periksa, siapa anak yang bakal datang pada kita. Kalau lelaki apakah dia bakal segagah bapaknya.
Wanabaya: Bila lelaki dia akan gagah berani, setia pelindung Perdikan ini. Seratus Mataram akan direbahkannya dalam sekali gebah. (lunak). Kalau wanita, dia pasti cantik jelita seperti ibunya, penakluk hati seluruh bumi Jawa.
Pada data (4) terdapat peristiwa tutur berbentuk dialog antara Adisaroh (Putri Pembayun), istri Wanabaya selanjutnya disebut (O1) dan Wanabaya selanjutnya disebut (O2). Warna emosi dalam pembicaraan itu halus dan mesra. Maksud atau tujuan pembicaraan dalam dialog itu ialah (O1) tak sabar ingin mengetahui jenis kelamin bayi yang dikandungnya. Selain itu, juga menanyakan apabila lahir laki-laki apakah akan segagah bapaknya. Cita rasa bahasa yang digunakan dalam pembicaraan informal antara suami dengan istri. Norma dialog yang berlangsung berupa interaksi antara penutur (O1) dan lawan tutur (O2) adat sopan santun dan status sosial berdasarkan lawan bicaranya. Adegan tutur dialog ini dilakukan di sebuah taman di rumah Wanabaya, wilayah Perdikan Mangir. Register dialog adalah wacana lisan. O2 memberikan respon balik kepada O1 dengan pernyataan sesuai dengan yang diajukan oleh O1.
Tindakan berniat (O1) mengungkapkan akan ingin memeriksa atau ingin mengetahui jenis kelamin anak yang akan lahir dari pernikahannya dengan O2. Kata ‘ingin’ dan ‘bakal’ menyatakan sebuah tindakan yang belum dilakukan dan akan dilakukan pada masa waktu mendatang. Oleh karena itu, secara pragmatik, kata ‘ingin’ dan ‘bakal’ menjadi penanda untuk mengenali bentuk tuturan komisif. Verba penentu yang mengikutinya adalah ‘periksa’ dan ‘segagah’.
Tindakan berniat (O2) mengungkapkan kepercayaan diri jika anak yang lahir laki-laki akan gagah berani, setia pelindung Perdikan ini, seratus Mataram akan direbahkannya dalam sekali gebah dan jika lahir wanita maka ia pasti cantik jelita seperti ibunya.
Kata ‘akan’ menyatakan sebuah tindakan yang belum dilakukan dan akan dilakukan pada masa waktu mendatang. Oleh karena itu, secara pragmatik, kata ‘akan’ menjadi penanda untuk mengenali bentuk tuturan komisif. Verba penentu yang mengikutinya adalah kata dan frasa ‘direbahkannya’, ‘gagah berani’, ‘pasti cantik jelita’.

b.      Bentuk Tindak Tutur Komisif Berjanji
Kata yang diujarkan oleh peserta tutur ada yang mengungkapkan makna akan melakukan tindakan. Kata yang seperti itu dapat menjadi penanda bentuk tindak tutur komisif. Bentuk tindak tutur berjanji ditandai dengan kata 'janji, sungguh. Tindak tutur komisif berjanji adakalanya ditandai ungkapan kesanggupan yang dinyatakan setelah penutur menyampaikan pesan kepada lawan tutur. Tindakan atas kesanggupan itu belum dilakukan dan akan dilakukan pada waktu sekarang dan akan datang.
Data (4)
Putri Pambayun: Adisaroh dan Putri Pambayun sama, kakang, dua-duanya istri tunggal Ki Wanabaya, pesan ayahanda baginda agar datang ke Mataram dalam seminggu ini, untuk terima restu perkawinan.
Wanabaya: (menghindari Putri Pambayun). Hendak digiringnya Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya Ke Mataram tanpa berlawan.
Putri Pambayun: Permusuhan akan berganti perdamaian…Mataram akan sambut dengan pesta seluruh negeri…
Wanabaya: Janji pendusta adalah dusta!
Putri Pambayun: Dengan Sarpa Kurda, ayahanda baginda hendak tarik seluruh balatentara Mangir ke Patalan, dengan seluruh balatentara dari utara akan melingkar menyapu Perdikan dan semua Kademangan sekawan. Semua suara putri Pambayun, yang sampai pada telinga suaminya, tak pernah mengandung dusta. Untukmu dan Perdikan kang, di mana dan kapan saja.
Baru Klinting: Baik, seluruh kekuatan dikerahkan masuk ke benteng Mataram. Patalan! Berangkat sekarang juga kau ke Mataram, kibarkan tinggi bendera Mangir pertanda duta. Sampaikan, pada hari yang sama minggu mendatang, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya dan istri  Pambayun akan datang bersembah bakti pada panembahan Senopati.
Pada data (4) terdapat peristiwa tutur berbentuk dialog antara Tumenggung Putri Pembayun selanjutnya disebut (O1) dan Wanabaya yang selanjutnya disebut (O2) serta Baru Klinting (O3) beserta para demang dan Suriwang. Warna emosi dalam pembicaraan itu kecewa, sakit hati, emosional. Maksud atau tujuan pembicaraan dalam dialog itu ialah (O1) menyampaikan pesan ayahandanya, yaitu Panembahan Senopati untuk membawa serta Mangir Wanabaya menghadap kepada ke Kerajaan Mataram untuk menerima restu perkawinan dengan janji bahwa tidak ada lagi permusuhan dan akan berganti perdamaian, Mataram akan sambut dengan pesta seluruh negeri. Norma dialog yang berlangsung berupa interaksi antara penutur (O1) dan lawan tutur (O2) dilakukan dengan adat sopan santun meskipun dengan suami sendiri bicaranya. Adegan tutur dialog ini dilakukan di rumah tinggal Mangir Wanabaya, Perdikan Mangir. Register dialog adalah wacana lisan.
Maksud Wanabaya (O2) dan Klinting (O3), yaitu menjanjikan kepada Putri pembayun bahwa Mangir Wanabaya akan bersedia menghadap ke Mataram dengan dikawal balatentara Mangir. Di dalam dialog itu terdapat unsur penanda tindak tutur komisif berjanji, yaitu (O3) memberikan janji yang diwujudkan dalam tuturan komisif “Baik, seluruh kekuatan dikerahkan masuk ke benteng Mataram...Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya dan istri  Pambayun akan datang bersembah bakti pada panembahan Senopati”. (O2) dan (O3) mengabulkan permintaan (O1) menghadap ke Mataram setelah (O1) memberikan peta kekuatan dan strategi penyerangan yang dilakukan Mataram ‘Dengan Sarpa Kurda, ayahanda baginda hendak tarik seluruh balatentara Mangir ke Patalan, dengan seluruh balatentara dari utara akan melingkar menyapu Perdikan dan semua Kademangan sekawan’, ‘Untukmu dan Perdikan kang, di mana dan kapan saja’. (O2) dan (O3) setuju dengan permintaan dan pernyataan meyakinkan (O1) kepada (O2), (O3), dan para demang dengan mengucapkan janji secara implisit melalui tuturan ‘Permusuhan akan berganti perdamaian…Mataram akan sambut dengan pesta seluruh negeri’. Secara inferensial tuturan tersebut merujuk kembali kepada isi konteks untuk datang menghadap kepada ke Kerajaan Mataram untuk menerima restu perkawinan.
Secara kontekstual, tuturan ‘Baik, seluruh kekuatan dikerahkan masuk ke benteng Mataram’ merupakan penanda bentuk tindak tutur komisif berjanji. Penanda tindak tutur berjanji itu tidak ditandai dengan ujaran berjanji, tetapi tuturan yang secara kontekstual menyatakan berjanji.
Data (5)
Putri Pambayun: Juga membunuh dan mengkhianati suami?
Tumenggung Mandaraka: Dia bahayakan kewibawaan ayahandamu baginda. Kebenaran ada di tangan raja, hidup dan mati kepunyaannya.
Pambayun: Sekarang nenenda datang menagih janji, agar aku khianati suami sendiri.
Tumenggung Mandaraka: Bukan mengkhianati, hanya membawanya menghadap ayahandamu baginda, ayahandamu sendiri.
Pada data (4) terdapat peristiwa tutur berbentuk dialog antara Tumenggung Mandaraka Juru Mertani selanjutnya disebut (O1) dan Putri Pembayun yang selanjutnya disebut (O2). Warna emosi dalam pembicaraan itu emosional, cemas, menguatkan tekad. Maksud atau tujuan pembicaraan dalam dialog itu ialah (O1) menanyakan janji yang pernah diucapkan putri Pembayun untuk membawa serta Mangir Wanabaya menghadap kepada ayahnya, yaitu Panembahan Senopati ke Kerajaan Mataram. Cita rasa bahasa yang digunakan dalam pembicaraan formal antara penasehat raja dengan putri raja atau dalam cerita ini sebagai cucunda dengan Nenenda/kakek. Norma dialog yang berlangsung berupa interaksi antara penutur (O1) dan lawan tutur (O2) dilakukan dengan adat sopan santun dan status sosial berdasarkan lawan bicaranya. Adegan tutur dialog ini dilakukan di Perdikan Mangir. Register dialog adalah wacana lisan.

c.       Penanda Bentuk Tindak Tutur Komisif Bersumpah
Tindak tutur bersumpah adalah tindakan tutur yang dituturkan oleh penutur kepada lawan tutur untuk meyakinkan tentang kebenaran atau kesetiaan akan sesuatu hal. Tindak tutur bersumpah biasanya disebabkan oleh keadaan lawan tutur yang kurang mempercayai kebenaran akan pernyataan penutur. Tuturan dalam tindak tutur bersumpah ditandai dengan bentuk tuturan ’sungguh, 'sumpah,demi langit, atau demi Tuhan”.  Di samping penanda yang berbentuk kata, tindak tutur bersumpah dapat ditandai dengan konteks.
Data (6)
Baru Klinting: Bila nyata kau punggungi leluhur, berbelah hati pada Perdikan. Khianati semua, tombak-tombak ini akan tumpas kau. Bicara kau wanabaya!
Wanabaya: Dengarkan leluhur semua darahmu di atas bumi ini, darahmu sendiri yang masih berdebar dalam tubuhku, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya, darah ini tetap murni, ya, leluhur di alam abadi, sedia mati untuk desa yang dahulu kau buka sendiri. Dalam hati ini hanya ada satu kesetiaan. Tombak-tombak biar tumpas diriku kalau tubuh ini tak layak didiami darahmu lagi.
Baru Klinting: Kau akan tetap melawan Mataram.
Wanabaya: Leluhur dan siapa saja yang dengar, inilah Wanabaya, akan tetap melawan Mataram.
Pada data (6) terdapat peristiwa tutur berbentuk dialog antara baru klinting selanjutnya disebut (O1) dan Wanabaya, Pimpinan (Ki Ageng) Perdikan Mangir, yang selanjutnya disebut (O2). Warna emosi dalam pembicaraan itu mengancam. Maksud atau tujuan pembicaraan dalam dialog itu ialah (O1) mengancam Wanabaya untuk memilih tumpah darahnya, yaitu Mangir atau berpaling kepada Adisaroh Waranggana, istri Wanabaya yang dinilai sebagai mata-mata dari Mataram. Cita rasa bahasa yang digunakan dalam pembicaraan formal antara Pimpinan Perang dengan pimpinan kelompok sekaligus panglima perang Mangir. Norma dialog yang berlangsung berupa interaksi antara penutur (O1) dan lawan tutur (O2) berdasarkan lawan bicaranya. Adegan tutur dialog ini dilakukan di Perdikan Mangir. Register dialog adalah wacana lisan.
Permasalahan yang dibahas dalam dialog tersebut adalah perihal Wanabaya (O2) yang diragukan kesetiaannya terhadap Mangir dan lebih memilih bersuka ria dengan wanita waranggana (Adisaroh). Tindakan berniat (O1) mengungkapkan akan membunuh Wanabaya jika tidak angkat bicara bersumpah setia terhadap wilayah perdikan yang ia pimpin di hadapan Baru Klinting dan para demang dengan kepungan tombak dari para demang Perdikan Mangir yang siap menyerang ke arah Wanabaya. Kata ‘akan’ menyatakan sebuah tindakan yang belum dilakukan dan akan dilakukan pada masa waktu mendatang. Oleh karena itu, secara pragmatik, kata ‘akan’ menjadi penanda untuk mengenali bentuk tuturan komisif. Verba penentu yang mengikutinya adalah ‘tumpas’.
Tindakan tuturan berupa pernyataan bahwa diduga Wanabaya berkhianat pada perdikan Mangir. Pernyataan tersebut tertuang dalam tuturan “Bila nyata kau punggungi leluhur, berbelah hati pada Perdikan. Khianati semua, tombak-tombak ini akan tumpas kau. Bicara kau wanabaya!” memberikan reaksi tuturan berupa penyangkalan sekaligus sumpah janji setia kepada Mangir. Apabila hal itu dilanggar, Wanabaya (O2) siap dibunuh dengan dihujani tombak-tombak. Pernyataan tersebut dalam tuturan “Dengarkan leluhur semua darahmu di atas bumi ini, .. darah ini tetap murni, ya, leluhur di alam abadi, sedia mati untuk desa yang dahulu kau buka sendiri...hanya ada satu kesetiaan. Tombak-tombak biar tumpas diriku kalau tubuh ini tak layak didiami darahmu lagi. Pernyataan terakhir dimaksudkan untuk menggambarkan semua kemungkinan akibat dari sumpah yang dapat mengenai dirinya.
Dari tuturan tersebut menimbulkan pertanyaan penegasan yang dituturkan oleh O1,” Kau akan tetap melawan Mataram?” bentuk tuturan tersebut  sebagai kalimat penegas yang menegaskan isi sumpah “Leluhur dan siapa saja yang dengar, inilah Wanabaya, akan tetap melawan Mataram.” Oleh karena itu, ‘sedia mati, satu kesetiaan, akan tetap melawan Mataram ' menjadi penanda bentuk tindak tutur komisif bersumpah yang pemahamannya hanya dapat dikenali melalui analisis kontekstual.
Daya pragmatis dialog (6) dapat dipahami dengan menggunakan salah satu maksim, yaitu maksim kuantitas. Maksim ini mengharuskan setiap peserta tuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang diperlukan lawan bicara. Dalam konteks itu (O1) meminta Wanabaya untuk bicara bersumpah setia terhadap wilayah perdikan yang ia pimpin di hadapan Baru Klinting dan para demang. Tuturan (O1) yang meminta meminta Wanabaya untuk bicara merupakan kontribusi secukupnya dalam komunikasi. (O2) memberikan respons sebagai kontribusi komunikasi sebanyak yang diperlukan (O1) dengan memberikan tuturan kesanggupan ‘sedia mati untuk desa yang dahulu kau buka sendiri’. (O2) yang memberikan kesanggupan atas permintaan (O1) merupakan reaksi positif. Bahwa daya pragmatis pada data (3) dapat dipahami oleh (O2) tercermin melalui adanya reaksi positif tersebut.

d.      Penanda Bentuk Tindak Tutur Komisif Bernadar
Tindak tutur komisif bernadar adalah tindak tuturan yang menyatakan bahwa tindakan yang dinyatakan dalam tuturan belum dilakukan, tetapi akan dilakukan di masa mendatang apabila hal yang diinginkan penutur sudah terkabul. Bentuk yang menandai tindak tutur bernadar adalah konteks sebagai prasyarat yang menyatakan waktu dilaksanakannya tindakan. Prasyarat itu biasanya berupa kalimat yang menyatakan harapan atau peristiwa yang diinginkan. Tindakan bernadar akan dilakukan apabila prasyarat sudah terpenuhi. Dengan kata lain, penentu tidak tutur komisif bernadar adalah prasyarat yang menyatakan kapan tindakan bernadar akan dilakukan.
Data (7)
7.a. Putri Pambayun
Juga akan adukan Pambayun membangkang pada ayahanda? Bergabung dan setia pada musuh, khianati, punggungi Negara?
7.b. Tumenggung Mandaraka
Akan nenenda persembahkan, dalam seminggu lagi pada hari yang sama, Putri Pambayun akan datang bersujud, dengan putra menantu Ki Ageng Wanabaya.
7.c. Putri Pambayun
Takkan saya biarkan bayi ini tanpa ayahnya.
7.d. Tumenggung Mandaraka
Nenenda Tumenggung Mandaraka Juru Martani ini akan atur semua. Seminggu lagi cucunda, Mataram akan berpesta menunggu Putri Pambayun dengan putra dalam kandungan calon raja Mataram, raja seluruh bumi dan orang jawa, dengan Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya, putra menantu Tua Perdikan dalam pengukuhan. Datang, cucunda, jangan kecewakan ayahanda baginda dan Mataram. Gamelan akan menyambut sepanjang jalan, umbul-umbul akan berkibaran setiap langkah, permusuhan sekaligus akan selesai, tak perlu ada prajurit tewas, karena damai mewangi dalam hati dan mengharumi bumi.
Pada data (7) terdapat peristiwa tutur berbentuk dialog antara Putri Pembayun yang selanjutnya disebut (O1) dengan Tumenggung Mandaraka Juru Mertani selanjutnya disebut (O2). Warna emosi dalam pembicaraan itu mengekang, emosional untuk meyakinkan. Maksud atau tujuan pembicaraan dalam dialog itu ialah (O1) menuduh (O2) akan mengadukan (O1) yang termakan cinta Wanabaya sehingga lupa maksud semula untuk menipu Wanabaya dan diserahkan kepada ayahnya, yaitu Panembahan Senopati ke Kerajaan Mataram untuk dihukum karena menghalangi kewibawaan Mataram. Cita rasa bahasa yang digunakan dalam pembicaraan formal antara penasehat raja dengan putri raja atau dalam cerita ini sebagai cucunda dengan Nenenda/kakek. Norma dialog yang berlangsung berupa interaksi antara penutur (O1) dan lawan tutur (O2) dilakukan dengan adat sopan santun dan status sosial berdasarkan lawan bicaranya. Adegan tutur dialog ini dilakukan di Perdikan Mangir. Register dialog adalah wacana lisan. Respon (O2) terhadap pernyataan (O1) (7.b) berbeda dari tuturan sebelumnya (7.a) dan terkesan tidak koheren. Tuturan yang berupa nadar adalah dialog pada data (7.d).
Tuturan dialog dilakukan ketika (O2) menemui (O1) dan menagih janji yang pernah diucapkan putri Pembayun untuk membawa serta Mangir Wanabaya menghadap kepada ayahnya, yaitu Panembahan Senopati ke Kerajaan Mataram. Kelanjutan dari konteks tersebut, (O2) memberikan keyakinan kepada (O1) tentang kemungkinan jika bersedia membawa serta Wanabaya menghadap ke Mataram  Pernyataan sebagai prasyarat tuturan komisif bernadar ialah bentuk ‘Juru Martani ini akan atur semua’, dan ‘jangan kecewakan ayahanda baginda dan Mataram’ Tuturan itu menjadi penanda bahwa pelaku bernadar dengan harapan agar Putri Pembayun (O1) segera mengajak wanabaya menghadap panembahan Senopati dan, jika kelak benar-benar terjadi, Mandaraka Jurumertani (O2) dan Mataram akan melakukan sebuah tindakan. Tindakan yang dimaksud tercermin pada bentuk komisif yang menyertai kalimat nadar. Bentuk tuturan itu ialah “Mataram akan berpesta menunggu Putri Pambayun dengan putra dalam kandungan calon raja Mataram, raja seluruh bumi dan orang jawa, Gamelan akan menyambut sepanjang jalan, umbul-umbul akan berkibaran setiap langkah, permusuhan sekaligus akan selesai, tak perlu ada prajurit tewas” sebagai penentu tindak tutur komisif bernadar.
Hal yang menjadi penanda bentuk tindak tutur komisif bernadar sebenarnya terletak pada prasyarat waktu, tindakan apa yang akan dilakukan dalam nadar itu dan kapan nadar harus dilaksanakan. Bentuk penanda tersebut menjadi penentu tindak tutur komisif bernadar.
Tindak tutur komisif bernadar berbeda dengan tindak tutur komisif berjanji. Nadar dilakukan karena keberhasilan yang diberikan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tindakan dimaksudkan sebagai ucapan syukur yang diwujudkan dengan suatu tindakan untuk orang lain. Apabila tindakan belum dilaksanakan, penadar akan terus merasa ada tanggung jawab yang masih harus diselesaikan. Tanggung jawab bernadar justru bukan kepada orang yang dikenai nadar, tetapi kepada Tuhan.




5.      KESIMPULAN
Bentuk tindak tutur komisif pementasan drama Mangir Wanabaya dapat berupa kata, predikat propositif, dan konteks yang menyatakan komisif.  Konteks dalam kajian pragmatik dapat dijadikan petunjuk untuk mengenali maksud.
Tindak tutur komisif berniat merupakan tuturan untuk melakukan tindakan berniat, belum dilakukan, akan dilakukan masa sekarang dan akan datang. Pelaksanaan beniat dilakukan sebelum tindakan dilakukan.
Tindak tutur komisif berjanji merupakan tuturan untuk melakukan tindakan berjanji, tindakan yang dijanjikan itu belum dilakukan. Tindakan yang dijanjikan itu akan dilakukan masa masa sekarang dan akan datang.  Pelaksanaan berjanji dilakukan sebelum tindakan dilakukan.
Tindak tutur komisif bersumpah merupakan tuturan untuk melakukan tindakan bersumpah, tindakan akibat sumpah itu belum dilakukan. Tindakan akibat sumpah itu akan dilakukan masa masa sekarang dan akan datang.
Tindak tutur komisif bernadar merupakan tuturan untuk melakukan tindakan bernadar, tindakan itu belum dilakukan. Tindakan nadar akan dilakukan masa masa sekarang atau akan datang. Pelaksanaan tindakan nadar dilakukan setelah keinginan yang dikehendaki terlakasana.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: pengenalan awal. Jakarta: Balai Pustaka
Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.
Abdul Syukur Ibrahim. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional
Mansoer Pateda. 1987. Sosilinguistik. Bandung: Angkasa Bandung:
H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Halliday, M.A.K, and Ruqaiya Hasan, 1989. Language, Context, and Text: Aspect of Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University
I Dewa Putu Wijana. 1996. Dasar-DasarPragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi Ofset.
Harimurti Kridalaksana. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. (Terjemahan M.D.D.Oka). Jakarta: Universitas Indonesia.
Limor Peer, Mary Nesbitt, July 2004. Content Analysis Methodology. http://www.readership.org/new_readers/data/content_analysis_methodology.pdf diunduh pada 11 Mei 2011.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Psinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Paina. 2010. Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa: Kajian Sosiopragmatik. DISERTASI. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies: An Introduction Textbook. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Searle, J.R. 1976. Speechact: An Essayin the Philosophy of Language. USA: Cambridge University Press.
Tarigan, Henri Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa


[1] Disusun guna tugas Mata kuliah Pragmatik, dosen pengampu: Dr. M. Rohmadi
[2] Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Komentar

  1. maaf, bukan bermaksud membelokkan arah sejarah. .
    terima kasih arahannya..
    akan saya telusuri pada blog saudara, terima kasih telah diingatkan. . .

    BalasHapus
  2. Maaf, saya mau menanyakan, " Menurut Saudara, apabila seseorang memberikan umpan balik berupa penanda lingual 'mmm', 'ya', 'oke' pada saat penutur sedang berbicara, dalam artian bahwa penanda tersebut menunjukkan petutur memahami atau memberikan perhatian terhadap apa yang dikatakan oleh penutur," apakah dapat dikatakan juga dengan tindak tutur komisif?
    Terima kasih.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer