- Pendahuluan
Pengawasan
dapat diartikan sebagai proses yang berkenaan
dengan cara-cara menyusun
kegiatan sesuai yang direncanakan. Pengertian tersebut erat hubungannya antara perencanaan dan
pengawasan. Dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah langkah awal dari
pengawasan.
Di dalam budaya
perusahaan yang baik hendaknya diterapkan sistem kontrol yang biasa disebut social control system. Sistem
kontrol ini tidak terlalu banyak
melibatkan orang lain untuk memonitor apa saja yang dilakukan oleh seseorang
tetapi yang terlibat langsung dalam pengendalian adalah orang yang bersangkutan
melalui komitmen dan kesepakatan dengan orang-orang sekitar berkaitan dengan
sikap dan perilaku yang dianggap memadai. Di sinilah budaya organisasi
memainkan perannya dalam menciptakan social
control system.
Dalam upaya
tersebut maka sangat diperlukan membangun sebuah budaya kontrol dari segenap
lapisan. Model kontrol seperti ini menggunakan asumsi bahwa sistem pengendalian
dengan kontrol bisa berjalan dengan baik jika orang yang dimonitor menyadari
bahwa pimpinannya atau siapa saja yang berwenang memberi perhatian terhadap apa
yang dikerjakan bawahannya dan atasan akan melakukan teguran manakala terjadi
penyimpangan terhadap yang dilakukan bawahannya. Dalam praktik, sistem
pengendalian formal biasanya didesain untuk mengukur kinerja berupa outcome atau perilaku orang-orang yang
terlibat dalam proses aktivitas. Adanya budaya tersebut akan mengantarkan
perusahaan berjalan sesuai dengan
standai operasional yang sudah ditentukan.
Jadi, pekerja
yang sudah loyal terhadap pengendalian internal paling tidak telah menjadi
modal dasar yang ampuh untuk menghindari terjadinya human fraud sehingga proses internalisasinya lebih dipahami dan
dijalankan dengan lebih baik lagi. Hal yang di perlukan adalah bagaimana
membangun sebuah sistem kontrol atau pengendalian, dan pencegahan terhadap resiko yang terjadi.
Satu hal yang
perlu dicatat di sini bahwa proses pencegahan terjadinya human fraud ini seharusnya difokuskan kembali ke dalam empat hal,
yaitu Pertama, bagaimana budaya kontrol ditanamkan untuk menciptakan pemicu
agar proses internalisasi budaya kontrol di masing-masing satuan kerja bisa
berjalan. Kedua, mendeteksi faktor pemicu untuk mengurangi human fraud. Ketiga, bagaimana secara mendasar proses pengawasan
atau pengendalian internal sebaiknya dijalankan. Keempat, perlu suatu
langkah-langkan konkret
antisipasi yang diambil pihak otoritas pendidikan dan pemerintahan, manajemen
pendidikan sendiri dan pihak-pihak yang terkait lainnya khususnya dalam
mencegah kasus-kasus fraud mendatang.
Hal yang di perlukan adalah bagaimana membangun sebuah sistem kontrol, atau
pengendalian dan pencegahan terhadap risiko yang terjadi.
Seharusnya
proses pemahaman dan peningkatan budaya kontrol dapat terwujud dengan baik
seyogyanya dilakukan pemberdayaan pekerja terhadap pengendalian berlandaskan
beberapa aspek antara lain kejujuran, kepedulian, rasa hormat, kesamaan, kerja
sama, pengakuan dan kepercayaan.
B. Kontrol dan Budaya Kontrol
Robert (dalam Hani,
2003)[1] menyatakan bahwa
pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar
pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan
balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan- penyimpangan, serta mengambil
tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya
perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian
tujuan- tujuan perusahaan.
Pengawasan
didefinisikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua
kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan sekaligus juga
merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya
penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan.[2]
Berikutnya, istilah kontrol penulis sejajarkan
dengan manajemen. Sering pula disebut dengan istilah span of control, span of authority, span of attention atau span of supervision yang artinya jumlah
bawahan yang secara langsung memberikan laporan kepada seorang manajer
tertentu.[3]
Berdasarkan
uraian berbagai pengertian di atas, penulis mengambil satu pengertian tentang
pengawasan lembaga pendidikan yaitu kegiatan lanjutan dari tahap perencanaan
pendidikan guna memastikan akan tercapainya tujuan-tujuan pendidikan dan
mengantisipasi adanya penyimpangan yang tentunya akan mempengaruhi pencapaian
tujuan tersebut. Sementara itu, kontrol lembaga pendidikan dapat penulis
artikan sebagai pengendalian secara efektif yang dilakukan oleh seorang atasan,
dalam hal ini adalah orang yang memimpin
lembaga pendidikan, kepada bawahannya.
Pengawasan
sebenarnya mengandung arti penjagaan stabilitas dan equilibrium. Pengawasan
juga dapat dilakukan oleh siapa saja. Bisa kepala sekolah, pengawas sekolah,
serta unsur- unsur lain yang ada dalam dunia pendidikan. Artinya, pengawasan bisa
bersifat bottom- up ataupun top-down. Sedangkan rentang kontrol
biasanya hanya dilakukan oleh seorang manajer atau atasan dari suatu organisasi (lembaga pendidikan).
Dewasa ini budaya diartikan sebagai
manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya
dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan
statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai
sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang
dihubungkan dengan kegiatan manusia.
Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu? Marvin Bower
seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas
memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip
oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often
unstated) that members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein
(2002) dari MIT dalam tulisannya tentang Organizational Culture &
Leadership mendefinisikan budaya
sebagai:
“ A pattern
of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of
external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be
considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way
you perceive, think, and feel in relation to those problems.
Dalam
suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau
“tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya
lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan
tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi
dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya
mungkin diperlukan.
Karena
budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses
belajar yang telah berakar, maka
mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan.
Walaupun demikian, Howard Schwartz dan
Stanley Davis dalam bukunya Matching
Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri
Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya
organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3)
upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4)
ubah strategi.
Terdapat
lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya
secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak
cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan
kilat; (3) Jika organisasi berukuran
sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar;
dan (5) Jika organisasi kecil
tetapi berkembang pesat.
Tidak ada satu
pun alasan yang cocok dengan di atas,
jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah
budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen
dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian
mungkin hanya akan didapatkan setengah
perbaikan dari yang diinginkan. Dia
mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk
waktu, usaha dan uang.
Hal ini
menyangkut unsur karakter manusia sebagai penyebab utama terjadinya
penyimpangan, maka risiko operasional ini dikenal sebagai human fraud. Dalam hal ini, unsur tanggung jawab dan integritas tiap personil
yang terlibat dalam unit satuan pendidikan, dapat berupa lingkungan sekolah, kedinasan,
bahkan kementerian
tampaknya sudah luntur sehingga berakibat fatal hanya karena tidak berjalannya
pengawasan atau pengendalian internal dengan baik. Sudah sepatutnya pencegahan
terjadinya risiko operasional ini ditempatkan pada prioritas utama, sejalan
dengan pelaksanaan fungsi manajemen risiko berbasis pengendalian. ”Control Culture” (budaya
kontrol) dari mulai pimpinan tertinggi hingga pendidik atau tenaga kependidikan
dari
satuan terkecil dapat
disebarluaskan dengan baik di seluruh satuan kerja tertentu dan tentunya
merupakan hal menarik untuk dibahas.
- Tipe- tipe Pengawasan
Pengawasan
terbagi menjadi tiga tipe, yaitu;[4]
1.
Pengawasan
pendahuluan/feedforward control/ steering control
Tipe ini dirancang untuk
mengantisipasi masalah- masalah ataupun penyimpangan- penyimpangan dari standar
tujuan dan memungkinkan dilakukannya koreksi sebelum dilanjutkan ke tahap
tertentu. Dalam dunia pendidikan, pengawasan pendahuluan ini bisa dikatakan
sebagai proses awal setelah perencanaan pendidikan sebelum memasuki kegiatan
inti pendidikan yaitu kegiatan belajar mengajar. Kita bisa meninjau kembali
rancangan kegiatan belajar mengajar yang diperkirakan menyimpang dan
selanjutnya diharapkan untuk dapat diperbaiki sebelum dilanjutkan ke tahap
aplikasi di lapangan. Pengawasan ini bisa efektif jika atasan atau manajer atau
kepala sekolah mendapatkan informasi akurat tepat waktu tentang perubahan-
perubahan yang terjadi dalam lingkungan tentang perkembangan tujuan pendidikan
yang akan dicapai.
2.
Pengawasan
Ya-Tidak/ Berhenti-Terus/ concurrent/
screening control
Pengawasan ini dilakukan bersamaan
dengan pelaksanaan kegiatan.Tepatnya , tipe ini bisa menjadi proses double check suatu kegiatan sebelum
diakhiri dan dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya. Pelaksanaan kegiatan
dengan memakai tipe pengawasan ini akan lebih tepat, untuk dihentikan atau
diteruskan, disaring.
3.
Pengawasan
umpan balik/ feedback control/ past-action controls
Pengukuran hasil- hasil dari suatu
kegiatan yang telah selesai dilaksanakan atau past-action controls. Artinya, bersifat histories. Segala
penyimpangan atau pun penemuan selama kegiatan berlagsung akan berulang pada
kegiatan yang serupa di masa yang akan datang.
Ketiga bentuk pengawasan di atas dalam
manajemen pendidikan menjadi sangat berguna. Akan tetapi, perlu adanya
pertimbangan untuk melakukan pengawasan tipe pertama dan kedua. Hal ini
dikarenakan biayanya yang mahal dan tidak semua kegiatan memungkinkan untuk
terus dipantau serta pengawasan berlebihan pun juga akan menurunkan
produktivitas. Akan lebih aman jika setiap manajer menggunakan tipe pengawasan
yang disesuaikan dengan situasi masing- masing sekolah.

Bagan Tipe Pengawasan.

- Tahap- tahap Proses
Pengawasan
1.
Penetapan
standar pelaksanaan
Biasanya tahap ini kita sebut dengan
tahap perencanaan. Perencanaan sekolah merupakan gambaran masa depan dari sosok
institusi sekolah yang dikehendaki oleh warganya.[6]
Perencanaan pendidikan yang mantap adalah yang sudah memenuhi standar. Standar
tersebut adalah standar fisik, yang meliputi kuantitas kegiatan, jumlah input
dan kualitas pendidikan. Standar kedua yaitu standar moneter yang berkaitan
dengan biaya tenaga pendidik, kegiatan belajar mengajar dan segala hal yang
masih berhubungan dengan anggaran atau pembiayaan pendidikan. Yang terakhir
adalah standar waktu yang meliputi masa kegiatan pendidikan atau target penyelesaiannya.
Standar- standar yang sudah ditetapkan perlu dikomunikasikan dengan bawahan
sehingga tahapan lain dalam proses perencanaan dapat berjalan efektif.
2.
Penentuan
pengukuran pelaksanaan kegiatan/ kinerja
Penentuan standar akan menjadi sia-
sia jika disertai cara mengukur pelaksanaan kegiatan pendidikan tersebut. Kita
dapat menggunakan pertanyaan how often
atau berapa kali seharusnya pelaksanaan kegiatan pendidikan diukur, what form atau dalam bentuk apa pengukuran
dilakukan, serta who atau siapa saja
yang akan terlibat dalam proses pengukuran tersebut. Pengukuran ini hendaknya
dapat dilakukan dengan mudah dan dipahami oleh semua yang terlibat di dalamnya.
Untuk kinerja ini dapat diukur dengan metode UCLA yaitu meliputi assessment sebagai lanhkag korektif
didasarkan pada data[7] , planning, implementation, improvement,
certification dan metode balanced-scorecard[8].
3.
Pengukuran
pelaksanaan kegiatan
Setelah frekuensi pengukuran dan
system monitoring ditentukan, tahap selanjutnya adalah pengukuran pelaksanaan
kegiatan pendidikan yang dilakukan berulang-ulang seperti observasi
(pengamatan), laporan
(tertulis/ lisan) dan metode serta inspeksi, pengujian (test). Bisa juga
digunakan jasa pengawas sekolah agar lebih efektif.
4.
Pembandingan
pelaksanaan dengan standar dan analisis penyimpangan
Tahap ini adalah tahap kritis.
Walaupun mudah dilakukan tapi akan terjadi kompleksitas dalam
menginterpretasikan penyimpangan- penyimpangan yang ada. Analisis penyimpangan akan
menjawab pertanyaan mengapa standar tidak tercapai dan ini juga berguna untuk
mengidentifikasi penyebab terjadinya penyimpangan sehingga tidak perlu terjadi
kembali.
5.
Pengambilan
tindakan koreksi
Apabila hasil analisa menunjukkan
perlunya diambil tindakan koreksi, maka koreksi harus dilakukan. Kita dapat
mengambil koreksi dalm bentuk perubahan standar awal yakni standar input yang terlalu tinggi atau rendah,
perubahan frekuensi pengukuran dan perubahan penganalisisaan dan
penginterpretasian penyimpangan yang mungkin ada.
![]() |

E. Kontrol
Negara terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan
kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua
pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia
sehingga program-program
dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan
sedemikian rupa untuk mendapatkan output
yang diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu Negara sangat
pedulu dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang
pendidikan. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu system pendidikan yang
memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk
memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak negara yang menerapkan kontrol yang sangat ketat
terhadap program-program
pendidikan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh negara maupun yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Pemerintah adalah bagian dari Negara yang paling kasat
mata dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling aktif dari Negara,
tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari Negara. Negara terdiri dari
berbagai institusi yang masing masing memiliki fungsi dan peran tersendiri
dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
Menurut Dale
(1989)[9],
control Negara terhadap pendidikan umumnya
dilakukan
melalui empat cara. Pertama, system
pendidkan diatur secara legal. Kedua,
system pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan
dan objektivitas. Ketiga, penerapan
wajib pendidikan (compulsory education). Keempat,
reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam
konteks tertentu. Dale (1989)[10]
menambahkan bahwa perangkat Negara dalam bidang pendidikan, sepeti sekolah dan
administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses, dan
praktik pendidikan.
F. Kontrol
Negara terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan
kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua
pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia
sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang,
diatur, dan diarahkan sedemikian rupa
untuk mendapatkan output yang diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan
mengapa suatu Negara sangat pedulu dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang
besar untuk bidang pendidikan. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu
system pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan output yang
diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang
menerapkan control yang sangat ketat terhadap program-program pendidikan, baik
yang diselenggarakan sendiri oleh Negara maupun yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
Pemerintah adalah bagian dari Negara yang paling kasat
mata dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling aktif dari Negara,
tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari Negara. Negara terdiri dari
berbagai institusi yang masing masing memiliki fungsi dan peran tersendiri
dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
Menurut Dale (1989)[11],
Kontrol Negara terhadap
pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system pendidkan diatur secara legal. Kedua, system pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan
ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga,
penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah
berlangsung dalam konteks tertentu. Dale (1989)[12]
menambahkan bahwa perangkat Negara dalam bidang pendidikan, sepeti sekolah dan
administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses, dan
praktik pendidikan.
Setiap periode perkembangan pendidikan nasional adalah
persoalan penting bagi suatu bangsa karena perkembangan tersebut menentukan
tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolgi, karakteristik, dan kesadara
politik yang banyak mempengaruhi masa depan bangsa tersebut. Setiap periode
perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan kekuatan politik karena pada
hakikatnya pendidikan adalah cerminan aspirasi, kepentingan, dan tatanan
kekuasaan kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkuasa.
Ada empat strategi pokok pembangunan
pendidikan nasional, yaitu :
1.
Peningkatan
pemerataan kesempatan pendidikan
2.
Peningkatan
relevansi pendidikan dengan pembangunan
3.
Peningkatan
kualitas pendidikan
4.
Peningkatan
efisiensi pengelolaan pendidikan.
Sketsa penyelenggaraan pendidikan di
Negara ini dapat dibagi atas enam periode perkembangan, yaitu :
1.
Periode
pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang berlangsung hingga
pertengahan tahun 1800an. Pada masa ini penyelenggaraan pendidikan di tanah air
mengarah pada sosialisasi nilai-nilai agama dan pembangunan keterampilan hidup.
Penyelenggaraan pendidikan pada periode ini dikelola dan dikontrol oleh tokoh-tokoh
agama.
2.
Periode
kedua adalah periode kolonial Belanda yang berlangsung dari tahun 1800an hingga
tahun 1945. Pada periode ini penyelenggaraan pendidikan ditanah air diwarnai
oleh proses modernisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan pemerintahan
colonial dan aktivitas pendidikan kaum pribumi. Disatu pihak, pemerintah
colonial berusaha menempuh segala cara untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan
pendidikan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonialisme dan mencetak para
pekerja yang dapat diekploitasi untuk mendukung misi sosial, politik, dan
ekonomi pemerintah kolonial.
3.
Periode
ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga
tahun 1945. Berbagai kegiatan pendidikan pada periode ini diarahkan pada upaya
mendiseminasi nilai-nilai dan semangat nasionalisme serta mengobarkan semangat
kemerdekaan ke seluruh lapisan masyarakat. Salah satu aspek perkembangan dunia
pendidikan pada masa periode ini adalah dimulainya penggunaan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan pendidikan formal.
4.
Periode
keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945 hungga tahun
1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan di tanah air lebih mengarah pada
pemantapan nilai-nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan pembangunan fondasi
ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada
periode ini adalah nation and character building dan kendali utama
penyelenggaraan pendidikan nasional dipengang oleh tokoh-tokoh nasionalis.
5.
Periode
kelima adalah periode Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun
1998. Pada periode ini pendidikan menjadi instrument pelaksanaan program
pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum,
organiasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan
pembangunan. Karena fokus
utama pembagunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi.
6. Periode keenam adalah
periode Reformasi yang dimulai pada tahun 1998. Pada periode ini semangat
desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan
reformasi sehingga penataan system pendidikan nasional menjadi menu utama.
Dengan menelusuri prinsip-prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan terkait.
H. Layanan Publik : Responsivitas Birokrasi Pendidikan
Fenomena
birokrasi pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan pada tantangan IEnorm
(Norma internal dan eksternal). Tantangan internalnya adalah adaptasi model
birokrasi menurut norma-ganda berdasar pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2001
dan Undang-undang nomor 32 Tahun 2005[14]
yang harus mampu mempertinggi kinerja birokrasi pendidikan. Sementara itu,
tantangan eksternalnya bersangkut paut dengan urusan publik yang harus mampu
memperluas jangkauan dan mempertinggi mutu layanan publik. Osborne dan Gaebler (1992)[15]
menyebutkan bahwa birokrasi dapat menekuni misinya yang selama ini terabaikan,
yaitu empowering dan enabling institutions satuan-satuan sosial masyarakat,
sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. North (1990)[16],
mengindikasikan bahwa : aturan-aturan main dalam suatu masyarakat terbentuk
dari interaksi yang dibangun di antara mereka dan institusi-institusi yang ada
mereducenya ke dalam struktur.
Disadari
bahwa, dominasi peran pemerintah dalam mengembangkan struktur birokrasi
pendidikan yang responsif, masih terus dikritisi dan terus menjadi ajang
diskursus yang menarik. Kegagalan demi kegagalan yang dialami selama ini,
selain disebabkan oleh faktor-faktor yang disebutkan di atas, juga karena masih
adanya miskonsepsi dalam memandang eksistensi kewenangannya tanpa tatanan model
birokrasi yang tepat, juga terjadi malpraktik karena ketidak jelasan visi,
misi, tugas dan fungsi yang harus diemban. Kecenderungan faktualnya adalah
bahwa gerak adaptif birokrasi pendidikan terkendala oleh : Pertama, kian
menjamurnya distorsi pemahaman tentang visi dan misi pendidikan. Kedua,
lahirnya dualisme acuan tata pemerintaan. Ketiga, merebaknya kendala
struktur-fungsi birokrasi.
Era
globalisasi yang dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh
tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memberikan layanan yang
sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat.
Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indikator dari
keberhasilan institusi pendidikan sebagai sebuah organisasi birokrasi publik.
Birokrasi publik,
pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun
birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis,
tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya menganut prinsip-prinsip
efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang
harus dilayani secara optimal. Layanan publik, merupakan hak masyarakat yang
pada dasarnya mengan-dung prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu,
akurasi, keamanan, tanggung-jawab, kelengkapan sarana, dan prasarana, kemudahan
akses, kedisiplinan, kesopanan keramahan, dan kenyamanan. Birokrasi publik
tidak berorientasi langsung pada tujuan akumulasi keuantungan, namun memberikan
layanan publik dan menjadi katalisator dalam penyelenggaraan pembangunan maupun
penyelenggaraan tugas negara. Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa
banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik.
Responsivitas
sebagai salah satu indikator pelayanan berkaitan dengan daya tanggap aparatur
terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan sebagaimana diatur di
dalam aturan perundangan. Sementara itu, responsivitas menyangkut kemampuan
aparatur dalam menghadapi dan mengantisipasi aspirasi baru, perkembangan baru,
tuntutan baru, dan pengetahuan baru. Birokrasi harus merespon secara cepat agar
tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam
Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003[17],
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, disebutkan bahwa layanan
publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga kelompok layanan administratif,
yaitu : Pertama, kelompok layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang
dibutuhkan oleh publik; Kedua, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai
bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik; Ketiga, kelompok layanan yang
menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Layanan publik dalam
hal ini dipahami sebagai segala kegiatan yang dilaksanakan oleh institusi
pendidikan dalam rangka pencerdasan masyarakat sebagai pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, paling tidak terdapat tiga pelaku
yaitu : pembuat kebijakan, penyedia/pelaksana layanan publik, dan penerima
layanan (Susanto, Agus. 2005).[18]
Dalam sistem pemerintahaan dominan, perumus dan pelaksana layanan publik
dilakukan oleh pemerintah, dan masyarakat sebagai penerima layanan. Tetapi,
pelayanan publik oleh birokrasi seharusnya digerakkan oleh visi dan misi
pelayanan, namun pada kenyataannya justru digerakkan oleh peraturan dan
anggaran yang tidak dimengerti oleh publik karena tidak disosialisasikan secara
transparan.
Pada
kenyataannya, keinginan mewujudkan layanan publik secara optimal, tidak dapat
dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup responsif terhadap dinamika
semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik melalui mekanisme pasar maupun
mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan memungkinkan birokrasi
meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi yang
dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman yang seringkali tidak
cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar daerah. Banyak program
pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan partisipasi masyarakat karena
karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan kultural,
geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut
program-program pembangunan yang berbeda pula.
Layanan
publik yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintah dinilai kurang dapat
memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan khalayak, sebagai 'konsumen' mereka.
Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk organisasi
birokrasi, sehingga birokrasi selalu mendapat pengertian yang negatif. Selain
itu, penyedia layanan masih belum patuh kepada ketentuan baku yang dibuatnya
sendiri dalam menjalankan tugasnya. Penyimpangan dari ketentuan yang telah
ditetapkan acapkali tanpa adanya konsekuensi pengenaan sanksi.
Terjadinya
berbagai penyimpangan dalam pemberian layanan publik dapat disebabkan oleh:
Pertama, para birokrat yang bertanggungjawab pada penyelenggaraan layanan
publik masih terpaku pada paradigma lama dengan semangat pangreh praja yang
masih melekat; Kedua, peraturan atau ketentuan yang berlaku mengandung banyak
lubang (loopholes) atau kelemahan yang mendorong terjadinya penyimpangan;
Ketiga, pengguna jasa layanan publik juga sering memanfaatkan kelemahan
peraturan dan ingin menempuh jalan pintas; Keempat, pengguna jasa masih berada
pada posisi yang lemah.
Ada
beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama ini banyak
kebijakan, program, dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi
masyarakat. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada
kekuasaan dan bukannya kepada kepentingan publik. Birokrat menempatkan dirinya
sebagai penguasa. Budaya paternalistik seringkali juga mengakibatkan turunnya
kualitas pelayanan publik. Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa
yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dengan yang dikehendaki oleh rakyat.
Dalam pandangan lain, aspek perubahan politik ikut berpengaruh pada derajat
layanan publik, sebagaimana disinggung oleh Peters, B. Guy (1984)[19]:
At least three of the old chestnuts that have guided our
thinking about the public service ini the process of governance are simply no
longer as canonical as they once were. The first of these principles is the
assumption of an apolitical civil service, and associated with it is the
politis-administration dichotomy and the concept of “neutral competence” within
the civil service. A second significant change in assumption about government
relevant to this discussion is a decline in assumption of hierachical and
rule-based management within the public service, and in the outhority of civil
servants to implement and eforce regulations outside of public service. The
third change in the assumptions about governance and the public bureaucracy
concerns the permanence and stability of the organizations within government.
Responsivitas
sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti
kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan
prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Indikator responsivitas pelayanan
publik, yaitu : keluhan pengguna jasa, sikap aparat birokrasi dalam merespon
keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan pengguna jasa sebagai referensi
perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat birokrasi dalam memberikan
pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem
pelayanan yang berlaku.
I. Pendidikan dalam Perspektif Perubahan Sosial
Pendidikan
sebagai suatu proses yang mengubah perilaku individu dalam konteks teori
perubahan social akan mempunyai dampak terjadinya perubahan baik pada tingkat
individu sebagai agen maupun tingkat kelembagaan yang mampu mengubah struktur
social yang ada dalam masyarakat. Pendidikan dapat menimbulkan perubahan dalam
masyarakat dan sebaliknya, jika masyarakat mengalami perubahan, secara tidak
langsung sitem pendidikan juga mengalami perubahan.
Arah
pembangunan dibidang pendidikan sangat ditentukan oleh tuntutan masyarakat
sesuai dengan kebudayaan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah
memegang peranan penting karena daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Terdapat beberapa faktor terjadinya tuntutan penerapan desentralisasi
pendidikan sebagai berikut.
1)
Tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator,
bisnis dan perhimpunan guru untuk turut serta mengotrol sekolah dan penilaian
pendidikan.
2)
Adanya anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat
tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa.
3)
Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara
efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
4)
Penampilan fisik sekolah dinilai tidak memenuhi tunututan
baru dari masyarakat.
5)
Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan pendanaan
dari privatisasi.
Di samping
beberapa faktor tersebut, terdapat bebebrapa faktor yang lain tentang
desentarlisasi pendidikan di Indonesia. Beberapa faktor tersebut sebagai
berikut.
1)
Terjadinya tuntutan reformasi di segala bidang termasuk
bidang pendidikan.
2)
Kurangnya perssaingan antar daerah dalam memajukan
pendidikan karena tuntutan nasional yang seragam.
3)
Tuntutan masyarakat untuk mandiri sesuai dengan kemampuan
daerah untuk menyelenggarakan dan memajukan bidang pendidikan.
4)
Ketidaksesuaian tuntutan nasional dengan potensi sunber
daya yang dimiliki daerah.
5)
Adanya ketergantungan pemerintah daerah ke pemerintah
pusat.
6)
Kurangnya kreatifitas daerah, sekolah dan personil
penyelenggara dan lain-lainnya.
7)
Kurangnya kemandirian lembaga pengelola dan pelaksana
pendidikan karena besarnya ketergantungan terhadap pemerintah.
Berdasarkan
tuntutan desentralisasi tersebut, maka sistem pendidikan juga mengalami
perubahan dan demikian pula implementasinya, semua daerah merasa mempunyai
kepentingan untuk mengembangkan daerahnya melalui pendidikan. Pemerintah daerah
berusaha untuk menemukan potensi yang ada di daerahnya dan dikembangkan
sedemikian rupa menjadi paket-paket pendidikan yang kental dengan karakteristik
kedaerahannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan potensi daerah, pengajaran
tidak lagi menggunakan pola-pola pengajaran terpusat pada guru tetapi terpusat
pada murid berdasarkan potensi masing-masing.
Dalam
UU RI NO 20 Tahun 2003 pada pasal 1,2,3, dalam ayat-ayat tersebut dapat
diartikan bahwa penyelenggara pendidikan berkembang sesuai dengan perkembangan
daerah masing-masing, baik dalam hal pendanaan, manajemen, kurikulum dan system
evaluasinya. PBM(Pendidikan Berbasis Masyarakat) dimaknai sesuai dengan
pemahaman masing-masing daerah berdasarkan kondisi social ekonomi. Owens (1996)
mengemukakan bebebrapa asumsi penting yang dapat dijadikan landasan PBM.
Beberapa asumsi tersebut adalah sebagai berikut;
a)
Pendidikan harus dipandang sebagi suatu bentuk
keberlanjutan sejak usia prasekolah hingga melalui proses pendidikan sepanjang
hayat.
b)
Belajar adalah apa yang kita lakukan untuk kita sendiri.
Oleh sebab itu si pembelajar harus sadar keterlibatannya dalam proses
pembelajaran.
c)
Pekerjaan di masa mendatang tidak hanya memerlukan latar
belakang pendidikan yang lebih tinggi namun juga memerlukan latar belakang yang
berbeda termasuk di dalamnya yang mampu membelajarkan cara belajar kritis,
membangun sebuah tim, serta kemampuan untuk menerapkan ilmu pengetahuan.
d)
Orang dewasa perlu terlibat dalam urusan masyarakat serta
memberikan perhatian seimbang kepada pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
e)
Masalah-masalah yang dapat di atasi sekolah. Oleh karena
itu keterlibatan keluarga, dunia kerja, masyarakat serta pihak-pihak lain yng
terkait menjadi sangat penting.
Adanya
resistensi dari guru, sekolah dan masyarakat terhadap perubahan-perubahan
sebagaimana tersebut di atas harus diakui keberadaanya sehingga memerlukan
bantuan agar resistensi dapat dikelola dengan baik oleh para pemimpin dunia
pendidikan untuk mencapai visi pendidikan abad 21.
J. Budaya
Kontrol Organisasi
di Sekolah
Di bawah ini akan diuraikan tentang
karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
(1) Obeserved behavioral
regularities; budaya organisasi di sekolah ditandai dengan
adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat
diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual
tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang
mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
(2) Norms;
budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari
anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa
berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama
berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah
seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku
siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek
kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.
Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis
Kompetensi, secara umum standar perilaku
yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, di antaranya mencakup :
(a) Memiliki
keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
(b) Memiliki
nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(c) Menguasai
pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan
pendidikan.
(d) Mengalihgunakan
kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global.
(e) Berekspresi
dan menghargai seni.
(f) Menjaga
kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002)[20]
Berkenaan
dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi
yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam
perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat
jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun
2005[21]
tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
(a) Kompetensi
pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang
meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman
terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan
pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f)
evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(b) Kompetensi
kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil;
(c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia;
(g) menjadi teladan bagi peserta didik
dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
(c) Kompetensi
sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan;
(b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c)
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orangtua/wali peserta didik;
dan (d) bergaul secara santun
dengan masyarakat sekitar.
(d) Kompetensi
profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda
keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi
ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran
terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan
(e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan
nilai dan budaya nasional.
(3) Dominant values;
jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini
yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di
sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di
sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah
hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan
sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik
yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001)[22],
mutu pendidikan meliputi aspek input,
proses dan output pendidikan. Pada aspek
input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan
sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat
kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan
melalui pengkoordinasian dan penyerasian
serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning),
mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat
dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik
maupun non akademik.
Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu
di sekolah akan mengingatkan kita kepada
suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total
Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan
suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas
produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Aplikasi TQM didasarkan
atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas;
(3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6)
perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8)
kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan secara optimal.
Prinsip utama
dalam mengaplikasikan TQM, yaitu:
(1) kepuasan pelanggan, (2)
respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4)
perbaikan secara terus menerus. Selanjutnya,
dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001)[23]
telah memerinci tentang elemen-elemen
yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas
harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b)
kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi,
bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa
aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan
nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E.
Freed et. al. (1997)[24]
dalam tulisannya tentang A Culture
for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher
Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun
budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan
prinsip-prinsip Total Quality Management,
yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership:
creating a quality culture; (4) systematic
individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation
of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change;
dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa
“when the quality principles are implemented holistically, a culture for
academic excellence is created..
Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang
merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya
mutu pendidikan betapa pentingnya kita
untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip
Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan
keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
(4) Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan
dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki,
misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan
organisasi. Jika kita mengadopsi
filosofi dalam dunia bisnis yang memang
telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini
diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah
pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan
kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001)[25] mengemukakan bahwa :
“Pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di
sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju
utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis
dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus
benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
(5) Rules;
budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang
mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan
aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat,
maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku
dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah
(school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan
ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992)[26]
dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78
mengatakan bahwa : “ School
discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and
(2) create an environment conducive to learning.
(6) Organization
climate; budaya organisasi
ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay
Resources Direct (2003)[27]
mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels
to work in a particular environment. It is the "atmosphere of the
workplace" and people’s perceptions of "the way we do things here.”
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di
sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger
sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat
enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut
ini dikemukakan keenam jenis nilai dari
Spranger beserta perilaku dasarnya.
Jenis
Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger[28]
No
|
Nilai
|
Perilaku Dasar
|
1
|
Ilmu
Pengetahuan
|
Berpikir
|
2
|
Ekonomi
|
Bekerja
|
3
|
Kesenian
|
Menikmati
keindahan
|
4
|
Keagamaan
|
Memuja
|
5
|
Kemasyarakatan
|
Berbakti/berkorban
|
6
|
Politik/kenegaraan
|
Berkuasa/memerintah
|
Di sekolah
terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan
lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan
dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan
perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana
lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah,
melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya.
Upaya
untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas
kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala
sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga
diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan
hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya
tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam
memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna
meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.
Daftar Pustaka
Akmad Sudrajat
.wordpress.com/2008/04/04/ hakikat-pengawasan-sekolah. Diakses tanggal 12
Desember 2008
Depdiknas. 2001.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan.
Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen
Depdiknas. 2001.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan.
Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen
Hay Group. “Intervention:
Managerial Style & Organizational Climate Assessment”. (http://www.
hayresourcesdirect. haygroup.com/ Misc/style_climate_intervention.asp.) 2003
Jann E. Freed.
et.al. “A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles
in Higher Education”. (
http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed406962.html). ERIC Digest. Tahun
1997
Jerome S. Arcaro,
Pendidikan Berbasis Mutu (Prinsip- prinsipPerumusan dan Tata Langkah
Penerapan). Terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Joan Gaustad.
“School Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/
digests/digest078.html ). ERIC Digest 78. December 1992
Menpan No.
63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik
Moh. Pabundu
Tika, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kerja Perusahaan, (Jakarta: Bumi Aksara). 2006.
Penjelasan
Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peter, B. Guy.
1984. American Public Policy. Franklin Watts, New York : Tulano University.
Pusat Kurikulum,
Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas
Sirozi,
M.2005.Politik Pendidikan.Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
Sudarwan Danim,
Visi Baru Manajemen Sekolah (dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik). Cet.II.
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 109
Suryabrata,
Sumadi, Psikologi Kepribadian., (Jakarta : Rajawali, 1990)
Susanto, Agus.
2005. Manajemen Pelayanan Publik. Makalah. Publikasi Internet :
http://www.ombudsman.or.id/pdf/SO2.pdf
T. Hani
Handoko, Manajemen, Ed.II, Cet. 18,
(Yogyakarta: BPFE). 2003
Undang-undang
Nomor 21 tahun 2001 dan Undang-undang nomor 32 Tahun 2005
[2]
Akmadsudrajat .wordpress.com/2008/04/04/ hakikat-pengawasan-sekolah. Diakses
tanggal 12 Desember 2008
[5] Ibid, h. 363
[6] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah (dari Unit
Birokrasi ke Lembaga Akademik). Cet.II. (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 109
[7] Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu (Prinsip- prinsipPerumusan
dan Tata Langkah Penerapan). Terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 32
[8] Moh. Pabundu Tika, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kerja
Perusahaan, (Jakarta: Bumi Aksara). 2006. hh. 124 - 125
[18] Susanto, Agus.
2005. Manajemen Pelayanan Publik.
Makalah. Publikasi Internet : http://www.ombudsman.or.id/pdf/SO2.pdf
[23] Depdiknas. 2001. Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta :
Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen
[24] Jann E. Freed. et.al. “A
Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher
Education”. ( http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed406962.html). ERIC Digest.
Tahun 1997
[25] Depdiknas. 2001. Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta :
Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen
[26] Joan Gaustad. “School
Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/ digests/digest078.html ).
ERIC Digest 78. December 1992
[27] Hay Group. “Intervention:
Managerial Style & Organizational Climate Assessment”. (http://www.
hayresourcesdirect. haygroup.com/ Misc/style_climate_intervention.asp.) 2003
lengkap dan membantu sekali infonya
BalasHapusElever
If you're trying hard to lose pounds then you absolutely need to get on this brand new tailor-made keto plan.
BalasHapusTo produce this keto diet service, certified nutritionists, fitness couches, and cooks joined together to produce keto meal plans that are useful, painless, cost-efficient, and satisfying.
Since their launch in January 2019, 100's of individuals have already completely transformed their body and health with the benefits a certified keto plan can provide.
Speaking of benefits; in this link, you'll discover eight scientifically-certified ones given by the keto plan.