WUJUD REALITAS DAN IDEALISME PADA MASA BÜRGERLICHER REALISMUS DALAM DRAMA “MARIA MAGDALENA” KARYA FRIEDRICH HEBBEL (SEBUAH ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada
sekitar pertengahan abad kesembilanbelas para dramawan Eropa mengembangkan
minat mengangkat kehidupan yang ada dengan lebih apa adanya dan akurat, bahkan
kadang dengan pesan-pesan sosial yang langsung diungkapkan atau dibuat
tersirat. Drama seperti ini disebut drama sosial atau drama yang di Perancis
dipelopotri oleh Émile Augier dan Alexandre Dumas fils (junior). Dumas fils' La
dame aux camélias (1852; The Lady of the Camellias, 1897) sukses di kancah international.
Meskipun demikian, pengangkatan emosional seorang wanita dengan moral yang
dipertanyakan telah memberi Augier sebuah inspirasi menampilkan jawaban yang
lebih gelap lagi dalam karyanya Le mariage d'Olympe (1855; The Marriage of
Olympe), sebuah potret kehidupan seorang pelacur yang jauh lebih realistis. Di
Jerman, Friedrich Hebbel, meskipun berangkat sebagai dramawan yang beraliran
Romantik, berubah haluan dan menelorkan karya Realisnya yang sangat terkenal,
tragedi “Maria Magdalena” (1844), yang mencerminkan sikap hati orang-orang
kelas menengah terhadap perkawinan dan moralitas.
Gejala-gejala kultural tersebut terkandung dalam berbagai teks studi
mengenai dunia timur. Poskolonial dengan demikian sangat relevan untuk menyebut
kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang
dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir sekuruh aspek kehidupan,
diantaranya kebudayaan, agama, perbudakan, etnisitas, pemaksaan bahasa dan
berbagai bentuk invasi kultural yang lain. Kelompok-kelompok yang sering
diasosiasikan sebagai kelompok yang termarginalkan juga masuk ke dalam kajian
poskolonial (Ashcrofft dalam Sugiarti, 2011: 1-2).
Pada zaman ini karya sastra memiliki
karakter: a) mengkritik keadaan masyarakat, b) menggambarkan kejadian yang
terjadi di masyarakat, c) pengarang tidak memasukkan unsur subyektifitas dalam
karyanya; dia mengambarkan suatu keadaan secara objektif (Kunze & Obländer,
Rötzer dalam Sugiarti, 2011: 3-4).
Maria Magdalena karya Friedrich
Hebbel merupakan drama tragedi. Drama yang terdiri dari tiga babak ini
menceritakan seorang gadis bernama Klara. Klara adalah puteri seorang tukang
mebel. Klara hamil oleh Leonhard. Kehamilan ini terjadi bukan atas dasar suka
sama suka, tetapi atas paksaan Leonhard. Karena belum terjadi pernikahan, Klara
khawatir kehamilannya akan membuat namanya dan nama keluarganya tercemar. Ayah
Klara, Meister Anton adalah ayah yang streng, taat beragama, dan menjunjung
tinggi moral. Oleh karenanya, Klara menyembunyikan rahasia pribadinya dan menanggung
penderitaannya sendirian. Klara meminta Leonhard supaya mengawini dirinya. Akan
tetapi Leonhard ingkar janji. Permasalahnnya adalah ayah Klara tidak bisa
memberikan mas kawin yang dimintanya. Leonhard adalah seorang lelaki yang mata
duitan dan pelit. Dengan terang-terangan Leonhard berhubungan dengan keponakan
walikota, dengan tujuan memperoleh pekerjaan dan posisi yang bagus.
Klara memiliki seorang kakak
laki-laki bernama Karl. Karl dianggap sebagai noktah, karena dia sering
memaksa memeras ibunya. Karl dituduh mencuri permata, dan akhirnya
dijebloskan ke penjara. Mendengar berita penangkapan Karl ibu Klara langsung
tersungkur dan meninggal. Penjeblosan Karl ke penjara membuat tekad Leonhard
untuk meninggalkan Klara semakin kuat. Klara semakin tertekan. Dia tidak ingin
ayahnya mengetahui kehamilannya. Klara telah berjanji pada ayahnya untuk
menjadi putri ayah yang manis, patuh, dan baik, tidak membuat masalah dalam
keluarga.
Klara akhirnya berjumpa lagi dengan
Friedrich, cinta remajanya, yang menuntut ilmu di kota lain. Ketika dia tahu
bahwa Klara hamil oleh Leonhard, Friedrich mau mengawini dan menerima Klara apa
adanya. Tetapi Klara menolaknya. Klara terus berusaha meminta Leonhard untuk
menikahinya. Dia sampai mengemis-ngemis. Bagi Klara, lebih baik dia bunuh diri
dan menjadi pembunuh bayi dalam kandungannya, daripada dia menjadi pembunuh
ayahnya. Klara tidak menginginkan hal yang terjadi pada ibunya, juga akan
terjadi. pada ayahnya. Ketika Karl keluar dari penjara dan meminta Klara supaya
mengambilkan air minum, Klara menceburkan diri ke dalam sumur. Friedrich
Leonhard mati, dan Friedrich sendiri luka parah setelah berkelahi.
Seperti
yang tampak dalam drama tragedi Maria Magdalene, semua percakapan, pandangan
serta nasihat yang terdapat dalam drama ini secara keseluruhan berakar dalam
pandangan masyarakat di sekitar mereka dan hal-hal yang dianggap dituntut dalam
masyarakat haruslah benar-benar dipegang teguh. Klara, tokoh utama dalam drama
merupakan contoh manusia sosial yang sadar akan tuntutan masyarakat sehingga ia
rela mengorbankan dirinya dengan jalan bunuh diri untuk membela dan
mempertahankan nama baik keluarganya seperti yang selalu dituntut ayahnya.
Masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai dampak yang terjadi pada
tokoh dalam drama Maria Magdalena pada masa Bürgerlicher Realismus. Semua
orang pada masa itu sangat mengutamakan nama baik dan kekayaan. Orang tua yang
memberatkan harapan pada anak-anaknya (terjadi dalam keluarga Klara), terutama
dialami oleh tokoh Klara karena anak-anak lelakinya tidak dapat diharapkan lagi
karena telah membuat malu keluarga setelah anak lelakinya masuk dalam penjara.
Di lain pihak, Klara telah mengandung di luar nikah dan ditinggalkan oleh
kekasihnya hanya karena kekasih Klara menemukan perempuan lain sebagai
penggantinya. Realisme dan idealisme dalam diri orang tua dan keadaan tokoh
Klara pada akhirnya memaksa Klara untuk nekad bunuh diri. Hal ini sebagai
bentuk kegagalan pada masa Bürgerlicher Realismus. Pentingnya masalah
ini dikaji adalah sebagai bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai dalam Maria
Magdalena karya Friedrich Hebbel.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis
merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah eksistensi tokoh utama dalam drama Maria Magdalena karya Friedrich Hebbel?
2.
Bagaimanakah lingkungan sosial-bu daya pengarang (Friedrich Hebbel)?
3.
Bagaimanakah
lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik dalam drama Maria Magdalena karya Friedrich Hebbel pada masa Bürgerlicher Realismus?
4.
Bagaimanakah
pandangan Dunia Pengarang dalam drama Maria Magdalena karya Friedrich Hebbel?
C.
Tujauan
Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan eksistensi tokoh utama drama Maria Magdalena karya Friedrich Hebbel.
2.
Mendeskripsikan lingkungan sosial-budaya pengarang (Friedrich Hebbel).
3.
Mendeskripsikan lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik drama Maria Magdalena karya Friedrich Hebbel pada masa Bürgerlicher Realismus.
4.
Mendeskripsikan pandangan Dunia Pengarang drama Maria Magdalena karya Friedrich Hebbel.
D.
Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini
dapat memperkaya kajian ilmu sosial khususnya sosiologi sastra. Secara praktis
penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran sastra
dalam mengapresiasi naskah drama berbahasa Jerman, khususnya dalam hal ini drama
karya Friedrich Hebbel, Maria Magdalena.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Sosiologi
Sastra
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah
tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial
(Damono 1978: 6). Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan
manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa
penulis disebut sosiologi sastra (Damono 1978: 6).
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda
pengertiannya dengan pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra
(Damono 1978: 2). Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam
telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan
anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan
ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra. Kedua, pendekatan
yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan
dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam
lagi gejala di luar sastra.
Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra
merupakan pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang
pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam
karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi
pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan
nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri
yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh
yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya
(Semi 1993: 73).
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua
aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam
situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi
situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan
merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik
dengan dunia sekitarnya (Fananie 2000: 117).
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya
sastra (kesusastraan) merupakan refleksi pada zaman karya sastra (kesusastraan)
itu ditulis yaitu masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggotanya
penulis tidak dapat lepas darinya.
Wellek dan Warren (dalam Damono 1978: 3) mengemukakan
tiga klasifikasi yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1.
Sosiologi
pengarang. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar
belakang sosial, status pengarang, dan ideologi.
2.
Sosiologi karya
sastra. Masalah yang dibahas mengenai isi karya sastra, tujuan atau amanat, dan
hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan berkaitan dengan
masalah sosial.
3.
Sosiologi
pembaca. Membahas masalah pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap
pembaca.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren
tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan
oleh Ian Watt. Ian Watt dalam eseinya yang berjudul “Literatur Society”
(dalam Damono 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan timbal balik antara
sastrawan, sastra, dan masyarakat. Pertama, konteks sosial pengarang.
Ini ada hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan
masyarakat pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang
sebagai perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti
adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia
menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari
kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang
itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju
oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat
yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra
sebagai cermin masyarakat: sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan
keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama mendapat
perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang
sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya,
(c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap
sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan
masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin
pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya
sastra sebagai cermin masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal yang
perlu dipertanyakan adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada
hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang
ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi
dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan
sesuatu dengan cara menghibur (Damono 1978: 3-4).
Selain itu, Laurenson (dalam Fananie 2000: 133)
mengemukakan ada tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara
lain:
1.
Perspektif yang
memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi
situasi pada masa satra tersebut diciptakan;
2.
Perspektif yang
mencerminkan situasi sosial penulisnya;
3.
Model yang
dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau
peristiwa sejarah.
Menurut Wellek dan Warren (1995: 111) hubungan sastra
dengan masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, sosiologi
pengarang, profesi pengarang, dan situasi sastra. Masalah yang berkaitan di
sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra, latar belakang sosial, status
pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di dalam
karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain
tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah
sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial sastra.
Menurut Goldmann (Endraswara 2003: 57) karya sastra
sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia pengarang, tidak
sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Sehingga karya sastra
tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang
telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat
berarti penelitian sastra menjadi pincang. Oleh karena itu, karya sastra dapat
dipahami asalnya dan kejadiannya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial
tertentu. Keterkaitan pandangan dunia pengarang dengan ruang dan waktu tertentu
tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik. Oleh karena itu, muncullah
teori yang disebut dengan Strukturalisme Genetik.
Strukturalisme Genetik merupakan embrio penelitian
sastra dari aspek sosial yang kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja,
Strukturalisme Genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur
dalam maupun struktur luar, tetap dianggap penting bagi pemahamah karya sastra
(Endraswara 2003: 60).
Dalam skripsi ini digunakan klasifikasi yang kedua
dari Wellek dan Warren, yaitu sosiologi karya sastra. Dalam klasifikasi
sosiologi karya sastra ini akan dibahas mengenai masalah-masalah sosial dan
dalam kaitannya dengan isi karya sastra, tujuan, amanat dan hal-hal lain yang
tersirat dalam karya sastra. Jadi, dalam sosiologi karya sastra yang menjadi
pokok bahasan adalah karya sastra itu sendiri. Pendekatan sosiologi karya
sastra akan mengkaji karya sastra yang isinya bersifat sosial. Hal ini
dikarenakan sastra sebagai hasil seorang pengarang tidak bisa lepas dari
kehidupan sosial suatu masyarakat.
B.
Pengertian Strukuralime Genetik
Pencetus pendekatan
strukuralime genetik adalah Lucien Goldmann, seorang ahli sastra Prancis.
Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan
pandangan dunia pengarang. Bukan seperti pendekatan Marxisme yang cenderung
positivistik dan mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Goldmann tetap
berpijak pada strukturalisme karena ia menggunakan prinsip struktural yang
dinafikan oleh pendekatan marxisme, hanya saja, kelemahan pendekatan
strukturalisme diperbaiki dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami
karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo. et al, 2002:60).
Goldmann (dalam Teeuw,
2003: 126:127) menyebut metode kritik sastranya strukturalisme genetik. Ia
memakai istilah strukturalisme karena lebih tertarik pada struktur kategori
yang ada dalam suatu dunia visi, dan kurang tertarik pada isinya. Genetik,
karena ia sangat tertarik untuk memahami bagaimana struktur mental tersebut
diproduksi secara historis. Dengan kata lain, Goldmann memusatkan perhatian
pada hubungan antara suatu visi dunia dengan kondisi-kondisi historis yang memunculkannya.
Kemudian, atas dasar analisis visi pandangan dunia pengarang dapat
membandingkannya dengan data dan analisis sosial masyarakat. Untuk menopang
teorinya tersebut, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling
bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebut sebagai
strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik
tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan pandangan pengarang. Pandangan
pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar belakang kehidupan
pengarang (Faruk 1999:12 -13). Orang yang dianggap sebagai peletak dasar mazhab
genetik adalah Hippolyte Taine (Sapardi Djoko Damono dalam Zaenudin Fananie
2000:116). Taine mencoba menelaah sastra dari sudut pandang sosiologis. Menurut
Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi,
tetapi dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan
pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan (Umar Junus dalam Zaenudin
Fananie 2000:117). Fenomena hubungan tersebut kemudian dikembangkan oleh Lucien
Goldmann dengan teorinya yang dikenal dengan Strukturalisme genetik (Zaenudin
Fananie 2000:117). Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Strukturalisme-Genetik
Goldmann adalah penelitian sosiologi sastra (Umar Junus 1988:20).
Goldmann mengemukakan
bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau
individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk
memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang
dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang
lebih baik dengan dunia sekitarnya (Zaenudin Fananie 2000:117).
Atar Semi (1987:7)
berpendapat bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang subjektif dan ilmiah
tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial.
Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang.
Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah perekonomian, keagamaan,
politik dan lain-lain, kita melihat gambaran tentaang cara-cara manusia menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses
pemberdayaannya. Sementara, sastra itu sendiri pada dasarnya berurusan dengan
manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat yang terikat oleh
status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa
sebagai media. Bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran
kehidupan. Meskipun sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda,
tetapi keduanya saling melengkapi. Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan
Warren (1995: 84), meskipun sastra dianggap cerminan keadaan masyarakat,
pengertian tersebut masih sangat kabur. Oleh karena itu banyak disalahtafsirkan
dan disalahgunakan. Namun demikian, Grebstein (dalam Sapardi Djoko Damono 1978:
4) mengatakan bahwa meskipun sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, karya sastra tidak dapat
dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungannya atau
kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang
seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra
adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari fakta-fakta sosial, kultural yang
rumit dan bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
Yakob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra
adalah produk masyarakat, berada di tengah masyarakat, karena dibentuk oleh
anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional dari masyarakat.
Konteks sosial drama merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah
masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap
gejalagejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada
kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 2001:61).
Sapardi Djoko Damono
(dalam Faruk 1999 (a) :4-5) menemukan tiga macam pendekatan dalam sosiologi
sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi
sosial sastrawan dalam masyarakat dalam kaitannya dalam masyarakat pembaca.
Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi
pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang
harus diteliti dalam pendekatan ini adalah:
1)
bagaimana
pengarang mendapatkan mata pencahariannya,
2)
sejauh
mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi,
3)
masyarakat
apa yang dituju oleh pengarang.
Kedua, sastra sebagai
cermin masyarakat. Yang terutama mendapat perhatian adalah:
1)
sejauh
mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya itu ditulis,
2)
sejauh
mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin
disampaikannya,
3)
sejauh
mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh
masyarakat.
Ketiga, fungsi sosial
sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian:
1)
sejauh
mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat,
2)
sejauh
mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan
4)
sejauh
mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1 dan kemungkinan 2 di atas.
Strukturalisme-Genetik
pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak
semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya,
melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek
penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi
antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur karya
sastra, bagi strukturalisme genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan
faktor-faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor-faktor itulah yang
memberikan kepaduan pada struktur itu (Goldmann dalam Faruk 1999 (b):13).
Penelitian strukturalisme
genetik semula dikembangkan di Perancis atas jasa Lucien Goldmann. Dalam
beberapa analisis drama, Goldmann selalu menekankan latar belakang sejarah.
Karya sastra, di samping memiliki unsur otonom juga tidak dapat lepas dari
unsur ekstrinsik. Teks sasta sekaligus mempresentasikan kenyataan sejarah yang
mengkondisikan munculnya karya sastra. Menurut Goldmann (dalam Endraswara,
2003:55-56), studi strukturalisme genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama,
hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra
yang sama. Kedua, hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang
mengikat. Oleh karena itu, seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan
sendiri. Pada dasarnya, pengarang akan menyarankan suatu pandangan dunia yang
kolektif. Pandangan tersebut juga bukan realitas, melainkan sebuah refleksi
yang diungkapkan secara imajinatif.
Kategori-kategori itu
adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia,
pemahaman dan penjelasan (Faruk, 1999 (b):12).
1. Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan dapat
berwujud aktifitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi
kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra (Faruk, 1999
(b):12). Fakta-fakta kemanusiaan pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta yang kedua mempunyai
peranan penting dalam sejarah, sedangkan fakta yang pertama tidak memiliki hal
itu. Goldmann (dalam Faruk, 1999 (b):12) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan
merupakan suatu struktur yang berarti. Yang dimaksudkannya adalah bahwa
fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Dengan
kata lain, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan
yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar.
2. Subjek kolektif
Subjek kolektif adalah
subjek yang berparadigma dengan subjek fakta sosial (historis). Subjek ini juga
disebut subjek trans individual. Goldmann mengatakan (dalam Faruk, 1999
(b):14-15) revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang
besar, merupakan fakta sosial (historis).
Pendekatan
strukturalisme genetik Lucien Goldmann terdiri dari empat aspek, yaitu makna
totalitas karya sastra, pandangan dunia pengarang, struktur teks karya sastra,
dan struktur sosial masyarakat yang terdapat dalam karya sastra (Nugraheni:
159).
Suwardi Endraswara mengatakan bahwa penelitian
strukturalisme genetic memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu intrinsik
dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan
koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan
berbagai unsur dengan relitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai refleksi
zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung
dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003:56). Hal
senada juga diungkapkan dalam Jabrohim (ed), penelitian strukturalisme genetik,
memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
Pendekatan ini mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna tinggi,
apabila para peneliti sendiri tidak melupakan atau tetap memperhatikan
segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan
faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu
diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi
(Jabrohim (ed), 2001: 82).
Secara sederhana,
strukturalisme genetik dapat dapat diformulasikan dalam tiga langkah. Pertama,
peneliti bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam
jalinan keseluruhannya. Kedua, mengkaji kehidupan sosial budaya
pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Ketiga,
mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya
sastra saat diciptakan oleh pengarang (Suwardi Endraswara, 2003: 62).
1. Penelitian bermula dari
kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhan.
Penelitian Strukturalisme Genetik, memandang karya
sastra dari dua sudut pandang yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali
dari bagian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensi) sebagai data dasarnya.
Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas
masyarakat. Karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat
mengungkap aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan
unsur-unsur intrinsik karya sastra. Untuk sampai pada World view yang
merupakan pandangan dunia pengarang memang bukan perjalanan mudah. Karena itu,
Goldman mengisyaratkan bahwa penelitian bukan terletak pada analisis isi,
melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita itu kemudian dicari
jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan pada struktur dengan mengabaikan
isi kebenarannya merupakan suatu permasalahan tersendiri, karena hal tersebut
dapat mengabaikan hakikat sastra yang merupakan tradisi sendiri (Laurenson dan
Swingewood dalam Endraswara 2003: 57-58).
Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan
Strukturalisme Genetik terlebih dahulu harus memulai langkah yaitu kajian
unsur-unsur intrinsik. Dari pengkajian unsur-unsur intrinsik ini akan dapat
memunculkan tokoh problematik dalam drama tersebut. Tokoh problematik yang
terdapat dalam drama akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang akan
dimunculkan melalui tokoh problematik (problematic hero). Tokoh
problematik (problematik hero) adalah tokoh yang mempunyai wira
bermasalah yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded)
dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic value). Melalui
tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat dari pemberian
solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh problematik dalam
usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
2. Mengkaji kehidupan sosial
budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu.
Melalui karya sastra
seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut
di dalamnya. Karya sastra memberi pengaruh pada masyarakat, bahkan seringkali
masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup pada suatu zaman,
sementara sastrawan itu sendiri merupakan anggota masyarakat tidak dapat
mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang
membesarkannya dan sekaligus membentuknya sebagai realitas sosial (Semi 1989:
73).
Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan
budaya. Sosial berarti berkenaan dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan
hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat. Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan
yang dipandang sebagai karya yang tersusun secara teratur, terbiasa, dan sesuai
dengan tata tertib. Hasil budaya tersebut dapat berupa kemahiran teknik,
pikiran, gagasan, kebiasaan-kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat
kebendaan. Kata kebudayaan mengandung pengertian yang kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, cara hidup, dan
lain-lain. kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat kebudayaan adalah hasil budi, daya kerja
akal manusia dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan terbentuk
karena adanya manusia, sedang manusia merupakan anggota masyarakat. Simpulan
yang diperoleh dari beberapa pengertian sosial budaya di atas adalah segala
sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, dan
kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal budinya sebagai makhluk
sosial.
Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka
lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang
besar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antagonis
kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas (Damono 1978: 42).
Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen
dalam peristiwa munculnya karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha
mengaktualisasikan dirinya, menaruh minat terhadap masalah-masalah manusia dan kemanusiaan,
hidup, dan kehidupan melalui karya sastra. Meskipun demikian, karya sastra
berbeda dengan rumusan sejarah. Dalam sebuah karya sastra, kehidupan yang
ditampilkan merupakan peramuan antara pengamatan dunia keseharian dan hasil
imajinasi. Jadi, kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan yang telah diwarnai
oleh pandangan-pandangan pengarang.
Latar belakang sosial budaya pengarang dapat
mempengaruhi penciptaan karya-karyanya, karena pada dasarnya sastra
mencerminkan keadaan sosial baik secara individual (pengarang) maupun secara
kolektif. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu
kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar.
Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antanogis kelas, dan
jelas mempengaruhi kesadaran kelas (Sapardi Djoko Damono 1978:42).
Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk dan
karya yang diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999 (a)
:55) sekolah dan latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya
mempengaruhi apa yang dikerjakan oleh sastrawan.
Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kehidupan sosial budaya pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis.
Pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu. Kehidupan sosial budaya
pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya. Pengarang menyalurkan
reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang
satu peristiwa. Kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan pandangan
dunia pengarang karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan
pengarang setelah berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial budaya
pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena pengarang
merupakan bagian dari komunitas tertentu. Sehingga kehidupan sosial budaya
pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya. Pengarang bukan hanya
penyalur dari suatu pandangan dunia kelompok masyarakat, tetapi juga menyalurkan
reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang
satu peristiwa. Secara singkat, kehidupan sosial budaya pengarang akan
memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang
terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berintereaksi dengan pandangan
kelompok sosial masyarakat pengarang.
3. Mengkaji latar belakang
sosial sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh
pengarang.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai
hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di
sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan
masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 78).
Karya sastra yang besar menurut Goldman (dalam Fananie
2000: 165) dianggap sebagai fakta sosial dari subjek tran-individual karena
merupakan alam semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia
yang tercermin dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan
ia bersifat historis.
Bonald (dalam Wellek dan Warren 1995: 110)
mengemukakan hubungan antara sastra erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra ada
hubungan dengan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan
kehidupan secara keseluruhan kehidupan zaman tertentu secara nyata dan
menyeluruh.
Grabstein (dalam Damono 1984: 4) menyatakan bahwa
karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari
lingkungan atau kebudayaan yang menghasilkannya. Karya sastra harus dipelajari
dalam konteks seluas-luasnya dan tidak hanya menyoroti karya sastra itu
sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik antara
faktor-faktor sosial kultural dan merupakan objek kultural yang rumit.
Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat
berpengaruh terhadap proses penciptaan karya sastra, baik dari segi isi maupun
bentuknya atau strukturnya. Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang
dengan sendirinya akan melahirkan suatu warna karya sastra tertentu pula
(Iswanto dalam Jabrohim 1994: 64).
Struktiralisme genetik merupakan embrio penelitian
sastra dari aspek sosial yang kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja,
srukturalisme genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur
dalam maupun struktur luar tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra.
Menurut Suwardi Endraswara (2003: 60) yang
terpenting dari kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang mampu
mengungkapkan fakta kemanusiaan. Fakta ini mempunyai unsur yang bermakna,
karena merupakan pantulan responrespaon subyek kolektif dan individual dalam
masyarakat. Subyek tersebut selalu berinteraksi dalam masyarakat untuk
melangsungkan hidupnya.
C. Pandangan Dunia Pengarang
Karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan
mewakili pandangan dunia (visiun du monde) penulis, tidak sebagai
individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui
pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya
sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan
masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja (Endraswara
2003:57).
Pandangan dunia itu sendiri menurut Umar Junus
(1988:16) terikat pada masa tertentu dan ruang tertentu. Keterlambatannya
kepada masa tertentu menyebabkan ia mesti bersifat sejarah. Sehingga, sebuah
analisis Strukturalisme-Genetik didasarkan faktor kesejarahan tanpa
menghubungkannya dengan fakta-fakta sejarah suatu subjek kolektif di mana suatu
karya diciptakan, tidak seorangpun akan mampu memahami secara komprehensif
pandangan dunia atau hakikat makna dari karya yang dipelajari (Goldman dalam
Zaenudin Fananie, 2000:120).
Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk
menjembatani fakta estetik. (Goldmann dalam Zaenudin Fananie, 2000:118). Adapun
fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran hubungan yang meliputi: a) Hubungan
antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan alam ciptaan
pengarang. b) Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi,
sintaksis, dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan
pengarang dalam ciptaannya. Menurut Goldmann (dalam Umar Junus, 1988:16)
hubungan genetik antara pandangan dunia pengarang dalam sebuah drama atau karya
adalah pandangannya dengan pandangan dunia pada suatu ruang tertentu dalam masa
tertentu, sehingga pendekatan ini dikenal dengan Strukturalisme-Genetik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pandangan dunia pengarang terdiri dari hubungan antara konteks sosial dalam drama
dengan konteks sosial kehidupan nyata dan hubungan latar sosial budaya
pengarang dengan karya sastra. Ideologi atau pandangan pengarang akan
memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang
terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berinteraksi dengan pandangan
kelompok sosial masyarakat pengarang. Masalah yang berkaitan di sini adalah
dasar ekonomi, produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan
ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di dalam karya sastra.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Dalam menganalisis penelitian ini,
penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan data secara
logika ilmiah bukan berupa angka, jumlah, dan prosentase agar mudah dipahami
dan disimpulkan.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan sosiologi sastra khususnya teori Marxis. Dalam melakukan
kajian dengan metode strukturalisme genetik, langkah-langkah yang ditawarkan
oleh Laurensin dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman (dalam Jabrohim 2001:
64-65) sebagai berikut.
a.
Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula
sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya
sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
b.
Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya
sastra dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan
dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
c.
Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif,
yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang
sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencapai premis general.
C. Sumber Data
Data dalam penelitian ini bersumber
dari drama Maria Magdalena karya
Friedrich Hebbel, terbitan Philipp Reclam jun. Stuttgart.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan
penelitian ini, penulis menggunakan teknik penelitian berupa data primer (drama
Maria Magdalena karya Friedrich
Hebbel) dan data sekunder, data ini diperoleh dari beberapa buku lain.
DAFTAR PUSTAKA
Faruk.
1999 (a). Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____.
1999 (b). Strukturalisme – Genetik (Teori
General, Perkembangan Teori, dan Metodenya.Yogyakarta: Masyarakat Poetika
Indonesia.
Hebbel,
Friedrich. 1844. Maria Magdalena.
Stuttgart: Philipp Reclam jun.
Jabrohim
(ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widia.
Nugraheni E.W.Makna
Totalitas Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar Kayam:
Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann http://www.uns.ac.id/cp/penelitian.php?act=det&idA=159
Rachmat Djoko Pradopo. 2002. 002. Kritik
Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Sapardi
Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Semi,
Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sugiarti,
Yati. 2011. “Keterbungkaman Suara Perempuan (Klara sebagai Subaltern dalam
Drama “Maria Magdalena” Karya Friedrich Hebbel)”. Makalah Peneltian. Yogyakarta: Program Studi Bahasa Jerman
FBS UNY.
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian
Sastra: Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Teeuw,
A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Umar
Junus. 1986. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Wellek,
Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani
Budianto. Jakarta: Gramedia.
Yakob
Sumardjo. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Zaenuddin
Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Komentar
Posting Komentar