Gagasan revolusi mental
baru-baru ini diluncurkan presiden terpilih, Joko Widodo. Pada pembahasan
berikut akan disesuaikan dengan cakupan masalah
pendidikan. Ide revolusi mental bermula dari kegalauan yang dirasakan
masyarakat di berbagai ruang kehidupan bahwa hal itu harus segera dilakukan.
Mengingat, pertama, gagalnya rezim Orde Baru dan Era Reformasi dalam
melaksanakan pembangunan, yang belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya
politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).
Kedua, tradisi atau
budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung
hingga sekarang, mulai korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat menang
sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah,
pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Semua itu masih berlangsung dan beberapa
di antaranya bahkan makin merajalela di alam Indonesia yang terkenal ramah ini.
Meski sangat sederhana, konsep yang ditawarkan Joko Widodo itu didasari oleh
pemikiran yang sangat fundamental, filosofis, dan empiris sehingga mampu
menyentuh akar persoalan.
Disadari atau tidak,
reformasi pendidikan yang dilaksanakan baru sebatas melakukan perombakan yang
sifatnya institusional, belum menyentuh paradigma, mindset atau budaya pendidikan kita dalam rangka pembangunan
pendidikan (education building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan
berkesinambungan, revolusi mental mesti dilakukan. Revolusi mental dimulai dari
pendidikan, mengingat peran pendidikan sangat strategis dalam membentuk mental
anak bangsa. Pengembangan kebudayaan maupun karakter bangsa diwujudkan melalui
ranah pendidikan. Pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses
berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (never ending process). Selama sebuah
bangsa ada dan ingin tetap eksis, pendidikan karakter harus menjadi bagian
terpadu dari pendidikan alih generasi.
Education
building tidak mungkin akan efektif kalau sekadar
mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya
atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang
kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia yang belum mampuni tidak akan
membawa kebaikan. Sudah banyak UU, PP, Permendiknas, PMA, Permen PAN dan RB,
perdirjen yang dihasilkan. Telah dibentuk sejumlah badan, komisi, badan,
lembaga mengurus pendidikan. Otonomi daerah telah dilaksanakan. Telah
diselenggarakan diklat, workshop, seminar untuk guru.
Implementasi pendidikan
karakter tidak harus dikaitkan dengan anggaran. Dibutuhkan komitmen dan
integritas para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk secara
sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai kehidupan di setiap pembelajaran.
Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang
salah, tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang
baik. Dengan begitu, peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang
baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik (loving the
good/moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action), dan biasa melakukan
(psikomotor). Jadi, pendidikan karakter erat berkaitan dengan habit (kebiasaan)
yang dipraktikkan dan dilakukan.
Konsep pendidikan yang
mulia (berkarakter), baik guru yang berkarakter maupun siswa yang berkarakter
disampaikan oleh Thomas Lickona (1991) bahwa karakter merupakan “A reliable inner disposition to respond to
situations in a morally good way. Character so conceived has three interrelated
parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior.” Karakter mulia (good character) meliputi
pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), lalu menimbulkan komitmen (niat)
terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan
(moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian
pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta
perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Di Indonesia,
pendidikan karakter, moral dan budaya sebenarnya sudah dirintis oleh Ki Hadjar
Dewantara dengan Tri Pusat Pendidikan yang dimulai dari lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial. Lingkungan sekolah (guru) saat ini
memiliki peran sangat besar pembentukan karakter siswa. Peran guru dalam dunia
pendidikan modern sekarang ini semakin kompleks, tidak sekedar sebagai pengajar
semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan
budaya bagi siswanya. Guru haruslah menjadi teladan, seorang model sekaligus
mentor dari anak/siswa di dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang
meliputi olah pikir, olah hati, dan olah rasa.
Pembangunan karakter
bangsa, selain telah dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara, juga turut
disuarakan oleh Soekarno (1961), yaitu Dedication
of Life yang termasuk dalam Nation
and Character Building Indonesia. Ungkapan ini meninggalkan bekas yang
mendalam di hati kita semua. Ungkapan ini menghidupkan harapan besar dalam hati
kita bersama. Bung Karno juga mengatakan “Bangsa ini harus dibangun dengan
mendahulukan pembangunan karakter (character building). Character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi
bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat.”
Revolusi Mental
Revolusi merupakan
perubahan besar dan cepat, serta radikal untuk mempengaruhi kehidupan manusia.
Mendengar istilah revolusi, ingatan yang melekat pada masyarakat dunia pada
tataran perubahan berkehidupan pasti mengarah pada revolusi industri khususnya
di Inggris dan eropa umumnya. Revolusi yang dilatarbelakangi terjadinya berawal
dari revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke-16 dengan eksisnya para kaum
ilmuwan yang mendirikan lembaga-lembaga penelitian seperti yang dilakukan oleh
Francis Bacon, Rene Descartes dan Gallileo Galilei.
Revolusi sebagai
semangat perubahan, sebenarnya bisa dijumpai dan telah terjadi hampir pada
semua di belahan dunia, adanya revolusi politik karena ada gejolak pada sistem pemerintahan (negara),
revolusi akibat imprelaisme serta revolusi sosial, bahkan revolusi Agama. Pada
revolusi industri yang diperkenalkan di Inggris sekitar tahun 1760 dan di sebagian
Eropa merupakan perubahan secara revolusioner (cepat) di sektor ekonomi dari
cara tradisonal menuju industrilisasi.
Di Indonesia, gaung dan
semangat revolusi sudah ada sejak dulu, sejak Bung Karno (pemimpin tertinggi
revolusi) menanamkan revolusi untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Kesuksesan awal dari revolusi di Indonesia adalah tercapainya kemerdekaan dan
perlawanan dalam mengusir penjajahan. Esensi dari revolusi mental a la Bung Karno ini adalah perombakan
cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat
kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. Ini adalah satu gerakan untuk
menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih,
berkemauan baja, bersemangat elang-rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.
Lalu, bagaimana dengan
revolusi mental yang saat ini digaungkan oleh Presiden dan jajaran Kabinet Kerja
Jokowi? Gagasan revolusi mental telah membuat menjadi angin segar dan harapan
baru sebagian banyak orang. Revolusi mental dibutuhkan untuk membumihanguskan mentalitas,
mindset, dan segala bentuk praktik
buruk yang sudah mendarah daging dalam diri dan kepribadian bangsa. Oleh karena
itu, sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan
menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan. Tetapi, dengan mencanangkan
revolusi mental untuk menciptakan paradigma baru, budaya pendidikan, dan
pendekatan education building baru
yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja, dan
berkesinambungan.
Dalam melaksanakan
revolusi mental, kita dapat menghasilkan Ketahanan Pendidikan (Ganjar Pranowo,
2014), Indonesia yang berdaulat dalam bidang pendidikan, dan Indonesia yang
berkepribadian secara sosial-budaya, pendidikan yang mengkaji potensi yang
dimiliki Indonesia dengan sebuah sistem pendidikan yang akuntabel, bersih dari
praktik korupsi yang bisa dirasakan oleh seluruh anak bangsa. Tentu saja harus didukung
oleh birokrasi yang bersih, andal, dan capable
yang benar-benar bekerja melayani kepentingan pendidikan dan mendukung
pekerjaan guru untuk membentuk karakter siswa. Di sini, para birokrat sebagai
pelayan, bukan minta dilayani. Birokrat yang tahu betuk kondisi lapangan,
melihat dengan mata kepala sendiri,
bukan hanya menerima laporan dari bawahan dan bukan hanya asal bapak senang. Revolusi mental sesungguhnya adalah sebuah
gerakan ke dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan
evaluasi diri sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah
bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan Karakter
Thomas Lickona (1992)
menawarkan dua nilai utama pendidikan karakter yang berdasar atas hukum moral,
yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab. Nilai-nilai tersebut mewakili dasar
moralitas utama yang berlaku secara universal. Sebab, itu memiliki tujuan dan
merupakan nilai yang nyata bahwa terkandung nilai-nilai baik bagi semua orang,
baik secara individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Pendidikan Karakter
dalam Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003) pada Pasal
3. “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia: 1) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa; 2) berakhlak
mulia; 3) Sehat; 4) Berilmu; 5) Cakap; 6) Kreatif; 7) mandiri; dan 8) menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tujuan membangun
karakter dan akhlak mulia bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan.
Pendidikan yang mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa
membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih
sayang kepada peserta didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang
bagus.
Pendidik Berkarakter
Sudah banyak wacana dan
implementasi pendidikan berkarakter yang lebih bertumpu pada pembentukan
karakter siswa yang berbudi dan berakhlak mulia. Mari sejenak kita telusuri
pengibaratan telur – ayam dan ayam – telur. Tidak perlu merunut secara
retoris, tetapi mengkaji secara empiris, lebih didahulukan manakah antara guru
berkarakter atau siswa yang berkarakter?
Karakter adalah
kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu
yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Seseorang
dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan
yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam
hidupnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wynne (1991) mengemukakan bahwa
karakter memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam
tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.
Dalam pandangan
tradisional, guru adalah orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan
ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Guru adalah seorang yang mempunyai
gagasan yang harus diwujudkan untuk kepentingan anak didik sehingga menunjang
hubungan sebaik-baiknya dengan anak didik, sehingga menjunjung tinggi,
mengembangkan dan menerapkan keutamaan yang menyangkut agama, kebudayaan, dan
keilmuan.
Orang yang menjadi guru
hendaklah adalah insan-insan berkarakter unggul yang menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur, dan bukannya manusia pragmatis, yang mudah terseret pada
arus hedonisme, konsumerisme, dan sebagainya. Profesi guru seharusnya diisi
oleh manusia-manusia hebat (bila perlu yang terbaik semasa di sekolah untuk
dididik sebagai calon guru) untuk bisa mewujudkan pendidik berkarakter yang
unggul di segala lini. Guru adalah aktor utama dalam pendidikan di sekolah dan
citra guru dibawa siswa dalam kehidupannya, di dalam keluarga, dan masyarakat.
Gurulah yang akan mendidik para calon pemimpin bangsa, penerus keberlangsungan
suatu negara, dan mau dibawa kemana bumi pertiwi ini. Apabila guru tidak
memberikan karakter unggul di hadapan siswanya, tidak mengajarkan nilai-nilai
luhur, nilai-nilai kibujakan dan kebajikan, baik dalam ucapan, sikap, perbuatan
maupun keteladanan atas pilihan gaya hidupnya kepada siswa tentu tidak bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi pada suatu bangsa di masa yang akan datang.
Konsep guru berkarakter
bersifat subjektif, tetapi dapat
dikaji lebih dalam. Para ahli pendidikan
mencoba membuat rumusan yang dianggap paling sempurna mengenai konsep guru berkarakter
yang ideal sehingga dapatlah kita temukan profil seorang tipikal guru yang
diharapkan. Hal utama dan pertama yang harus dimiliki seorang guru adalah
kualifikasi pendidikan/keilmuannya. Wawasan seorang guru haruslah luas, dapat
memberikan pengajaran yang membuat siswa menjadi tahu dari sebelumnya yang
tidak tahu. Guru juga harus mampu membangkitkan minat siswa untuk menggali
sendiri secara lebih dalam pelajaran yang diterimanya (inquiry dan discovery).
Semua itu bisa diwujudkan jika guru mampu menerapkan metode belajar aktif dan
bukan hanya menyuapi peserta didik dengan berbagai materi dan teori.
Singkatnya, guru harus bisa berperan sebagai motivator, mediator, dan
fasilitator pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mencari, membangun, dan menerapkan pengetahuan dalam kehidupannya.
Guru adalah karakter
yang dijadikan figur oleh siswanya. Figur lekatan tidak bisa dibuat-buat atau
dipaksa-paksa. Ia hadir atas dasar pengakuan. Dan ini takkan dapat direkayasa
oleh teknologi secanggih apapun. Jika guru menginginkan dirinya menjadi seorang
figur lekatan bagi siswanya maka guru tersebut haruslah mencintai siswanya
hingga siswanya itu merasakan cinta yang telah diberikan guru secara tulus.
jika cinta seorang guru telah dicurahkannya paling tidak ada tiga hal yang bisa
diperolah guru sebagai respon balik dari siswa. Pertama, seluruh tutur-kata
guru akan lebih didengar oleh siswanya. Ini yang dikatakan etimologi GURU ‘digugu dan ditiru’. Kedua, siswa
akan merasa aman untuk menjadikan guru sebagai tempat mengadu dan kawan berdekat-dekat.
Ketiga, anak terdorong untuk mempersembahkan apa saja yang terbaik bagi gurunya
kelak.
Karakter Pendidik, Sebuah Revolusi
Mental
Masalah mentalitas
bangsa adalah bagian dari masalah kultural (budaya). Oleh karena itu, salah satu cara mengubahnya
harus melalui cara kultural juga, yakni melalui pendidikan. Dengan kata lain
revolusi mental harus dimulai dari dalam kelas.
Guru yang harus bercucuran
keringat untuk pekerjaan besar itu. Dan yang lebih penting lagi hanya guru yang
berkarakter yang bisa menjadi garda
depan (Avante Garde) revolusi mental itu.
Revolusi mental
menfokus pada pembangunan manusia melalui pendidikan dan guru adalah pioneer terwujudnya masyarakat terdidik.
Sejarah dunia juga telah membuktikan bahwa guru merupakan pondasi bagi
pembangunan bangsa. Rahasia keberhasilan jepang
setelah hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki adalah dengan menghormati dan
memprioritaskan guru. Pada saat itu, hal yang dilakukan Kaisar Jepang,
Hirohito, adalah mencari para guru. Dalam waktu yang relatif singkat, Jepang
menjadi Negara yang modern saat ini.
Lain
di negeri seberang, lain pula di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Di mana
langit di dipijak di situ langit dijunjung, baik-buruknya negeri ini,
bagus-baiknya negeri orang, akan lebih indah di tanah air sendiri. Apapun
penghambat kemajuan (keterpurukan) dan revolusi kebajikan atas kebijakan yang
berlaku tentu saja didasari oleh mental spiritual pengisi pembangunan bangsa
ini, baik generasi mudanya maupun tuanya, anak didiknya juga pendidiknya. Sebut
saja krisis
multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada hakikatnya bersumber dari jati diri
dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa.
Dalam konteks
pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di
Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan
kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang
pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Selain itu,
sistem pendidikan yang top-down,
dengan menempatkan guru untuk mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan
subjek didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir
lebih jauh, minimal terjadi proses seleksi secara kritis (Hamengku Buwono,
2010).
Konsep pendidikan
menurut Ki Hadjar Dewantara dengan menerapkan “Sistem Among”, “Tutwuri
Handayani” dan “Tringa”. “Sistem Among” yaitu cara pendidikan yang dipakai
dalam Tamansiswa, mengemong (anak) berarti memberi kebebasan anak bergerak
menurut kemauannya, tetapi pamong/guru akan bertindak, kalau perlu dengan
paksaan apabila keinginan anak membahayakan keselamatannya. “Tutwuri Handayani”
berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak yang
dipimpinnya, tetapi handayani, mempengaruhi dengan daya kekuatan, kalau perlu
dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan
untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri. “Tringa” yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni, mengingatkan terhadap segala ajaran, cita-cita hidup
yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan dalam pelaksanaanya.
Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari; tidak ada
artinya jika tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkan.
Untuk membentuk siswa
yang memiliki karakter yang baik, sebagai guru dan pendidik perlu memberikan
teladan dan contoh yang baik. Dunia pendidikan dewasa ini masih sering ditemui
penyimpangan perilaku dari pendidik yang tidak dapat diteladani, misalnya
tentang kasus pelecehan seksual guru terhadap anak didiknya, pemukulan guru
terhadap muridnya, dan masih ditemui ada guru yang bangga dengan predikatnya
sebagai guru killer (yang kriterianya
pun sampai hari ini masih absurd,
yang jelas tidak jelas).
Jika guru solid maka
bangsa kita akan semakin maju dan bersatu sehingga pembangunan karakter dapat
dilaksanakan secara berkelanjutan. Seorang guru bukan hanya menjalankan proses
pembelajaran semata, melainkan mampu membangun pola pikir sekaligus karakter
positif siswanya. Percuma mengajar tanpa bisa membuat siswa belajar, siswa
hanya bisa menjadi “follower”.
Oleh
sebab itu, guru dituntut memiliki kompetensi tertentu, yakni: kompetensi
profesional, pedagogis, personal, dan sosial. Dari empat aspek tersebut, aspek
yang paling mendasar untuk menjadi seorang guru yang mampu mendidik karakter
siswa, yaitu aspek kepribadian (personalitas) karena aspek inilah yang menjadi
cikal bakal lahirnya komitmen diri, dedikasi, kepedulian dan kemauan kuat untuk
terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan.
Pendidikan: Perwujudan Manusia
Berkarakter
Pembentukan
karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pendidikan merupakan
sarana yang penting dalam pembentukan karakter setiap warga dalam suatu bangsa.
Peranan pendidikan akan dapat mempengaruhi kokohnya keimanan dan secara tidak
langsung juga moralitas dan karakter bangsa. Fakta historis telah menunjukkan
bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai secara nyata dari adanya kecerdasan.
Kecerdasan dapat berfungsi setelah disentuh oleh pendidikan dan para
penyentuhnya adalah para guru di sekolah. Kecerdasan adalah aset utama untuk
melestarikan bangsa itu sendiri. Apapun yang dimiliki oleh suatu bangsa tak akan
berarti bila pengelolaannya tidak dilandasi oleh kecerdasan. Akhirnya dengan
sedikit spirit kecerdasan yang kita miliki mari sekali lagi kita mengucapkan proficiat buat bapak/ibu guru yang
adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Rasa
cinta yang amat mendalam terhadap bangsa dan negara, api patriotisme dan nasionalisme
harus dinyalakan dalam nyala bara api pendidikan. Kerelaan dan
kesadaran untuk berbuat sesuatu yang baik bagi bangsa dan tanah air berarti
kita turut mengekspresikan kecintaan pada Republik Indonesia serta menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur bangsa dan negara Indonesia sebagaimana termaktub
dalam pancasila dan UUD 1945 agar tetap berkibar di mata dunia dan sekitarnya.
Dengan demikian, Thomas Hobbes (sang filsuf) meyakinkan kita bahwa sifat-sifat
manusia seperti persaingan, malu-malu dan kemegahan selalu ada dalam watak
manusia sehingga apabila tidak diwaspadai akan terjadi “Bellum Omnium Contra
Omnes”, ‘perang semua melawan semua’ dan pada saat itu manusia akan tampil sebagai
“homo homini lupus”, ‘manusia menjadi serigala bagi sesamanya manusia’. Manusia
yang tidak memiliki daya saing akan berusaha menghancurkan manusia yang sangat
kompetitif dengan segala macam cara. Tugas dan tanggung jawab lembaga-lembaga
pendidikan adalah janganlah mereduksi misi pemanusiaan manusia hanya sebatas
penataan intelek/otak saja. Tetapi, lebih dari itu, perlu pendidikan budi
pekerti, pembentukan mental, pembinaan iman serta pendidikan watak yang sejalan
sehingga out put dari dunia
pendidikan tetap menghasilkan insan-insan pecinta kebenaran yang berkepribadian
utuh tanpa timpang di tiap lini kehidupan. Revolusi mental adalah solusi yang
terbaik untuk Indonesia dewasa ini.
Sudah sewajarnya dan
idealnya bahwa manusia Indonesia adalah bangsa yang berkarakter santun, sopan,
toleransi, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Untuk itu, tugas stakeholder pendidikan, khususnya guru
mengembalikan karakter kebangsaan tersebut ke wujud yang menjadi keaslian,
orisinalitas, identitas bangsa Indonesia. Diyakini, dengan komitmen semua pihak
disertai kesadaran seluruh warga negara, karakter ini menjadi jati diri kita.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar