Kamis, 26 Juli 2012

Rabu, 18 Juli 2012

sampai juni 2012

Tangisan Tambatan Jembatan

Lesap purnama terhapus mega berarak, hanya bayang semu
Igau melaju menjelma desau peluru, tembus segala penjuru

Yang mana lagi akan kau lukai. Tak ada sisa hati dapat tersakiti
Untuk dikenangkan runtuhan cerita lara sepanjang jalan, koyak moyak
Nanar senyuman gadis di pertigaan. Lanskap keindahan tinggal sejarah
Ibarat prasasti yang teguh berdikari di balik pagar berduri sepi prosesi

Risak gerimis dan kilat melilit langit, jamah resah-belah gundah
Utopis melukis senja yang mewarna merah, asmara berdarah
Sejak sebaris bias sajak tak menjadi berarti. Diterbangkan badai
Lenyap terbawa deras arus sampai karam, mati setangkai puisi
Ini kali tak ada muara, tiada tepi, tanpa melankoli romantisasi

Gajahwong, 02-2012


Menampar Angin
: Li Yuni R.

Wanita tak berhati, setubuh tiada degub jantung
Hanya gumpalan darah tanpa sekat dan ruang
Untuk kusinggah ketika raga telah goyah
Sebab resah menjajah ke segala celah

Wanita tak berhati melari hari-hari
Melesat meninggalkan derita tersakiti
Sejak jejak sajak terhapus tamparan angin
Tak ada lagi cerita pijak kaki di sepanjang jalan

Wanita tak berhati menuai badai hilang tuju
Dikirim kemari lewat tarian serumpun bambu
Meliuk di lekang cuaca, hadang di padang perang
Sedang aku menjemur murung terpasung mendung

Papringan, Maret 2012


Maaf, Masih Ada . . .
: LYR.

Pisau membelah jengah
Keris mengiris-iris risau
Sembilu menyayat nyata pilu
Pedang menantang padang radang
Peluru menembus ruas rusuk, hati terburai
Senjata apa lagi bisa membunuh penuh harap
Sebab perisai sebentuk hati takkan tertandingi

Aku menanti jawab di balik pintu yang pilu, menantang
Ruang bertelanjang remang semakin mengangkang
Dinding mencumbu cicak, mencakar seisi kamar
Berolok dalam ratap sebisanya, binasa tersia-sia
Lalu sekawanan anjing memakan bangkai puisi
Dan sisanya dikuburkan dalam -
Dalam . . .

Papringan, Maret 2012


puisi cinta tanpa tanda baca
LYR

ada jarak yang menjejak
sampai kutub dalam hati kita

betapa bias batas nyata dan maya
sampai segala terlepas dari masa bersama
dan sesat di pekuburan masih saja percuma
sampai yang baru terbujur layu tak seirama
lalu catatan lama serupa kata pertama
sampai terlupa ruparupa tanda baca

sampai berkesudahan di mana akhir kisah
ada antara yang semestinya bisa diterabas
sampai benarbenar tandas perahu kertas
lalu namanama yang tertulis tak lagi dieja
sampai frasa demi frasa serasa serangkai puisi
cinta yang baik dan benar tanpa tanda baca

maret 2012


Naik Komidi Putar
(malam sehati – tiada hati)

Kita ada di sana sama-sama sadar di lingkar tangan
Dada berdetak seirama langkah jejalan kita
Untuk sesekali mengikut kota yg tergesa
Oleh mereka yang menjual tulang untuk ditukarkan
Selaksa rombengan tawa dan tawar bahkan raungan
Barangkali masih menyisa cerita untuk bisa dibagi,
Ada peramal malam menjaja cita dan cinta di hamparan
Lenyap dalam sekumpul bual, aku mual oleh putaran
Komidi putar membayang rona seterang tengah bulan
Beriring mewarna lelangit berdebu dengan sorak-sorai
Cahaya maya di jeruji jiwa jumawa, sewaktu
Kita baru saja menghibur diri
Naik komidi. Malam Sekati, sehati kita
Mengamati si bocah tampak atas
Dengan gula-gula dan balon di timangan
Tak ada tangis, hanya tawa riang
Dalam lingkar bayang. Kita beranjak
Ada romansa kolong waktu sedang kasmaran
Saling pandang, kita duduk berhadapan;
“Memusingkan; walau pusing memikir kamu lagi apa
Ngapain aja. Tapi, senang, cinta, dan suka di dekatmu”
--
Dinding ini mencipta jeruji, di komidi tak jenaka kini
Matanya basah, raganya lungkrah, darahnya mengalah
Pada kungkungan cahaya beda warna, berputar ke bawah
Paling dasar, mengusirnya keluar dari lingkaran tanpa sisa
Tanpa hati                  
Tanpa caci                  
Tanpa . . .

Yogyakarta, 2012


Kamis Sore
:Li Y.R.

Kelana senja perjalanan paripurna
Kita langkahi dengan sebait hati dan hati
Kendara rasa menua dipasung sungsang
Dan lelaki yang sama tinggal sebatang
Sedang perempuan matahari dikangkang
Tertinggal masa tak pernah berganti warna
Putih helai kertas tanpa sebaris puisi
Semua padamu jua akan akhir cerita
Tentang segala rasa yang sara
Sengsara menanggung sengketa
Ketika kata membabi-buta menjelma luka
Ah, tentu jalan ini tak bisa dieja tanpa rambu
Luasnya hati, sedang meratap tepian curam
Rumpun bambu tumbuh di batu-batu
Horison yang selalu keemasan
Tak mungkin aku sendiri ke seberang
Karena kupaham harap, kasihku
Telah terbang layang kembali ke sarang
Aku dan kendaraku hanya bisa terpaku
Menyaksikan ia menghadang laju gaharu
Baiklah, kita turuti jejalan ini
Tapi, kau hendak henti, berbalik arah
Lalu kau lempar aku ke kedalaman
Tanpa sela, tanpa cela
Di senja ini sukmaku berlalu, lara
Dan malamnya tersisih ke tepian jalan
Dan sukmaku turut terbang sebagai
Beribu kelelawar, hitam merajam dendam
sedang di sana ia memangsa sepi
Sepi yang baru, sangat baru

Cepitbaru, 7 Juni 2012


Rudatin
:Li Y.R.

Pegang erat ruas jemari
Akan kusimak sajak kota tua
Melodi patah hati menyesakkan setiap rongga dada
Hilang kenyamanan seisi kota di ujung fatamorgana
Lepas segala cengkeram yang mengekang, bagimu
Hanya jiwa yang pasrah pada sebaris serapah
Jatuh merengkuh tanah, hujan senja tadi
Ia menyerah kalah, sumarah pada sejarah

Jejalan meraung garang, gedung menantang gaung
Engkau riang di luar ruang, sedang aku meradang

Solo, Juni 2012



Penguji
:Li Y.R.

setiap lembaran yang akan diujikan
esok pun seakan menjadi tissue, basah
oleh tangis dan tetesan air mata

terima kasih telah menguji sebelumnya
ujian yang sebenarnya

Karangmalang, 130612


MATAHARI
: Li Yuni Rusli

Sesak menjejak setumpuk sajak
Hancur berkeping, di hamparan berserak
Dipanggang matahari yang sangsi, membakar semak
Bunga layu dihempas seteru saat beranjak semerbak
Sisanya diterbangkan angin kemarau, baru saja sebabak

Akan lama, tak seperti kisah lalu. Sesuatu yang baru
Jika saja matahari tak seterik ini, akan aku tunggu
Ketika awan putih menari pada angkasa membiru
Itu hatiku yang merindu menunggu di balik pintu
Untuk sejumput senyuman dan bujuk rayu

Aku harap rerintik menghapus derita daun jendela
Dan embun di dedaunan dihempas panas segala
Meski sangat pagi kala itu. Di ufuk masih juga jingga
Kau tahu, tetesan embun itu adalah sisa air mata
Kutumpahkan di bumi pertiwi, tumpah darah kita

(hari kemarin atau esok sama saja hari ini
duka dan suka menjadi seirama lagu,
matahari di luar, matahari dalam hati
menyatu dalam kepiluan sukmaku)

Papringan, Juni 2012

puisi lanjutan


 Kubangan
: Cuy Li Y.

Perempuan seberang datang menantang
Di pertemuan singkat berteman hujan
Pada bangku-bangku kosong saat petang
Di setiap gugusan waktu memburu tak segan

Adalah tentang usia yang terlupa jelang remang
Adalah tentang masa yang terluka oleh kepingan
Adalah tentang sejarah yang terkubur dalam lengang
Adalah tentang rentang yang terbentang di bayang bulan

Kita beda dimensi, beralih dari gugusan bintang
Aku sambang bimbang, rinduku jatuh di jalanan
Kembara rasa kembali rasaiku, sedu-sedan sebayang
Aku menanti kepulangan, menemu hujan kemalaman

Ia datang beriring, halang radang berpasang
Sedang aku hanya diam meneguk sisa air hujan
Yang jatuh di kubangan. Tanpa sapa fatamorgana

Karangmalang, 2010



Perempuan Batu
: Li

Pagiku pergi ke timur matahari. Kami datang berpasang
Gelantung dalam ruang berjalan, sanjung tak bimbang
Hilang radang yang garang di sela selangkang karang
Sebagai gemuruh ombak yang telah lalu dihempas pasang
Saling pandang, pesonanya meretakkan mata memandang

Batas negeri ini tak sebatas hati yang sedang berpuisi
Pada keras susunan berbatu, pahatan hati ajak berbagi
Panas yang ganas. Semesta kau murkai
Terik meneriak jejak sajak di pelataran candi
Siang jalang di atas matahari

Wanita terbakar angkara. Ornamen menyala
Jamah gelisah, peluk luka sebagaimana duka
Matahari, langit biru, sedikit awan belingsatan
Resah dan amarah menjajah: kepanasan
Usapan itu sebagai ucapan tak terkatakan
Gema di berserak batuan, seperti hatimu
Laki dan wanita menapak titian tangga tak jemu
Menuju rumah goyah, untuk dikenang hari terlalu

Prambanan, 12032011



Tembak di Tempat
: Li Yuni Rusli

Baru saja kututup senja kepulangan
Sedang gadis seberang membuka daun jendela
Mencipta bayang terang bertaburan bintang
Terlindung mendung, kabut sambut singkat pesan

Kuajakkan ia saat malam tenggelam
Gerimis jatuh di utara jalan
Kupintakan ia setelah niaga, menawar hati

(Tidak tahu, takkan perna tahu)
Cuaca celaka ini mencelakai baris puisi
Petir menyambar. Badai hempas pasang
Katakata porakporanda, tak tahu berbuat apa
Atap meratap menatap tangisan air hujan
Sedang aku terdiam di sudut ruang perhitungan
Di retakan dinding penjagaan, menjaga hati
Untuk tak semestinya mati
(Ia pun ketakutan, berharap pergi)

Masih ada beribu aksara serupa anak panah
Untuk bisa menghunjam wajah kasih
Kekebalan hatimu, kasihku

Minomartani, 27 Maret 2011




Giwangan Wuyung

Hamparan kehijauan di pinggiran kota
Sawah berkasih. Serangga saling senggama
Rumpun padi digilas pondasi dan polusi
Awan di atasnya. Hinggap di pematang
Memayung wuyung sebayang-bayang

Dan sejoli di antaranya
Bercerita tanpa tapi, hanya karena
Di sini tempat kami berbagi
Semula memagut mimpi lain lagi

:           Sebelum kita pesankan
Di jauh kota. Kita panen saja
Rasa yang ini

April, 2011



Wanita di Tepian Senja    : C 4 Y Li Y.

Wanita senja diterpa angin musim dengan aroma laut
Pada sesenja yang menenggelamkan matahari di balik bukit Samudra ini tak berpulau. Ada benua menua seberang sana
Ia tegak menantang langit biru. Antara deras ombak
Dan terjal karang. Rambutnya terurai seadanya
Dan angin menarikannya sebagai api
Asmara yang takkan reda

Wanita di tepian senja
Aku adalah bukit karang menjulang saat petang
Aku adalah karang pantai yang mencinta lautan lepas
Dari gugusan karang dan ombak bersajak tentang kasihku
Tapi  sayang. Ombak pecah sebelum sempat menjabat pantai
Ia hantam karang jadi secercah buih, bercahaya rona wajahmu
Riuh di pebarisan angan dan puisi berpasang ini
Musnah sudah mimpiku yang belum lagi selesai
Wanita memaling pandang pada laut lepas
Diiring ombak menggelepar di tepian pantai
Lalu berlari, menampik lirik sajak. Melari puisi
Runtuhkan keangkuhan cakrawala di hadapan
Jangan kau lepaskan amarah pada cuaca bercinta
Tahan terjang ombak yang tak pernah reda

Wanita dengan aroma matahari
Hantam aku di pantai ceria sebelum kau datangkan prahara
Lalu kau hantam bukit karang. Ombak datang bergelombang
Impian lebur terbawa air laut menjadi butiran pasir basah
Yang kau jumpai berabad kemudian sebagai kenangan
Sebagai sejarah dari lipatan bukit yang patah

Aku tahu:    Laut takkan pernah membawamu     
Padaku.
Baron-Kukup, Gunungkidul, 13 April 2011


Malam Lampion
LYRAW

Angin malam yang terlalu pilu menghantar kelu

Dari reronce perjalan malam untuk pejalan jalang
Berlalu dalam keraguan yang terlalu berliku
Dari jauh menatap stupa yang tak bisa kita tapaki
Berpasang lampion menjulang menembus petang
Berkedip cahaya di dalamnya ikut terbang mengawang
Sebagai lambaian selamat jalan di lintasan bintang
Kukerakkan duka tumpukan batu dalam sajak kami
Kehampaan berserikat bersama penat berlipat
Mengharap sekerlip cahaya sebagai isyarat hati
Lampion yang ramai yang damai
Tanpa prosesi. Berlalu tanpa kata
Kemudian daratan sepi, kita terpinggir di pagar

Gadis manis temaram di tepian perjalanan
Jangan pula kau terbangkan kerinduan
Jangan kau melepas harapan bulan
Masa yang tak pasti di kerlip gemintang
Dalam puisi yang tak kunjung gemilang
Dalam setiap api yang terbakar bersama rindu
Menjadi cinta satu dan setia tiada damba menyatu
Di pelataran ini kita berbagi ceria dan cerita
Sebuah tanda dan kata-kata, terbang jiwa raga
Malam cahaya lampion
Membakar setiap detak, segala hilang terbang
Jangan kau terbangkan angan kasmaran
-Ku
Borobudur, 17 Mei 2011

Penelitian Kausal Komparatif (Ex Post Facto)

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Masalah Dalam penelitian pendidikan setidaknya dikenal dua jenis penelitian , ya itu penel...