A. Pendahuluan
Saat ini, kita memasuki abad
“dunia tanpa tapal batas”. Suatu peristiwa yang terjadi di satu belahan dunia
akan dengan cepat diketahui di belahan dunia lainnya. Pengaruhnya dapat
menembus langsung ke pelosok-pelosok dunia. Untuk ini kita dapat mengetahui
dari Koran, televisi, radio, telepon, internet, e-mail, dan sebagainya sebagai
imbas dari globalisasi.
Manusia merupakan warga negara
global, sebagai penduduk dunia dan pewaris dunia yang memiliki hak dan
kewajiban tertentu. Hak merupakan cornerstone
of citizenship (Steiner, 1996)[1],
merupakan inti dari kehidupan warga dunia. Kewajiban merupakan panggilan atau
tanggung jawab atau tugas kita sebagai warga dunia. Selain itu, perlu kita
sadari bahwa di dunia ini tidak hanya ada kita, akan tetapi pada orang lain
yang bermukin di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, kita harus banyak
mempelajari tentang dunia dan seisinya.
Globalisasi telah memboncengi
seluruh rakyat di belahan bumi mana pun dengan membawa berbagai dampak, baik
positif maupun negatif. Sisi positif dari globalisasi itu berada pada kemajuan
teknologi informatika dan teknologi komunikasi. Dampak negatifnya adalah jika
kita hanya menjadi objek/pengikut/peniru suatu arus globalisasi tanpa mampu ‘berbuat
dan bereaksi serta beraksi’’. Oleh karena itu, perlu banyak persiapan terutama
mental guna menghadapi era tersebut. Dalam era tersebut dibutuhkan kemampuan untuk
menjaring dan menyaring segala pengaruh yang masuk dari berbagai kebudayaan
yang lain. Salah satu persiapan konkret adalah menyiapkan sumber daya yang
mumpuni dengan cara perhatian lebih pada bidang pendidikan.
Memasuki abad XXI, dunia
pendidikan di Indonesia menjadi dinamis. Kedinamisan tersebut bukan disebabkan
oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena
kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Hal itu tentu
saja dapat mengakibatkan masyarakat Indonesia mulai sadar akan pentingnya
pendidikan yang berkualitas bagi generasi muda yang akan menjadi pemimpin masa
depan bangsa, memiliki kemampuan akademis, bahasa dan keterampilan lainnya
untuk dapat memenuhi syarat standar penerimaan untuk masuk perguruan tinggi
terkemuka, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, dengan bekal ilmu
pengetahuan, keterampilan dan karakter dalam upaya mengembangkan kader pemimpin
yang mampu membuat perubahan positif dalam komunitas akan berdampak pada masa
depan negara.
Beberapa tahun terakhir
telah muncul tren di beberapa sekolah di Indonesia yang mengklaim sekolahnya
menerapkan sistem pendidikan internasional. Dengan mengadopsi kurikulum asing
dan mendatangkan para pengajar dari negara asal kurikulum. Dengan begitu,
sekolah-sekolah tersebut dengan gagah berani berani menyebut sekolah Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(RSBI). Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum sekolah tersebut berkualitas
internasional. Lain daripada itu, standar pendidikan internasional bukan
sekedar pendidikan yang menggunakan bahasa internasional. Pendidikan
internasional bukan hanya mempromosikan penggunaan bahasa asing. Kemudian,
belum lama ini telah pula dihapus istilah SBI dan RSBI itu di tiap jenjang
pendidikan di tanah air.
B. Pendidikan Internasional
Pendidikan internasional
dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan siswa berpikir secara terbuka dan
internasional, open and international
minded. International minded adalah
kelak siswa akan menjadi manusia yang ‘berwarga negara internasional’ atau
istilahnya sebagai global citizen (Zandy, 2011)[2].
Jadi, pendidikan internasional bukan sekedar kulit belaka, namun lebih pada
esensi yang terletak di dalamnya, dalam pembelajarannya.
Dalam pendidikan
internasional, kurikulum yang diterapkan boleh-boleh saja kurikulum nasional,
tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk ber-internasional. Program yang
benar-benar program berstandar internasional dalam arti yang sesungguhnya, yakni
dalam program ini selain menerapkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai satu dari
mata pelajarannya, Bahasa Indonesia apabila diterapkan di Indonesia masih harus
dipakai. Anak didik harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal dan harus tetap
diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya.
Namun pada saat bersamaan,
program ini membuat anak didik untuk berpikir secara internasional dengan cara
mengajak mereka untuk peduli akan situasi yang ada di dunia luar – Act locally, think globally. Juga dengan
cara mengajarkan kepada anak didik adanya perbedaan di antara sesama, dan
dengan cara menerapkan profil-profil manusia yang mengarah ke dalam kehidupan
yang lebih baik. Artinya, anak didik dijejali dengan pendidikan akan hidup
dalam suasana damai di dunia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian,
diberikan makna perdamaian internasional, dan arah kehidupan yang lebih baik.
Bentuk pendidikan semacam ini bukan dalam tingkat pendidikan teori, namun harus
diterapkan secara nyata. Dalam pendidikan internasional, para pendidik harus
pandai menyelipkan nilai-nilai kemanusian ke dalam semua mata pelajaran dan
dalam semua kegiatan secara berkelanjutan. Kegiatan yang dirancang haruslah
sedemikian rupa sehingga anak didik tidak hanya belajar ilmu, namun juga belajar
nilai.
C. Sejarah Pendidikan Internasional
Pendidikan internasional
dikenal dengan sebagai usaha dalam forum internasional untuk mewujudkan harmoni
dan perdamaian dunia melalui pendidikan. Carter V. Good menyebutkan ada dua
arti dari pendidikan internasional. Arti pertama, bahwa pendidikan
internasional adalah studi tentang kekuatan-kekuatan pendidikan, sosial,
politik, dan ekonomi dalam konteks hubungan internasional dengan tekanan pada
potensi dan bentuk pendidikannya. Arti kedua, pendidikan internasional adalah
program internsional yang bertujuan untuk meninngkatkan rasa saling pengertian
antar bangsa dengan jalan tukar menukar sarana, teknik dan metode pendidikan,
pertukaran pelajar, pertukaran guru/dosen, dan lain-lain. Pada abad pertengahan
kira-kira abad-13, di Eropa sudah mulai ada beberapa tanda munculnya
renaissance. Pada saat itu seorang penasehat raja Prancis Philip IV bernama
Piere Du Bois (1250-1321)[3]
mengusulkan supaya diadakannya ‘sekolah internasional’. Sekolah ini bertugas
menanamkan rasa saling mengerti antar bangsa dan menumbuhkan kerja sama antar
bangsa dan biayanya diambilkan dari anggaran perang.
Cita-cita piere Du Bois yang
belum terealisir tersebut selanjutnya diteruskan oleh seorang pendidik yang
bernama Johan Amos Comenius (1592-1670) yang juga mempunyai gagasan untuk
mendirikan sekolah internasional yang beliau beri nama ‘Pan-Shopia”. Sekolah
tersebut menurutnya diharapkan akan mampu menyelenggarakan proses belajar
mengajar.
Dari paparan tersebut, sudah
menunjukkan ada semacam titik terang tentang upaya mewujudkan pendidikan
internasional. Adapun dengan mulai adanya usaha-usaha pencarian data yang
dilakukan dengan dua metode yang dilakukan maka oleh para ahli disepakati bahwa
dialah sebagai perintis pengembangan ilmu pendidikan komparatif.
Fannie Fern Andrews[4]
yang selanjutnya dikenal sebagai perintis pendidikan internasional, mengusulkan
kepada presiden Amerika Serikat saat itu yaitu William Taft untuk mempertemukan
para pemimpin bangsa dengan maksud meningkatkan kerjasama. Usulan Andrews ini
disetujui oleh presiden Taft, yang selanjutnya sejak tahun 1912 mulailah
dirintis terwujudnya ‘Konperensi Internasional’ di Den Hag.
Pada tahun 1914 disepakati
berdirinya ‘Internasional Bureau of Education’ yang bernaung dibawah League of Nations. Kelanjutan dari
keberadaan Internasional Bureau of
Education tersebut, pada tahun 1926 dibentuk sebuah komisi kerjasama para
kaum intelektual internasional yang disebut ‘Comission on Intelectual
Cooperation’ untuk tingkat pusat dan national commision untuk setiap negara dan
pada tahun 1922 di San Fransisco membentuk federasi asosiasi pendidikan
internasional yang bernama World Federation of Education Associations.
Dalam sejarah pendidikan
internasional dikenal sebagai usaha dalam forum internasional untuk mewujudkan
harmoni dan perdamaian internasional dengan menggunakan pendidikan sebagai
alatnya. Pendidikan internasional berujung pada terwujudnya perdamaian dunia
dengan tujuan pendidikan yang bermuatan ranah efektif.
D. Pendidikan Global
Pendidikan Perspektif Global
atau Pendidikan Global artinya pendidikan yang membekali wawasan global kepada siswa
untuk memasuki era globalisasi, mampu bertindak lokal, tapi dengan dilandasi
wawasan global. Pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan global dalam
aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi,
ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya bermanfaat bagi
pengembangan kompetensi peserta didik dan dapat dimanfaatkan untuk persaingan
global. Pendidikan Global dirasa perlu pada era kemajuan informasi komunikasi
& transportasi; dunia semakin sempit, batas negara menjadi buram, proses
universalisasi melanda berbagai aspek kehidupan.
Tujuan Pendidikan Global
(Zandy, 2011)[5]
adalah mengembangkan pengertian keberadaan mereka membentuk masyarakat; mereka
merupakan anggota masyarakat manusia; penghuni planet bumi, dan kehidupannya
tergantung pada planet bumi tersebut; partisipan atau pelaku aktif dalam
masyarakat global; mendidik siswa agar mampu hidup secara bijaksana dan
bertanggung jawab, sebagai individu, umat manusia, penghuni planet bumi, dan
sebagai anggota masyarakat global.
E. Pengembangan Pendidikan Global
Istilah pendidikan global
(global education) dikenal juga dengan perspektif global (global perspective),
pendidikan global untuk perspektif global (global education for a global
perspective) dan perspektif global dalam pendidikan (global perspektive in
education). Semua istilah tersebut memiliki kandungan isi dan metode yang sama.
Namun, di Indonesia lebih dikenal dengan perspektif global, dipahami sebagai
ilmu atau studi yang menanamkan cara pandang dan cara berpikir terhadap suatu
masalah, kejadian atau kegiatan dari sudut kepentingan global, yaitu dari sisi
kepentingan dunia atau internasional (Sumaatmadja dan Wihardit, 2007)[6].
Globalisasi adalah suatu
proses dengan kejadian, keputusan dan
kegiatan di salah satu bagian dunia menjadi satu konskuensi yang signifikan
bagi individu dan masyarakat di daerah yang jauh. Globalisasi mendorong terwujudnya
tipe masyarakat yang terbuka dalam banyak dimensi. Munculnya tipe masyarakat
tersebut merupakan konsekwensi dari perkembangan zaman yang memberikan nilai
kepada semua individu, hak dan kewajiban sehingga semua manusia mempunyai
kesempatan yang sama untuk mengembangkan pontensinya dan menyumbangkan
kemampuannya bagi kemajuan bangsa khususnya dan kemajuan umat manusia umumnya
(Sumaatmadja dan Wihardit, 2007)[7].
Kemajuan mayoritas
bangsa-bangsa di dunia umat manusia pada umunya pada abad ke-21 ini telah yang
menjadikan kita masuk pada abad ilmu pengetahuan dengan corak sebagai
masyarakat pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan terutama kemajuan
teknologi memeberikan kemungkinan dan kesempatan bagi manusia untuk bisa tetap survive meski kekayaan alam semakin
menipis atau bahkan habis. Manusia dengan kemajuan teknologi bisa menciptakan
bahan pengganti seperti energi bahan bakar gas dan minyak dapat diganti dengan
bio-energi, energi hidrogen dan lain-lain. Kemajuan teknologi juga akan
melahirkan sistem kerja baru dimana kerja rutin akan diganti oleh mesin,
tinggal kerja yang kreatif dan otentik yang dilaksanakan oleh manusia. Artinya,
manusia akan tergantung pada teknologi, jadi teknologi menguasai manusia buka
sebaliknya. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah belajar bagaimana
manusia dapat menyadari, menguasai dan mengendalikan teknologi untuk kemajuan
individu, bangsa dan negaranya serta umat manusia pada umumnya. (Zamroni,
2007). Kesadaran inilah yang penting untuk dicapai oleh semua individu dan
semua bangsa di dunia untuk mengembangkan komitmen kebersamaan dalam kebaikan,
keamanan dan kemakmuran yang ditanamkan secara terus menerus melalui aneka
sarana pendidikan.
Pemaparan
di atas menunjukkan bahwa pendidikan global memberikan dasar-dasar pemahaman
dan kesadaran berupa cara pandang dan cara berpikir terhadap suatu masalah,
kejadian atau kegiatan dari sudut pandang kepentingan global. Bahwa manusia
hidup dan kehidupan manusia di dunia ini adalah untuk kepentingan global yang
lebih luas. Isu, fenomena dan keadaan dalam masyarakat dapat dikategorikan
sebagai masalah global, bila ruang lingkup, bobot dan upaya pemecahannya berada
pada tingkat dunia. Dari sisi kepentinagan internasional, sikap dan perbuatan
manusia sebagai warga dunia dapat diarahkan untuk kepentingan global. Dalam
cara berpikir, seseorang dituntut untuk berpikir secara global walaupun dalam
bertindak secara lokal. Dalam cara berbuat, tindakan seseorang akan
mempengaruhi dunia global.
Menurut Robert Hanvey,
terdapat lima dimensi perspektif global, yaitu: (1) Perspective Conciusness, yaitu kesadaran bahwa masing-masing warga
dunia memiliki aneka perbedaan, termasuk perbedaan pandanan, oleh karen itu
diperlukan adanya penghargaan terhadap aneka pendapat yang berbeda satu sama
lain; (2) State of Planet awareness,
yaitu adanya pengertian yang mendalam terhadap aneka isu dan berbagai peristiwa
global; (3) Cross Cultural awarness,
yaitu adanya kesadaran tentang banyaknya budaya yang berbeda dan beraneka ragam
namun juga dapat memiliki kesamaan; (4) Systematic
awarness yakni, mengetahui banyak sistem yang ada dialam, maka menganal
kompleksnya sistem internaional yang terdiri dari banyak faktor negara dan
non-negara; dan (5) Option participation,
yaitu menegtahui strategi-strategi yang tepat dan ikut berpartisipasi
menghadapi isu dan masalah lokal, nasional, dan internasional.
F. Isu-isu Global dan Masalah Global dalam
Kaitannya dengan Pendidikan
Kemajuan dan pemanfaatan
IPTEK dalam bidang komunikasi transportasi, multimedia, satelit, dan lain-lain telah
memperluas cakrawala pandang manusia yang memperkaya khasanah pendidikan. Kontak
antarmanusia dan arus barang, berita dan informasi, baik secara fisik langsung
tanpa perantara maupun tidak langsung melalui Berbagai media, memperluss cara
pandang manusia mulai dari tingkat lokal, regional sampai ke tingkat global,
untuk membina perspektif global dalam diri manusia. Secara alamiah, baik
kondisi slam-fisik maupun sosial-budaya manusia di permukaan bumi, tersebar
tidak merata dan beranekaragam.
Ketidakmerataan dan
keanekaragaman SDA dan SDM ini, menjadi dasar terjadinya penjelajahan, kontak
sosial, perdagangan serta kemajuan cara pandang manusia terhadap kehidupan baik
dalam konteks keruangan maupun dalam perkembangan waktunya.
Perbedaan tingkat kemakmuran
masyarakat, negara-negara di permukaan bumi, tidak terletak pada kaya-miskinnya
SDA setempat, melainkan lebih ditentukan oleh kemampuan SDM-nya memanfaatkan
SDA yang dimiliki bagi kesejahteraan mereka masing-masing. Kenyataan yang
demikian itu menjadi landasan peningkatan kesadaran kita semua akan pentingnya
pendidikan memperbaiki kualitas kemampuan peserta didik sebagai masa yang akan
datang.
Fenomena dan masalah
kehidupan di permukaan bumi sebagai suatu kenyataan, merupakan proses yang
berkembang dalam ruang tertentu pada perjalanan dari waktu ke waktu. Kenyataan
yang demikian, merupakan perpaduan jalinan antara faktor ruang dengan faktor
waktu yang mencirikan karakter aspek
kehidupan tersebut.
Suatu fenomena dan isu dalam
kehidupan sosial di masyarakat dinyatakan sebagai masalah global, jika ruang
lingkup, bobot dan upaya pemecahannya sudah berada pada tingkat dunia yang
menembus batas-batas lokal. Pemaknaan negara maju sekaligus juga sebagai negara
industri, terletak pada kemajuan dan kemampuan mendayagunakan IPTEK dalam
mengolah SDA menjadi barang industri yang meningkatkan kesejahteraan.
Perbedaan yang hakiki antara
negara maju dengan negara berkembang, terletak pada perbedaan kualitas
kemampuan SDM-nya dalam menguasai, menerapkan dan memanfaatkan IPTEK bagi
kesejahteraan masyarakat masing-masing. Dalam meningkatkan kualitas kemampuan
SDM menguasai IPTEK tersebut, pendidikan memiliki kedudukan dan peranan yang
strategis.
Kerja sama di segala bidang
kehidupan, dan saling ketergantungan antar- masyarakat, bangsa serta negara di
dunia secara global, merupakan landasan pemecahan konflik, diskriminasi dan
masalah kehidupan lainnya untuk menciptakan perdamaian dunia bagi kepentingan
umat manusia. Arus informasi yang mendunia yang berpengaruh terhadap tatanan
hidup masyarakat termasuk masyarakat negara-bangsa Indonesia, harus diwaspadai
dengan kemampuan daya saring yang kuat untuk menghindarkan diri dari pengaruh
negatif pergeseran nilai-norma yang mengglobal.
G. Urgensi Pendidikan Indonesia Perpektif
Global: Antara Keniscayaan dan Kegalauan
Globalisasi ditandai dengan
abad serba berubah, era kompetitif, dan era informasi. Oleh karena itu,
globalisasi merupakan dampak dari kemajuan IPTEK maka untuk menguasainya juga
kita harus menguasai IPTEK. Salah satu cara untuk menguasai IPTEK ini adalah
meningkatkan pendidikan bangsa Indonesia.
Saat ini sering kita dengar
istilah alih teknologi. Ini pun tidak akan menolong banyak tanpa kita menguasai
IPTEK-nya itu sendiri. Dengan menguasai IPTEK kita dapat menjinakkan
globalisasi. Dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, kita tidak hanya
pintar mengekor, mengikuti arahnya globalisasi tanpa kendali, akan tetapi kita
harus dapat mengendalikan globalisasi sesuai dengan akar budaya bangsa kita
sendiri.
Kalau kita melihat kembali
gelombang dahsyat dari globalisasi ini, yaitu dalam bidang IPTEK, ekonomi,
lingkungan dan politik maka faktor nasionalisme, norma dan agama, serta nilai
budaya, secara bersinergi dapat menjinakkan globalisasi. Globalisasi bukan lagi
hal yang menakutkan tetapi sesuatu yang didambakan. Perluanya sikap terbuka dan
tanggap terhadap persoalan global.
Peningkatan kualitas
pendidikan bagi suatu bangsa, bagaimanapun mesti diprioritaskan. Sebab kualitas
pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja
yang bisa bertahan hidup di masa depan. Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah dengan pengelolaan
pendidikan dengan wawasan global.
Perspektif global merupakan
pandangan yang timbul dari kesadaran bahwa dalam kehidupan ini segala sesuatu
selalu berkaitan dengan isu global. Orang sudah tidak memungkinkan lagi bisa
mengisolasi diri dari pengaruh global. Manusia merupakan bagian dari pergerakan
dunia, oleh karena itu harus memperhatikan kepentingan sesama warga dunia.
Tujuan umum pengetahuan
tentang perspektif global adalah selain untuk menambah wawasan juga untuk
menghindarkan diri dari cara berpikir sempit, terkotak oleh batas-batas
subyektif, primordial (lokalitas) seperti perbedaan warna kulit, ras,
nasionalisme yang sempit, dan sebagainya.
Dengan demikian, pentingnya
(urgensi) wawasan perspektif global dalam pengelolaan pendidikan ialah suatu
keniscayaan sebagai langkah sekaligus upaya dalam peningkatan mutu pendidikan
nasional. Hal ini dikarenakan seperti yang telah dituliskan sebelumnya, dengan
wawasan perspektif global, kita dapat menghindarkan diri dari cara berpikir
sempit dan terkotak-kotak oleh batas subjektif sehingga pemikiran kita lebih
berkembang. Kita dapat melihat sistem pendidikan di negara lain yang telah maju
dan berkembang. Dapat membandingkannya dengan pendidikan di negara kita, mana
yang dapat diterapkan dan mana yang sekerdar untuk diketahui saja. Kita bisa
mencontoh sistem pendidikan yang baik di negara lain selama hal itu tidak
bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia.
Tentu kita masih ingat dulu
ketika Malaysia mengimpor guru-guru dari Indonesia untuk mendidik anak-anak
mereka. Namun kini justru Malaysia-lah yang lebih maju pendidikannya dari
negara kita. Apa yang salah?
Kalau boleh dikatakan, bahwa
mereka mau belajar dan mempelajari serta terus meningkatkan kualitas pendidikan
mereka, salah satunya dengan melihat kondisi di sekitarnya (negara lain,
Indonesia). Dengan demikian, wawasan berperspektif global sangatlah penting
dalam pengelolaan pendidikan.
Pendidikan berwawasan global
merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk menyediakan anak didik
dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan
yang bersifat kompetitif dan dengan derajat saling menggantungkan antarbangsa
yang sangat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang
berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat
global. Dengan demikian, sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana
masyarakat tersebut harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat
dunia.
Implikasi dari pendidikan
berwawasan global tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, tetapi juga
merombak sistem, struktur, dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan
dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan
global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan
yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, sistem dan struktur
pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki
fungsi ekonomis.
Kebijakan pendidikan yang
berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan
tidak semata-mata ditata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan
sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif.
Tetapi pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik
toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan
dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala
sesuatu dengan rinci.
Selain itu, pendidikan
berwawasan global bersifat sistematik organik, dengan ciri-ciri
fleksibel-adaptif dan kreatif demokratis. Bersifat sistemik-organik, artinya
bahwa sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak
bisa dilihat sebagai-hitam putih, tetapi setiap interaksi harus dilihat sebagai
satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.
Fleksibel-adaptif, artinya
bahwa pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning daripada teaching.
Anak didik dirangsang untuk memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang
harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, anak didik tidak akan dipaksa
untuk dipelajari. Sedangkan materi yang dipelajari bersifat integrated, materi
satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-sistem environment. Pada pendidikan tersebut karakteristik
individu mendapat tempat yang layak.
Kreatif demokratis, berarti
pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa
menghadirkan suatu yang baru dan orisinil. Secara paedagogis, kreativitas dan
demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada
proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki
makna.
Untuk memasuki era
globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan
global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti
menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner, dan
transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global
berarti menuntut kebijakan pendidikan tidak semata-mata sebagai kebijakan
sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan
kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, pendidikan
harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel, dan adaptif.
Sebagai seorang guru tidak
perlu kaget dan merasa asing terhadap globalisasi, akan tetapi diperlukan
kesiapan dengan menambah pengetahuan, meningkatkan kesadaran, dan memperluas
wawasan. Selain itu, juga diperlukan sikap terbuka untuk setiap pembaharuan.
Perlu kita sadari bahwa
globalisasi mempunyai dampak positif dan negatif. Positif karena kita dapat
mengambil keuntungan dengan perkembangan ilmu dan kemajuan dari negara lain,
akan tetapi akan berubah menjadi dampak negatif apabila kita tidak
mempersiapkan diri dengan berbagai bekal pengetahuan, norma dan ideologi yang
kuat. Apabila kita tidak siap kita akan tergilas, dan jauh ketinggalan bangsa
lain.
Dalam kaitannya dengan
globalisasi, ada suatu mitos, yaitu “think globally and act”. Orang harus berpikir
dan berwawasan secara global, akan tetapi tidak melupakan landasan kita yaitu
nasionalisme, agama dan norma serta nilai budaya yang ada, karena itu sebagai
identitas bangsa kita. Namun kita juga tidak perlu meninggalkan masalah lokal
karena kita hadapi dan kita rasakan secara langsung sehari-hari. Untuk
kepentingan global kita harus mulai dari masalah lokal. Inilah yang menurut
Steiner (1996)[8]
sebagai peran “global teacher” atau guru global, yaitu kita yang berwawasan
global namun bertindak dari lokal sehingga mencapai yang lebih lokal.
Pembicaraan berikutnya
menyangkut pada stakeholder bidang
pendidikan, yaitu pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pemerintah sebaiknya
meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia dengan menerapkan sistem kurikulum
bertaraf internasional di setiap sekolah negeri atau swasta. Tujuannya adalah
untuk menciptakan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal di masa depan.
Natalia Soebagjo (2012)[9]
mengatakan bahwa saat ini sistem pendidikan di Indonesia sudah baik. Pemerintah
perlu meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia agar bisa disejajarkan dengan
negara maju. Sistem pendidikan tersebut adalah sistem pendidikan international oriented.
Masalah pendidikan merupakan
masalah krusial. Dengan pendidikan yang hebat, perekonomian suatu bangsa juga
akan hebat. Kurikulum yang berbasis internasional semestinya diterapkan di
Sekolah Negeri tidak hanya sekolah swasta. Aplikasinya pun tidak hanya pada
tingkat atas atau tinggi saja, melainkan usia dini pun harus mulai diajarkan
bagaimana berbahasa inggris yang baik dan diajarkan pula bagaimana menguasai
komputer dan internet dengan standar internasional serta materi pembelajaran
juga berbasis international updated. Setiap
sekolah sudah menerapkan sistem seperti ini maka 5-10 tahun akan datang
kualitas SDM di Indonesia akan bisa bersaing dengan pasar internasional.
Apalagi, pada tahun 2015 Indonesia akan memasuki fase Asean Economic Community di mana terjadi persaingan ketat di antara
para pekerja. Jika generasi sekarang sudah diberikan bekal kurikulum
berkualitas maka SDM Indonesia tidak akan kalah bersaing dengan SDM negara
lain.
H. Landasan Kepribadian Perspektif Global
1.
Nasionalisme (Kesadaran Nasional)
Nasionalisme adalah cinta
tanah air dengan prinsip baik buruk adalah negeriku. Nasionalisme adalah cara
yang tepat digunakan untuk menyatukan beberapa perbedaan, karena nasionalisme
lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan individu. Jika
nasionalisme dapat tertanam pada setiap individu warga Indonesia, maka negara
yang bersifat pluralistis ini, artinya negara yang didalamnya terdapat banyak
keragaman dan perbedaan, akan menjadi negara yang damai tanpa ada konflik etnik
dan konflik kefanatikan terhadap daerahnya masing-masing. Nasionalisme harus
mampu menangkal perbedaan suku, adat-istiadat, ras dan agama. Namun juga tidak
lagi baik buruk adalah negaraku dan bangsaku. Yang baik harus kita ambil dan
yang buruk kita tinggalkan. Kita memiliki kesadaran nasionalisme yang cukup
kuat, misalnya kesetiakawanan sosial, ketahanan nasional, dan musyawarah
nasional.
2.
Norma dan Agama
Bangsa kita dikenal sebagai
bangsa yang agamis, patuh terhadap aturan dan norma yang ada, baik itu norma
adat, sosial, susila maupun norma lainnya. Semua agama dan norma ini memberikan
landasan kepada kita untuk dapat memilih dan memilah informasi yang dapat kita
gunakan. Norma dan agama adalah pilar utama untuk menangkal pengaruh negatif
seiring dengan gelombang globalisasi.
Hadirnya paham sekularisme
juga menambah keterbatasan agama dalam mengatur kehidupan manusia. Sekulerisme
adalah sebuah paham yang memisahkan antara urusan dunia dengan urusan agama.
Jadi, dalam urusan duniawi tidak boleh dicampur dengan agama, padahal
seharusnya kita selalu menyatukan keduanya secara seiringan sehingga tercipta
kehidupan yang selaras.
3.
Nilai Budaya Bangsa
Bangsa kita memiliki nilai
budaya yang luhur, yang dapat dijadikan pilar dan filter terhadap berbagai
pengaruh yang negatif serta sebagai pendukung bagi nilai dan pengaruh, yang
membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh
adalah “Pela Gandong” di Ambon untuk landasan kerukunan, pepatah “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari” untuk keteladanan, “rawe-rawe rantas
malang-malang putung” sebagai simbol kebersamaan, dan “silih-asah silih-asih
dan silih-asuh untuk acuan pendidikan masyarakat. Bukankah nilai budaya ini
juga akan menjadi faktor pendukung sekaligus pilar terhadap globalisasi.
Tiga hal tersebut merupakan
faktor pendukung dan sekaligus menjadi pilar terhadap pengaruh negatif yang
perlu diperkokoh dalam rangka memasuki era globalisasi.
I. Pendidikan Internasional di Indonesia
a. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1)
SMA Sampoerna Academy


SMA Sampoerna (Sampoerna
Academy), Kampus Bogor didirikan sebagai bentuk upaya Putera Sampoerna
Foundation untuk dapat memenuhi kebutuhan Indonesia akan adanya pendidikan
bertaraf internasional yang berkualitas dan dapat dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat di seluruh Indonesia.
Sampoerna Academy merupakan
jaringan sekolah bertaraf internasional berasrama setingkat SMA yang menerima
di antara 5-10% teratas siswa berprestasi dan berkarakter dari SMP, khususnya
yang berasal dari keluarga prasejahtera, dan memiliki kualitas kepemimpinan di
dalam dirinya. Sekolah berasrama yang menerapkan pendidikan holistik abad 21
(21st Century Learning) dan mengimplementasikan kurikulum standar Pendidikan
Nasional dan Kurikulum Internasional (Cambridge IGCSE and Cambridge
International A/AS level) dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar sehari-hari.
Kombinasi antara kurikulum
internasional dari Cambridge University (IGCSE) dan kurikulum nasional (KTSP),
didukung oleh pendidikan asrama (boarding education) merupakan salah satu
keunggulan yang ditawarkan oleh sekolah ini. Siswa akan tinggal di asrama yang
disediakan oleh sekolah, sehingga waktu yang tersedia dapat membuat siswa
mempunyai nilai-nilai toleransi dan menghormati perbedaan, jiwa sosial yang tinggi
terhadap lingkungan sekitar, tanggung jawab terhadap diri sendiri, nasionalis
dan patriotik terhadap negara, berbudi luhur, berintegritas, berjiwa
kepemimpinan yang baik, dan jujur.
Selain itu, siswa juga akan
mendapatkan pelatihan-pelatihan yang akan berguna bagi siswa setelah mereka
lulus dari sekolah ini, seperti life skills (kecakapan hidup), program
kepemimpinan, program pelayanan masyarakat, pelatihan keuangan bagi siswa, dan
lain-lain.
Cambridge IGCSE merupakan
kurikulum internasional paling terkenal yang dikhususkan untuk siswa berusia
14-16 tahun dan dipercaya oleh sekolah-sekolah di penjuru dunia. Merupakan
bagian dari tingkat pendidikan Cambridge Secondary 2. Cambridge International
A/AS merupakan kurikulum internasional yang mengacu untuk persiapan pendidikan
universitas yang sangat baik dan merupakan bagian dari tahap Cambridge
Advanced.
2)
Jakarta International School




Jakarta International School
(JIS) adalah sebuah sekolah internasional swasta di Jakarta, Indonesia. Sekolah
ini didirikan tahun 1951 untuk anak-anak ekspatriat yang tingal di Jakarta dan
merupakan sekolah dasar dan menengah internasional terbesar di Indonesia.
JIS memiliki 2.400 siswa
berusia 3 sampai 18 tahun yang berasal dari 60 negara. Sekolah ini mengikuri model
kurikulum Amerika Utara dari prasekolah sampai kelas 12. Sekolah ini
diakreditasi oleh Western Association of Schools and Colleges dan Council of
International Schools. Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat melaporkan bahwa kurikulum Jakarta International School
memiliki fokus internasional yang kuat dan menganggapnya sebagai salah satu
sekolah terbaik di luar negeri untuk mempersiapkan siswa masuk universitas di
Amerika Serikat. JIS memiliki tiga kampus, dua untuk SD di Pattimura dan Pondok
Indah dan satu kampus utama untuk SMP dan SMA di Cilandak, Jakarta Selatan.
b. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan
peserta didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan
bertaraf Internasional sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya
saing internasional.
Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional atau disingkat RSBI, adalah suatu program pendidikan yang
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional berdasarkan Undang-Undang No. 20
tahun 2003 pasal 50 ayat 3, yang menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu pendidikan pada
semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional merupakan upaya
pemerintah untuk menciptakan sekolah yang berkualitas. Peningkatan kualitas ini
diharapkan akan mengurangi jumlah siswa yang bersekolah di luar negeri.
Sekolah-sekolah RSBI
biasanya mengadakan kerjasama dengan negara-negara sahabat dan mendatangkan
tenaga pengajar asing/native dari negara-negara tetangga. Pada akhir tahun
pelajaran atau akhir masa sekolah, siswa sekolah RSBI akan diberi tes tambahan
berupa tes khusus siswa RSBI dari Direktorat Jendral Pendidikan.
Sejak awal RSBI dikritik
sebagai model pendidikan yang mengusung gagasan liberalisasi penyelenggaraan
pendidikan hingga dianggap sebagai upaya lepas tangan pemerintah terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Eksesnya, pendidikan menjadi
mahal, karena celah sekolah diberi kewenangan menghimpun dana dari masyarakat
(wali siswa).
Dengan label internasional
dan penggunaan bahasa Inggris serta adobsi kurikulum dari negara lain, maka
RSBI memiliki “dasar” untuk menghimpun sumber dana dari wali siswa. Dalam
praktiknya, RSBI diberikan keleluasaan untuk melakukan pungutan kepada wali
siswa dan mengelolanya untuk menunjang operasional pendidikan.
RSBI diplesetkan sebagai
sekolah “bertarif” internasional. Mahal belum tentu berkualitas. Murah bukan
berarti murahan dan tidak berkualitas.
Sudah telanjur RSBI dikenal
sebagai sekolah mahal, sekolah elit, dan sebagainya. Tak salah bila masyarakat
menggap itu sebagai sesuatu kebenaran. Oleh karena itu, meskipun di RSBI ada
kuota 20 persen bagi siswa yang berasal dari keluarga ekonomi kurang mampu,
masyarakat sulit mempercayainya. Apalagi berbagai pemberitaan juga mendukung
asumsi itu, di mana sering muncul praktik pungutan biaya pendidikan,
penyelewengan dana bantuan operasional sekolah (BOS), dan dana alokasi khusus
bidang pendidikan (DAK).
Putusan Mahkamah Konstitusi
No 5/PUU-X/2012 yang membatalkan status RSBI menuai banyak pujian. Putusan itu
sendiri sebenarnya mengungkap banyak pertimbangan, yang tertuang dalam 205
halaman. Bahkan ada salah satu hakim konstitusi menyatakan Disenting Opinion.
Pendapat dan pandangan berbeda dari hakim konstitusi itu sebenarnya banyak hal
yang menarik dicermati. Pendapat berbeda itu di antaranya menyangkut model
pendidikan bagi siswa berpotensi, dan bahwa kelemahan model RSBI masih bisa
diperbaiki.
SEPULUH KEGAGALAN mendasar
program SBI yang harus dievaluasi, diredefinisi, dan perlu dihentikan.
Pertama, program SBI jelas
tidak didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.
Ke-dua, SBI adalah program
yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru
(news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah
yang telah ada (existing school).
Ke-tiga, program SBI telah
salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science
dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL> 500.
Ke-empat pada SBI adalah
telah terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik.
Guru tidak mungkin disulap dalam lima hari agar bisa mengajarkan materinya
dalam bahasa Inggris. Akibatnya, banyak siswa SBI justru gagal dalam ujian
nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi bidang studinya. Hasil riset Hywel Coleman dari University of
Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaana bahasa Inggris dalam proses
belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia siswa.
Ke-lima dari SBI adalah
penggunaan bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan label SBI,
materi pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di seluruh
dunia seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya,
tetapi siswanya tetap berkualitas dunia.
Ke-enam, SBI dinilai telah
menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
Ke-tujuh menegaskan, bahwa
SBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial.
Ke-delapan, SBI telah
menyebabkan penyesatan pembelajaran. Penggunaan piranti media pendidikan
mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah
karena tanpa itu semua sebuah sekolah tidak berkelas dunia. Program ini lebih
mementingkan alat ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih ke masalah
proses ketimbang alat.
Ke-sembilan, SBI telah
menyesatkan tujuan pendidikan. Kesalahan konseptual SBI terutama pada
penekanannya terhadap segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala
hal yang nonakademik. Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa
sebagai seorang yang cerdas akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan
mendidik manusia seutuhnya, termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang
seni, budaya, dan olahraga,
Ke-sepuluh, SBI adalah
sebuah pembohongan publik. SBI telah memberikan persepsi yang keliru kepada
orang tua, siswa, dan masyarakat karena SBI dianggap sebagai sekolah yang akan
menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal,
kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan menghancurkan
kualitas sekolah yang ada.
c. Program Pendidikan Kelas Internasional (Universitas
Indonesia)[10]
Universitas Indonesia
menyelenggarakan Program Pendidikan Kelas Khusus Internasional dengan tujuan:
·
menghasilkan lulusan yang memenuhi standar
mutu Universitas Indonesia dan mitra Perguruan Tinggi di luar negeri;
·
meningkatkan sumber daya secara lebih efektif
dan efisien temasuk pemanfaatan penelitian;
·
melancarkan alih ilmu pengetahuan, teknologi
dan informasi dua arah.
·
mendorong peningkatan mutu program studi yang
ada di Universitas Indonesia setara dengan mutumitra Perguruan Tinggi di luar
negeri.
Persyaratan Kerja sama
dengan Mitra Perguruan Tinggi di Luar Negeri
-
Persyaratan Umum
·
Tidak ada ikatan politik;
·
Mitra sejajar;
·
Tidak semata-mata mencari keuntungan;
·
Tersedianya tenaga pendukung, tenaga
pengelola dan sarana/fasilitas pendukung di Universitas Indonesia;
·
Kejelasan kegiatan program.
·
Program-program kerjasama harus selaras
dengan arah kebijakan pendidikan tinggi secara umum dan sesuai dengan rencana
strategis Universitas Indonesia;
·
Kegiatan sumber daya untuk pembiayaan;
·
Kontribusi program/kegiatan kerjasama.
·
Kerjasama dilakukan dengan asas saling
menguntungkan dan kebersamaan. Kontribusi dari masing-masing pihak termasuk
pemanfaatan sumber-daya perlu diukur dan dipantau dalam kurun waktu tertentu
serta proporsional, untuk dijadikan gambaran pencapaian sasaran kerjasama
tersebut.
-
Persyaratan Khusus
·
Negara tempat Perguruan Tinggi mitra
kerjasama berdomisili di negara-negara yang mempunyai hubungan diplomatik
dengan Republik Indonesia.
·
Perguruan Tinggi sebagai mitra kerjasama
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Perguruan Tinggi tersebut
berdomisili di negaranya; 2) Terakreditasi kelembagaannya dan program-program
studinya dinegaranya;
J. Bahasa Indonesia Penutur Asing (BIPA)
1. Hakikat BIPA
Pengajaran bahasa asing, termasuk
BIPA, sebagai kegiatan profesional telah melahirkan berbagai kerangka teoretis
yang melibatkan berbagai disiplin. Antara tahun 1940 - 1960 tampak sekali
adanya pandangan yang kokoh bahwa penerapan linguistik dan psikologi akan
menjadi landasan terbaik guna memecahkan masalah pengajaran bahasa. Selanjutnya,
lahirlah berbagai model yang melihat faktor-faktor berpengaruh dalam menelorkan
pedagogi bahasa, seperti model dari Campbell, Spolsky, Ingram, dan Mackey.[11]
Pembelajaran bahasa sering
hanya memusatkan perhatian pada tingkah linguistik saja dengan mengabaikan
tingkah non-linguistiknya. Dalam konteks ini Bloomfield (1933)[12]
menyatakan pandangannya berikut ini.
“Whoever is accustomed to distinguish between linguistic
and non-linguistic behavior, will agree with the criticism that our schools
deal too much with the former, drilling the child in speech response phases of
arithmetic, geography, or history, and neglecting to train him in behavior
toward his actual environment.”
Sistem pengajaran formal di sekolah
dalam konteks pembelajaran bahasa hanya merupakan salah satu saja dari sekian
banyak variabel terkait. Variabel lain yang patut dilihat adalah antara lain
variabel pajanan (exposure), usia si pembelajar, dan tingkat akulturasi.[13]
Pembelajaran Bahasa
Indonesia bagi penutur asing menurut Wojowasito (1977)[14]
dimaksudkan untuk memperkenalkan bahasa Indonesia kepada para penutur asing dalam
berbagai kepentingan, baik pengajaran maupun komunikasi praktis. Selain itu,
pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, sebagaimana pula bahasa
lain sebagai bahasa asing, ditujukan guna memberikan penguasaan lisan dan
tertulis kepada para pembelajar. Hal ini mengandung maksud bahwa mereka
diharapkan mampu mempergunakan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan lancar
dan sekaligus dapat mengerti bahasa yang diujarkan penutur aslinya.
Program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing)
adalah program pembelajaran bahasa Indonesia untuk orang-orang yang bahasa
ibunya bukan bahasa Indonesia dan yang berasal dari luar Indonesia. Program ini
semakin berkembang baik di dalam maupun di luar negeri dan merupakan salah satu
program Pemerintah Indonesia melalui Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
(BPPB) Kemendiknas sebagaimana yang tertuang pada PP No. 24 tahun 2009.[15]
Sampai saat ini sudah tercatat paling tidak ada 179 sentra penyelenggara BIPA
di 48 negara dan diprediksi akan terus berkembang.[16]
Salah satu negara yang memiliki perguruan tinggi bahasa
asing dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai program studi adalah di Korea
Selatan, yaitu Department of Indonesia Language, Busan University of Foreign
Studies. Jurusan Indonesia-Malaysia difokuskan pada pengembangan para pakar
yang terspesialisasi pada politik, ekonomi, sejarah, dan masyarakat
Indonesia-Malaysia. Tercapainya kesepakatan Program Dua Gelar (Dual Degree)
baru-baru ini dengan Universitas Andalas di Indonesia dan Universitas
Pendidikan Sultan Idris di Malaysia akan menyediakan sebuah kesempatan yang
besar untuk belajar ke luar negri untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan
juga dapat memperluas wawasan mereka.[17]
Tujuan belajar bahasa Indonesia di Busan University of
Foreign Studies adalah agar dapat menggunakan bahasa yang dipelajari untuk
berkomunikasi, menerima, dan menyampaikan pesan atau informasi. Komunikasi
dapat dilakukan secara lisan ataupun secara tertulis. Hal yang dapat
dikomunikasikan dalam kehidupan ini boleh dikatakan tidak ada batas, akan
tetapi kebutuhan setiap orang untuk berkomunikasi terbatas. Kalau orang belajar
bahasa kedua, tentu yang dipelajari terutama hanya bagian yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan itu. Bagi penutur asing, tujuan pengajaran bahasa Indonesia
tentu tidak sama dengan bagi siswa Indonesia karena kedudukan bahasa Indonesia
bagi siswa Indonesia dan bagi penutur asing berbeda. Sikap siswa Indonesia dan
penutur asing terhadap bahasa Indonesia juga berbeda.
Orang asing belajar bahasa
Indonesia tidak untuk menjadi linguist bahasa Indonesia tetapi untuk bisa
berkomunikasi untuk mencapai tujuan lain. Belajar bahasa Indonesia hanyalah
sebagai tujuan antara atau sebagai batu loncatan untuk mempermudah pencapaian
tujuan lain. Kegiatan BIPA yang diselenggarakan, baik di dalam maupun luar
negeri hanyalah sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan lain seperti
melakukan penelitian di Indonesia, mengembangkan usaha di Indonesia, membantu
pendidikan di Indonesia.[18]
Dengan demikian, program BIPA ini sangat potensial untuk berlanjut menjadi
kerjasama luar negeri baik untuk pemerintah, swasta, maupun perguruan tinggi.
Pengembangan kurikulum
ke-BIPA-an dapat terkait standar kompetensi, silabus, rencana pembelajaran.
kompetensi pedagogis, kompetensi profesional (akademis) atau yang terkait
dengan pemahaman lintas budaya (Cross-Cultural Understanding). Secara lebih
rinci, kegiatan pengembangan kurikulum dapat berupa analisis kebutuhan
pembelajaran BIPA, rancangan kurikulum/silabus dengan berbagai pendekatan
pengembangan bahasa asing/bahasa kedua (seperti theme-based, skill-based,
function and notion, structural-based approaches, dll.) untuk meningkatkan
berbagai ketrampilan dan aspek kebahasaan, tentang analisis kesalahan berbahasa
(lisan maupun tulis), Tatabahasa untuk BIPA (teknik pengajarannya dan
aspek-aspek yang sulit dipelajari oleh penutur asing), dan masih banyak lagi
yang bisa digali dari pengembangan kurikulum BIPA.
Draf rekomendasi Lembaga
Penyelenggara Program BIPA oleh narasumber, peserta, dan panitia Rapat
Koordinasi Lembaga Penyelenggara Program BIPA.[19]
a.
Standardisasi
Kurikulum Nasional BIPA
1)
Untuk menyusun kurikulum nasional BIPA,
Indonesia harus memiliki pola pemeringkatan sendiri. Acuan pemeringkatan yang
ada, seperti CEFR, ACTFL, dan UKBI dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dan perbandingan.
2)
Standar pemeringkatan kemahiran BIPA perlu
ditetapkan sebagai acuan bersama, baik di tingkat nasional maupun
internasional.
3)
Program BIPA harus segera memiliki kurikulum
nasional BIPA beserta perangkat dukungnya, yaitu kompetensi inti, kompetensi
dasar, indikator, materi ajar, dan evaluasi.
4)
Penyusunan kurikulum nasional BIPA perlu memperhatikan
a) landasan
hukum dan landasan filosofis pembelajaran BIPA;
b) keragaman
tujuan pembelajaran BIPA;
c) gradasi
kompetensi pembelajaran BIPA;
d) tuntutan
dinamika perkembangan global; dan
e) kondisi
ragam institusi penyelenggara BIPA.
5)
Langkah-langkah penyusunan kurikulum nasional
BIPA adalah sebagai berikut.
a) Penggalian
kompetensi inti dan kompetensi dasar melalui kuesioner yang disertai permintaan
pelampiran kurikulum kepada lembaga penyelenggara BIPA
b) Penyelenggaraan
forum diskusi terpumpun yang melibatkan unsur: (1) Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa; (2) Lembaga penyelenggara BIPA di dalam dan luar negeri; (3)
Asosiasi Pengajar BIPA (APBIPA); (4) Praktisi dan pakar
c) Pembentukan
tim inti penyusun kurikulum BIPA
d) Penyiapan
dan penyusunan draf kurikulum nasional BIPA
e) Peninjauan
draf dan perbaikan
f) Pemantapan
dan penilaian
g) Pengesahan
6)
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
berperan sebagai fasilitator dan koordinator dalam penyusunan dan penetapan uji
kemahiran BIPA (UKBIPA).
7)
Penyusunan UKBIPA perlu dilakukan oleh tim
UKBIPA.
b.
Standardisasi
Materi Ajar BIPA
1)
Untuk kepentingan penginternasionalan bahasa
Indonesia, diperlukan standardisasi materi ajar BIPA.
2)
Penyusunan materi ajar dilakukan dengan
mengacu pada pemeringkatan kemahiran BIPA.
3)
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
berperan sebagai fasilitator dan koordinator dalam penetapan standar minimal
materi ajar BIPA.
4)
Sinergi antarpemangku kepentingan
penyelenggara BIPA harus ditingkatkan untuk mengimplementasikan standar
pemeringkatan dan materi ajar BIPA.
5)
Materi pengayaan BIPA diperlukan dalam bentuk
cetak dan/atau audio visual. Materi tersebut dapat diakses, antara lain,
melalui laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
6)
Materi pengayaan yang bermuatan lokal
merupakan hasil sinergi antara lembaga penyelenggara BIPA yang ada di daerah
dan unit pelaksana teknis (UPT) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
7)
Untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana yang
dimaksud pada butir 1 sampai dengan butir 6, perlu dibentuk tim yang terdiri
atas berbagai unsur pemangku kepentingan BIPA.
c.
Standardisasi
Kompetensi Pengajar BIPA
1)
Pengajar BIPA memenuhi standar kompetensi
sebagai berikut.
a) Memiliki
kompetensi kebahasaan dan berbahasa Indonesia
b) Mampu
menyusun rencana pembelajaran
c) Mampu
melaksanakan pembelajaran
d) Mampu
melaksanakan evaluasi pembelajaran
e) Memiliki
kepekaan sosial dan budaya
f) Memiliki
wawasan ke-Indonesia-an
2)
Untuk mendapatkan pengakuan sebagaimana yang
dimaksud pada butir 1, diperlukan prosedur operasional standar yang disusun
oleh tim khusus.
d.
Bahan
Kebijakan Pengembangan dan Penguatan Program BIPA
1)
Dalam pengembangan dan penguatan program BIPA
diperlukan aturan formal pemerintah yang sekurang-kurangnya disahkan oleh
Menteri Pendikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Perguruan tinggi di
Indonesia, melalui Jurusan Bahasa Indonesia atau jurusan lain yang terkait,
perlu menambahkan dan/atau mengembangkan materi atau mata kuliah BIPA dalam
program perkuliahannya
Busan University of Foreign Studies
(BUFL) memiliki motto “Faith (신의), Truth (진실), Creativity (창의)” yang jika diartikan secara bebas Iman, Kebenaran, Kreativitas.
Universitas Pusan untuk Kajian Asing berkomitmen untuk medidik para ahli dengan
kepemimpinan sehingga mereka dapat berkontribusi kepada kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa mereka dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Universitas tidak hanya memfokuskan pendidikan pada sifat-sifat kepemimpinan
dan kreativitas saja, tetapi juga pada kajian-kajian praktis terhadap bahasa
dan budaya.
Universitas Pusan untuk
Kajian Asing pertama kali didirikan oleh almarhum Dr. Tae-sung Chung sebagai
suatu himbauan untuk menciptakan para ahli yang dibutuhkan untuk berkontribusi
pada masyarakat internasional dan mempromosikan kegiatan-kegiatan Bangsa Korea
Selatan.
Universitas-univeritas masa
depan seharusnya dilengkapi dengan sebuah sistem pendidikan untuk menghasilkan
orang-orang yang mampu dengan keahlian berbahasa asing yang baik, pengetahuan
yang cemerlang pada bidang kajiannya, terampil dalam perdagangan internasional
dan kemampuan mengolah informasi sehingga mereka dapat berkompetisi di dalam
masyarakat international.
PUFS ditujukan untuk menciptakan para
pemimpin global yang dapat membawa kepemimpinannya untuk mempercepat globalisasi
Korea di dalam masyarakat informasi di abad ke-21. Untuk mencapai tujuan
tersebut, PUFS membantu para mahasiswanya untuk memilki integritas yang
berdasarkan pada cinta dan kedermawanan.
Jurusan Indonesia-Malaysia
difokuskan pada pengembangan para pakar yang terspesialisasi pada politik,
ekonomi, sejarah, dan masyarakat Indonesia-Malaysia. Tercapainya kesepakatan
Program Dua Gelar (Dual Degree) baru-baru ini dengan Universitas Andalas di
Indonesia dan Universitas Pendidikan Sultan Idris di Malaysia akan menyediakan
sebuah kesempatan yang besar untuk belajar ke luar negri untuk meningkatkan
keterampilan berbahasa dan juga dapat memperluas wawasan mereka.
Daftar
Pustaka
Stainer,
The Global Teacher: Theory and practice in Global Education, (Trentham Books, 1996), h. 20
Edo
Ihzandy, Pengertian dan Tujuan Pendidikan Global, zandy19.wordpress.com,
December 5, 2011
Arjun
Fatah Amitha, Kaitan Antara Pendidikan Internasional, Global, Dan Komparatif,
https://projekku.wordpress.com/2012/11/12/, Desember 2012
Wihardit,
Kuswaya dan Sumaatmadja, Nursid, Perspektif Global, (Jakarta : Universitas
Terbuka, 2007).
ADI/AIS,
Pendidikan Internasional Berperan Tingkatkan Kualitas Bangsa,
http://news.liputan6.com, artikel, 15 Februari, 2012
Keputusan
Rektor Universitas Indonesia Nomor: 547/SK/R/UI/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaran Program Pendidikan Kelas Khusus Internasional di Universitas
Indonesia
Fuad
Adbul Hamied, “Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan
Realita”, Artikel, Buletin Pengajaran BIPA, Volume I/2001.
Krashen,
S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon
Press, hlm. 330.
Wojowasito,
1977, “Pengajaran Bahasa Kedua (Bahasa Asing, Bukan Bahasa Ibu)”, Bandung: Shinta Dharma, hlm. 1-2)
Peraturan
Pemerintah No. 24 tahun 2009
Sujana,
I Made. Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA): Peluang, Tantangan
dan Solusi. Makalah disampaikan pada “Seminar Internasional “Menimang Bahasa
Membangun Bangsa” FKIP Universitas Mataram, Lombok, NTB, 5-6 September 2012.
The
Department of Indonesia Language, College Of Oriental Studies, Busan University
of Foreign Studies, http://www.bufs.ac.kr/,2014
Widodo,
dkk. Rekomendasi Rapat Koordinasi Lembaga Penyelenggara Program Bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), Badan Bahasa Kemendikbud: Jakarta, 11
Desember 2013, hlm. 1-3
www.bufs.ac.kr,
diunduh pada 29 Desember 2014
[1] Stainer, The Global Teacher: Theory
and practice in Global Education,
(Trentham Books, 1996), h. 20
[2] Edo
Ihzandy, Pengertian dan Tujuan Pendidikan Global, zandy19.wordpress.com,
December 5, 2011
[3] Arjun
Fatah Amitha, Kaitan Antara Pendidikan Internasional, Global, Dan Komparatif,
https://projekku.wordpress.com/2012/11/12/, Desember 2012
[4] Ibid.
[5] Edo
Ihzandy, 2011, Loc. Cit.
[6]
Wihardit, Kuswaya dan Sumaatmadja, Nursid, Perspektif Global, (Jakarta :
Universitas Terbuka, 2007).
[7] Ibid.
[8] M.
Steiner, ed., 1996, Loc. Cit.
[9] ADI/AIS,
Pendidikan Internasional Berperan Tingkatkan Kualitas Bangsa,
http://news.liputan6.com, artikel, 15 Februari, 2012
[10] Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor:
547/SK/R/UI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaran Program Pendidikan Kelas Khusus
Internasional di Universitas Indonesia
[11] Fuad Adbul Hamied, “Pembelajaran
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan Realita”, Artikel, Buletin Pengajaran
Bipa, Volume I/3 April 2001, 2001.
[12] Ibid.
[13] Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language
Acquisition. Pergamon Press, hlm. 330.
[14] Wojowasito, 1977, “Pengajaran Bahasa
Kedua (Bahasa Asing, Bukan Bahasa Ibu)”,
Bandung: Shinta Dharma, hlm. 1-2)
[15] Peraturan Pemerintah No. 24 tahun
2009
[16]
Sujana, I Made. Program Bahasa Indonesia
untuk Penutur Asing (BIPA): Peluang, Tantangan dan Solusi. Makalah
disampaikan pada “Seminar Internasional “Menimang Bahasa Membangun Bangsa” FKIP
Universitas Mataram, Lombok, NTB, 5-6 September 2012.
[17] The
Department of Indonesia Language, College Of Oriental Studies, Busan University
of Foreign Studies,
http://www.bufs.ac.kr/,2014
[18]Sujana, . 2012. Loc. Cit.
[19] Widodo, dkk. Rekomendasi Rapat
Koordinasi Lembaga Penyelenggara Program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
(BIPA), Badan Bahasa Kemendikbud: Jakarta, 11 Desember 2013, hlm. 1-3
[20] Disarikan secara bebas dari laman
www.bufs.ac.kr, diunduh pada 29 Desember 2014.
informasinya menarik sekali untuk dibaca
BalasHapusElever
If you're trying to lose fat then you have to get on this brand new personalized keto meal plan diet.
BalasHapusTo create this service, certified nutritionists, fitness couches, and top chefs have joined together to develop keto meal plans that are powerful, convenient, money-efficient, and delightful.
From their grand opening in early 2019, 1000's of people have already transformed their figure and health with the benefits a smart keto meal plan diet can give.
Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover eight scientifically-confirmed ones offered by the keto meal plan diet.