Pendidikan di Indonesia
telah terjebak dalam suatu sistem kapitalisme pendidikan, yaitu pendidikan
dijadikan sebagai bisnis bagi para pemegang modal. Mereka membangun dan
memberikan jasa pendidikan dengan kekuatan modal mereka untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga muncul sistem permonopolian dalam
pendidikan saat ini yang mengakibatkan pendidikan hanya dapat diakses oleh
orang kaya sedangkan bagi orang yang kurang mampu menjadi berat dan susah. Manusia
yang kaya, efisien, egois, ahli negosiasi, jaringan kuat, dan akses luas adalah
karakteristik yang berideologi kapitalisme ini. Hukum yang berlaku adalah
“hukum rimba” dalam arti yang berkuasa dan survive adalah orang yang memiliki
kekuatan dan kekayaan yang sangat besar.
Seiring dengan perkembangan
zaman dari tahun ke tahun, biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal. Tentu
saja pendidikan mahal bukanlah suatu hal yang diinginkan oleh kebanyakan orang
terutama di kalang masyarakat kelas bawah. Bagi kalangan masyarakat kelas atas,
tingginya biaya pendidikan tidak menjadi suatu masalah baginya karena menurut
mereka pendidikan merupakan simbol yang memiliki makna tersendiri yang dapat
menggambarkan status sosial ekonominya.
Biaya pendidikan yang
semakin mahal adalah suatu bentuk penindasan khususnya penindasan bagi kalangan
masyarakat kelas bawah, lembaga pendidikan saat ini sudah tidak lagi menjadi
media pembelajaran dalam mentransformasi nilai dan instrumen memanusiakan
manusia (humanisasi), melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola
pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak-banyaknya. Nyarisnya hampir
semua jenjang pendidikan di Indonesia baik itu jenjang SD, SMP, SMA, dan
Universitas banyak yang menjadi lahan kapitalis, dimana hanya sebagian besar
masyarakat kalangan atas yang mampu menempuhnya.
Kapitalisme
dan Privatisasi Pendidikan
Di era suburnya nasionalisme
global ini, pemikiran kapitalistik mewarnai setiap sendi kehidupan masyarakat
modern. Sebut saja kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan budaya;
keseluruhannya ‘berorientasi’ pada gagasan kapitalisme. Manusia yang dihasilkan
oleh ideologi kapitalisme adalah manusia yang dalam pikiran dan perhatian
selalu dikerubungi oleh pencarian strategi untuk menghasilkan keuntungan diri
sendiri yang sebesar-besarnya. Motto yang dikembangkan adalah pengeluaran atau
modal (kapital) yang sangat sedikit, tapi harus mendapatkan keuntungan dan
pendapatan yang luar biasa besarnya.
Di bawah bendera kapitalisme,
keputusan yang menyangkut produksi dibuat oleh kaum bisnis swasta dan diarahkan
demi keuntungan pribadi. Ideologi kapitalisme adalah ideologi pendidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai kapital dan permodalan.
Pada hakikatnya, pembicaraan
tentang kapitalisme dan pendidikan tidak terlepas dari pembicaraan mengenai
kehidupan masyarakat yang terkena dampak globalisasi. Maka dari itu, muncul
istilah kapitalisme yang berdampak pada pendidikan. Pembahasan perkembangan
kapitalime dan pengaruhnya di seluruh aspek kehidupan manusia termasuk
pendidikan bisa tidak bisa dilepaskan dari pembahasan globalisasi itu sendiri.
Pendidikan sebagai salah
satu sistem sosial juga mengalami dampak yang sama. Konsekuensi yang harus
dibayar oleh lembaga pendidikan adalah perubahan logika pendidikan, yakni
lembaga pendidikan berupa sekolah dan perguruan tinggi yang semula merupakan
pelayanan publik (public servant) dengan memposisikan siswa dan mahasiswa
sebagai warga Negara (citizein) yang berhak mendapat pendidikan yang layak.
Privatisasi yang pada
mulanya merupakan kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi dan pasar, juga
merambah dunia pendidikan. Dengan adanya privatisasi dalam bidang pendidikan,
terjadi komersialisme pendidikan. Privatisasi pendidikan membuat pemilik modal
yang berorientasi pada laba, mengusahakan agar bidang usahanya mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Untuk mendapat keuntungan tersebut, para kapitalis
berlomba-lomba meningkatkan harga agar bidang usaha yang mereka miliki terkesan
berkualitas, meskipun pada kenyataannya belum tentu seperti itu. Kaum kapitalis
yang memprivatisasi pendidikan itu berusaha membuat orang tertarik pada
‘barang’ yang mereka jual dan ketika mereka sudah berhasil menarik hati
masyarakat, mereka bermain-main dengan harga dan dana.
Seperti politik pada
umumnya, kepentingan yang selalau berkuasa. Mereka bebas menentukan harga dan
peraturan lain bagi bidang usaha yang mereka miliki, selama mereka masih
mendapatkan keuntungan.
Implikasi pendidikan sebagai
bentuk privatisasi memiliki tujuan pendidikan yang dimakanai proses pembentukan
manusia siap pakai untuk mengisi ruang-ruang usaha publik. Selain itu, siswa dianggap
sebagai konsumen, pembeli produk pendidikan sebagai syarat masuk memasuki dunia kerja. Sama seperti
halnya sebuah perusahaan, fungsi pendidik atau guru dianggap sebagai pekerja. Pengelola
pendidikan dianggap sebagai direktur suatu bisnis, yaitu lembaga pendidikan. Selanjutnya,
lembaga/yayasan pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi dianggap
sebagai lahan usaha, perusahaan, dan sejenisnya. Pada akhirnya, biaya
pendidikan dianggap sebagai Income
dan sumber pendapatan dan kurikulum sebuah lembaga pendidikan hanya dianggap sebagai
‘pesanan’ bagi para pemilik modal.
Dengan terciptanya sektor
bisnis dalam dunia pendidikan, lambat laun pendidikan diarahkan oleh para kaum
kapitalis sesuai dengan keinginannya. Pendidikan, baik formal maupun non formal
merupakan hal yang mulia, seharusnya semua orang bisa merasakan pendidikan
setinggi-tingginya dan tidak menjadiakan biaya yang mahal sebagai masalah.
Generasi penerus bangsa dengan tegas harus menolak kapitailsme dalam bentuk
apapun, termasuk privatisasi pendidikan yang menjadi penjajahan modern dan
melunturkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Dampak
Kapitalisme Pendidikan
Ada beberapa dampak yang
ditimbulkan akibat terjadinya kapitalisme pendidikan dan tentu saja kebanyakan
dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif. Pertama, hilangnya peran negara dalam pendidikan, akan berdampak
semakin banyaknya kemiskinan yang ada di negeri ini. Hal ini terjadi
dikarenakan banyak anak yang gagal dalam mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Kedua, masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Hal ini terjadi
karena pendidikan yang berkualitas hanya bisa dinikmati oleh sekelompok
masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Untuk masyarakat dengan pendapatan
menengah ke bawah kurang bisa mengakses pendidikan tersebut. Ketiga, Indonesia juga akan tetap berada
dalam kapitalisme global. Kapitalisme tidak hanya berlaku pada sistem
perekonomian, namun dalam sistem pendidikan terpengaruh oleh kapitalisme. Keempat, dalam sistem kapitalis, negara
hanya sebagi regulator/ fasilitator. Pada sistem kapitalis ini, peran negara
hanya sebagai regulator/ fasilitator dan yang berperan aktif dalam sistem
pendidikan adalah pihak swasta sehingga muncul otonomi sekolah yang intinya
semakin membuat negara tidak ikut campur tangan terhadap pendidikan. Hal
tersebut berakibat bahwa sekolah harus
kreatif dalam mencari dana jika ingin tetap bertahan dengan cara membuka bisnis
hingga menaikkan biaya pendidikan sehingga pendidikan benar-benar dikomersilkan
dan sulit dijangkau masyarakat kurang mampu. Kelima, pendidikan hanya bisa diakses golongan menengah ke atas. Biaya
pendidikan yang semakin mahal mengakibatkan pendidikan hanya diperuntukan bagi
masyarakat yang mampu dan semakin mewacana istilah “Orang miskin dilarang
sekolah.” Keenam, praktik KKN semakin
merajalela. Biaya pendidikan yang semakin mahal membuat para orangtua yang
memiliki penghasilan tinggi akan berusaha memasukkan anaknya dengan segala cara
untuk bisa masuk ke sekolah yang diinginkannya. Cara itu dilakukan dengan memberikan
sumbangan yang bernilai sangat besar meskipun kecerdasannya kurang. Ketujuh, kapitalisme pendidikan
bertentangan dengan tradisi manusia. Sistem kapitalis ini bertentangan dalam
hal visi pendidikan yang seharusnya eksistensi manusia untuk menciptakan
keadilan sosial, wahana untuk memanusiakan manusia serta wahana untuk
pembebasan manusia, diganti oleh visi yang mengakuisisi pendidikan sebagai
komoditi yang layak jual.
Selain itu, Barton (2001) mengemukakan
tiga dampak kapitalisme terhadap pendidikan, yaitu: 1) Hubungan antara
kapitalisme dan pendidikan urban telah menyebabkan praktek-praktek sekolah yang
lebih mendukung kontrol ekonomi oleh kelas-kelas elit; 2) Hubungan antara
kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan
yang hanya bertujuan mendapatkan profit material dibanding untuk menciptakan
kehidupan global yang lebih baik; dan 3) Perkawinan antara kapitalisme dan
pendidikan dan kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi
ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nalai korporasi dengan mengorbankan
nilai-nilai keadilan sosial dan martabat kemanusiaan.
Tidak ada dampak positif
yang ditimbulkan akibat adanya sistem kapitalisme pendidikan ini. Semua dampak
tersebut bermula karena adanya privatisasi, yaitu penyerahan tanggung jawab
pendidikan ke pihak swasta. Lembaga pendidikan dikelola oleh pihak swasta dan
tentunya pemerintah sudah tidak ikut campur tangan dalam pengelolaan sistem
pendidikan. Peran pemerintah hanya sebagai regulator/fasilitator dan kebijakan
sepenuhnya diserahkan ke pihak swasta.
Dampak dari penerapan
kapitalisme dalam sistem pendidikan di Indonesia menyebabkan pemerataan pendidikan
karena masih banyak warga yang belum bisa mengakses dan mendapatkan pendidikan.
Orientasi
Pendidikan yang Memanusiakan
Jika setiap warga negara,
pemerintah, dan stakeholder
pendidikan serius untuk mentransformasikan pendidikan Nasional menuju ke
pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan manusia yang terlibat dalam
pendidikan itu.
Perubahan paradigma dan
pendekatan pendidikan. Perubahan paradigma dan pendekatan, dari paradigma
pendidikan “kompetitif” berpendekatan “sumber daya manusia” diganti dengan
paradigma pendidikan “keadilan sosial “ berpendekatan “pemberdayaan manusia”. Pendidikan
bukan sekadar sistem persekolahan, tetapi juga pendidikan yang terbuka bagi masyarakat
luas. Pendidikan amat diperlukan dalam melanjutkan dan mengembangkan transformasi
cara bernalar dan bertindak bangsa Indonesia.
Ketimpangan ekonomi sosial
kependidikan Indonesia dan implikasi beratnya tanggungan rumah tangga pelaku
dan peserta didik harus menjadi perhatian dan mempengaruhi kebijakan dan praktik
kependidikan nasional, regional sampai tingkat desa dan dusun terpencil.
Pendekatan bottom-up yang demokratis harus diterjemahkan dengan mendayakan dan
mengisi sekolah-sekolah dasar khususnya yang di desa-desa atau pelosok kampung
dengan sistem pembelajaran yang adil, terbuka dan menguatkan watak dan
ketrampilan peserta didik. Selain itu juga didisi sebagian besar dengan pembelajaran dan pelatihan yang
bermanfaat untuk tidak hanya berprodulsi tetapi juga untuk hidup. Hidup ditandai
dengan kesadaran akan eksistensi diri dan control atas apa yang diucapkan dan
dikerjakan sehingga menuju ke semakin membuat membuat manusia beradab.
Saran ketiga bahwa sekolah
kita yang mempunyai jumah siswa dari TK sampai SMTA per tahun rata-rata 37 juta
adalah pasar besar untuk perusahaan-perusahaan awasta (penerbit buku pelajaran,
alat-alat tulis, kain seragam, biro wisata dlsb) adalah benar adanya. Guru dan
lembaga sekolah juga ikut berbisnis, dengan menjadi rekanan perusahaan, tetapi
juga dengan membisniskan kursi pendidikan melalui dana sumbangn pembangunan
lenngkap dengan tawar-menawarnya serta
dengan jual beli nilai oleh sementara oknum guru, melalui les maupun langsung
di atas kertas garapan. Kalau kesejahteraan guru betul-betul ditingkatkan ke layak
dan anggaran pendidikan pemerintah meningkat drastis, maka secara otomatis
pembisnisan kependidikan dapat amat dikurangi dalam waktu singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar