FAKTOR NURTURE DAN NATURE PEMEROLEHAN BAHASA DALAM TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK

FAKTOR NURTURE DAN NATURE PEMEROLEHAN BAHASA

DALAM TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia, dalam segala tataran dan tingkatan tumbuh-kembang, tidak bisa lepas dari tatanan komunikasi ketika menjalin relasi dan interaksi dengan sesamanya. Untuk mencapai sasaran dalam kepentingan tersebut, bahasa merupakan media komunikasi yang sangat dibutuhkan.

Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarsesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:16)

Bahasa mendapat kedudukan yang pokok dalam komunikasi langsung di antara manusia. Bahasa pertama-tama adalah bahasa yang diucapkan atau bahasa lisan. Bahasa lisan tidak berdikari, tetapi merupakan komunikasi seorang pribadi dan oleh karena komunikasi manusia pertama-tama berupa tindakan, maka bahasa yang paling jelas artinya dalam rangka tindakan itu. Bahasa lisan menyertai dan mengiringi komunikasi efektif. (A.H. Bakker, 1978:113)

Bahasa adalah alat komunikasi yang dirancang dan digunakan oleh manusia. Oleh karena itu, dalam sejumlah deskripsi tentang ciri bahasa unsur manusiawi menjadi salah satu unsur yang ada pada bahasa.

Edward Sapir (A. Chaedar Alwasilah, 1985:7) memberi batasan bahasa sebagai purely human and non-instinctive methode of communicating ideas, emotions, and desires, by mean a systems of voluntarily produced symbols. Dalam batasan tersebut bahasa memiliki unsur: (1) manusiawi (human), (2) dipelajari (non-instinctive), (3) sistem (systems), (4) manasuka atau arbitrer (voluntarily), dan (5) simbol (symbols).

Praktik komunikasi dan berbahasa sejalan dengan masa tumbuh-kembang manusia. Karakteristik masa tumbuh-kembang manusia, sejak dalam kandungan hingga lanjut usia, dikaji dan dikelompokkan para ahli ke dalam beberapa bagian perkembangan, antara lain:

1. psikoseksual (Sigmund Freud),

2. psikososial (Erik H. Erikson),

3. mental/kognitif (Jean Piaget),

4. moral (Lawrence Kohlberg), dan

5. spiritualitas (James Fowler).

Para ahli tersebut memaparkan ciri khas tumbuh-kembang manusia berdasarkan masa yang dijalani dalam kondisi normal.

Pada saat menjalin hubungan dengan manusia lain – pada jenis dan tingkat komunikasi sesederhana apa pun – bahasa menjadi media pengungkapan gagasan hingga hubungan berlangsung sesuai yang dikehendaki.

Materi bahasa bisa dipahami melalui linguistik sebagaimana dikemukakan oleh Yudibrata, et al. (1998:2) bahwa linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa, biasanya menghasilkan teori-teori bahasa; tidak demikian halnya dengan manusia, pada kelompok usia tertentu yang berupaya memperoleh bahasa. Kelompok manusia pada usia tertentu sebagai pribadi dengan segala prilakunya termasuk proses yang terjadi dalam diri manusia ketika belajar bahasa tidak bisa dipahami oleh linguistik, tetapi hanya bisa dipahami melalui ilmu lain yang berkaitan dengannya, yaitu psikologi. Atas dasar hal tersebut muncullah disiplin ilmu yang baru yang disebut psikolinguistik atau disebut juga dengan istilah psikologi bahasa.

Terkait dengan hal di atas, dapat dikatakan bahwa manusia membutuhkan bahasa untuk membangun relasi dan interaksi dengan manusia lain melalui komunikasi. Bahasa mempermudah berlangsungnya komunikasi pada semua kelompok usia, tak terkecuali pada kelompak usia anak-anak.

Berdasarkan pemikiran di atas, dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara bahasa dan pemerolehan bahasa pada masa tumbuh-kembang manusia berikut faktor yang mempengaruhinya merupakan sebuah tema yang menarik dalam kajian psikolinguistik. Maka dari itu, hubungan tersebut perlu diungkapkan dengan menyertakan pandangan dan konsep dari beberapa ahli yang berhubungan dengan disiplin ilmu ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, rumusan masalah yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimana sejarah dan perkembangan psikolinguistik?

2. Bagaimana hakikat psikolinguistik?

3. Bagaimana pemerolehan bahasa menurut sudut pandang psikolinguistik?

4. Bagaimana peran unsur nurture dan nature dalam pemerolehan bahasa?

C. Tujuan

Dari rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan:

1. sejarah dan perkembangan psikolinguistik,

2. hakikat psikolinguistik,

3. pemerolehan bahasa dalam sudut pandang psikolinguistik, dan

4. peran unsur nurture dan nature dalam pemerolehan bahasa.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Psikolinguistik

Psikolinguistik adalah ilmu hibrida, yakni ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu – psikologi dan linguistik. Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan abad ke-20 tatkala psikolog Jerman Wilhelm Wundt menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologi. Pada waktu itu telaah bahasa mulai mengalami perubahan dari sifatnya yang estetik dan kultural ke suatu pendekatan yang “ilmiah”. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:2)

Peristiwa lain yang berkenaan dengan perkembangan psikolinguistik terjadi di Benua Amerika. Kajian tentang kaitan antara bahasa dan ilmu jiwa juga mulai bertumbuh. Perkembangan keterkaitan bahasa dan ilmu jiwa tersebut dibagi menjadi empat tahap, yaitu: (1) tahap formatif, (2) tahap linguistik, (3) tahap kognitif, dan (4) tahap teori psikolinguistik, realita psikologi, dan ilmu kognitif. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:2)

Tahap formatif dimulai dengan upaya seorang psikolog dari Carnegie Corporation Amerika, John W. Gardner, menggagas hibridasi (penggabungan) psikologi dan linguistik. Gagasan tersebut dikembangkan oleh psikolog John B. Carroll yang pada tahun 1951 menyelenggarakan seminar di Universitas Cornell untuk merintis keterkaitan kedua disiplin ilmu tersebut. Pertemuan itu dilanjutkan pada tahun 1953 di Universitas Indiana yang mendorong dilakukannya penelitian tentang keterkaitan psikologi dan bahasa. Pada saat itulah istilah psikolinguistik kali pertama dipakai. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:3)

Tahap linguistik ditandai dengan pergeseran orientasi. Semula ilmu linguistik yang berorientasi pada aliran behaviorisme beralih ke mentalisme (nativisme) pada tahun 1957 dengan diterbitkannya buku Chomsky, Syntactic Structures. Kritik tajam dari Chomsky terhadap teori behavioristik B.F. Skinner telah membuat psikolinguistik sebagai ilmu banyak diminati orang. Hal ini makin berkembang karena pandangan Chomsky tentang universal bahasa makin mengarah pada pemerolehan bahasa, khususnya pertanyaan “mengapa anak di mana pun juga memperoleh bahasa mereka dengan memakai strategi yang sama?” (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:3)

Tahap kognitif. Pada tahap ini psikolinguistik mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan biologis manusia dalam pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa pada manusia bukanlah penguasaan komponen bahasa tanpa berlandaskan pada prinsip-prinsip kognitif. Tatabahasa, misalnya, tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terlepas dari kognisi manusia karena konstituen dalam suatu ujaran sebenarnya mencerminkan realita psikologi yang ada pada manusia tersebut. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:6)

Tahap teori psikolinguistik menunjukkan bahwa psikolinguistik tidak lagi berdiri sebagai ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu lain karena pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia menyangkut banyak cabang ilmu pengetahuan yang lain. Psikolinguistik tidak lagi terdiri atas psiko dan linguistik saja, tetapi juga menyangkut ilmu-ilmu lain seperti neurologi, filsafat, primatologi, dan genetika. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:6)

B. Hakikat Psikolinguistik

Dalam membahas pengertian psikolinguistik, terlebih dahulu perlu dideskripsikan pengertian ilmu-ilmu tersebut. Psikologi berasal dari bahasa Inggris pscychology. Kata pscychology berasal dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi berati ilmu jiwa.

Pengertian psikologi sebagai ilmu jiwa dipakai ketika psikologi masih berada atau merupakan bagian dari filsafat, bahkan dalam kepustakaan kita pada tahun 50-an ilmu jiwa lazim dipakai sebagai padanan psikologi. Kini dengan berbagai alasan tertentu (seperti timbulnya konotasi bahwa psikologi langsung menyelidiki jiwa) istilah ilmu jiwa tidak dipakai lagi.

Pergeseran atau perubahan pengertian yang tentunya berkonsekuensi pada objek psikologi sendiri tadi tentu saja berdasar pada perkembangan pemikiran para peminatnya. Bruno, seperti dikutip Muhibin Syah (2004:2), secara rinci mengemukakan pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama, psikologi adalah studi mengenai ruh. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku organisme.

Pengertian pertama merupakan definisi yang paling kuno dan klasik (bersejarah) yang berhubungan dengan filsafat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Mereka menganggap bahwa kesadaran manusia berhubungan dengan ruhnya. Karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia pun merupakan bagian dari studi mengenai ruh.

Ketika psikologi melepaskan diri dari filsafat sebagai induknya dan menjadi ilmu yang mandiri pada tahun 1879, yaitu saat Wilhelm Wundt (1832-1920) mendirikan laboratorium psikologinya, ruh dikeluarkan dari studi psikologi. Para ahli, di antaranya William James (1842-1910) mengemukakan pengertian kedua yang menyatakan bahwa psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental.

Pengertian ketiga dikemukakan J.B. Watson (1878-1958), sebagai tokoh yang radikal yang tidak puas dengan definisi tadi, lalu mendefinisikan psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang tingkah laku (behavior) organisme. Selain itu, Watson sendiri menafikan (menganggap tidak ada) eksistensi ruh dan kehidupan mental. Eksistensi ruh dan kehidupan internal manusia menurut Watson dan kawan-kawannya tidak dapat dibuktikan karena tidak ada, kecuali dalam khayalan belaka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa psikologi behaviorisme adalah aliran ilmu jiwa yang tidak berjiwa.

Untuk menengahi pendapat tadi muncullah pengertian yang dikemukakan oleh pakar yang lain, di antaranya Crow & Crow. Menurutnya, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, yakni interaksi manusia dengan dunia sekitarnya (manusia, hewan, iklim, kebudayaan, dan sebagainya).

Pengertian psikologi di atas sesuai dengan kenyataan yang ada selama ini, yakni bahwa para psikolog pada umumnya menekankan penyelidikan terhadap perilaku manusia yang bersifat jasmaniah (aspek psikomotor) dan yang bersifat rohaniah (kognitif dan afektif). Tingkah laku psikomotor (ranah karsa) bersifat terbuka, seperti berbicara, duduk, dan berjalan, sedangkan tingkah laku kognitif dan afektif (ranah cipta dan ranah rasa) bersifat tertutup, seperti berpikir, berkeyakinan, dan berperasaan.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak.

Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 1982: 99). Sejalan dengan pendapat di atas, Martinet mengemukakan bahwa linguistik adalah telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. (Abdul Chaer, 2003:5)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa linguistik ialah ilmu tentang bahasa dengan karakteristiknya. Bahasa sendiri dipakai oleh manusia, baik dalam berbicara maupun menulis dan dipahami oleh manusia baik dalam menyimak ataupun membaca. Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik perilaku yang tampak maupun perilaku yang tidak tampak.

Untuk lebih jelasnya, mengenai pengertian psikolinguistik berikut ini dikemukakan beberapa definisi psikolinguistik. Aitchison, seperti dikutip Soenjono Dardjowidojo (2005:7), berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang bahasa dan minda. Minda atau otak beroperasi ketika terjadi pemakaian bahasa. Berkenaan dengan hal tersebut, Harley (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses-proses mental dalam pemakaian bahasa.

Sebelum menggunakan bahasa, seorang pemakai bahasa terlebih dahulu memperoleh bahasa. Dalam kaitan ini Levelt (Samsunuwiyati Marat, 1983:1) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan dan perolehan bahasa oleh manusia.

Senada dengan pendapat Levelt, Harimurti Kridalaksana (1982:140) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa, perilaku dan akal budi manusia, serta kemampuan berbahasa dapat diperoleh.

Sejalan dengan pendapat di atas, Slobin (Abdul Chaer, 2003:5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Abdul Chaer (2003:6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.

Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dalam kaitan ini Garnham (Tadkirotun Musfiroh, 2002:1) mengemukakan: “Psycholinguistics is the study of a mental mechanisms that make it possible for people to use language. It is a scientific discipline whose goal is a coherent theory of the way in which language is produce and understood.” Psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi maupun memahami ujaran.

Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: (1) komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang lain dan memahami apa yang dimaksud, (2) produksi, yakni proses-proses mental pada diri manusia yang membuat manusia dapat berujar, (3) landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (4) pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa mereka. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:7)

C. Pemerolehan Bahasa Dalam Sudut Pandang Psikolinguistik

Soenjono Dardjowidjojo (2005:225) menyebutkan bahwa istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris, acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan istilah Inggris, learning. Dalam pengertian ini proses tersebut dilakukan dalam tatanan formal, yakni belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian, proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar di kelas adalah pembelajaran.

Minat terhadap bagaimana anak memperoleh bahasa sebenarnya sudah lama sekali ada. Konon raja Mesir pada abad ke-7 SM, Psammetichus I, menyuruh bawahannya untuk mengisolasi dua dari anaknya untuk mengetahui bahasa apa yang akan dikuasai anak-anak itu. Sebagai raja Mesir, ia mengharapkan bahasa yang keluar dari anak-anak itu adalah bahasa Arab, meskipun akhirnya dia kecewa. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:226)

Ingram, seperti dikutip Soenjono Dardjowidjojo (2005:226), membagi perkembangan studi tentang pemerolehan bahasa menjadi tiga tahap, yaitu:

1. Periode buku harian (tahun 1876 s.d. 1926) – kajian pemerolehan bahasa anak dilakukan dengan cara peneliti mencatat apa pun yang diujarkan oleh anak dalam suatu buku harian. Data dalam buku harian ini kemudian dianalisis untuk disimpulkan hasil-hasilnya.

2. Periode sampel besar (tahun 1926 s.d. 1957) – berkaitan dengan munculnya aliran baru dalam ilmu jiwa yang bernama behaviorisme yang menekankan peran lingkungan dalam pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan bahasa. Untuk mendapatkan hasil yang sahih dan akurat diperlukan sampel yang besar.

3. Periode kajian longitudinal, yang dimulai dengan munculnya buku Chomsky Syntactic Structures (1957), merupakan titik awal tumbuhnya aliran mentalisme atau nativisme pada ilmu linguistik. Aliran ini menandaskan adanya bekal kodrati yang dibawa pada waktu anak dilahirkan. Bekal kodrati inilah yang membuat anak di mana pun juga memakai strategi yang sama dalam memperoleh bahasanya. Ciri utama periode kajian longitudinal adalah memerlukan jangka waktu yang panjang karena yang diteliti adalah perkembangan sesuatu yang sedang dikaji dari satu waktu sampai ke waktu yang lain.

Selain pembagian periode di atas, hingga saat ini dikenal tiga pendekatan umum yang berkembang sebagai teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa pada manusia. Pertama, pendekatan nativisme. Secara umum pendekatan nativisme mengacu kepada pendekatan yang menekankan kemampuan alamiah manusia untuk dapat berbahasa. Kegiatan berbahasa merupakan kemampuan khusus manusia dan keberadaannya tidak terikat oleh inteligensi. Bahasa ibu adalah turunan utama dari seperangkat kemampuan berbahasa yang dimiliki manusia secara alami. Ketika manusia mengkaji dan mengeksplorasi kemampuan dasar berbahasanya, pada tahap inilah inteligensi berbahasa berlaku. Sedangkan pemerolehan bahasa kedua berasal dari penguasaan manusia akan pengetahuan tentang bahasa ibunya melalui penghubungan pengetahuan bawaan tentang dasar bahasa ibu dengan prinsip-prinsip struktur bahasa lain yang dipelajarinya. (Sofa, 28 Januari 2008)

Kedua, pendekatan behaviourisme, yang berkebalikan dengan pendekatan nativisme. Pendekatan ini menekankan pentingnya unsur eksternal dalam pemerolehan kemampuan berbahasa. Pendekatan ini mendudukkan manusia sebagai individu yang pasif. Berbahasa adalah bagian dari perilaku yang dipelajari manusia. Oleh karena itu, pembelajaran harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan. Meniru adalah kata kunci pendekatan ini – perilaku kebahasaan dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha berbahasa menyenangkan atau berterima, maka perilaku itu akan terus dikerjakan, sebaliknya bila hasilnya tidak menguntungkan atau tidak berterima, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Hal tersebut akan mengubah perilaku dan kemampuan berbahasa, sedangkan perubahan perilaku adalah inti dari pembelajaran. Hal tersebut berlaku bagi proses pembelajaran bahasa ibu maupun bahasa selain bahasa ibu. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Hanya stimulus dan respon itu sendiri yang bisa diamati dan diukur, untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku. (Sofa, 28 Januari 2008)

Ketiga, pendekatan interaksionis adalah gabungan dari dua pendekatan sebelumnya, yang menekankan perpaduan antara faktor internal dan eksternal dalam proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa. Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa. Hubungan antara keduanya adalah hasil dari interaksi aktual antara pembelajar dan orang lain. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif manusia dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya. Kemudian proses pemerolehan dan pembelajaran dipengaruhi juga oleh lingkungan sekitarnya. (Sofa, 28 Januari 2008)

Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) anak terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.

Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni: (1) jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik dan (2) pembicara harus memperoleh ”kategori-kategori kognitif” yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, dan kausalitas. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1). (Sofa, 28 Januari 2008)

Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal – semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain dan bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.

Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan dan kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. (Sofa, 28 Januari 2008)

Sejak dini bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi kali pertama mengenal sosialisasi bahwa dunia ini adalah tempat orang saling berbagi rasa.

Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat, didengar, dan yang disentuh anak yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk.

Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.

Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orangtua (khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan. Pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang dijumpai. Kata-kata yang pertama diperoleh anak tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.

Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya.

Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.

Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu perkembangan negatif atau penyangkalan, perkembangan interogratif atau pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.

Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan pertanyaan, yaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar).

Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih reflektif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Pada masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalam tiga bidang, yaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran metalinguistik.

Proses pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang berbeda, berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.

Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi, ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, yaitu pemerolehan:

1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama (seorang anak penutur asli), sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,

2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja,

3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua,

4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit,

5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali.

Pandangan pemerolehan bahasa secara alami yang merupakan pandangan kaum nativistis yang diwakili oleh Noam Chomsky, menunjukkan bahwaa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan bahasa terjadi pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pemerolehan bahasa. Anak sudah dibekali apa yang disebut peranti penguasaan bahasa (LAD, Language Acquisition Device).

Pandangan pemerolehan bahasa secara disuapi adalah pandangan kaum behavioristis yang diwakili oleh B.F. Skinner dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antara perilaku-perilaku lain. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan. Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya. Perkembangan bahasa ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Anak dapat menguasai bahasanya melalui peniruan. Belajar bahasa dialami anak melalui prinsip pertalian stimulus-respon.

Perkembangan bahasa anak adalah suatu kemajuan yang sekarang hingga mencapai kesempurnaan. Pandangan kognitif diwakili oleh Jean Piaget berpendapat bahwa bahasa bukan ciri alamiah yang terpisah, melainkan satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak, yang penting adalah interaksi anak dengan lingkungannya.

Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.

Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja.

Hubungan antara pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Ciri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosa kata, keseluruhan morfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilah pemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orang dewasa.

Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa istilah lagi yaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik.

Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa pertama yaitu bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang, yaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu.

Apabila tinjauan dilakukan dari segi urutan, maka pemerolehan bahasa dibagi dalam dua jenis, yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.

Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua bahasa (di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas).

Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya) dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan oleh penuturnya).

Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli) dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Sedangkan ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan (dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.

Komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa ada tiga jenis, yaitu: prospensity (kecenderungan), language faculty (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke bahasa.

D. Kontroversi Nurture dan Nature

Manusia di mana pun pasti dapat menguasai bahasa atau memperoleh bahasa asalkan tumbuh di dalam suatu masyarakat. Proses pemerolehan ini merupakan hal yang kontroversial di antara para ahli bahasa. Mereka mempermasalahkan apakah pemerolehan bahasa ini bersifat nurture atau nature. Mereka yang menganut aliran behaviorisme mengatakan pemerolehan ini bersifat nurture, yakni pemerolehan itu dipengaruhi oleh lingkungannya. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:234)

Pelopor modern dalam pandangan ini adalah seorang psikolog dari universitas Harvard, B.F. Skinner. Dalam verbal behaviour (1957) Skinner menyimpulkan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan pemakaian bahasa, berdasarkan adanya stimulus, yang kemudian diikuti oleh respon. Menurut Skinner bahasa adalah seperangkat kebiasaan. Kebiasaan hanya diperoleh dengan pelatihan yang bertubi-tubi. Pandangan inilah yang menjadi dasar mengapa latihan tubian (drills) merupakan bagian yang sangat penting dalam pengajaran bahasa asing pada metode seperti Oral Aproach atau Audiolingual Approach. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:235)

Pada tahun 1959 Chomsky menulis resensi yang secara tajam menyerang teori Skiner. Pada dasarnya Chomsky berpandangan bahwa pemerolehan bahasa tidak didasarkan pada nurture, tetapi pada nature. Anak memperoleh kemampuan untuk berbahasa seperti memperoleh kemampuan untuk berdiri dan berjalan (tabula rasa), tetapi anak telah dibekali alat berupa piranti pemerolehan bahasa. Piranti ini bersifat universal, artinya anak mana pun pasti memiliki piranti ini. Ini terbukti dari adanya persamaan dari satu anak dengan anak yang lainnya dalam proses pemerolehan bahasa mereka. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:235)

Lebih lanjut Soenjono Dardjowidjodo (2005:236) menjelaskan nurture sebagai masukan yang berupa bahasa, yang akan menentukan bahasa mana yang akan diperoleh anak, tetapi prosesnya sendiri berupa kodrat (innate) dan inner-directed. Oleh karena itu, bahasa bukan suatu kebiasaan melainkan suatu sistem yang diatur oleh seperangkat peraturan (rule-governed). Bahasa juga kreatif dan memiliki ketergantungan struktur.

Kontroversi antara nurture dan nature ini masih berlanjut, meskipun sebagian besar linguis kini percaya bahwa pandangan Chomsky yang mendekati kebenaran. Namun demikian, faktor nurture tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Banyak contoh peristiwa yang menggambarkan nurture vs nature, misalnya karya fiksi Edgar Rice Burogh,Tarzan, sebenarnya bukti khayalan atau adanya interaksi antara nurture dengan nature. Pada tahun 1800, di Prancis ditemukan anak laki-laki bermur 11-12 tahun yang sering menyusup desa dan hutan dipelihara dan dididik oleh seorang tuli ternyata gagal untuk berbicara seperti manusia pada umumnya. Peristiwa nurture vs nature juga terjadi di California, sebagai objek penelitian seorang anak bernama Ginie yang disekap orangtuanya di kamar kecil selama 13 tahun. Ginie diberi makan, tetapi tidak pernah diajak bicara, setelah ditemukan dan kemudian dilatih berbahasa selama delapan tahun ternyata gagal dan tetap saja tidak dapat berbahasa seperti manusia lainnya. (Soenjono Dardjowidjojo, 2005:237)

Dari gambaran di atas tampak bahwa baik nurture maupun nature untuk memperoleh bahasa. Nature diperlukan karena tanpa bekal kodrati makhluk tidak mungkin dapat berbahasa. Nurture juga diperlukan karena tanpa adanya input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan terwujud.

Jadi, seperti halnya tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor bawaan dan faktor pengalaman (lingkungan), pemerolehan bahasa juga dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor alam sekitar (nurture). Keduanya saling terkait dan saling mendukung dalam upaya pemerolehan bahasa manusia.

BAB III

SIMPULAN

Psikolinguistik merupakan bidang ilmu interdisipliner yang merupakan paduan antara psikologi (mengkaji perilaku manusia) dan linguistik (mengkaji masalah bahasa).

Karakteristik kedua bidang ilmu saling melengkapi untuk menghasilkan kajian studi atas perilaku manusia yang berhubungan dengan produksi, pemerolehan, pemahaman, dan penggunaan bahasa – baik pada individu normal maupun individu abnormal.

Pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua dipelajari secara khusus dalam psikolinguistik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip pemahaman ciri tumbuh-kembang manusia sesuai dengan tingkat usianya.

Seperti halnya tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor bawaan dan faktor pengalaman (lingkungan), pemerolehan bahasa juga dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor alam sekitar (nurture). Oleh karena itu, semua jenis usaha membina pemerolehan bahasa harus memperhatikan kedua unsur yang saling melengkapi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Bakker, A.H. 1979. “Manusia dan Simbol” Dalam Sekitar Manusia yang Diredaksi oleh Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens. Jakarta: PT Gramedia.

Harimurti Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Muhibin Syah. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Samsunuwiyati Marat. 1983. Psikolinguistik. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.

Soenjono Dardjowidjojo. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sofa. 2008. Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua. http://id.wordpress.com/tag/ bahasa/

Tadkirotun Musfiroh. 2002. Pengantar Psikolinguistik. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Yudibrata, et al. 1998. Psikolinguistik. Jakarta: Depdikbud PPGLTP Setara D-III.

Komentar

  1. Bagus makalahnya, Mas. Izin gunakan ini sebagai sumber untuk makalah kompetensi berbahasa.

    BalasHapus
  2. woke. . . silakan dipake. . .
    semoga bermanfaat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer