IMAJINASI – IMITASI MENULIS SASTRA


IMAJINASI – IMITASI MENULIS SASTRA

Sastra merupakan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dapat dikatakan bahwa sastra adalah gambaran kehidupan manusia. Penggambaran kehidupan manusia dalam sastra didasarkan pada daya imajinasi sehingga kehidupan tersebut bersifat imajinatif meskipun tidak semua karya bersifat Imajinatif. Kehidupan manusia yang digambarkan dalam sastra dapat sebagai transformasi kehidupan faktual, baik kehidupan pengarang maupun kehidupan sosial berdasarkan imajinasi sastrawan.
Imajinasi berkembang seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia berbicara dan berbahasa. Dunia imajinasi merupakan dunia yang sangat dekat dengan dunia siswa. Imajinasi siswa merupakan sarana untuk mereka berselancar dan belajar memahami realitas keberadaan dirinya juga lingkungannya. Orang tua dan guru dapat mengembangkan imajinasi siswa dengan menstimulasi tumbuh kembang potensi dan kemampuan imajinatif siswa untuk diekspresikan dengan efektif.
Sebuah imajinasi lahir dari proses mental yang manusiawi. Proses ini mendorong semua kekuatan yang merangsang emosi untuk berperan aktif dalam pemikiran dan gagasan kreatif serta tindakan kreatif. Kemampuan imajinasi siswa merupakan bagian dari aktivitas otak kanan yang bermanfaat untuk kecerdasannya. Berimajinasi mampu membuat siswa mengeluarkan ide-ide kreatifnya. Hal ini sangat wajar karena seiring pertambahan usianya, otak siswa lebih aktif merespon setiap rangsangan. Di benaknya muncul banyak pertanyaan yang mendorongnya untuk melakukan banyak pengamatan. Pertanyaan dan pengamatan yang dilakukannya itu, akhirnya membuat siswa merasa nyaman berada pada imajinasinya.
Berimajinasi merupakan kebutuhan alaminya dan bukan bentuk kemalasan. Imajinasi siswa bisa saja lahir sebagai hasil imitasi, meniru dari tayangan yang ditontonnya atau pengaruh dari dongeng yang didengarnya. Namun, imajinasi juga bisa muncul secara murni dan orisinil dari dalam benaknya sebagai hasil mengolah dan memanfaatkan kelebihan dan kemampuan otak yang dianugerahkan Tuhan. Jika guru mampu mengasah, mengembangkan, dan mengelola imajinasi siswa maka berimajinasi akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan kecerdasan kreatifnya. Tentu sata turut serta membuatnya lebih produktif. Potensi dan kemampuan imajinatif siswa merupakan proses awal tumbuh kembang daya cipta. Kemampuan imajinasi siswa akan menghasilkan kreasi yang menarik dan bermanfaat untuk perkembangan kepribadian juga otaknya.
Karya sastra lahir melalui perenungan imajinasi pengarang dengan realitas sosial yang ada dan berkembang di masyarakat. Ide-ide yang diekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari situasi kehidupan masyarakat. Sesuatu yang dilihat, diamati, dialami, dan dirasakan oleh pengarang dalam lingkungannya termasuk lingkungan sosialnya, dikemas sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah karya sastra, baik berupa novel, cerpen, drama maupun puisi.
Sastra dibangun menurut daya angan (imajinasi), yaitu daya tangkap batin yang secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar dari pengalaman dan kenyataan konkret. Imajinasi dibedakan dari fantasi. Angan dibedakan dari khayal tanpa disertai penjelasan sama sekali, tetapi serentak dengan itu. Fantasi adalah imajinasi yang diteruskan (dikembangkan) yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari. Fantasi merupakan contoh pertama dari kesadaran imajinatif.
Rene Wellek yang mengatakan bahwa kesusastraan dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Jadi di sini sifat imajinasi menunjukkan dunia angan dan khayalan sehingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah dunia angan (fiction, imagination). Sastra adalah hasil kreativitas pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung melalui rekaan dengan bahasa sebagai medianya (Retno Winarni, 2009:7)
Pengimajian dalam sastra berguna untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat hidup gambaran dalam pikiran dan pengindraan. Selain itu, untuk menarik perhatian dan memberikan kesan mental atau bayangan visual penyair. Gambaran angan, gambaran pikiran, kesan mental, dan bahasa yang menggambarkannya biasa disebut dengan istilah citra atau imaji. Adapun cara membentuk kesan mental atau gambaran sesuatu biasa disebut dengan istilah citraan (imagery).
Kenyataan yang dilahirkan sastra, dalam hubungan ini adalah suatu karya imajiner "a reflected reality" (realitas yang direfleksikan)." Imajiner artinya hanya terdapat dalam angan-angan, atau khayalan, sebutan lain untuk 'fantasi' (Ignas Kleden).
Sastra adalah cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh faktor manusia dan penafsiran, khususnya masalah perasaan, semangat, kepercayaan. Dengan demikian, sulit sekali dibuat batasan atau definisi sastra di mana definisi tersebut dihasilkan dari metode ilmiah.
Karya sastra melekat dengan situasi dan waktu penciptaannya. Karya sastra tahun 1920-an tentu berbeda dengan karya sastra tahun 1966. Kadang-kadang definisi kesusastraan ingin mencakup seluruhnya sehingga mungkin tepat untuk satu kurun waktu tertentu tetapi ternyata kurang tepat untuk yang lain.
Beberapa definisi sastra, yaitu sastra sebagai seni berbahasa. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran (pandangan, ide, perasaan, pemikiran) dalam bahasa. Sastra adalah inspirasi kehidupan yanag dimateraikan dalam sebuah bentuk keindahan. Sastra adalah buku-buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk yang mempesona. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakainan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sesuatu disebut teks sastra jika (1) teks tersebut tidak melulu disusun untuk tujuan komunikatif praktis atau sementara waktu, (2) teks tersebut mengandung unsur fiksionalitas, (3) teks tersebut menyebabkan pembaca mengambil jarak, (4) bahannya diolah secara istimewa, dan (5) mempunyai keterbukaan penafsiran.
Terdapat tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya tulis lainnya, yaitu sifat khayali, adanya nilai-nilai seni/estetika, dan penggunaan bahasa yang khas. Karya sastra dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu (a) sastra imajinatif, dan (b) sastra non-imajinatif. Sastra imajinatif mempunyai ciri isinya bersifat khayali, menggunakan bahasa yang konotatif, memenuhi syarat-syarat estetika seni. Sastra non-imajinatif mempunyai ciri-ciri isinya menekankan unsur faktual/faktanya, menggunakan bahasa yang cenderung denotatif, memenuhi unsur-unsur estetika seni. Pengertian indah, tidak semata-mata merujuk pada bentuk, tetapi juga keindahan isi yang berkaitan dengan emosi, imaji, kreasi dan ide (Retno Winarni, 2009:8).
Dengan demikian, kesamaan antara sastra imajinatif dan non-imajinatif adalah masalah estetika seni. Unsur estetika seni meliputi keutuhan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), fokus/pusat penekanan suatu unsur (right emphasis). Perbedaannya terletak pada isi dan bahasanya. Isi sastra imajinatif sepenuhnya bersifat khayal/fiktif sedangkan isi sastra non-imajinantif didominasi oleh fakta-fakta. Bahasa sastra imajinatif cenderung konotatif sedangkan bahasa sastra non-imajinatif cenderung denotatif.
Bentuk karya sastra yang termasuk karya sastra imajinatif adalah:
Puisi     : 1. Epik 2. Lirik 3. dramatik
Prosa    : 1. Fiksi (novel, cerpen, roman) dan
  2. Drama (drama prosa, drama puisi)
Bentuk karya sastra yang termasuk sastra non-imajinatif adalah:
1.      Esai, yaitu karangan pendek tentang suatu fakta yang dikupas menurut pandangan pribadi penulisnya.
2.      Kritik, adalah analisis untuk menilai suatu karya seni atau karya sastra.
3.      Biografi, adalah cerita tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain.
4.      Otobiografi, adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya sendiri.
5.      Sejarah, adalah cerita tentang zaman lampau suatu masyarakat berdasarkan sumber tertulis maupun tidak tertulis.
6.      Memoar, adalah otobiografi tentang sebagian pengalaman hidup saja.
7.      Catatan harian, adalah catataan seseorang tentang dirinya atau lingkungannya yang ditulis secara teratur.
Menurut Luxemburg (1992:4-6) beberapa ciri yang selalu muncul dari definisi-definisi yang pernah diungkapkan antara lain :
1.      Sastra merupakan ciptaan atau kreasi, bukan pertama-tama imitasi.
2.      Sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), terlepas dari dunia nyata.
3.      Sastra mempunyai ciri koherensi atau keselarasan antara bentuk dan isinya.
4.      Sastra menghidangkan sintesa (jalan tengah) antara hal-hal yang saling bertentangan.
5.      Sastra berusaha mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan.
6.      Pendekatan kedua dapat dilihat dengan cara melihat bagaimana seorang juri atau editor mempertimbangkan mutu sebuah karya sastra.
Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (1988:5-8) mengajukan syarat karya sastra bermutu, yaitu:
1.      Karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya.
2.      Sastra adalah komunikasi, artinya dapat dipahami oleh orang lain.
3.      Sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-kaidah seni.
4.      Sastra sebagai hiburan, artinya mampu memberi rasa puas atau rasa senang pada pembaca.
5.      Sastra adalah sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya.
6.      Sebuah karya sastra yang bermutu merupakan penemuan.
7.      Karya yang bermutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya.
8.      Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat, artinya padat isi dan bentuk, bahasa dan ekspresi.
9.      Karya sastra yang bermutu merupakan (hasil) penafsiran kehidupan.
10.  Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah pembaharuan.
Berbeda dengan Jacob Sumardjo dan Saini K.M., Luxemburg berpendapat bahwa:
1.      Karya sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun untuk tujuan komunikasi praktis dan sementara waktu.
2.      Karya sastra adalah teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas.
3.      Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut.
4.      Bahannya diolah secara istimewa.
5.      Karya sastra dapat kita baca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda.
6.      Karena sifat rekaannya sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugak kita untuk langsung bertindak.
7.      Sambil membaca karya sastra tersebut kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh atau dengan orang-orang lain.
8.      Bahasa sastra dan pengolahan bahan lewaat sastra dapat membuka batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru.
9.      Bahasa dan sarana-sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri.
10.  Sastra sering digunakan untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam masyarakat.
Dalam usaha memahai karya sastra, para sastrawan menggunakan berbagai pendekatan intrinsik dan ekstrinsik; bahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus. Semua itu dilakukan untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya tertentu, gagasan yang hendak disampaikannya, ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyampaiannya. Semua ini dilakukan sebagai usaha merebut makna yang terkandung di dalam karya tersebut serta menikmati keindahannya.
Dalam pengajaran bahasa dan sastra di sekolah diberikan empat jenis keterampilan berbahasa. Keempat jenis keterampilan tersebut adalah mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis. Dalam menguasai keterampilan berbahasa, awalnya anak mengenal bahasa melalui menyimak. Setelah menyimak, anak  berusaha untuk berbicara menirukan bahasa yang disimak. Tahap berikutnya, anak akan berlatih membaca dan berusaha untuk mengenal bentuk tulisan (wacana). Setelah itu, Ia akan berusaha untuk menulis. Jadi, antarkeempat keterampilan berbahasa tersebut memiliki keterkaitan yang erat.  Kegiatan tersebut dapat menjadi fokus pembelajaran. Berdasarkan aktivitas penggunaannya, keterampilan membaca dan menyimak tergolong keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif sedangkan keterampilan berbicara dan menulis termasuk keterampilan berbahasa yang bersifat produktif.
Menulis merupakan sarana mengembangkan daya pikir atau nalar dengan mengumpulkan fakta, menghubungkannya kemudian menarik kesimpulan. Menulis juga dapat memperjelas sesuatu kepada diri penulis karena gagasan-gagasan yang semula masih berserakan dan tidak runtut di dalam pikiran dapat dituangkan secara runtut dan sistematis. Melalui kegiatan menulis, sebuah gagasan akan dapat dinilai dengan mudah. Manfaat menulis yang lainnya adalah dapat memecahkan masalah dengan lebih mudah, memberi dorongan untuk belajar secara aktif, dan membiasakan diri berpikir dan berbahasa dengan tertib.
Menulis merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa. Keterampilan ini sangat didukung oleh keterampilan membaca. Membaca adalah sarana utama menuju ke keterampilan menulis (Murahimin, 1994:6). Sementara itu, pengertian menulis telah banyak di kemukakan oleh para ahli. Widyamartaya (1992: 4) mengemukakan bahwa menulis dapat pahami sebagai keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami tepat seperti yang dimaksud oleh pengarang. Menulis bisa juga diartikan sebagai usaha untuk berkomunikasi yang mempunyai aturan main serta kebiasaanya sendiri (Murahimin, 1994:13). Definisi menulis yang lain ialah suatu ketrampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tiak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif (Tarigan,  1985:3-4).
Lado (lewat Suriamiharja, dkk.  1996/1997: 1) bahwa to write is not put down the graphic sybols that represent a language one understands, so that other can read these graphic representation yang dapat diartikan bahwa menulis adalah menempatkan simbol-simbol grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dimengerti oleh seseorang, kemudian dapat dibaca oleh orang lain yang memahami bahasa tersebut besarta simbol-simbol grafisnya.

Secara aplikatif, Jabrohim dkk. (2003: 67) mengemukakan bahwa menulis kreatif sastra (naskah drama) merupakan suatu kegiatan seseorang “intelektual” yang menuntut seorang penulis harus benar-benar cerdas, menguasai bahasa, luas wawasannya, sekaligus peka perasaannya. Syarat-syarat tersebut menjadikan hasil penulisan puisi berbobot intelektual, tidak sekedar bait-bait kenes, cengeng, dan sentimental.
Menurut Akhadiah (1995: 2), menulis dapat didefinisikan sebagai:
(1)   merupakan suatu bentuk komunikasi
(2)   merupakan proses pemikiran yang dimulai dengan pemikiran tentang gagasan yang akan disampaikan
(3)   merupakan bentuk komunikasi yang berbeda dengan bercakap-cakap; dalam tulisan tidak terdapat intonasi, ekspresi wajah, gerakan fisik, serta situasi yang menyertai percakapan
(4)   merupakan suatu ragam komunikasi yang perlu dilengkapi dengan alat-alat penjelas serta ejaan dan tanda baca
(5)   merupakan bentuk komunikasi untuk menyampaikan gagasan penulis  kepada khalayak pembaca yang dibatasi oleh jarak, tempat, dan waktu.
Dengan mencermati teori-teori di atas, dapat dikemukakan bahwa menulis adalah  kegiatan menuangkan gagasan, ide, atau pendapat yang akan disampaikan kepada orang lain (pembaca) melalui media bahasa tulis untuk dipahami tepat seperti yang dimaksud oleh penulis.
Pada prinsipnya, fungsi utama tulisan adalah sebagai alat komunikasi secara tidak langsung atau tidak bertatap muka dengan orang yang diajak berkomunikasi. Bagi seorang siswa, kegiatan menulis mempunyai fungsi utama sebagai sarana untuk berpikir dan belajar. Melalui tugas menulis yang diberikan di sekolah, siswa telah belajar mengungkapkan ide dan mendemonstrasikan bahwa mereka telah menguasai materi pelajaran yang diberikan.
Selain fungsi, menulis juga mempunyai tujuan, di antaranya tulisan dapat digunakan untuk meyakinkan, melaporkan, mencatat, dan mempengaruhi orang lain. Akhadiah dkk. (1995: 1) mengatakan beberapa keuntungan yang dapat dipetik dari pelaksanaan kegiatan menulis yaitu (1) dapat mengenali kemampuan dan potensi diri, (2) mengembangkan beberapa gagasan, (3) memperluas wawasan, (4) mengorganisasikan gagasan secara sistematik dan mengungkapkan secara tersurat, (5) dapat meninjau dan menilai gagasan sendiri secara lebih objektif, (6) lebih mudah memecahkan permasalahan, (7) mendorong diri belajar secara aktif, dan (8) membiasakan diri berpikir serta berbahasa secara tertib. Kaswan Darmadi (1996: 1) mengungkapkan bahwa kemampuan menulis didapatkan bukan melalui warisan, tetapi didapatkan melalui proses belajar. Semakin sering menulis, semakin besar pula kemampuan seseorang dalam membuat tulisan. Hal senada juga diungkapkan Tarigan (1982: 3-4) bahwa menulis merupakan alat komunikasi secara tidak langsung. Kemampuan ini dapat diperoleh dengan cara praktik yang teratur.
Berdasarkan pendapat tersebut, jelaslah bahwa berbagai manfaat dapat diambil dari kemampuan menulis. Untuk itu, perlu dikembangkan kemampuan menulis dan berlatih menulis secara terus-menerus. Hal ini bertujuan menjadikan seseorang lancar dan baik dalam membuat tulisan. Apalagi mengingat kemampuan menulis merupakan kemampuan berbahasa yang paling sukar, tentu saja pengembangan dan latihan menulis dapat dijadikan pengalaman produktif yang berharga bagi siswa.
Kegiatan menulis karya sastra berisi kegiatan menulis puisi, menulis cerpen, menulis dongeng, menulis dialog atau drama pendek. Kegiatan terakhir adalah menelaah hasil sastra yang berisi kegiatan membaca hasil karya sastra (puisi, cerpen, dongeng, novel, drama) lalu menilainya, membaca hasil sastra lalu meresensinya, membaca hasil sastra lalu menganalisisnya.
Menurut Kholid A. Harras (2010), kegiatan bersastra menjadi bagian penting. Dalam pelaksanaannya, difokuskan pada bagian tertentu dengan tidak mengucilkan kegiatan lainnya. Kegiatan bersastra tidak dapat dipisahkan dari keterampilan berbahasa. Pemokusan didasarkan pada kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa. Kegiatan bersastra ini sebenarnya merupakan bagian pokok pembelajaranya akan diorientasikan pada kegiatan siswa berpengalaman dalam hal bersatra. Pada bagian ini, langkah-langkah konstruksi pengetahuan, pengalaman dan perasaan ditampakkan. Langkah-langkah pembelajaran kontekstual disajikan. Oleh karena itu, informasi pada bagian ini disajikan sebagai pembimbingan agar siswa masuk ke wilayah pembelajaran, pengalaman, berusaha konstruksi pengetahuan, memperoleh pengetahuan dengan usaha sendiri. Pembimbingan dilakukan dengan penyiapan lingkungan belajar. Unsur materi (teks) yang menantang, dukungan ilustrasi yang memikat, arahan yang sederhana dan jelas, cara menghubungkan dengan apa yang telah mereka ketahui, suasana kerjasama, saling memberi dan menerima dalam merumuskan konsep yang dibangun secara konstruktivistik. Kegiatan ini pada dasarnya mengarah pada kelas konstruktif dengan unsur keberhubungan (relating), keberpengalaman (experiencing), keberterapan (applying), kebersamaan (cooperating), dan keberalihan (transferring).
Langkah-langkah awal untuk menghasilkan sebuah tulisan sastra/fiksi yang baik.
Langkah 1. Menetapkan Niat: Mengapa Kita Menulis?
Segala sesuatu diawali dengan niat. Apapun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang melandasi. Termasuk ketika kita menulis. Hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. Sebuah keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba sesuatu yang baru.
Langkah 2: Beternak Ide
Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes, agenda atau diary atau apapun fasilitas penyimpan data yang kita miliki. Meskipun hanya berupa satu kalimat yang diperoleh dalam lintasan di benak. Buku dan kontemplasi adalah makanan untuk otak dan jiwa. Jangan penuhi pikiran dengan hal-hal kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar. Kembangbiakkan ide, yakni inseminasi dan kawin silang. Inseminasi adalah memasukkan elemen baru terhadap sebuah ide atau kisah lama. Sementara kawin silang adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda.  “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,”

Langkah 3: Berbuka dengan Tiga Kata
Menulis adalah makanan jiwa. Ia merupakan bentuk ekspresi diri, merupakan bentuk keparipurnaan psikologi seorang individu. Banyak menerawang ke langit atau menekuri bumi. ide harus dikejar, bukan dinanti. “menuliskan apa yang terlintas, bukan memikirkan apa yang hendak ditulis”

Langkah 4: Menentukan Judul
Buatlah judul yang membuat penasaran, eye-catching, intinya tonjolkan kelebihan dan tutupi kekurangan dalam tulisan. Ini sah-sah saja dalam dunia penulisan yang bisa dibilang sudah menjelma menjadi sebuah industri, dengan pranata pemasaran (marketing) yang canggih. Basic needs yang merupakan dasar piramida dalam survival hierarchy. Kebutuhan akan prestasi atau ekspresi diri adalah bagian puncak piramida yang hanya akan dicapai bila perut sudah kenyang atau kebutuhan lain akan keamanan terpenuhi. Lebih jauh, judul juga perlu disesuaikan untuk mengembangkannya menjadi bentuk tulisan non-fiksi atau fiksi.

Langkah 5: Bermain Dialog dan Narasi
Pelukisan kejadian atau tindakan dalam sebuah tulisan dapat memperlancar sebuah tulisan untuk dicerna dan diserap sari patinya. Di sinilah dialog berperan. Dialog dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi. Dialog mengungkapkan informasi tentang perjuangan seseorang, pastikan tidak memberi informasi yang sepele dan tidak relevan.
Hindari pendahuluan yang realistis; membuat ringkasan pendahuluan yang enak lalu langsung masuk ke dalam dialog. Namun, terlalu banyak dialog (Mohammad Diponegoro,1991), bisa membuat tulisan terlalu encer. Jadi, memainkan keduanya butuh nilai rasa. Keluarga atau sahabat diminta untuk ‘mencicipi’tulisan kita.

Langkah 6: Meniupkan Ruh Pada Sebuah Tulisan
Ruh, jiwa atau soul sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi, dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, semangat kontemplasi dan keterampilan teknis seorang penulis. Porsi keterampilan teknis hanya sekian persen karena unsur-unsur lain yang lebih condong mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan. Di samping memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: novelty (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari mainstream), similarity (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan visionary (memiliki pandangan jauh ke depan). Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi dari sebuah tulisan karena pancaran energi cita-cita atau semangat sang penulis yang terejawantahkan melalui kata ke pembaca dalam bentuk inspirasi. Punya visi ketika menulis. Alirkan emosi dan semangat sejadi-jadinya, dan berjibaku ketika melahirkan sebuah tulisan.

Langkah 7: Menjadi Epigon: Salahkah?
Dalam kepenulisan, orang yang meniru gaya tulisan seorang penulis lazim disebut epigon. Sebagaimana ekor yang takkan pernah mendahului kepala, seorang epigon tidak akan pernah berhasil mengungguli penulis yang ditirunya. Prinsip belajar yang paling primitif adalah mengamati dan meniru. Prinsip copy the master adalah kelaziman. Kewajiban dalam tahap awal pembelajaran menulis.
Bagi seorang penulis, menjadi epigon adalah seperti menjadi seorang bayi. Sebagai “bayi”, meniru atau mengimitasi adalah perlu. Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi. Dan gaya pengarang tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri. Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang sendiri yang sesuai dengan watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri. Hal penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya.

Komentar

  1. sangat bermanfaat tulisan ini dan ijin merangkum dalam tugas saya

    BalasHapus
  2. silakan saja. jika ingin versi lengkapnya, buka link http://jalistore.com/product/105/menulis-kreatif-sastra.html

    BalasHapus
  3. Makasih atas Tulisannya
    Sehingga bisa Menggugat kami (pembaca)
    Termotivasi untuk belajar Menulis atau Karang Menulis sesuai apa yang ada dlm pikiran kita sendiri.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer