TEATER GANDRIK : DUNIA “DHEMIT” BARU YANG BERNAMA INDONESIA


Para demit yang bergerak tergesa dan patah-patah menghadap Ki Lurah Demit. Mereka membicarakan rencana manusia yang bermaksud membedol Pohon Preh, takhta raja sekelompok demit tempat pengungsian para makhluk halus yang kena gusur. Celakanya, beberapa pohon besar lainnya yang juga jadi tempat tinggal kaum hantu juga telah dibuldoser Rajegwesi, pimpinan proyek perumahan manusia. Karena merasa terancam, rakyat demit lalu beraksi. Beberapa pekerja Rajegwesi tiba-tiba sakit, sementara Sulih, sekretarisnya, diculik Demit Sawan. Setan-setan itu juga ngotot mempertahankan Pohon Preh -- satu-satunya istana mereka. Tak heran bila buldoser bahkan tak sanggup menumbangkannya. Tapi Rajegwesi, yang antitakhyul, tak mempercayai eksistensi demit. Ia juga menuduh Sesepuh Desa sebagai dalang hilangnya Sulih. Itulah alur cerita Dhemit naskah Heru Kesawa Murti garapan teater Gandrik, Yogyakarta, yang ngamen di teater Arena Taman Ismail Marzuki, 18 dan 19 Desember 1987 lalu. Sehari sebelumnya, mereka memainkan Isyu karangan Jujuk Prabowo di TMII. Grup teater beranggotakan sebelas orang ini -- ada guru, mahasiswa, pegawai beberapa kali tampil sebagai juara dalam setiap kali lomba teater di Yogyakarta.
Kemampuan Gandrik dalam mengupayakan eksistensi dengan merawat atmosfer kreatif dalam semangat kejenakaan dan melakukan kegiatan secara produktif. Melihat perkembangan terakhir interaksi Gandrik-tua dengan Gandrik-muda, transformasi “roh” Gandrik dapat berlangsung dengan baik. Berteater di Gandrik bukan sekadar akting dan pencapaian artistik, tetapi juga dihidupi oleh “roh”, spirit teater rakyat: penuh spontanitas dan harus tangkas dalam situasi apa pun, baik untuk perkara panggung maupun organisasi.
Alur ceritanya sederhana, mudah diterka. Latar panggungnya sederhana,semua dibiarkan serba sederhana. Tapi, tidak berarti Gandrik tak memiliki kekuatan. Daya pikat Dhemit yang disutradarai Jujuk Prabowo ini bukan terletak pada alur cerita, tata panggung, kostum, pengembangan emosi, atau permainan lampu atau pada gamelan yang cukup bagus dimainkan. Daya pikat Dhemit ada dalam dialog yang sarat dengan sindiran tajam, dan lucu. Kesan tajam namun lucu itu menjadi suguhan yang menyenangkan, karena selalu terasa aktual -- terkait akrab dengan keadaan sosial kini. Entah itu menyangkut masalah politik, sosial, ekonomi, lingkungan, agama.
Dhemit mencoba mengucapkan apa yang terasa tabu diucapkan orang dalam kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya ini. "Memindahkan letak kompleks perumahan ke sini, lalu membangun jembatan yang menghubungkan ke desa? Bah, mana mungkin kita dapat untung? Lebih baik kita tebang pohon-pohon dekat desa itu, lalu kita bangun perumahan. Bukan di sini," ujar Rajegwesi, meniru tabiat para kontraktor sebuah proyek besar.
Secara guyon atau kelakar, penonton menikmati kesegaran yang aktual. Ditambah dengan gerak yang sengaja dilebih-lebihkan -- sebagaimana sering dilakukan kelompok Srimulat -- Dhemit mengesankan sebuah dagelan. Apalagi disegarkan dengan lontaran dialog yang "menjurus", mengena, tetapi mengundang gelak. Misalnya ketika para demit tengah ramai merancang strategi balas dendam atas perbuatan manusia yang seenaknya sendiri membedol pohon-pohon tempat tinggal para hantu itu. “Sebagai demit, kita jangan sampai pintar. Sebab, kepintaran bisa mengganggu stabilitas bangsa," kata Ki Lurah Demit. Ha-ha-ha. Penonton geli. Masalah-masalah yang terjadi di alam demit tampil mencerminkan peristiwa-peristiwa di dunia manusia. Misalnya, usaha Genderuwo menggulingkan kekuasaan Ki Lurah Demit Pohon Preh. Teror, ancaman, kasak-kusuk gentayangan di sana-sini, tapi akhirnya dapat diselesaikan dengan damai. Agaknya, itulah kelebihan bangsa demit (dari manusia) yang mampu menyelesaikan masalah tanpa berkelahi. "Sejak dulu, jagat kita ini tenteram. Kalau kamu ingin menggantikan kedudukanku, silakan. Silakan, Genderuwo. Asal kamu bisa memelihara persatuan bangsa demit," kata Ki Lurah Demit. menangapi rencana kudeta yang akhirnya gagal itu. Genderuwo mengurungkan niat, dan kembali mendukung Ki Lurah guna mempertahankan Pohon Preh dari hantaman buldoser.
Dalam Dhemit, Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Ketika hegemoni kekuasaan Orde Baru begitu kuat, lakon-lakon Teater Gandrik mampu menjadi medium untuk melakukan kritik sosial sekaligus katarsis politik. Lakon-lakon Teater Gandrik,  merupakan “manifestasi teateral dan modern dari pola kritik varian rakyat kecil”, terutama rakyat kecil Jawa, dengan menggunakan “guyon parikeno”, menyindir secara halus yang tidak menimbulkan kemarahan yang berkuasa, dan bahkan seperti mengejek diri sendiri walau pun sesungguhnya yang dibidik adalah orang lain (yang tengah berkuasa). Itulah cara yang ditempuh oleh Teater Gandrik untuk melakukan “kritik sosial” terhadap kamuflase kekuasaan Orde Baru, yang meskipun tampak santun dan halus, namun sesungguhnya sangat represif dan manipulatif. Model kritik “guyon parikeno” dan semangat mengolah bentuk-bentuk teater tradisional ke dalam bentuk pementasan teater modern menjadi dua hal penting yang menjadi orientasi estetis lakon-lakon Teater Gandrik. Itulah sebabnya oleh banyak kritikus, Teater Gandrik kemudian disebut kelompok yang mengemban estetika sampakan.
Pada prinsipnya, Gandrik menganut konsep teater sebagai tontonan segar dan menghibur, tanpa meninggalkan kritik sosial -- termasuk pesan-pesan. Pendeknya, "enak ditonton dan perlu". Konsep semacam ini, misalnya, kita saksikan dalam adegan gara-gara di pentas perwayangan, yang menampilkan empat punakawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Mereka tampil santai, dapat berbicara tanpa aturan, seenaknya dan serba gembira. Fungsi gara-gara memang untuk mengundang gelak tawa, di samping sebagai wahana kritik sosial. Sementara itu, musik yang acap kali ditabuh sebagai pengiring munculnya seorang tokoh merupakan bagian tak terpisahkan dari keutuhan pementasan. Adapun musik merupakan semacam pembuka, penutup, maupun penyekat adegan. Teknik inilah yang kemudian memperakrab dunia penonton dengan dunia yang ditonton -- sekaligus menjadi jeda untuk mencairkan suasana.
Dalam lakon Demit tersebut, Butet mempunyai staf-staf jin, dan ketika berbicara dengan stafnya Butet menggunakan suara yang menyerupai Pak Harto, dan penonton langsung teringat. Menurut Butet pada saat itu tidak mungin mengkritik langsung kepada pemerintah. Butet mengatakan bahwa dirinya tidak pernah ditegur karena Butet melakukan kecerdikan pada setiap pertunjukannya. Pertunjukan waktu itu sangat sulit, Butet harus melewati 13 meja dan harus menyertakan naskah yang akan dimainkan. Teater Gandrik karena tidak ingin nabrak tembok dan tidak ingin dilarang, naskah yang diajukan adalah naskah yang berbeda dengan naskah yang dimainkan. Teater Gandrik belum pernah dibredel karena motifnya untuk berkesenian bukan untuk politik.
Menurut Butet, Kami adalah orang seni yang ingin berkesenian dan salah satu kepuasan kami ketika kami mampu memainkan pertujukan itu.
Gandrik tetap menjaga kesadaran penonton, bahwa dunia di atas panggung hanyalah tontonan. Bentuk pentas teater Gandrik mengingatkan kita pada teater rakyat seperti lenong (Jakarta), ludruk (Surabaya), srandul atau kentrung Banyuwangi. Bentuk-bentuk teater rakyat seperti itu tampil dengan menghindari kekakuan teatral, kebekuan suasana dan kesuntukan mencerna makna. "Enteng, berisi", menggembirakan tapi mengena. Ada yang berpendapat, bentuk penyajian teater Gandrik disebut sampakan atau senggakan, yang menempatkan iringan musik (biasanya gamelan) yang mengentak rampak penuh semangat sebagai bagian tak terpisahkan dari keutuhan pemanggungan.
Setiap pergantian dan penyekatan adegan selalu diiringi sampakan. Begitu pula dalam memunculkan tokoh-tokohnya. Gandrik selalu menggelitik, dominasi pada guyonan verbalnya sehingga terkadang cenderung mengabaikan sastra lakon. Padahal ada kekuatan dalam sastra lakon yang juga menarik untuk dieksplorasi secara serius untuk mendapatkan pengalaman baru dalam penjelajahan penciptaan tontonan komedi. Pertemuan antara tradisi teater realis yang mesti cermat dengan sastra lakon yg juga kuat, dengan tradisi gojekan Gandrik yang selalu ber-”guyon parikeno” akan menghasilkan sesuatu yang menarik. Baik bagi penontonnya, dan terutama bagi para pelakonnya.
Jit, kritikus teater sekaligus pimpinan produksi Demit pada Asean Teater Festival tahun 1990 di Singapura menceritakan tentang Teater Gandrik sebagai teater kontemporer yang paling kontemporer dalam rangkaian festifal tersebut. Menurutny, Gandrik mempunyai kapasitas untuk “secara kuat ditempatkan di atmosphere rakyat mudah dipengaruhi” sambil “secara bebas berimprovisasi dan menggambarkan kejadian-kejadian baru dan merupakan media pertunjukan untuk menyampaikan ceritanya”. Pertunjukan Gandrik yang berjudul Demit pada Asean Teater Festival tahun 1990 di Singapura sebagai “lincah dan lihay” dengan humor yang vulgar, kejam dan sering dibuat dari sumber-sumber pop” – ini menjadi jembatan yang menghubungkan cerita dan pesan (kutipan). Gandrik mempunyai tradisi yang panjang dan dalam waktu yang bersamaan para pelakunya mempunyai nadi pada permasalahan populer dan kontemporer di pemikiran mereka. Tempat mereka bermukim terletak di tempat strategis di pertemuan antara perkotaan dan pedesaan, tua dan muda, mendukung kemampuan mereka dalam menjembatani hal yang tradisional dan modern”.
Panggung menjadi medan permainan oleh para aktor secara luwes, cair dan cenderung ”memain-mainkan karakter” dalam lakon-lakonnya, sehingga tak ada batasan yang  jelas antara “aktor sebagai pemain” dengan watak yang dimainkannya. Inilah pola permainan gaya sampakan, yang oleh para personil Teater Gandrik disebut sebagai pengembangan dari pola permainan yang mereka temukan pada banyak teater tradisional di Indonesia.
Teater Gandrik yang berusaha untuk menyuntikkan teater kontemporer dengan nilai-nilai pedesaan masyarakat melalui cerita berbasis kerakyatan yang ditempa menurut selera Dagelan Mataram. Gayanya yang khas, beberapa yang tampaknya akan dihapuskan untuk menyingkap keserakahan dan intrik politik yang bersembunyi di bawah tudung komersial dan intelektual.

Komentar

Postingan Populer