Kubangan
:
Cuy Li Y.
Perempuan
seberang datang menantang
Di
pertemuan singkat berteman hujan
Pada
bangku-bangku kosong saat petang
Di
setiap gugusan waktu memburu tak segan
Adalah
tentang usia yang terlupa jelang remang
Adalah
tentang masa yang terluka oleh kepingan
Adalah
tentang sejarah yang terkubur dalam lengang
Adalah tentang
rentang yang terbentang di bayang bulan
Kita
beda dimensi, beralih dari gugusan bintang
Aku
sambang bimbang, rinduku jatuh di jalanan
Kembara
rasa kembali rasaiku, sedu-sedan sebayang
Aku
menanti kepulangan, menemu hujan kemalaman
Ia
datang beriring, halang radang berpasang
Sedang
aku hanya diam meneguk sisa air hujan
Yang
jatuh di kubangan. Tanpa sapa fatamorgana
Karangmalang,
2010
Perempuan Batu
: Li
Pagiku
pergi ke timur matahari. Kami datang berpasang
Gelantung
dalam ruang berjalan, sanjung tak bimbang
Hilang
radang yang garang di sela selangkang karang
Sebagai gemuruh
ombak yang telah lalu dihempas pasang
Saling pandang,
pesonanya meretakkan mata memandang
Batas
negeri ini tak sebatas hati yang sedang berpuisi
Pada keras susunan
berbatu, pahatan hati ajak berbagi
Panas
yang ganas. Semesta kau murkai
Terik
meneriak jejak sajak di pelataran candi
Siang
jalang di atas matahari
Wanita
terbakar angkara. Ornamen menyala
Jamah
gelisah, peluk luka sebagaimana duka
Matahari,
langit biru, sedikit awan belingsatan
Resah
dan amarah menjajah: kepanasan
Usapan
itu sebagai ucapan tak terkatakan
Gema
di berserak batuan, seperti hatimu
Laki
dan wanita menapak titian tangga tak jemu
Menuju
rumah goyah, untuk dikenang hari terlalu
Prambanan, 12032011
Tembak di Tempat
: Li Yuni Rusli
Baru
saja kututup senja kepulangan
Sedang
gadis seberang membuka daun jendela
Mencipta
bayang terang bertaburan bintang
Terlindung
mendung, kabut sambut singkat pesan
Kuajakkan
ia saat malam tenggelam
Gerimis
jatuh di utara jalan
Kupintakan
ia setelah niaga, menawar hati
(Tidak
tahu, takkan perna tahu)
Cuaca
celaka ini mencelakai baris puisi
Petir
menyambar. Badai hempas pasang
Katakata
porakporanda, tak tahu berbuat apa
Atap
meratap menatap tangisan air hujan
Sedang
aku terdiam di sudut ruang perhitungan
Di
retakan dinding penjagaan, menjaga hati
Untuk
tak semestinya mati
(Ia
pun ketakutan, berharap pergi)
Masih
ada beribu aksara serupa anak panah
Untuk
bisa menghunjam wajah kasih
Kekebalan
hatimu, kasihku
Minomartani,
27 Maret 2011
Giwangan Wuyung
Hamparan
kehijauan di pinggiran kota
Sawah
berkasih. Serangga saling senggama
Rumpun
padi digilas pondasi dan polusi
Awan
di atasnya. Hinggap di pematang
Memayung
wuyung sebayang-bayang
Dan
sejoli di antaranya
Bercerita
tanpa tapi, hanya karena
Di
sini tempat kami berbagi
Semula
memagut mimpi lain lagi
:
Sebelum kita pesankan
Di jauh
kota. Kita panen saja
Rasa
yang ini
April, 2011
Wanita di Tepian Senja : C 4 Y Li Y.
Wanita
senja diterpa angin musim dengan aroma laut
Pada
sesenja yang menenggelamkan matahari di balik bukit Samudra
ini tak berpulau. Ada benua menua seberang sana
Ia
tegak menantang langit biru. Antara deras ombak
Dan
terjal karang. Rambutnya terurai seadanya
Dan
angin menarikannya sebagai api
Asmara
yang takkan reda
Wanita
di tepian senja
Aku
adalah bukit karang menjulang saat petang
Aku
adalah karang pantai yang mencinta lautan lepas
Dari
gugusan karang dan ombak bersajak tentang kasihku
Tapi sayang. Ombak pecah sebelum sempat menjabat
pantai
Ia hantam karang
jadi secercah buih, bercahaya rona wajahmu
Riuh
di pebarisan angan dan puisi berpasang ini
Musnah
sudah mimpiku yang belum lagi selesai
Wanita
memaling pandang pada laut lepas
Diiring
ombak menggelepar di tepian pantai
Lalu
berlari, menampik lirik sajak. Melari puisi
Runtuhkan
keangkuhan cakrawala di hadapan
Jangan
kau lepaskan amarah pada cuaca bercinta
Tahan
terjang ombak yang tak pernah reda
Wanita
dengan aroma matahari
Hantam
aku di pantai ceria sebelum kau datangkan prahara
Lalu
kau hantam bukit karang. Ombak datang bergelombang
Impian
lebur terbawa air laut menjadi butiran pasir basah
Yang
kau jumpai berabad kemudian sebagai kenangan
Sebagai
sejarah dari lipatan bukit yang patah
Aku
tahu: Laut
takkan pernah membawamu
Padaku.
Baron-Kukup,
Gunungkidul, 13 April 2011
Malam Lampion
LYRAW
Angin
malam yang terlalu pilu menghantar kelu
Dari
reronce perjalan malam untuk pejalan jalang
Berlalu
dalam keraguan yang terlalu berliku
Dari
jauh menatap stupa yang tak bisa kita tapaki
Berpasang
lampion menjulang menembus petang
Berkedip
cahaya di dalamnya ikut terbang mengawang
Sebagai
lambaian selamat jalan di lintasan bintang
Kukerakkan
duka tumpukan batu dalam sajak kami
Kehampaan
berserikat bersama penat berlipat
Mengharap
sekerlip cahaya sebagai isyarat hati
Lampion
yang ramai yang damai
Tanpa
prosesi. Berlalu tanpa kata
Kemudian
daratan sepi, kita terpinggir di pagar
Gadis
manis temaram di tepian perjalanan
Jangan
pula kau terbangkan kerinduan
Jangan
kau melepas harapan bulan
Masa
yang tak pasti di kerlip gemintang
Dalam
puisi yang tak kunjung gemilang
Dalam
setiap api yang terbakar bersama rindu
Menjadi
cinta satu dan setia tiada damba menyatu
Di
pelataran ini kita berbagi ceria dan cerita
Sebuah
tanda dan kata-kata, terbang jiwa raga
Malam cahaya lampion
Membakar setiap detak, segala hilang
terbang
Jangan kau terbangkan angan kasmaran
-Ku
Borobudur,
17 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar