KARAKTER PENDIDIK DALAM FIKSI INDONESIA MODERN

 GURU, akar kata dari digugu dan ditiru yang berarti ‘dipercaya’ dan ‘diteladani’. Sebuah istilah otak-atik gathuk dalam falsafah hidup Jawa yang menyatakan bahwa seorang guru adalah tokoh panutan, baik di sekolah mapun di luar sekolah. Berpijak dari hal itu, guru hendaknya menyadari bahwa ada kebiasaan siswa untuk mencontoh gurunya. Sebuah pepatah berbunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Artinya, siswa akan menelan bulat-bulat dan mencontoh segala hal yang dilakukan oleh gurunya. Sudah sepatutnya guru memberikan contoh yang baik dalam setiap perilaku dan perkataan. Guru sebagai seseorang yang digugu dan ditiru dituntut untuk memiliki kompetensi lebih dibanding yang lain dan memiliki seperangkat aturan moral dan norma yang tidak boleh dilanggar.
Guru dapatlah menjadi cahaya dalam kegelapan, memberikan penerangan bagi setiap orang; seperti tersyair dalam Hymne Guru atau Terpujilah Guruku, (Engkau laksana pelita dalam kegelapan // Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan...// Begitulah seorang guru idealnya, yang berkesan, yang mampu mengukir di atas batu dan menjadi prasasti jiwa bagi anak didiknya. Tentu saja, lirik lagu tersebut kognate dengan perihal filsafat Jawa “Urip iku Urup” (Hidup itu Nyala, Hidup hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat). Pun guru, harus mampu memberikan manfaat bagi siswanya dan bermanfaat pula di kehidupan bermasyarakat, membagi ilmu, membagi nilai. Sesuai dengan apa yang diajarkan dalam agama Islam, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).
Dalam menyampaikan secara makna, Ilmu harus disampaikan (dalam hal ini oleh guru) dengan pemahaman yang benar, disertai penguasaan yang baik sehingga bebas dari segala kerancuan, kesalahpahaman, kekeliruan terhadapnya. Tidak lupa dan yang tidak kalah pentingnya, (guru pun) mengetahui maslahat dan mudharat dari penyampaian ilmu ini.  
Guru hendaknya dapat mencontoh sosok Nabi Muhammad SAW seperti penjelasan di atas. Beliau merupakan figur yang paling sukses dalam mendidik manusia untuk keluar dari masa kegelapan dan memasuki peradaban yang gilang-gemilang. Kecintaan Rosulullah SAW kepada umatnya dan kelemahlembutan beliau dalam menyampaikan suatu ilmu menjadikan ia pendidik yang selalu dicintai.
Istilah guru yang lain, seperti halnya dalam dunia pewayangan, dikenal nama tokoh Guru Drona (Durna). Guru bagi keturunan Kuru/Bharata. Guru bagi para pangeran dam putra mahkota. Guru yang mencetak para satria dan perwira; Pandawa dan Kurawa. Drona yang masih dendam terhadap Raja Draupada meminta Pandawa dan Kurawa untuk menyerang Kerajaan Pancala sebagai suatu ujian akan ilmu perang yang telah mereka dapat dan bukti bakti murid kepada gurunya serta dilakukan tanpa sanggahan atau pertanyaan. Kekuatan kata-kata seorang guru yang maha dahsyat atau menerapkan dan atau ‘memberi contoh’.
Sama dengan Durna, Kresna juga lihai dalam menggunakan kata-kata dalam pengajaran yang mendalam. Segala Ilmu yang diberikan Kresna selalu didasari oleh filsafat-filsafat hidup. Hal itu menunjukkan kehati-hatiannya dalam mendidik karena baginya, pendidikan merupakan dasar dari karakter seseorang untuk hari depannya.
Durna mengajarkan para muridnya bagaimana memanah sebuah sasaran dengan baik dan tepat. Kresna mendidik Pandawa untuk memanah sasaran dengan memahami makna mengapa sasaran  tersebut harus dipanah. Ada perbedaan yang mendasar dalam memaknai sesuatu yang akan diputuskan. Pelajaran yang berbuah hal yang bertolak belakang. Pembelajaran Kresna dan Durna begitu berbeda. Durna mengajar dengan melibatkan motif pribadi menghasilkan  murid yang ingin menang sendiri. Sementara Kresna, melandaskan pengajarannya tanggung jawab sang murid untuk selalu berbuat kebaikan dari semua ilmu yang diajarkan. Dari situ dapat kita petik hikmahnya bahwa proses “mendidik” seorang guru memiliki pengaruh besar bagi kehidupan anak didik di kemudian hari, mau jadi apa mereka nanti?
Sedikit berbeda versi dalam filosofi pewayangan (Jawa), masih pada pembahasan ‘guru’, dikenal tokoh “Bathara Guru” atau bisa disebut juga “Sang Hyang Girinata”. Level tertinggi bagi para dewa di Kahyangan Jonggringsaloka yang merupakan sinonim dari Dewa Syiwa (versi Hindu). Mengapa diberi istilah “Guru”? Adalah “Sang Hyang Girinata”, akar kata ‘giri’ dan ‘nata’ (nata = mengatur, raja), sedangkan kata ‘giri’ diambil dari nama tokoh Walisongo, yaitu Sunan Giri. Beliau adalah pengatur dan pemimpin para wali di tanah Jawa; tentu saja menjadi guru bagi seluruh pengikut dan pemeluk Islam pada masa itu. Khalifah di Bumi Jawa pada awal perkembangan Islam di Nusantara yang terkenal “Waskita dan Wicaksana”. Guru dari segala jenis ilmu, guru agama, guru kebajikan-kebijakan, guru politik dan pemerintahan tentu saja. Peran wali menjadi sangat vital dalam pemberi nasihat dan penentu kebijakan bagi kerajaan Islam, sebut saja Demak dan Pajang lalu setelahnya adalah Mataram Islam.
Penggunaan istilah ‘guru’ menjadi lebih sempit ruang lingkupnya dewasa ini. Sebelumnya, istilah ‘guru’ mempunyai versi yang beragam; guru mengaji disebut guru, guru silat, dan sebagainya. Pada perkembangannya, istilah guru hanya merujuk pada orang yang mengajar di sekolah, itu pun di sekolah formal pada jenjang dasar dan menengah. Di luar kategori tersebut, beda lagi sebutannya, ada Bunda (PAUD) dan Dosen (Dikti).
Dalam pandangan tradisional, guru adalah orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Guru adalah seorang yang mempunyai gagasan yang harus diwujudkan untuk kepentingan anak didik sehingga menunjang hubungan sebaik-baiknya dengan anak didik, sehingga menjunjung tinggi, mengembangkan dan menerapkan keutamaan yang menyangkut agama, kebudayaan, keilmuan.[1]
Dari uraian tersebut, dapat ditangkap bahwa tujuan pembentukan undang-undang tentang guru dan dosen adalah agar orang-orang yang menjadi guru dan dosen di Indonesia adalah insan-insan berkarakter unggul yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, dan bukannya manusia pragmatis, yang mudah terseret pada arus hedonisme, konsumerisme, dan sebagainya.
Profesi guru seharusnya diisi oleh manusia-manusia berkarakter untuk bisa mewujudkan pendidikan berkarakter. guru adalah aktor utama dalam pendidikan di sekolah dan citra guru dibawa siswa dalam kehidupannya dalam keluarga juga masyarakat. Gurulah yang akan mendidik para calon pemimpin bangsa, penerus kelangsungan suatu bangsa. Apabila guru tidak memberikan karakter unggul di hadapan siswanya, tidak mengajarkan nilai-nilai luhur, nilai-nilai kibujakan dan kebajikan, baik dalam ucapan, sikap, perbuatan maupun keteladanan atas pilihan gaya hidupnya kepada siswa.  Tentu tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada suatu bangsa di masa yang akan datang.
Konsep pendidikan yang mulia (berkarakter), baik guru yang berkarakter maupun siswa yang berkarakter disampaikan oleh Thomas Lickona (1991)[2] bahwa karakter merupakan “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way. Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior.”  Karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Di Indonesia, pendidikan karakter, moral dan budaya sebenarnya sudah dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara[3] dengan tri pusat pendidikan yang dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial. Lingkungan sekolah (guru) saat ini memiliki peran sangat besar pembentukan karakter anak/siswa. Peran guru dalam dunia pendidikan modern sekarang ini semakin kompleks, tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya bagi siswanya. Guru haruslah menjadi teladan, seorang model sekaligus mentor dari anak/siswa di dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati, dan olah rasa. Konsep guru berkarakter bersifat subjektif, tetapi  dapat dikaji  lebih dalam. Para ahli pendidikan mencoba membuat rumusan yang dianggap paling sempurna mengenai konsep guru berkarakter yang ideal sehingga dapatlah kita temukan profil seorang tipikal guru yang diharapkan.
Hal utama dan pertama yang harus dimiliki seorang guru, adalah kualifikasi pendidikan/keilmuannya. Wawasan seorang guru haruslah luas, dapat memberikan pengajaran yang membuat siswa menjadi tahu dari sebelumnya yang tidak tahu. Guru juga harus mampu membangkitkan minat siswa untuk menggali sendiri secara lebih dalam pelajaran yang diterimanya (inquiry dan discovery). Semua itu bisa diwujudkan jika guru mampu menerapkan metode belajar aktif dan bukan hanya menyuapi peserta didik dengan berbagai materi dan teori. Singkatnya, guru harus bisa berperan sebagai motivator, mediator, dan fasilitator pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari, membangun, dan menerapkan pengetahuan dalam kehidupannya.[4]
Guru adalah karakter yang dijadikan figur oleh siswanya. Figur lekatan tidak bisa dibuat-buat atau dipaksa-paksa. Ia hadir atas dasar pengakuan. Dan ini takkan dapat direkayasa oleh teknologi secanggih apapun. Jika guru menginginkan dirinya menjadi seorang figur lekatan bagi siswanya maka guru tersebut haruslah mencintai siswanya hingga siswanya itu merasakan cinta yang telah diberikan guru secara tulus. jika cinta seorang guru telah dicurahkannya paling tidak ada tiga hal yang bisa diperolah guru sebagai respon balik dari siswa. Pertama, seluruh tutur-kata guru akan lebih didengar oleh siswanya. Kedua, siswa akan merasa aman untuk menjadikan guru sebagai tempat mengadu dan kawan berdekat-dekat. Ketiga, anak terdorong untuk mempersembahkan apa saja yang terbaik bagi gurunya kelak.[5]
Pembangunan karakter bangsa, selain telah dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara, juga turut disuarakan oleh Soekarno (1961),[6] yaitu Dedication of Life yang termasuk dalam Nation and Character Building Indonesia. Ungkapan ini meninggalkan bekas yang mendalam di hati kita semua. Ungkapan ini menghidupkan harapan besar dalam hati kita bersama. Bung Karno juga mengatakan “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building). Character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat.”
Bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang bisa menghormati dan menghargai guru-gurunya. Rahasia keberhasilan jepang setelah hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki adalah dengan menghormati dan memprioritaskan guru. Pada saat itu, hal yang dilakukan Kaisar Jepang, Hirohito, adalah mencari para guru. Dalam waktu yang relatif singkat, Jepang menjadi Negara yang modern saat ini.
Lain di negeri seberang, lain pula di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Di mana langit di dipijak di situ langit dijunjung, baik-buruknya negeri ini, bagus-baiknya negeri orang, akan lebih indah di tanah air sendiri. Apapun penghambat kemajuan (keterpurukan) dan revolusi kebajikan atas kebijakan yang berlaku tentu saja didasari oleh mental spiritual pengisi pembangunan bangsa ini, baik generasi mudanya maupun tuanya, anak didiknya juga pendidiknya. Sebut saja krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada hakikatnya bersumber dari jati diri dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa.
Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Selain itu, sistem pendidikan yang top-down, dengan menempatkan guru untuk mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan subjek didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal terjadi proses seleksi secara kritis (Hamengku Buwono, 2010).[7]
Mengutip apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara[8], pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak bisa kita pisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup siswa kita. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita.
Konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dengan menerapkan “Sistem Among”, “Tutwuri Handayani” dan “Tringa”.[9] “Sistem Among” yaitu cara pendidikan yang dipakai dalam Tamansiswa, mengemong (anak) berarti memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya, tetapi pamong/guru akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan apabila keinginan anak membahayakan keselamatannya. “Tutwuri Handayani” berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak yang dipimpinnya, tetapi handayani, mempengaruhi dengan daya kekuatan, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri. “Tringa” yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni, mengingatkan terhadap segala ajaran, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan dalam pelaksanaanya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari; tidak ada artinya jika tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkan.
Untuk membentuk siswa yang memiliki karakter yang baik, sebagai guru dan pendidik perlu memberikan teladan dan contoh yang baik. Dunia pendidikan dewasa ini masih sering ditemui penyimpangan perilaku dari pendidik yang tidak dapat diteladani, misalnya tentang kasus pelecehan seksual guru terhadap anak didiknya, pemukulan guru terhadap muridnya, dan masih ditemui ada guru yang bangga dengan predikatnya sebagai guru atau killer.
Oleh sebab itu, guru dituntut memiliki kompetensi tertentu, yakni: kompetensi profesional, pedagogis, personal dan sosial. Dari empat aspek tersebut, aspek yang paling mendasar untuk menjadi seorang guru yang mampu mendidik karakter siswa, yaitu aspek kepribadian (personalitas), karena aspek inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya komitmen diri, dedikasi, kepedulian dan kemauan kuat untuk terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan (Nurchaili, 2010).[10]
Berkaitan dengan aspek kepribadian dalam ketokohan guru dalam membentuk karakter siswa, karya sastra (fiksi) sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa, sebagai bentuk imitasi kehidupan yang kemudian direkam dan diimajinasikan pengarang; tentu saja terimplikasi tokoh – penokohan – karakter yang bisa jadi membahas sosok seorang guru. Guru Isa dalam Jalan Tak Ada Ujung, Sastrodarsono dalam Para Priyayi, Ibu Suci dalam Pertemuan Dua Hati, Ibu Mus dalam Laskar Pelangi merupakan contoh pengejawentahan pribadi-pribadi guru yang tentu saja mempunyai warna karakter berbeda dari tiap pengarangnya, begitu juga tiap periodisasinya.
Pada masa awal kemunculan sastra Indonesia modern, selain karya sastra yang lahir dari buah tangan sastrawan keturunan dan atau peranakan Belanda/Eropa, Arab, Tionghoa, dan lain-lain, publikasinya tentu saja dimonopoli oleh penerbit Balai Pustaka yang dikontrol ketat oleh pemerintahan kolonial Belanda. Umumnya, Balai Pustaka hanya menerbitkan karya-karya yang didominasi oleh penulis-penulis dari Minangkabau. Ciri berupa konflik antara pemikiran modern dengan adat kebiasaan lama menjadi bentuk utama, ditandai oleh novel berjaya Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Selanjutnya, karya sastra Indonesia pun semakin mengarahkan pembicaraan kepada tema-tema pemikiran modern dan situasi kehidupan masyarakat Indonesia modern. Proklamasi kemerdekaan, dan semangat revolusi – nasionalisme. Karya-karya sastra ikut terbawa dalam isu-isu persatuan-kesatuan dan heroisme perjuangan nasional, selain tak lepas dari soal masuknya pemikiran modern.
Sastra Indonesia modern adalah karya sastra yang tidak hanya diciptakan dari orang-orang Melayu saja, melainkan sudah berkembang keseluruh wilayah Indonesia, ruang lingkup sastra modern juga lebih luas dari pada sastra sastra lama, hampir seluruh masyarakat Indonesia bisa menikmati berbagai karya sastra, berbeda dengan sastra lama yang sebagian besar dibuat oleh pengarang-pengarang dari Melayu dan ruang lingkup yang sempit.
Begitu pun dalam fiksi, dalam hal ini adalah novel dan cerpen. Justru kemunculan sastra Indonesia modern ditandai dengan terbitnya Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1923). Novel yang terbit sebelum itu belum diakui sebagai karya sastra dalam periode Indonesia Modern. Terkait dengan penelitian ini, bahan novel atau cerpen yang dijadikan objek kajian adalah yang terbit pada era 1920-an sampai saat ini, perideo 2010-an.
Penelitian sastra mengikuti sistem berpikir empiris, menggunakan metode, teori, kajian, dan analisis kritis-kreatif. Syarat kreatif dan kritis inilah sebagai upaya interpretasi dan evaluasi teks sastra. Jika penelitian sastra masih sebatas kajian struktur karya saja, hal itu belum dapat dikatakan kreatif, belum menggunakan intuisi dan wawasan yang tajam. Kemampuan penelitian sastra kritis-kreatif cukup penting karena karya sastra sendiri sebuah fenomena kreatif.[11]
Masalah pendekatan dalam ilmu sastra di Indonesia perlu mendapat perhatian yang lebih serius dengan pertimbangan bahwa dalam sastra Indonesia penelitian seolah-olah lebih bersifat praktis daripada teoretis. Ada bermacam-macam pendekatan penelitian, tergantung sisi pandang peneliti. Semakin rinci jenis pendekatan yang dipilih, tentu penelitian akan semakin sempit dan detail. Tentang nama-nama pendekatan itu, tiap ahli bebas memberikan pendapat. Tiap pendekatan memiliki arah dan sasaran penelitian yang berbeda-beda. Dalam pendekatan terkandung manfaat penelitian yang akan diharapkan, baik secara teoretis maupun praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun masyarakat pada umumnya. Dalam pendekatan juga terkandung kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan, sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi berikutnya.
Strukturalisme sebagai pendekatan penelitian sastra tak bisa lepas dari apek-aspek kajian apapun. Sejak zaman Yunani, Aristoteles telah mengenalkan strukturalisme dengan konsep wholeness, unit, complexity dan coherence. Hal ini merepresentasikan bahwa keutuham makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsur sastra. Keseluruhan sangat berharga dibandingkan unsur yang berdiri sendiri. Tiap unsur memiliki pertautan dibandingkan unsur yang berdiri sendiri; tiap unsur memiliki pertautan yang membentuk sistem makna. Setiap unit struktur teks sastra hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa pararelisme, pertentangan, inversi, dan kesetaraan. Hal terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut menghadirkan makna secara keseluruhan.
Penelitian dilakukan secara objektif, yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung penggunaan bahasa yang khas dan relasi antarunsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah “artefak” (benda seni) yang bermakna. Artefak tersebut terdiri dari unsur teks seperti ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gaya bahasa, dan sebagainya yang jalin-menjalin rapi. Jalinan antarunsur tersebut akan membentuk makna yang utuh pada sebuah teks.
Analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum Ia melangkah pada hal-hal lain. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa pada dasarnya karya sastra merupakan dunia dalam kata (Dresden dalam Teeuw, 1984)[12] yang mempunyai makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri. Jadi, untuk memahami makna karya sastra secara optimal, pemahaman struktur yang sulit dihindari atau secara lebih tegas harus dilakukan. Pemahaman struktur yang dimaksudkan itu adalah pemahaman atau analisis unsur atau anasir pembangunan keutuhan karya sastra. Fiksi merupakan sebuah keseluruhan yang utuh mempunyai ciri artistik keutuhan dan keartistikan fiksi justru terletak pada keterjalinan yang erat pada berbagai unsur pembangunanya. Penokohan merupakan unsur yang bersama dengan unsur-unsur lain membentuk totalitas. Dalam hal ini adalah struktur penokohan, lebih khusus lagi tokoh pendidik/guru dalam fiksi (novel/cerpen); dan terbatas pada penokohan.
Penokohan sebagai salah satu unsur pembangunan fiksi dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan sebuah karya yang berhasil, penokohan pasti terjalin secara harmonis dan saling melengkapi satu sama lain. Ketika berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu, seperti rasa akrab, simpati, empati, benci atau reaksi-reaksi lainnya. Pembaca tak jarang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang diberi rasa simpati dan empati. Segala sesuatu yang dirasakan dan dialami oleh tokoh, baik menyenangkan maupun menyedihkan seolah-olah ikut dirasakan dan dialami oleh pembaca.
Tokoh adalah pelaku cerita, sedangkan penokohan adalah sifat yang dilekatkan pada diri tokoh. Penggambaran atau pelukisan mengenai tokoh cerita, baik lahirnya maupun batinnya oleh seorang pengarang. Secara lebih ringkas dapat dikatakan bahwa penokohan adalah penggambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita fiksi.
Penelitian struktural fiksi di sini hanya ditekankan pada aspek penokohan saja dengan pendekatan struktural Stanton dan Kenney dalam analisis tokoh guru di dalamnya.
Menjadi seorang guru merupakan panggilan jiwa. Berkaitan dengan sisi kejiwaan tokoh, yaitu guru, penelitian ini juga akan mengungkap sisi psikologis tokoh guru dalam novel dan cerpen yang diteliti. Guru memiliki konsepsi tentang seperangkat aturan moral dan norma yang berlaku secara kedirian profesi guru dan dalam bermasyarakat dan tidak boleh dilanggar. Dengan demikian, kondisi kejiwaan dan kepribadian guru perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah penelitian bagaimana representasi karakter pendidi/guru di dalam fiksi Indonesia modern melalui tinjauan psikologi sastra yang dapat direfleksikan sebagai nilai-nilai dalam pendidikan dan kemasyarakatan.
Fiksi sebagai hasil penghayatan pengarang terhadap hidup, kehidupan, dan masyarakat dapat menggambarkan idealisme pengarang, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial bagian dari masyarakat. Gambaran guru dalam fiksi belum mendapat perhatian secara khusus dalam bentuk kajian keilmuan.
Kelas sosial guru sebagai anggota masyarakat berekonomi lemah (tidak begitu pada masa sekarang) seperti dalam lagu Iwan Fals yang berjudul Oemar Bakri masih saja dijumpai dalam kenyataan, baik masa sekarang maupun terdahulu dan tentu saja dengan batasan-batasan tertentu. Rekam jejak kehidupan guru bisa saja tertuang dalam fiksi sebagai hasil representasi kehidupan pada zamannya. Sastra ada dan berada dalam masyarakat. Dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap guru dan bagaimana pandangan pengarang terhadap guru akan tertuang dalam karya sastra? Akan dibahas secara komprehensif dalam penelitian ini.
Sebuah karya hanya dapat dibaca dalam perkaitan atau pertentangan dengan teks-teks lain, hanya merupakan semacam kisi. Lewat kisi itu, teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri menonjol dan memberikannya sebuah struktur. Kajian intertekstual mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih (Wellek dan Warren, terjemahan Melani Budianta (1993).[13] Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Dengan demikian, intertekstualitas juga berkaitan dengan penerimaan atau resepsi, yaitu bagaimana seseorang memperlakukan suatu teks. Dapat dikatakan bahwa intertekstualitas merupakan suatu bentuk resepsi sastra, kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai hubungan dialogis, baik persamaan maupun perbedaan unsur-unsur pembentuk teks sastra serta unsur-unsur lainnya untuk memberi interpretasi dan pemaknaan secara penuh terhadap karya sastra yang ditulis sebelumnya dan terjadilah hubungan dialogis antarteks. Dengan membandingkan beberapa teks, pemberian interpretasi dan konkretisasi pemberian makna suatu teks akan lebih jelas.
Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini guna merunut keterkaitan aspek kehidupan. Dalam hal ini akan dicobakan mengkaji bandingan novel sebagai teks sastra dengan bidang lain, yaitu bidang pendidikan, realita masyarakat berupa data empiris, dan tentu saja akan disandingkan dengan teori-teori kependidikan (pedagogi).
Berikut adalah beberapa novel yang memasukkan tokoh guru secara maksimal dan menjadi tokoh sentral dalam penceritaan, yaitu Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Bu Guru Dwisari karya Umar Nur Zain, Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini, Sang Guru karya Gerson Poyk, Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, Sedimen Senja karya SN Ratmana, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, dan lain-lain. Belum ada batasan subjek novel yang akan dikaji.
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat difokuskan pada kajian mengenai karakter pendidik dalam fiksi Indonesia modern yang ditinjau dari pendekatan struktural, psikologi, sosiologi, dan intertekstual dengan sub-subfokus sebagai berikut. 1) Kajian struktur penokohan terhadap tokoh guru dalam fiksi Indonesia modern. 2) Kondisi kejiwaan dan kepribadian tokoh guru yang direpresentasikan dalam fiksi Indonesia modern. 3) Peran guru berkaitan dengan status personal dan sosial dalam fiksi Indonesia modern. 4) Karakter guru berkaitan dengan status profesi keguruan (pedagogi) dalam fiksi Indonesia modern dibandingkan dengan karya sejenis, antardimensi teks dan konteks.
Penelitian karakter pendidik dalam fiksi Indonesia modern yang ditinjau dari pendekatan struktural, psikologi, sosiologi, dan intertekstual ini memenuhi dua manfaat penelitian, yaitu manfaat teoretis dan praktis sebagai berikut. secara teoretis, 1) Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai karakter pendidik/guru Indonesia yang terdapat dalam fiksi Indonesia modern. 2) Penelitian ini juga dapat memberikan informasi mengenai peran guru, dan usaha-usaha pembentukan citra guru Indonesia dalam fiksi Indonesia modern dengan kajian sosiologi sastra. 3) Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai proses pembentukan (konstruksi) sosok pendidik secara mental melalui teks sastra berdasarkan teori psikologi. 4) Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai status profesi keguruan (pedagogi) dalam fiksi Indonesia modern dibandingkan dengan karya sejenis, antardimensi teks dan konteks berdasarkan kerangka intertekstual
. Secara praktis, 1) Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penghargaan terhadap guru, baik secara pribadi maupun secara profesi. 2) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam analisis karya sastra dari pendekatan struktural, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan intertekstual. 3) Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan ajar apresiasi sastra di sekolah-sekolah.



[1] Syafrudin Nurdin, M. Basyirudin Usman. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, ( Jakarta: Ciputat Press, 20 02), hal. 8
[2] Lickona, T., Educating for Character, (Bantam Books), 1991, h. 51
[3] Ibid.
[4] Marcella Siddidjaja, Guru ideal, http://www.tabloid-nakita.com/ Panduan/panduan06266-01.htm
[5] Abdullah Munir, Spiritual Teaching , (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 200 6), hlm. 110
[6] Wahyu, “Masalah Dan Usaha Membangun Karakter Bangsa”, Jurnal Komunitas, 3 (2)  2011, hh. 138-149
[7] Ibid.
[8] Kristi Wardani, “Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010, hlm 230-239
[9] Ibid.
[10] Wahyu, Loc. Cit.
[11] Atmazaki, Analisis Sajak: Teori Metodologi dan Aplikasi, (Bandung: Penerbit Angkasa),1993, hh. 114-115
[12] Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya), 1984, h. 135
[13] Wellek, Rene dan Warren, Austin, Teori Kesusastraan. (Terjemahan Melanie Budianta), (Jakarta: Gramedia),  1993, h. 49

Komentar

  1. Abang Andri..
    Saya dina mahasiswa S1 pend sejarah, pengen sekali menulis skripsi tentang karakter guru dalam novel NH Dini Pertemuan Dua Hati..
    Boleh minta emailnya bang buat minta bantuan yah..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer