Tangisan Tambatan Jembatan
Lesap purnama terhapus mega berarak, hanya
bayang semu
Igau melaju menjelma desau peluru, tembus
segala penjuru
Yang mana lagi akan kau lukai. Tak ada sisa
hati dapat tersakiti
Untuk dikenangkan runtuhan cerita lara
sepanjang jalan, koyak moyak
Nanar senyuman gadis di pertigaan. Lanskap
keindahan tinggal sejarah
Ibarat prasasti yang teguh berdikari di
balik pagar berduri sepi prosesi
Risak gerimis dan kilat melilit langit,
jamah resah-belah gundah
Utopis melukis senja yang mewarna merah,
asmara berdarah
Sejak sebaris bias sajak tak menjadi
berarti. Diterbangkan badai
Lenyap terbawa deras arus sampai karam,
mati setangkai puisi
Ini kali tak ada muara, tiada tepi, tanpa
melankoli romantisasi
Gajahwong, 02-2012
Menampar Angin
: Li Yuni R.
Wanita tak berhati, setubuh tiada degub
jantung
Hanya gumpalan darah tanpa sekat dan ruang
Untuk kusinggah ketika raga telah goyah
Sebab resah menjajah ke segala celah
Wanita tak berhati melari hari-hari
Melesat meninggalkan derita tersakiti
Sejak jejak sajak terhapus tamparan angin
Tak ada lagi cerita pijak kaki di sepanjang
jalan
Wanita tak berhati menuai badai hilang tuju
Dikirim kemari lewat tarian serumpun bambu
Meliuk di lekang cuaca, hadang di padang
perang
Sedang aku menjemur murung terpasung
mendung
Papringan, Maret 2012
Maaf, Masih Ada . . .
: LYR.
Pisau membelah jengah
Keris mengiris-iris risau
Sembilu menyayat nyata pilu
Pedang menantang padang radang
Peluru menembus ruas rusuk, hati terburai
Senjata apa lagi bisa membunuh penuh harap
Sebab perisai sebentuk hati takkan
tertandingi
Aku menanti jawab di balik pintu yang pilu,
menantang
Ruang bertelanjang remang semakin
mengangkang
Dinding mencumbu cicak, mencakar seisi
kamar
Berolok dalam ratap sebisanya, binasa
tersia-sia
Lalu sekawanan anjing memakan bangkai puisi
Dan sisanya dikuburkan dalam -
Dalam . . .
Papringan, Maret 2012
puisi cinta tanpa tanda baca
LYR
ada jarak yang menjejak
sampai kutub dalam hati kita
betapa bias batas nyata dan maya
sampai segala terlepas dari masa bersama
dan sesat di pekuburan masih saja percuma
sampai yang baru terbujur layu tak seirama
lalu catatan lama serupa kata pertama
sampai terlupa ruparupa tanda baca
sampai berkesudahan di mana akhir kisah
ada antara yang semestinya bisa diterabas
sampai benarbenar tandas perahu kertas
lalu namanama yang tertulis tak lagi dieja
sampai frasa demi frasa serasa serangkai
puisi
cinta yang baik dan benar tanpa tanda baca
maret 2012
Naik Komidi Putar
(malam sehati – tiada hati)
Kita ada di sana sama-sama sadar di lingkar
tangan
Dada berdetak seirama langkah jejalan kita
Untuk sesekali mengikut kota yg tergesa
Oleh mereka yang menjual tulang untuk
ditukarkan
Selaksa rombengan tawa dan tawar bahkan
raungan
Barangkali masih menyisa cerita untuk bisa
dibagi,
Ada peramal malam menjaja cita dan cinta di
hamparan
Lenyap dalam sekumpul bual, aku mual oleh
putaran
Komidi putar membayang rona seterang tengah
bulan
Beriring mewarna lelangit berdebu dengan
sorak-sorai
Cahaya maya di jeruji jiwa jumawa, sewaktu
Kita baru saja menghibur diri
Naik komidi. Malam Sekati, sehati kita
Mengamati si bocah tampak atas
Dengan gula-gula dan balon di timangan
Tak ada tangis, hanya tawa riang
Dalam lingkar bayang. Kita beranjak
Ada romansa kolong waktu sedang kasmaran
Saling pandang, kita duduk berhadapan;
“Memusingkan; walau pusing memikir kamu
lagi apa
Ngapain aja. Tapi, senang, cinta, dan suka
di dekatmu”
--
Dinding ini mencipta jeruji, di komidi tak
jenaka kini
Matanya basah, raganya lungkrah, darahnya
mengalah
Pada kungkungan cahaya beda warna, berputar
ke bawah
Paling dasar, mengusirnya keluar dari
lingkaran tanpa sisa
Tanpa hati
Tanpa caci
Tanpa . . .
Yogyakarta, 2012
Kamis Sore
:Li Y.R.
Kelana senja perjalanan paripurna
Kita langkahi dengan sebait hati dan hati
Kendara rasa menua dipasung sungsang
Dan lelaki yang sama tinggal sebatang
Sedang perempuan matahari dikangkang
Tertinggal masa tak pernah berganti warna
Putih helai kertas tanpa sebaris puisi
Semua padamu jua akan akhir cerita
Tentang segala rasa yang sara
Sengsara menanggung sengketa
Ketika kata membabi-buta menjelma luka
Ah, tentu jalan ini tak bisa dieja tanpa
rambu
Luasnya hati, sedang meratap tepian curam
Rumpun bambu tumbuh di batu-batu
Horison yang selalu keemasan
Tak mungkin aku sendiri ke seberang
Karena kupaham harap, kasihku
Telah terbang layang kembali ke sarang
Aku dan kendaraku hanya bisa terpaku
Menyaksikan ia menghadang laju gaharu
Baiklah, kita turuti jejalan ini
Tapi, kau hendak henti, berbalik arah
Lalu kau lempar aku ke kedalaman
Tanpa sela, tanpa cela
Di senja ini sukmaku berlalu, lara
Dan malamnya tersisih ke tepian jalan
Dan sukmaku turut terbang sebagai
Beribu kelelawar, hitam merajam dendam
sedang di sana ia memangsa sepi
Sepi yang baru, sangat baru
Cepitbaru, 7 Juni 2012
Rudatin
:Li Y.R.
Pegang erat ruas jemari
Akan kusimak sajak kota tua
Melodi patah hati menyesakkan setiap rongga
dada
Hilang kenyamanan seisi kota di ujung
fatamorgana
Lepas segala cengkeram yang mengekang,
bagimu
Hanya jiwa yang pasrah pada sebaris serapah
Jatuh merengkuh tanah, hujan senja tadi
Ia menyerah kalah, sumarah pada sejarah
Jejalan meraung garang, gedung menantang
gaung
Engkau riang di luar ruang, sedang aku
meradang
Solo, Juni 2012
Penguji
:Li Y.R.
setiap lembaran yang akan diujikan
esok pun seakan menjadi tissue, basah
oleh tangis dan tetesan air mata
terima kasih telah menguji sebelumnya
ujian yang sebenarnya
Karangmalang, 130612
MATAHARI
: Li Yuni Rusli
Sesak menjejak setumpuk sajak
Hancur berkeping, di hamparan berserak
Dipanggang matahari yang sangsi, membakar
semak
Bunga layu dihempas seteru saat beranjak
semerbak
Sisanya diterbangkan angin kemarau, baru
saja sebabak
Akan lama, tak seperti kisah lalu. Sesuatu
yang baru
Jika saja matahari tak seterik ini, akan
aku tunggu
Ketika awan putih menari pada angkasa
membiru
Itu hatiku yang merindu menunggu di balik
pintu
Untuk sejumput senyuman dan bujuk rayu
Aku harap rerintik menghapus derita daun
jendela
Dan embun di dedaunan dihempas panas segala
Meski sangat pagi kala itu. Di ufuk masih
juga jingga
Kau tahu, tetesan embun itu adalah sisa air
mata
Kutumpahkan di bumi pertiwi, tumpah darah
kita
(hari kemarin atau esok sama saja hari ini
duka dan suka menjadi seirama lagu,
matahari di luar, matahari dalam hati
menyatu dalam kepiluan sukmaku)
Papringan, Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar