INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GLOBAL


A.   Pendahuluan
Saat ini, kita memasuki abad “dunia tanpa tapal batas”. Suatu peristiwa yang terjadi di satu belahan dunia akan dengan cepat diketahui di belahan dunia lainnya. Pengaruhnya dapat menembus langsung ke pelosok-pelosok dunia. Untuk ini kita dapat mengetahui dari Koran, televisi, radio, telepon, internet, e-mail, dan sebagainya sebagai imbas dari globalisasi.
Manusia merupakan warga negara global, sebagai penduduk dunia dan pewaris dunia yang memiliki hak dan kewajiban tertentu. Hak merupakan cornerstone of citizenship (Steiner, 1996)[1], merupakan inti dari kehidupan warga dunia. Kewajiban merupakan panggilan atau tanggung jawab atau tugas kita sebagai warga dunia. Selain itu, perlu kita sadari bahwa di dunia ini tidak hanya ada kita, akan tetapi pada orang lain yang bermukin di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, kita harus banyak mempelajari tentang dunia dan seisinya.
Globalisasi telah memboncengi seluruh rakyat di belahan bumi mana pun dengan membawa berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Sisi positif dari globalisasi itu berada pada kemajuan teknologi informatika dan teknologi komunikasi. Dampak negatifnya adalah jika kita hanya menjadi objek/pengikut/peniru suatu arus globalisasi tanpa mampu ‘berbuat dan bereaksi serta beraksi’’. Oleh karena itu, perlu banyak persiapan terutama mental guna menghadapi era tersebut. Dalam era tersebut dibutuhkan kemampuan untuk menjaring dan menyaring segala pengaruh yang masuk dari berbagai kebudayaan yang lain. Salah satu persiapan konkret adalah menyiapkan sumber daya yang mumpuni dengan cara perhatian lebih pada bidang pendidikan.
Memasuki abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menjadi dinamis. Kedinamisan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Hal itu tentu saja dapat mengakibatkan masyarakat Indonesia mulai sadar akan pentingnya pendidikan yang berkualitas bagi generasi muda yang akan menjadi pemimpin masa depan bangsa, memiliki kemampuan akademis, bahasa dan keterampilan lainnya untuk dapat memenuhi syarat standar penerimaan untuk masuk perguruan tinggi terkemuka, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, dengan bekal ilmu pengetahuan, keterampilan dan karakter dalam upaya mengembangkan kader pemimpin yang mampu membuat perubahan positif dalam komunitas akan berdampak pada masa depan negara.
Beberapa tahun terakhir telah muncul tren di beberapa sekolah di Indonesia yang mengklaim sekolahnya menerapkan sistem pendidikan internasional. Dengan mengadopsi kurikulum asing dan mendatangkan para pengajar dari negara asal kurikulum. Dengan begitu, sekolah-sekolah tersebut dengan gagah berani berani menyebut sekolah Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Selain itu, ada pula yang berpendapat  bahwa kurikulum sekolah tersebut berkualitas internasional. Lain daripada itu, standar pendidikan internasional bukan sekedar pendidikan yang menggunakan bahasa internasional. Pendidikan internasional bukan hanya mempromosikan penggunaan bahasa asing. Kemudian, belum lama ini telah pula dihapus istilah SBI dan RSBI itu di tiap jenjang pendidikan di tanah air.

B.   Pendidikan Internasional
Pendidikan internasional dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan siswa berpikir secara terbuka dan internasional, open and international minded. International minded adalah kelak siswa akan menjadi manusia yang ‘berwarga negara internasional’ atau istilahnya sebagai global citizen  (Zandy, 2011)[2]. Jadi, pendidikan internasional bukan sekedar kulit belaka, namun lebih pada esensi yang terletak di dalamnya, dalam pembelajarannya.
Dalam pendidikan internasional, kurikulum yang diterapkan boleh-boleh saja kurikulum nasional, tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk ber-internasional. Program yang benar-benar program berstandar internasional dalam arti yang sesungguhnya, yakni dalam program ini selain menerapkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai satu dari mata pelajarannya, Bahasa Indonesia apabila diterapkan di Indonesia masih harus dipakai. Anak didik harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal dan harus tetap diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya.
Namun pada saat bersamaan, program ini membuat anak didik untuk berpikir secara internasional dengan cara mengajak mereka untuk peduli akan situasi yang ada di dunia luar – Act locally, think globally. Juga dengan cara mengajarkan kepada anak didik adanya perbedaan di antara sesama, dan dengan cara menerapkan profil-profil manusia yang mengarah ke dalam kehidupan yang lebih baik. Artinya, anak didik dijejali dengan pendidikan akan hidup dalam suasana damai di dunia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, diberikan makna perdamaian internasional, dan arah kehidupan yang lebih baik. Bentuk pendidikan semacam ini bukan dalam tingkat pendidikan teori, namun harus diterapkan secara nyata. Dalam pendidikan internasional, para pendidik harus pandai menyelipkan nilai-nilai kemanusian ke dalam semua mata pelajaran dan dalam semua kegiatan secara berkelanjutan. Kegiatan yang dirancang haruslah sedemikian rupa sehingga anak didik tidak hanya belajar ilmu, namun juga belajar nilai.

C.   Sejarah Pendidikan Internasional
Pendidikan internasional dikenal dengan sebagai usaha dalam forum internasional untuk mewujudkan harmoni dan perdamaian dunia melalui pendidikan. Carter V. Good menyebutkan ada dua arti dari pendidikan internasional. Arti pertama, bahwa pendidikan internasional adalah studi tentang kekuatan-kekuatan pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi dalam konteks hubungan internasional dengan tekanan pada potensi dan bentuk pendidikannya. Arti kedua, pendidikan internasional adalah program internsional yang bertujuan untuk meninngkatkan rasa saling pengertian antar bangsa dengan jalan tukar menukar sarana, teknik dan metode pendidikan, pertukaran pelajar, pertukaran guru/dosen, dan lain-lain. Pada abad pertengahan kira-kira abad-13, di Eropa sudah mulai ada beberapa tanda munculnya renaissance. Pada saat itu seorang penasehat raja Prancis Philip IV bernama Piere Du Bois (1250-1321)[3] mengusulkan supaya diadakannya ‘sekolah internasional’. Sekolah ini bertugas menanamkan rasa saling mengerti antar bangsa dan menumbuhkan kerja sama antar bangsa dan biayanya diambilkan dari anggaran perang.
Cita-cita piere Du Bois yang belum terealisir tersebut selanjutnya diteruskan oleh seorang pendidik yang bernama Johan Amos Comenius (1592-1670) yang juga mempunyai gagasan untuk mendirikan sekolah internasional yang beliau beri nama ‘Pan-Shopia”. Sekolah tersebut menurutnya diharapkan akan mampu menyelenggarakan proses belajar mengajar.
Dari paparan tersebut, sudah menunjukkan ada semacam titik terang tentang upaya mewujudkan pendidikan internasional. Adapun dengan mulai adanya usaha-usaha pencarian data yang dilakukan dengan dua metode yang dilakukan maka oleh para ahli disepakati bahwa dialah sebagai perintis pengembangan ilmu pendidikan komparatif.
Fannie Fern Andrews[4] yang selanjutnya dikenal sebagai perintis pendidikan internasional, mengusulkan kepada presiden Amerika Serikat saat itu yaitu William Taft untuk mempertemukan para pemimpin bangsa dengan maksud meningkatkan kerjasama. Usulan Andrews ini disetujui oleh presiden Taft, yang selanjutnya sejak tahun 1912 mulailah dirintis terwujudnya ‘Konperensi Internasional’ di Den Hag.
Pada tahun 1914 disepakati berdirinya ‘Internasional Bureau of Education’ yang bernaung dibawah League of Nations. Kelanjutan dari keberadaan Internasional Bureau of Education tersebut, pada tahun 1926 dibentuk sebuah komisi kerjasama para kaum intelektual internasional yang disebut ‘Comission on Intelectual Cooperation’ untuk tingkat pusat dan national commision untuk setiap negara dan pada tahun 1922 di San Fransisco membentuk federasi asosiasi pendidikan internasional yang bernama World Federation of Education Associations.
Dalam sejarah pendidikan internasional dikenal sebagai usaha dalam forum internasional untuk mewujudkan harmoni dan perdamaian internasional dengan menggunakan pendidikan sebagai alatnya. Pendidikan internasional berujung pada terwujudnya perdamaian dunia dengan tujuan pendidikan yang bermuatan ranah efektif.

D.   Pendidikan Global
Pendidikan Perspektif Global atau Pendidikan Global artinya pendidikan yang membekali wawasan global kepada siswa untuk memasuki era globalisasi, mampu bertindak lokal, tapi dengan dilandasi wawasan global. Pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan global dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik dan dapat dimanfaatkan untuk persaingan global. Pendidikan Global dirasa perlu pada era kemajuan informasi komunikasi & transportasi; dunia semakin sempit, batas negara menjadi buram, proses universalisasi melanda berbagai aspek kehidupan.
Tujuan Pendidikan Global (Zandy, 2011)[5] adalah mengembangkan pengertian keberadaan mereka membentuk masyarakat; mereka merupakan anggota masyarakat manusia; penghuni planet bumi, dan kehidupannya tergantung pada planet bumi tersebut; partisipan atau pelaku aktif dalam masyarakat global; mendidik siswa agar mampu hidup secara bijaksana dan bertanggung jawab, sebagai individu, umat manusia, penghuni planet bumi, dan sebagai anggota masyarakat global.

E.   Pengembangan Pendidikan Global     
Istilah pendidikan global (global education) dikenal juga dengan perspektif global (global perspective), pendidikan global untuk perspektif global (global education for a global perspective) dan perspektif global dalam pendidikan (global perspektive in education). Semua istilah tersebut memiliki kandungan isi dan metode yang sama. Namun, di Indonesia lebih dikenal dengan perspektif global, dipahami sebagai ilmu atau studi yang menanamkan cara pandang dan cara berpikir terhadap suatu masalah, kejadian atau kegiatan dari sudut kepentingan global, yaitu dari sisi kepentingan dunia atau internasional (Sumaatmadja dan Wihardit, 2007)[6].
Globalisasi adalah suatu proses dengan  kejadian, keputusan dan kegiatan di salah satu bagian dunia menjadi satu konskuensi yang signifikan bagi individu dan masyarakat di daerah yang jauh. Globalisasi mendorong terwujudnya tipe masyarakat yang terbuka dalam banyak dimensi. Munculnya tipe masyarakat tersebut merupakan konsekwensi dari perkembangan zaman yang memberikan nilai kepada semua individu, hak dan kewajiban sehingga semua manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan pontensinya dan menyumbangkan kemampuannya bagi kemajuan bangsa khususnya dan kemajuan umat manusia umumnya (Sumaatmadja dan Wihardit, 2007)[7].
Kemajuan mayoritas bangsa-bangsa di dunia umat manusia pada umunya pada abad ke-21 ini telah yang menjadikan kita masuk pada abad ilmu pengetahuan dengan corak sebagai masyarakat pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan terutama kemajuan teknologi memeberikan kemungkinan dan kesempatan bagi manusia untuk bisa tetap survive meski kekayaan alam semakin menipis atau bahkan habis. Manusia dengan kemajuan teknologi bisa menciptakan bahan pengganti seperti energi bahan bakar gas dan minyak dapat diganti dengan bio-energi, energi hidrogen dan lain-lain. Kemajuan teknologi juga akan melahirkan sistem kerja baru dimana kerja rutin akan diganti oleh mesin, tinggal kerja yang kreatif dan otentik yang dilaksanakan oleh manusia. Artinya, manusia akan tergantung pada teknologi, jadi teknologi menguasai manusia buka sebaliknya. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah belajar bagaimana manusia dapat menyadari, menguasai dan mengendalikan teknologi untuk kemajuan individu, bangsa dan negaranya serta umat manusia pada umumnya. (Zamroni, 2007). Kesadaran inilah yang penting untuk dicapai oleh semua individu dan semua bangsa di dunia untuk mengembangkan komitmen kebersamaan dalam kebaikan, keamanan dan kemakmuran yang ditanamkan secara terus menerus melalui aneka sarana pendidikan.
            Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pendidikan global memberikan dasar-dasar pemahaman dan kesadaran berupa cara pandang dan cara berpikir terhadap suatu masalah, kejadian atau kegiatan dari sudut pandang kepentingan global. Bahwa manusia hidup dan kehidupan manusia di dunia ini adalah untuk kepentingan global yang lebih luas. Isu, fenomena dan keadaan dalam masyarakat dapat dikategorikan sebagai masalah global, bila ruang lingkup, bobot dan upaya pemecahannya berada pada tingkat dunia. Dari sisi kepentinagan internasional, sikap dan perbuatan manusia sebagai warga dunia dapat diarahkan untuk kepentingan global. Dalam cara berpikir, seseorang dituntut untuk berpikir secara global walaupun dalam bertindak secara lokal. Dalam cara berbuat, tindakan seseorang akan mempengaruhi dunia global.
Menurut Robert Hanvey, terdapat lima dimensi perspektif global, yaitu: (1) Perspective Conciusness, yaitu kesadaran bahwa masing-masing warga dunia memiliki aneka perbedaan, termasuk perbedaan pandanan, oleh karen itu diperlukan adanya penghargaan terhadap aneka pendapat yang berbeda satu sama lain; (2) State of Planet awareness, yaitu adanya pengertian yang mendalam terhadap aneka isu dan berbagai peristiwa global; (3) Cross Cultural awarness, yaitu adanya kesadaran tentang banyaknya budaya yang berbeda dan beraneka ragam namun juga dapat memiliki kesamaan; (4) Systematic awarness yakni, mengetahui banyak sistem yang ada dialam, maka menganal kompleksnya sistem internaional yang terdiri dari banyak faktor negara dan non-negara; dan (5) Option participation, yaitu menegtahui strategi-strategi yang tepat dan ikut berpartisipasi menghadapi isu dan masalah lokal, nasional, dan internasional.

F.    Isu-isu Global dan Masalah Global dalam Kaitannya dengan Pendidikan
Kemajuan dan pemanfaatan IPTEK dalam bidang komunikasi transportasi, multimedia, satelit, dan lain-lain telah memperluas cakrawala pandang manusia yang memperkaya khasanah pendidikan. Kontak antarmanusia dan arus barang, berita dan informasi, baik secara fisik langsung tanpa perantara maupun tidak langsung melalui Berbagai media, memperluss cara pandang manusia mulai dari tingkat lokal, regional sampai ke tingkat global, untuk membina perspektif global dalam diri manusia. Secara alamiah, baik kondisi slam-fisik maupun sosial-budaya manusia di permukaan bumi, tersebar tidak merata dan beranekaragam.
Ketidakmerataan dan keanekaragaman SDA dan SDM ini, menjadi dasar terjadinya penjelajahan, kontak sosial, perdagangan serta kemajuan cara pandang manusia terhadap kehidupan baik dalam konteks keruangan maupun dalam perkembangan waktunya.
Perbedaan tingkat kemakmuran masyarakat, negara-negara di permukaan bumi, tidak terletak pada kaya-miskinnya SDA setempat, melainkan lebih ditentukan oleh kemampuan SDM-nya memanfaatkan SDA yang dimiliki bagi kesejahteraan mereka masing-masing. Kenyataan yang demikian itu menjadi landasan peningkatan kesadaran kita semua akan pentingnya pendidikan memperbaiki kualitas kemampuan peserta didik sebagai masa yang akan datang.     
Fenomena dan masalah kehidupan di permukaan bumi sebagai suatu kenyataan, merupakan proses yang berkembang dalam ruang tertentu pada perjalanan dari waktu ke waktu. Kenyataan yang demikian, merupakan perpaduan jalinan antara faktor ruang dengan faktor waktu yang mencirikan karakter aspek  kehidupan tersebut.
Suatu fenomena dan isu dalam kehidupan sosial di masyarakat dinyatakan sebagai masalah global, jika ruang lingkup, bobot dan upaya pemecahannya sudah berada pada tingkat dunia yang menembus batas-batas lokal. Pemaknaan negara maju sekaligus juga sebagai negara industri, terletak pada kemajuan dan kemampuan mendayagunakan IPTEK dalam mengolah SDA menjadi barang industri yang meningkatkan kesejahteraan.
Perbedaan yang hakiki antara negara maju dengan negara berkembang, terletak pada perbedaan kualitas kemampuan SDM-­nya dalam menguasai, menerapkan dan memanfaatkan IPTEK bagi kesejahteraan masyarakat masing-masing. Dalam meningkatkan kualitas kemampuan SDM menguasai IPTEK tersebut, pendidikan memiliki kedudukan dan peranan yang strategis.
Kerja sama di segala bidang kehidupan, dan saling ketergantungan antar- masyarakat, bangsa serta negara di dunia secara global, merupakan landasan pemecahan konflik, diskriminasi dan masalah kehidupan lainnya untuk menciptakan perdamaian dunia bagi kepentingan umat manusia. Arus informasi yang mendunia yang berpengaruh terhadap tatanan hidup masyarakat termasuk masyarakat negara-bangsa Indonesia, harus diwaspadai dengan kemampuan daya saring yang kuat untuk menghindarkan diri dari pengaruh negatif pergeseran nilai-norma yang mengglobal.

G.   Urgensi Pendidikan Indonesia Perpektif Global: Antara Keniscayaan dan Kegalauan
Globalisasi ditandai dengan abad serba berubah, era kompetitif, dan era informasi. Oleh karena itu, globalisasi merupakan dampak dari kemajuan IPTEK maka untuk menguasainya juga kita harus menguasai IPTEK. Salah satu cara untuk menguasai IPTEK ini adalah meningkatkan pendidikan bangsa Indonesia.
Saat ini sering kita dengar istilah alih teknologi. Ini pun tidak akan menolong banyak tanpa kita menguasai IPTEK-nya itu sendiri. Dengan menguasai IPTEK kita dapat menjinakkan globalisasi. Dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, kita tidak hanya pintar mengekor, mengikuti arahnya globalisasi tanpa kendali, akan tetapi kita harus dapat mengendalikan globalisasi sesuai dengan akar budaya bangsa kita sendiri.
Kalau kita melihat kembali gelombang dahsyat dari globalisasi ini, yaitu dalam bidang IPTEK, ekonomi, lingkungan dan politik maka faktor nasionalisme, norma dan agama, serta nilai budaya, secara bersinergi dapat menjinakkan globalisasi. Globalisasi bukan lagi hal yang menakutkan tetapi sesuatu yang didambakan. Perluanya sikap terbuka dan tanggap terhadap persoalan global.
Peningkatan kualitas pendidikan bagi suatu bangsa, bagaimanapun mesti diprioritaskan. Sebab kualitas pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup di masa depan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah dengan pengelolaan pendidikan dengan wawasan global.
Perspektif global merupakan pandangan yang timbul dari kesadaran bahwa dalam kehidupan ini segala sesuatu selalu berkaitan dengan isu global. Orang sudah tidak memungkinkan lagi bisa mengisolasi diri dari pengaruh global. Manusia merupakan bagian dari pergerakan dunia, oleh karena itu harus memperhatikan kepentingan sesama warga dunia.
Tujuan umum pengetahuan tentang perspektif global adalah selain untuk menambah wawasan juga untuk menghindarkan diri dari cara berpikir sempit, terkotak oleh batas-batas subyektif, primordial (lokalitas) seperti perbedaan warna kulit, ras, nasionalisme yang sempit, dan sebagainya.
Dengan demikian, pentingnya (urgensi) wawasan perspektif global dalam pengelolaan pendidikan ialah suatu keniscayaan sebagai langkah sekaligus upaya dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan seperti yang telah dituliskan sebelumnya, dengan wawasan perspektif global, kita dapat menghindarkan diri dari cara berpikir sempit dan terkotak-kotak oleh batas subjektif sehingga pemikiran kita lebih berkembang. Kita dapat melihat sistem pendidikan di negara lain yang telah maju dan berkembang. Dapat membandingkannya dengan pendidikan di negara kita, mana yang dapat diterapkan dan mana yang sekerdar untuk diketahui saja. Kita bisa mencontoh sistem pendidikan yang baik di negara lain selama hal itu tidak bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia.
Tentu kita masih ingat dulu ketika Malaysia mengimpor guru-guru dari Indonesia untuk mendidik anak-anak mereka. Namun kini justru Malaysia-lah yang lebih maju pendidikannya dari negara kita. Apa yang salah?
Kalau boleh dikatakan, bahwa mereka mau belajar dan mempelajari serta terus meningkatkan kualitas pendidikan mereka, salah satunya dengan melihat kondisi di sekitarnya (negara lain, Indonesia). Dengan demikian, wawasan berperspektif global sangatlah penting dalam pengelolaan pendidikan.
Pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk menyediakan anak didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat kompetitif dan dengan derajat saling menggantungkan antarbangsa yang sangat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Dengan demikian, sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat tersebut harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.
Implikasi dari pendidikan berwawasan global tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, tetapi juga merombak sistem, struktur, dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.
Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata-mata ditata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Tetapi pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatu dengan rinci.
Selain itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistematik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif demokratis. Bersifat sistemik-organik, artinya bahwa sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak bisa dilihat sebagai-hitam putih, tetapi setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.
Fleksibel-adaptif, artinya bahwa pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning daripada teaching. Anak didik dirangsang untuk memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, anak didik tidak akan dipaksa untuk dipelajari. Sedangkan materi yang dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-sistem environment. Pada pendidikan tersebut karakteristik individu mendapat tempat yang layak.
Kreatif demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan suatu yang baru dan orisinil. Secara paedagogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna.
Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global berarti menuntut kebijakan pendidikan tidak semata-mata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel, dan adaptif.
Sebagai seorang guru tidak perlu kaget dan merasa asing terhadap globalisasi, akan tetapi diperlukan kesiapan dengan menambah pengetahuan, meningkatkan kesadaran, dan memperluas wawasan. Selain itu, juga diperlukan sikap terbuka untuk setiap pembaharuan.
Perlu kita sadari bahwa globalisasi mempunyai dampak positif dan negatif. Positif karena kita dapat mengambil keuntungan dengan perkembangan ilmu dan kemajuan dari negara lain, akan tetapi akan berubah menjadi dampak negatif apabila kita tidak mempersiapkan diri dengan berbagai bekal pengetahuan, norma dan ideologi yang kuat. Apabila kita tidak siap kita akan tergilas, dan jauh ketinggalan bangsa lain.
Dalam kaitannya dengan globalisasi, ada suatu mitos, yaitu “think globally and act”. Orang harus berpikir dan berwawasan secara global, akan tetapi tidak melupakan landasan kita yaitu nasionalisme, agama dan norma serta nilai budaya yang ada, karena itu sebagai identitas bangsa kita. Namun kita juga tidak perlu meninggalkan masalah lokal karena kita hadapi dan kita rasakan secara langsung sehari-hari. Untuk kepentingan global kita harus mulai dari masalah lokal. Inilah yang menurut Steiner (1996)[8] sebagai peran “global teacher” atau guru global, yaitu kita yang berwawasan global namun bertindak dari lokal sehingga mencapai yang lebih lokal.
Pembicaraan berikutnya menyangkut pada stakeholder bidang pendidikan, yaitu pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pemerintah sebaiknya meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia dengan menerapkan sistem kurikulum bertaraf internasional di setiap sekolah negeri atau swasta. Tujuannya adalah untuk menciptakan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal di masa depan.
Natalia Soebagjo (2012)[9] mengatakan bahwa saat ini sistem pendidikan di Indonesia sudah baik. Pemerintah perlu meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia agar bisa disejajarkan dengan negara maju. Sistem pendidikan tersebut adalah sistem pendidikan international oriented.
Masalah pendidikan merupakan masalah krusial. Dengan pendidikan yang hebat, perekonomian suatu bangsa juga akan hebat. Kurikulum yang berbasis internasional semestinya diterapkan di Sekolah Negeri tidak hanya sekolah swasta. Aplikasinya pun tidak hanya pada tingkat atas atau tinggi saja, melainkan usia dini pun harus mulai diajarkan bagaimana berbahasa inggris yang baik dan diajarkan pula bagaimana menguasai komputer dan internet dengan standar internasional serta materi pembelajaran juga berbasis international updated. Setiap sekolah sudah menerapkan sistem seperti ini maka 5-10 tahun akan datang kualitas SDM di Indonesia akan bisa bersaing dengan pasar internasional. Apalagi, pada tahun 2015 Indonesia akan memasuki fase Asean Economic Community di mana terjadi persaingan ketat di antara para pekerja. Jika generasi sekarang sudah diberikan bekal kurikulum berkualitas maka SDM Indonesia tidak akan kalah bersaing dengan SDM negara lain.

H.   Landasan Kepribadian Perspektif Global
1.    Nasionalisme (Kesadaran Nasional)
Nasionalisme adalah cinta tanah air dengan prinsip baik buruk adalah negeriku. Nasionalisme adalah cara yang tepat digunakan untuk menyatukan beberapa perbedaan, karena nasionalisme lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan individu. Jika nasionalisme dapat tertanam pada setiap individu warga Indonesia, maka negara yang bersifat pluralistis ini, artinya negara yang didalamnya terdapat banyak keragaman dan perbedaan, akan menjadi negara yang damai tanpa ada konflik etnik dan konflik kefanatikan terhadap daerahnya masing-masing. Nasionalisme harus mampu menangkal perbedaan suku, adat-istiadat, ras dan agama. Namun juga tidak lagi baik buruk adalah negaraku dan bangsaku. Yang baik harus kita ambil dan yang buruk kita tinggalkan. Kita memiliki kesadaran nasionalisme yang cukup kuat, misalnya kesetiakawanan sosial, ketahanan nasional, dan musyawarah nasional.

2.    Norma dan Agama
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang agamis, patuh terhadap aturan dan norma yang ada, baik itu norma adat, sosial, susila maupun norma lainnya. Semua agama dan norma ini memberikan landasan kepada kita untuk dapat memilih dan memilah informasi yang dapat kita gunakan. Norma dan agama adalah pilar utama untuk menangkal pengaruh negatif seiring dengan gelombang globalisasi.
Hadirnya paham sekularisme juga menambah keterbatasan agama dalam mengatur kehidupan manusia. Sekulerisme adalah sebuah paham yang memisahkan antara urusan dunia dengan urusan agama. Jadi, dalam urusan duniawi tidak boleh dicampur dengan agama, padahal seharusnya kita selalu menyatukan keduanya secara seiringan sehingga tercipta kehidupan yang selaras.

3.    Nilai Budaya Bangsa
Bangsa kita memiliki nilai budaya yang luhur, yang dapat dijadikan pilar dan filter terhadap berbagai pengaruh yang negatif serta sebagai pendukung bagi nilai dan pengaruh, yang membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh adalah “Pela Gandong” di Ambon untuk landasan kerukunan, pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” untuk keteladanan, “rawe-rawe rantas malang-malang putung” sebagai simbol kebersamaan, dan “silih-asah silih-asih dan silih-asuh untuk acuan pendidikan masyarakat. Bukankah nilai budaya ini juga akan menjadi faktor pendukung sekaligus pilar terhadap globalisasi.
Tiga hal tersebut merupakan faktor pendukung dan sekaligus menjadi pilar terhadap pengaruh negatif yang perlu diperkokoh dalam rangka memasuki era globalisasi.



[1] Stainer, The Global Teacher: Theory and practice in Global Education,  (Trentham Books, 1996), h. 20
[2] Edo Ihzandy, Pengertian dan Tujuan Pendidikan Global, zandy19.wordpress.com, December 5, 2011
[3] Arjun Fatah Amitha, Kaitan Antara Pendidikan Internasional, Global, Dan Komparatif, https://projekku.wordpress.com/2012/11/12/, Desember 2012
[4] Ibid.
[5] Edo Ihzandy, 2011, Loc. Cit.
[6] Wihardit, Kuswaya dan Sumaatmadja, Nursid, Perspektif Global, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2007).
[7] Ibid.
[8] M. Steiner, ed., 1996, Loc. Cit.
[9] ADI/AIS, Pendidikan Internasional Berperan Tingkatkan Kualitas Bangsa, http://news.liputan6.com, artikel, 15 Februari, 2012

Komentar

Postingan Populer