berbicara drama
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Keterampilan Berbicara
- Pengertian Keterampilan Berbicara
Menurut King (2005) berbicara merupakan bentuk komunikasi manusia yang essensial, yang membedakan kita sebagai suatu spesies. Selanjutnya Hendrikus (1991: 14) mengemukakan bahwa berbicara merupakan titik tolak dari retorika, yang berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi motivasi). Dengan kata lain, berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu, pembicaraan itu setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan itu muncul, ketika manusia mengungkapkan dan menyampaikan pikirannya kepada orang lain.
Tarigan, dkk (1997: 37) menyatakan bahwa, berbicara merupakan keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan Berbicara diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, dan menyampaikan pikiran, gagasan, serta perasaan (Tarigan, 1997: 15). Berbicara juga merupakan suatu aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan dalam kehidupan berbahasa yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan dari bunyi-bunyi yang didengar itu, kemudian manusia belajar untuk mengucapkan dan akhirnya terampil berbicara (Nurgiyantoro, 1995: 155).
9
Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan yang harus dikembangkan agar orang tersebut dapat berkomunikasi dengan orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 148) berbicara adalah suatu kegiatan berkata, bercakap, berbahasa, dan melahirkan pendapat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan keterampilan yang dimiliki manusia untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan gagasan dan perasaan melalui kata-kata maupun kalimat-kalimat yang diucapkan.
- Tujuan Berbicara
Setiap kegiatan berbicara yang dilakukan manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan. Menurut Tarigan (1997: 16), tujuan berbicara yang utama adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka seyogjanyalah sang pembicara memahami segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan, dan harus mengevaluasi efek komunikasinya terhadap (para) pendengar, serta harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi, baik secara umum maupun perorangan. Tarigan (1997: 16) mengemukakan bahwa pada dasarnya berbicara memiliki tiga maksud umum, yaitu: (1) menyampaikan informasi, melaporkan, (2) menjamu, menghibur, (3) membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan.
Gabungan dari campuran maksud-maksud itu pun mungkin saja terjadi dalam suatu pembicaraan. Selanjutnya perlu kita pahami beberapa prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan berbicara sebagai berikut.
1) Membutuhkan paling sedikit dua orang.
2) Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama.
3) Menerima referensi atau mengakui suatu daerah referensi umum.
4) Merupakan suatu pertukaran partisipan.
5) Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada lingkungan yang lainnya dengan segera.
6) Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini.
7) Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara atau bunyi bahasa dan pendengaran.
8) Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil (Brooks dalam Tarigan, 1998: 16-17).
Selanjutnya Tarigan, dkk (1997: 37) membedakakan tujuan pembicara menjadi lima golongan, yaitu: (1) menghibur, (2) menginformasikan, (3) menstimulasi, (4) meyakinkan, (5) menggerakkan.
Berdasarkan uraian di atas selanjutnya dapat disimpulkan bahwa seseorang melukan kegiatan berbicara selain untuk berkomunikasi juga bertujuan untuk mempengaruhi orang lain dengan maksud apa yang dibicarakan dapat diterima dengan baik oleh lawan bicara. Adanya hubungan timbal balik secara aktif dalam kegiatan berbicara yaitu antar pembicara dengan pendengar akan membentuk kegiatan berkomunikasi menjadi lebih efektif dan efisien.
- Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Berbicara
Menurut Arsyad dan Mukti (1988: 24-25) faktor-faktor yang menentukan keefektifan berbicara adalah: (1) pembicara, (2) pendengar, dan (3) pokok permasalahan yang dipilih. Selain itu faktor bahasa juga sangat menentukan berhasil tidaknya kegiatan berbicara. Si pembicara harus memperhitungkan siapa pendengarnya dan menyesuaikan bahasanya dengan pendengarnya, baik diksi maupun stuktur kalimatnya.
Berdasarkan pembelajaran yang berfokus berbicara yang tertera dalam GBPP Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SLTP Kurikulum 1994 dalam Tarigan, dkk (1997: 10), daerah cakupan berbicara meliputi kegiatan komunikasi lisan, yaitu: (1) berceramah, (2) berdebat, (3) bercakap-cakap, (4) berkhotbah, (5) bertelepon, (6) bercerita, (7) berpidato, (8) bertukar pikiran, (8) bertanya, (9) bermain peran, (10) berwawancara, (11) berdiskusi,(12) berkampanye, (13) menyampaikan sambutan, selamat, pesan, (14) melaporkan, (15) menanggapi, (16) menyanggah pendapat, (17) menolak permintaan, tawaran, ajakan, (18) menyatakan sikap, (19) menyatakan sikap, (20) menginformasikan, (21) membahas, (22) melisankan (isi drama, cerpen, puisi, bacaan), (23) menguraikan cara membuat sesuatu, (23) menawarkan sesuatu, (24) meminta maaf, (25) memberi petunjuk, (26) memperkenalkan diri, (27) menyapa, (28) mengajak, (29) mengundang, (30) memperingatkan, mengoreksi, (31) tanya-jawab.
Berhubungan dengan kemampuan berbicara dengan kemampuan berbicara, pengajaran berbahasa hendaknya memperhatikan beberapa kemampuan yang diperlukan agar siswa dapat berbicara dengan baik. Kemampuan tersebut tidak saja berasal dari ilmu pengetahuan dan bahasa tetapi dapat pula beberapa faktor penunjang.
Santoso dalam Mulyaningsih (2003: 10) mengatakan bahwa dalam berbicara diperlukan hal-hal di luar kemampuan berbahasa dan ilmu pengetahuan. Pada saat berbicara diperlukan (1) penguasaan bahan, (2) bahasa, (3) keberanian dan ketenangan, (4) kesanggupan menyampaikan ide dengan lancara dan teratur.unsur kegiatan berbicara disampaikan Nurhadi dalam Mulyaningsih (2003: 10), yaitu: (1) lafal, (2) tata bahasa, (3) kosakata, (4) jeda dan tempo, (5) kefasihan, (6) ketenangan, dan (7) pemahaman.
Arsyad dan Mukti (1988: 17-22) mengatakan faktor-faktor yang menunjang keterampilan berbicara adalah sebagai berikut.
1) Faktor kebahasaan, meliputi:
a) pengucapan vokal
b) pengucapan konsonan
c) penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai,
d) pilihan kata
e) pilihan ungkapan
f) variasi kata
g) tata bentukan
h) stuktur kalimat, dan
i) ragam kalimat
2) Faktor nonkebahasaan, meliputi:
a) keberanian dan semangat
b) kelancaran
c) kenyaringan suara
d) pandangan mata
e) gerak-gerik dan mimik
f) keterbukaan
g) penalaran
h) penguasaan topik
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kegiatan berbicara adalah faktor kebahasaan (linguistik) dan faktor nonkebahasaan (nonlinguistik).
- Faktor Penghambat dalam Kegiatan Berbicara
Ada kalanya proses komunikasi mengalami gangguan yang mengakibatkan pesan yang diterima oleh pendengar tidak sama dengan apa yang dimaksud oleh pembicara. Ada tiga faktor penyebab gangguan dalam kegiatan berbicara, yaitu:
a) faktor fisik, yaitu yang ada pada partisipan sendiri dan faktor yang berasal dari luar partisipan,
b) faktor media, yaitu faktor linguistik dan faktor nonlinguistik, misalnya tekanan, lagu, irama, ucapan, dan isyarat gerak bagian tubuh, dan
c) faktor psikologis, yaitu kondisi kejiwaan partisipan komunikasi, misalnya dalam marah , nangis, dan sakit (Sujanto, 1988; 192).
e. Metode Pengajaran Berbicara
Metode pengajaran berfungsi sebagai sarana mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang menjadi kenyataan dalam pelaksanaan pengajaran pokok bahasan tertentu.metode pengajaran berbicara yang baik selalu memenuhi berbagai kriteria. Kriteria itu berkaitan dengan tujuan, bahan, pembinaan keterampilan, dan pengalaman belajar. Kriteria yang harus dipenuhi oleh pengajaran berbicara, antara lain, adalah sebagai berikut.
1) Relevan dengan tujuan pengajaran.
2) Memudahkan siswa memahami materi pengajaran.
3) Mengmbangakan butir-butir keterampilan proses.
4) Dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang.
5) Merangsang siswa untuk belajar.
6) Mengembangkan penampilan siswa.
7) Mengembangkan kreatifitas siswa.
8) Tidak menuntut peralatan yang rumit.
9) Mudah dilaksanaan.
10) Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan (Tarigan, dkk, 1997: 152).
Guru keterampilan berbicara hendaknya jangan sampai tenggelam dalam penyakit lama, yakni mengajar secara rutin, monoton, tanpa variasi. Di samping kuat dalam penguasaan materi pelajaran guru juga harus kaya pengalaman dengan beranekaragam metode pengajaran atau tehnik pengajaran. Guru berbicara harus mahir tentang seluk-beluk berbicara dan kaya pengalaman dengan teknik pengajaran berbicara. Beberapa metode pengajaran berbicara, adalah sebagai berikut: (1) ulang-ucap, (2) lihat-ucap, (3) memerikan, (4) menjawab pertanyaan, (5) bertanya, (6) pertanyaan menggali, (7) melanjutkan cerita, (8) menceritakan kembali, (9) percakapan, (10) paraphrase, (11) reka cerita gambar, (12) bercerita, (13) memberi petunjuk, (14) melaporkan, (15) bermain peran, (16) wawancara, (17) diskusi, (18) bertelepon, (19) dramatisasi (Tarigan, dkk, 1997: 155-179)
2. Pengertian dan Beberapa Pendekatan dalam Teater
- Latar Belakang dan Pengertian Dasar Teater
Teater pada umumnya akan menengok pada sejarah drama barat, tempat asal tumbuhnya teater. Drama barat tumbuh dari ritus atau upacara agama karena kelahirannya itu dapat dimengerti dan di pahami tentang ritus yang akan membantu suatu upacara keagamaan. Di dalamnya akan terdapat berbagai macam jalinan, diantaranya kata-kata (doa-doa) gerak-gerik dan lambang-lambang serta alat-alat yang dilakukan dan dipergunakan oleh sekelompok masyarakat yang bertujuan untuk menghormati atau menyembah dewa atau Tuhannya. Dari latar belakang terbentuknya teater di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teater merupakan ritus upacara keagamaan (Saini, 1981: 14).
Teater atau drama menurut Waluyo (2002: 1) merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Melihat drama, penonton seolah-olah melihat kejadian dalam masyarakat. Kadang-kadang sama dengan konflik batin mereka sendiri. Dengan kata lain drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, hitam putih kehidupan.
Selanjutnya Rendra (1982) mengungkapkan bahwa alam merupakan unsur dasar yang dapat dikembangkan melalui organ tubuh yang dimiliki manusia. Dalam hal ini manusia merupakan unsur alam yang dengan sendirinya mempunyai teknik yang unik, tetapi ada pula teknik yang umum. Teknik umum sebenarnya bisa disusun menjadi pelajaran teknik yang bisa dipelajari secara umum, kemudian dipakai untuk memberikan hasil yang umum dan tidak unik.
Teater merupakan suatu kolase, semacam revieuw terbuat dengan sasaran yang jauh dengan menggunakan rangkaian-rangkaian teks. Teks bukan suatu eksperimen dalam bentuk sastra karena teater terdiri dari tiga bagian yaitu (1) disebabkan oleh pembaharuan yang terus-menerus antara yang kuno dengan klasik modern, (2) kemampuan untuk memproduksi kesenangan dan hiburan lewat musik, (3) eksperimental teater banyak mengakibatkan kesuksesan komersial yang instan dan hebat (Brook, 2002: 27-28)
Teater merupakan suatu fungsi dari hasil seni dari kehidupan seseorang yang jelas pertumbuhannya, terutama seni pertunjukan erat sekali hubungan dengan emansipasi manusia itu sendiri. Masalah dan pola demikian baru menghendaki bentuk seni atau cara pengutaraan seni yang baru pula. Ia muncul bersama dengan penggeseran nilai-nilai kehidupan. Pertumbuhan tersebut didahuluilah pergeseran di bidang kemasyarakatannya. Dia tumbuh dan berkembang sesuai dengan retorika (Harymawan , 1979: 5).
Dari beberapa pengertian teater dapat disimpulkan bahwa teater terjadi dikarenakan adanya paduan yang melahirkan atau menghasilkan beberapa elemen, diantaranya olah tubuh, olah vokal, dan olah rasa yang disatukan menjadi sebuah pertunjukan dan memproduksi sebuah kesenangan.
- Pendekatan dalam Teater
Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pementasan teater atau drama diperlukan proses dan latihan. Pendekatan dalam teater meliputi latihan olah vokal, olah tubuh, dan olah rasa. Ketiga bentuk latihan memiliki peran yang sama besarnya di dalam teater. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa tanpa melakukan latihan olah tubuh seorang aktor tidak akan memiliki stamina yang cukup, serta gestur-gestur yang diperlukan dalam teater. Di samping itu, dengan latihan olah rasa atau olah sukma (konsentrasi dan relaksasi) dan latihan olah vokal seorang aktor di dalam teater dengan mudah membawakan karekater yang dibutuhkan teks atau naskah drama.
1) Olah vokal
Menurut Waluyo (2002: 117), olah vokal atau latihan suara dapat diartikan latihan mengucapkan suara secara jelas dan nyaring, dapat juga berarti latihan penjiwaan suara. Warna suara bagaimana yang tepat, harus disesuaikan dengan watak peran, umur peran, dan keadaan peran sosial itu. Nada suara juga harus diatur, agar membantu membedakan peran yang satu dengan peran yang lain. Secara lebih detail, aksen orang-orang yang berasal dari daerah tertentu, perlu juga diwujudkan dalam latihan suara ini. Yang harus mendapatkan perhatian seksama, adalah suara itu hendaklah jelas, nyaring, mudah ditangkap, komunikatif, dan diucapkan sesuai daerah artikulasinya.
Suara sebagai salah satu media pengungkapan ekspresi pemeran. Dalam hal ini media penyampai informasi melalui dialog. Informasi mencakup tentang alur cerita, kejadian, watak, peran, sikap emosi peran, kondisi serta usia peran, dan lain-lain, hendaknya tersampaikan secara jelas melalui keterampilan pemeran dalam melontarkan dialog. (Wibisono, 1999: 3)
Selanjutnya Wibisono mengemukakan, bahwa olah vokal merupakan salah satu teknik produksi suara yang berhubungan erat dengan pengolahan alat-alat produksi suara dan pembentukkan suara. Hal ini mencakup pernapasan, fonasi, gema suara (resonansi), pengucapan (artikulasi), dan proyeksi.
Kegiatan bernapas sebenarnya merupakan kegiatan hidup yang berlaku terus-menerus. Dalam melakukan pernapasan seseorang wajib menguasai dan memanfaatkan pernapasan sebaik-baiknya. Pernapasan yang tidak lancar dan jelek akan mengakitbatkan bunyi suara yang tersendat-sendat serta terputus-putus seperti orang yang sedang menderita penyakit asma. Proses bernapas untuk hidup dan untuk bermain teater pun memiliki perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari tidak dibutuhkan kaidah atau aturan khusus bagaimana harus bernapas. Proses alami menghirup dan mengeluarkannya melalui hidung atau mulut tidak diatur secara khusus. Bahkan, orang tidur pun masih mampu melakukan pernapasan secara otomatis.
Olah vokal memiliki beberapa teknik, yaitu sebagai berikut.
a) Pernapasan Dada
Dalam melakukan pernapasan dada akan terjadi perubahan pada dada, sehingga ketika rongga dada dibusungkan, bahu serta bagian leher pasti akan sedikit menegang akibat suara yang keluar sedikit kurang bebas. Teknik ini akan menguras banyak tenaga, di samping itu juga akan menganggu penampilan, kualitas suara pun kurang dan paru-paru menanggung beban berat. Hal tersebut akan menghasilkan efek samping yaitu merasa gatal-gatal di tenggorakan dan disusul kemudian dengan penampilan suara yang serak parau.
b) Pernapasan Perut
Ciri-ciri pernapasan perut adalah perut akan mengembang disaat nafas dihisap dan kemudian mengempis kembali saat nafas dikembangkan. Pernapasan ini memang tidak menimbulkan ketegangan-ketegangan pada alat pernapasan maupun peralatan suara. Tetapi pernapasan ini kurang mempunyai daya untuk mendukung pembentukan volume suara. Bahaya lain dari pernapasan ini adalah apabila kekuatan nafas pada bagian rongga perut yang terlalu bawah dihimpun, maka disaat kita menggunakan kekuatan penuh dengan tempo yang relatif lambat akan terasa adanya dorongan kearah bawah. Dan ini dirasakan akan mendorong otot dubur untuk bergerak keluar.
c) Pernapasan Diafragma
Otot-otot diafragma akan berkembang dan menegang ketika kita menghisap nafas, hanya bagian inilah yang tegang. Kemudian otot-otot samping bagian punggung pun ikut pula mengembang lalu mengempis saat napas dihembuskan kembali. Kedudukan diafragma adalah diantara rongga dada dan rongga perut. Pernapasan diafragma yang rasa paling menguntungkan dalam berolah vokal, sebab tidak mengakibatkan ketegangan pada peralatan pernapasan dan peralatan produksi suara serta mempunyai cukup daya untuk pembentukkan volume suara (Wibosono, 1999: 27-28)
2) Olah tubuh atau Latihan Tubuh
Tubuh yang lentur dengan stamina yang tinggi akan membuat seorang pendekar silat mampu berkelit dan sekaligus menyerang pada kondisi yang sulit sekalipun. Itu semua berkat keterlatihan seluruh organ tubuh yang ia dapatkan dengan susah payah dalam latihan jurus-jurus sekian lamanya. Demikian juga seorang pemeran akan membawakan laku peranannya dengan baik seolah tidak ada beban teknis sebab ia dengan kesadaran yang penuh telah melatih seluruh peralatan pemeranannya. (Wibisono, 1999: 5)
Olah tubuh atau latihan tubuh menurut Waluyo (2002: 117) adalah latihan ekspresi secara fisik. Berusaha agar fisik dapat bergerak secara fleksibel, disiplin, dan ekspresif. Artinya gerak-gerik dapat luwes tetapi disiplin terhadap peran, dan ekspresif sesuai watak dan perasaan aktor yang dibawakan. Beberapa teater, sering diberikan latihan dasar akting, berupa menari, balet, senam, bahkan ada yang merasa latihan silat itu dapat juga melatih kelenturan, kedisiplinan, dan daya eskpresi jasmaniah.
Di dalam ilmu kesehatan (kesegaran jasmani) Uram mengungkapkan tiga daerah yang berbeda bagi pengembangan dan pemeliharaan, meliputi:
a) fisik, berkenaan dengan tulang, otot dsan bagian lemak,
b) peranan organ berkenaan dengan efisiensi sistem jantung, pembuluh darah dan pernapasan; demikian juga peranan dari organ besar tubuh lainnya seperti ginjal,
c) respon otot merupakan daerah ketiga dari kesegaran jasmani umum dan berhubungan dengan kegiatan dari otot rangka dan otot polos (1986: 2).
Respon otot menurut Uram (1986: 2-3) mempunyai empat komponen, yaitu:
a. kelenturan, adalah kelemah-lembutan atau kekenyalan dari otot dan kemampuannya untuk meregang cukup jauh agar memungkinkan persendian dapat bereaksi dengan lengkap dalam jarak normal dan dari gerakan tersebut tidak menyebabkan cedera,
b. kekuatan adalah kapasitas kontraksi dari otot, merupakan gerakan otot-otot dari gerakan pertamanya sampai jarak gerakan dan mengulangi kemampuan tersebut,
c. kecepatan adalah keterampilan menggunakan kontraksi suatu otot sampai seluruh jarak geraknya atau bagian tertentu,
d. ketahanan adalah toleransi suatu otot terhadap stress dimana dapat mempertahankan penampilannya pada beban tertentu
Kelenturan, kekuatan, kecepatan dan ketahanan seluruhnya akan dapat digunakan bagi pola gerakan keterampilan tertentu. Pengembangan yang tepat dari respon otot akan menghasilkan manfaat tambahan melebihi efisiensi gerakan alami. Suatu otot akan memperlihatkan sifat yang meningkat, efisiensi dalam kontraksi dan relaksasi, peningkatan aliran darah pada jaringan kapiler, daya tahan lebih besar terhadap kelelahan, lebih efektif pembuangan bahan sisa dan toleransi lebih besar terhadap bermacam stres yang tadinya menyebabkan cedera. Di samping itu, suatu program latihan dengan disiplin yang baik akan mempertinggi konsentrasi dan pada gilirannya dapat mempermudah pengetahuan motoris (Uram, 1986: 4).
Empat komponen respon otot yang di utarakan Uram di atas, merupakan pendekatan yang digunakan dalam latihan olah tubuh teater. Empat pendekatan tersebut berfungsi untuk melatih organ dan memori tubuh sehingga menghasilkan gerakan yang luwes dan lentur. Seorang aktor dalam pertunjukkan teater harus mampu menggunakan organ tubuh dan menghasilkan gerakan yang baik dalam memvisualkan setiap ide cerita dalam naskah.
Menurut Bolesavsky R. dalam Harymawan (1988: 30-31), olah tubuh atau latihan tubuh baik dilakukan satu setengah jam sehari. Subjek-subjeknya meliputi: (1) senam irama, (2) tari klasik dan pengutaran, (3) main anggar, (4) berbagai jenis latihan berapas, (5) latihan menempatkan suara, diksi, bernyanyi, (6) pantomim, (7) tata rias.
Impuls, perasaan, atau reaksi yang kita miliki menimbulkan energi dari dalam diri yang selanjutnya mengalir keluar, mencapai dunia luar dalam bentuk yang bermacam-macam: kata-kata, bunyi, gerak, postur, dan infleksi (perubahan nada suara). Umumnya, setiap tanda eksternal dari perasaan dan pikiran dapat disebut gestur. Demikian Sitorus (2002: 78) menyebut gestur sebagai hasil dari bentuk olah tubuh atau latihan tubuh.
Sitorus (2002: 81-82) juga membagi gestur menjadi 4 kategori umum, yaitu sebagai berikut.
a) Ilustratif atau imitatif, adalah gestur yang disebut “pantomimik” ketika mencoba mengkomunikasikan informasi spesifik.
b) Gestur indikatif, dipakai untuk menunjuk (“di sebelah sana”).
c) Gestur empatik, memberikan informasi yang subyektif daripada objektif, berhubungan bagaimana orang merasakan sesuatu.
d) Gestur autistik, (arti harfiahnya “kepada diri”) tidak dimaksudkan untuk komunikasi sosial tetapi lebih diutamakan untuk komunikasi dengan diri sendiri.
3) Olah rasa atau olah sukma (konsentrasi dan relaksasi)
Aktor tidak bisa melakukan kewajibannya sebagai aktor jika ia tidak mempunyai sukma atau rasa yang telah masak begitu rupa hingga, atas setiap perintah kemauan, segera dapat melaksanakan setiap laku dan perubahan yang telah ditentukan. Dengan kata lain aktor harus mempunyai sukma atau rasa yang dapat hidup dalam setiap situasi. (Bolesavsky R. dalam Harymawan 1988: 31).
Subjek-subjek dari latihan sukma atau olah rasa adalah sebagai berikut.
a) Penguasaan seluruhnya dari kelima pancaindera dalam segala situasi yang dapat dibayangkan.
b) Penumbuhan ingatan perasaan, ingatan ilham atau penembusan, penumbuhan kepercayaan dan penghayalan itu sendiri, penumbuhan naivitas, penumbuhan daya untuk mengamati, penumbuhan kekuatan kemauan, penumbuhan untuk menambahkan keragaman pada pernyataan emosi, penumbuhan rasa pada humor dan tragedi.
c) Ingatan visual (Bolesavsky R. dalam Harymawan 1988: 31-32).
Menurut Brocket dalam Waluyo (2002: 117) olah rasa atau olah sukma (konsentrasi dan relaksasi), diarahkan untuk melatih aktor dalam kemampuan membenamkan dirinya sendiri ke dalam watak dan pribadi tokoh yang dibawakan, dan ke dalam lakon itu. Motivasi memegang peranan penting dalam penjiwaan peran dan dalam gerak yakin. Jika pikirannya terganggu akan hal lain, dengan kekuatan konsentrasinya, aktor bisa memusatkan diri pada pentas. Konsentrasi atau olah rasa sudah harus dimulai sejak latihan pertama. Konsentrasi harus pula diekspresikan melalui ucapan, gestur, movement, dan intonasi ucapannya.
4) Olah vokal, Olah tubuh, Olah rasa, dan Berbicara
Olah vokal, olah tubuh, dan olah rasa merupakan bentuk latihan yang mendukung satu sama lainnya, dan tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaannya. Dengan adanya kedisiplanan dalam melakukan latihan olah tubuh maka dengan sendirinya seluruh organ tubuh yang berkaitan dengan rongga udara pada pernapasan akan pembentukan volume suara. Setiap perubahan yang terjadi pada saat pergerakan tubuh, maka akan terjadi perubahan warna suara sehingga dengan sendirinya perubahan penekanan suara dapat terjadi apabila tubuh bergerak.
Setiap perubahan gerak memiliki unsur pendukung yang berbeda, sehingga pada bagian-bagian tertentu olah rasa dapat dimasukkan pada setiap saat sebagai penunjang gerak yang memiliki kekuatan dari dalam tubuh. Pada dasarnya setiap gerakan yang dilakukan memiliki irama tersendiri. Dan irama itulah yang membantu melahirkan suatu bentuk keindahan dalam gerak.
Dari uraiaan di atas dapat disimpulkan bahwa, latihan olah tubuh dan olah rasa memiliki peranan penting dalam latihan olah vokal. Melalui latihan olah vokal kita dapat menghasilkan pengucapan kosakata yang baik, yaitu meliputi artikulasi, tekanan, dan intonasi. Di samping itu dengan melakukan olah tubuh dan olah rasa secara rutin, dapat menimbulkan keberanian dan kesiapan mental yang diperlukan ketika berbicara, baik berdiskusi maupun berbicara di depan umum.
3. Peran Guru dan Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah dalam Pembelajaran Berbicara
Guru biasanya banyak menghabiskan waktunya untuk berbicara (ceramah) dan kurang memberikan kepada murid untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Guru selalu mendominasi proses belajar-mengajar dalam setiap kegiatan baik yang bersifat individu dan kelompok. Padahal baik guru dan murid bertanggungjawab untuk mengemukan pandapat dan pandangannya. Setiap anak diberi dorongan untuk mengemukan pendapat dan pandangannya. Dengan demikian akan terbentuk kebiasaan memperhatikan, memahami, dan menanggapi secara kritis pembicaraan orang lain.
Untuk dapat mengaktifkan siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas, guru perlu membina kemampuan berbicara siswa. Oleh karena itu, ada beberapa tugas yang harus diperhatikan oleh seorang pengajar (guru). Menurut Dipojojo (1984:6-7), tugas guru antara lain:
- membangkitkan keberanian kepada mereka untuk berbicara,
- melatih bagaimana cara yang benar untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa,
- melatih dan membiasakan menyusun kerangka pikiran yang teratur,
- memilih dan menentukan kmponen-komponen apa yang dapat menambah hidupnya bahan yang dibicarakan,
- memperhatikan hambatan-hambatan yang akan menganggu pembicaraan serta bagaimana mengatasi hambatan itu,
- memberi banyak kesempatan untuk melatih diri, berlatih, dan seterusnya.
Dengan peran-peran tersebut di atas, diharapkan guru dapat mengurangi peran dominannya di kelas. Guru hanya mengambil bagian sebagai instruktur, komunikator, dan fasilitator. Apabila hal di atas tidak atau belum dapat dilaksanakan dalam proses belajar-mengajar di kelas, maka pihak sekolah diharapkan dapat memberikan strategi dalam meningkatkan kemampuan siswa. Strategi tersebut dapat berupa kegiatan ekstrakurikuler, salah satu diantaranya adalah kegiatan ekstrakulikuler teater.
B. Kerangka Pikir
Keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan yang memerlukan banyak berlatih berbicara maka keterampilan itu akan semakin dikuasai. Saat ini para siswa dituntut memiliki keterampilan berbicara yang tinggi dalam proses pendidikannya. Mereka harus mengekspresikan pengetahuan yang mereka miliki secara lisan. Mereka pun harus terampil mengajukan pertanyaan untuk menggali dan mendapatkan informasi, baik dalam kegiatan seminar, diskusi, dan rapat-rapat lainnya. Di samping itu, mereka dituntut harus terampil adu argumentasi, terampil menjelaskan persoalan dan cara pemecahannya, terampil menarik simpati para pendengar, dan terampil dalam kemampuan berbicara lainnya.Untuk berbicara dengan baik diperlukan adanya keberanian, sikap tubuh, kesiapan mental dan penguasaan kosakata yang baik, yaitu meliputi artikulasi, tekanan, dan intonasi.
Teater merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Dalam teater terdapat tiga metode latihan yaitu: olah vokal, olah tubuh, dan olah rasa atau olah sukma, yang dalam pelaksanaannya ketiga bentuk latihan tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Latihan olah vokal atau latihan suara di dalam teater merupakan bentuk latihan mengucapkan suara secara jelas dan nyaring, atau dapat diartikan sebagai penjiwaan suara. Selain itu olah vokal juga merupakan salah satu teknik produksi suara yang berhubungan erat dengan pengolahan alat-alat produksi suara dan pembentukan suara yang mencakup pernapasan, fonasi, gema suara, resonansi, pengucapan (artikulasi), dan proyeksi. Olah tubuh atau latihan tubuh adalah latihan ekspresi secara fisik, yaitu berusaha agar fisik dapat bergerak luwes, disiplin, dan ekspresif. Olah rasa atau olah sukma (konsentrasi dan relaksasi) di dalam teater merupakan bentuk latihan yang diarahkan untuk melatih aktor dalam membenamkan dirinya sendiri ke dalam watak dan pribadi tokoh yang dibawakan. Jika pikirannya terganggu akan hal lain, maka dengan kekuatan konsentrasilah seorang aktor dapat kembali memusatkan diri kembali di dalam pentas.
Berdasarkan uraian di atas, metode-metode latihan dasar ekstrakurikuler teater merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan siswa, khususnya keterampilan berbicara. Hal tersebut terkait dengan bentuk latihan (olah vokal, olah tubuh, olah rasa atau olah sukma) di dalam teater, secara tidak langsung atau perlahan-lahan dapat meningkatkan penguasaan kosakata yang baik, yaitu meliputi artikulasi, tekanan, dan intonasi, keberanian, sikap tubuh, kesiapan mental siswa dalam berbicara di muka umum atau berdiskusi di depan kelas. Pemberian latihan dasar teater diharapkan dapat melatih keterampilan siswa, khususnya berbicara.
C. Hipotesis Tindakan
Hipotesis dalam penelitian tindakan ini adalah: Latihan Dasar Teater Dapat Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas XI IPS1 di SMU Muhammadyah 3 Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Ningsih, Sri Utami Ari. 2003. “Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas IV SD Condong Catur dengan Menggunakan Metode K-W-L”. Skipsi: FBS UNY
Arsyad, Maidar dan Mukti U.S. 1993. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Brook, Peter. 2002. Percikan Pemikiran Tentang Teater, Film, dan Opera. Yogyakarta : Arti.
Depdikbud. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Dipodjojo, Asdi S. 1984. Komunikasi Lisan. Yogyakarta : P. D. Lukman.
Harymawan, RMA.1979. Dramaturgi bagian I. Yogyakarta : IKIP Sanata Darma.
. 1988. Dramaturgi. Yogyakarta : Rosda Bandung.
Hendrikus, Wuwur. 1991. Retorika. Yogyakarta: Kanisius.
King, Larry. 2005. Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, Di mana Saja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Khusniyah, Nurul Ana. 2003. “Upaya Meningkatakan Keterampilan Berpidato Melalui Penerapan Pendekatan Komunikatif Siswa Kelas II A1 MTs Pondak Pesantren, Pabelan Magelang”. Skrips: FBS UNY
Mulyaningsih, Titin. 2003. “Keefektifan Teknik Berdiskusi Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas II SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta”. Skripsi: FBS UNY
Madya, Suwarwih. 1994. Panduan Penelitian Tindakan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP yogyakarta.
Nurgiantoro, Burhan. 1995. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
. 20002 Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rendra, WS. 1982. Rendra Tentang Bermain Drama. Jakarta: Pustaka Jaya.
Saini, KM. 1981. Beberapa Gagasan Teater. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Suharsimi, Arikunto. 1995. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Produk. Jakarta: Rineka Cipta.
Sujanto. 1998. Membaca, Menulis, Berbicara untuk Mata Kuliah Dasar Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK.
Sitorus, Eka. 2002. The Art Of Acting (Seni Peran untuk Teater dan Film). Jakarta: Gramedia Graha Utama.
Suminto A. Sayuti. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta : Gama Media
________1985. Puisi dan Pengajarannya (sebuah pengantar). Semarang: IKIP Semarang Press.
Suyata, Pujiati. 1994. Metodologi Penilaian Pengajaran Berbahasa: Suatu Pendekatan Kuantitatif. Yogyakarta: FBS UNY.
Tarigan, Djago dkk. 1997. Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: PTK.
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Uram, Paul. 1986. Pelatihan Peregangan. Jakarta: Akademika Pressindo.
Waluyo, Herman. 2002. Drama, Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Wibisono, Catur J. 1999. Olah Vokal I. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Institut Seni Indonesia Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Teater.
Komentar
Posting Komentar