KEBUDAYAAN JAWA NOVEL PARA PRIYAYI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENGARANG

1. Esai

Lewat pendekatan sosiologi sastra, keberadaan pengarang dan karyanya sering tak bisa dilepaskan dari lingkungan dan jamannya. Padahal, ada saja pengarang yang tidak terikat oleh perubahan lingkungan, termasuk momentum penting dalam perubahan politik.
Tiap-tiap pilihan tak lain adalah simpul konsep kepengarangan. Seberapa jauh seorang pengarang terikat oleh lingkungan dan jamannya, sebetulnya juga ditentukan antara lain oleh konsep kepengarangannya.
Pendekatan sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar belakang pengarang, karena dalam kajiannya mempelajari tentang keberadaan manusia (baik dari segi pengarang atau segi hasil karyanya) dalam lingkungan masyarakat.
Lingkungan masyarakat merupakan atmosfer yang akan dihirup oleh pengarang dalam menghasilkan karyanya. Sehingga pada akhirnya akan terlihat sejauh mana pengarang terlibat dalam lingkungannya dan pembelaannya terhadap lingkunggannya.
Sastra sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kajian sosiologi, karena pada hakikatnya menunjukkan sastra berfungsi pragmatis bagi kehidupan sosial masyarakat. Sastra itu hadir di tengah kehidupan masyarakat.
Masyarakatlah yang menginginkannya untuk mengemban sejumlah fungsi kemasyarakatan, yaitu fungsi melestarikan, menguatkan, menggali, mengajarkan, tetapi juga mempertanyakan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat.
Sastra dapat dipandang sebagai bagian integral dari kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkannya. Karya sastra dapat tampil dengan menawarkan alternatif model kehidupan yang diidealkan berupa berbagai aspek kehidupan, seperti cara berpikir, bersikap, merasa, bertindak, cara memandang dan memperlakukan sesuatu. Sastra ditanggapi sebagai suatu fakta sosial yang menyimpan pesan yang mampu menggerakkan emosi pembaca untuk bersikap atau berbuat sesuatu.
Sastra memang tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya. tetapi, pasti muncul pada masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang estetika, dan lain-lain, yang semuanya itu dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan.
Dapat dikatakan pula bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan keterangan kehidupan sosial budayanya. Tepatnya keterangan keberadaan kehidupannya. Sehingga munculah pesan-pesan dalam karya sastra, sebagai bentuk nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Nilai-nilai yang ada berhubungan dengan nilai-nilai yang terdapat pada latar belakang sosial budaya masyarakat ketika pengarang hidup dan menjadi salah seorang anggotanya.
Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan bentuk karya sastra yang akan dihasilkan. Contoh dalam lingkup masyarakat Jawa, seni budaya pewayangan merupakan salah satu fakta sosial budaya yang sudah memasyarakat, sehingga kehadirannya dapat dirasakan siapa pun dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
Gaya penulisannya juga sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna, dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat perenungan, yang sebenarnya memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan.
Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam juga menghadirkan para tokoh yang sangat mencerminkan orang-oarng Jawa kebanyakan. Tokoh-tokoh tersebut dilahirkan dari latar tempat, sosial, dan waktu yang memang benar-benar mencerminkan kebudayaan Jawa. Latar tersebut merupakan latar tipikal.
Bahkan Umar Kayam mewarnai novelnya dengan beberapa penggal tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian jawa di bagian tengah dan akhir novel. Tokoh dalam novel yang terlahir dari latar budaya Jawa terlihat sangat kental terutama dalam dialognya. Uamar Kayam banyak menggunakan dialog dengan berbahasa Jawa.
Bahasa Jawa yang disajikan Umar Kayam dalam novelya ada tiga bahasa Kromo Inggil (sangat halus) ,Kromo (halus) , dan Ngoko (kasar). Misalnya pada saat Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang yang statusnya sama atau sebaya dengan lantip. Contoh kutipannya” wah, Ndoro. Nuwun sewu, mohon maaf.” dan biasanya bahasa seperti kromo inggil tersebut dipakai oleh yang muda ke yang tua apapun strata sosialnya , sedang kalau yang muda ngomong ke yang muda lagi atau yang setara umur nya , biasanya pakai ngoko.
Tiga puluh satu tokoh ditampilkan oleh Umar Kayam dalam meramaikan novelnya (Para Priyayi). Misalnya tokoh Sastrodarsono yang diceritakan sebagai anak tunggal Mas Atmokasan, seorang pertani desa Kedungsiwo. Sastrodarsono barasal dari keluarga Islam, dan dia juga beragama Islam. Setelah menjadi guru Sastrodarsono dijodohkan dengan Siti Aisyah atau Dik Ngaisah. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu Noegroho, Hardojo, dan Soemini. Sastrodarsono dan Dik Ngaisah bertekad membangun keluarga Sastrodarsono sebagai keluarga besar priyayi.
Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam suasana kehidupan orang-orang Jawa. Bahkan orang-orang Jawa pada jaman dahulu di saat memilih menantu mereka lebih memberatkan pada calon menantu yang memiliki status priyayi.
Bagi orang-orang Jawa status memang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi Umar Kayam menyajikan pemahaman tentang priyayi yang sebenarnya dalam novel, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk melayani dan mengayomi rakyat banyak. Hal ini disampaikan pada bagian terakhir saat tokoh Lantip berpidato pada pemakaman eyangnya. Lantip dalam pidatonya memaparkan dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.
Tokoh Sastrodarsono merupakan tokoh yang berkarakter baik dan setia pada orangtua, mempunyai perhatian besar terhadap kemajuan pendidikan, dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Sedangkan tokoh Dik Ngaisah sebagai seorang istri Sastrodarsono berkarakter setia terhadap suami, sabar dan mampu berpikir positif, bijaksana, berpikir optimis, dan pandai bersyukur. Dik Ngaisah adalah putri dari Romo Mukaram, yang masih termasuk saudara jauh Mas Atmokasan, ayah Sastrodarsono suaminya.
Sebagai istri, Dik Ngaisah terlihat amat tulus mengabdi kepada suami. Melayani segala kebutuhan suami dan menomorduakan kebutuhan sendiri. Suami merupakan orang yang harus dihormati, diabdi, dipenuhi segala keinginan dan dimengerti semua tingkah lakunya. Hal ini merupakan perwakilan dari tokoh tipikial perempuan Jawa, bahkan Umar Kayam menyakinkan pembaca dengan memasukkan prinsip perempuan Jawa pada halaman 207 yang berbunyi “ Orang Jawa mengatakan istri adalah garwa, sigarane nyawa, yang berarti belahan jiwa. Maka sebagai belahan jiwa bukankah saya tidak boleh berpisah dari belahan yang satu lagi?”
Menurut kepercayaan orang-orang Jawa tokoh istri yang setia itu merupakan tokoh reinkarnasi dan transformasi dari tokoh Woro Sembodro, yakni istri Arjuna di dunia pewayangan
Kesetiaan tidak hanya dimiliki oleh tokoh Dik Ngaisah terhadap suaminya Sastrodarsono tetapi dimiliki juga oleh tokoh Lantip. Lantip adalah putra Ngadiem dengan Soenandar, meskipun sebenarnya mereka tidak menikah. Namun Lantip tidak pernah bertemu dengan ayahnya itu, karena ayahnya meninggal saat Lantip masih dalam kandungan. Lantip kemudian diasuh oleh Sastrodarsono dan akhirnya diangkat sebagai anak oleh Hardojo. Lantip begitu setia dan berbakti kepada keluarga Sastrodarsono karena Lantip merasa telah berhutang budi kepada keluarga Sastrodarsono. Karakter Lantip sangat mencerminkan karakter oarng Jawa kebanyakan. Orang Jawa yang telah merasa berhutang budi terhadap seseorang, dirinya akan selalu mengabdi dan setia kepada orang yang telah menolongnya.
Melalui novel Para Priyayi , pembaca Indonesia yang berlatar belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel tersebut tampak sangat terikat dan sekaligus mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa. Hal ini merupakan pencerminan latar belakang kehidupan pengarang khususnya Umar Kayam sebagai seorang sastrawan dalam perspektif sosiologi kepengarangan.

2. Eksistensi Karya sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik, Serta Contoh Kasus Pada Karya Sastra.

Strukturalisme genetik merupakan teori yang dikemukakan oleh Goldmann yang di dalamnya ia mempercayai bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya satra yang bersangkutan. Untuk memperkokoh teorinya tersebut Goldmann mengkategorikan strukturalisme genetik menjadi: fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.
Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal mapun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi cultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra. Subjek kolektif merupakan perwujudan dari fakta kemanusiaan yang bersifat kolektif dan bukan individu. Pandangan dunia merupakan istilah yang kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian itu, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
Eksistensi karya sastra merupakan suatu keberadaan karya sastra. Dalam strukturalisme genetik eksistensi karya sastra dipandang berbeda-beda menurut paham dan tokohnya. Ada yang memandang karya sastra sebagai suatu pencerminan segala sesuatu yang terjadi di lingkungan baik lingkungan sosial, ekonomi, polotik, dan budaya. Serta ada juga yang menganggap bahwa karya sastra merupakan sesuatu yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan dari unsur pembentuknya.
Beberapa pendapat mengenai karya sastra dalam pandangan strukturalisme genatik:
1) Menurut kaum formalis Rusia antara lain Roman Jakobson dan Tomashevsky menganggap bahwa, keberadaan karya sastra sebagai satu-satunya bahan untuk pengkritikan. Hal ini bertujuan untuk menempatkan status sastra sebagai objek kultural yang otonom. Dengan demikian mereka jelas menolak gagasan sastra sebagai cermin yang pasif. Sastra dianggap oleh mereka secara aktif “merusakan” kehidupan sosial dengan menggunakan “peralatan artistik”. Peralatan artistik itulah yang menjadi urusan meraka. Setiap peralatan berada dalam satu sistem estetis : dalam sistem itulah menjalankan fungsinya.
2) Menurut Goldmann, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Ia berpendapat bahwa karya utama sastra dan filsafat memiliki kepaduan total, dan bahwa unsur-unsur yang membentuk teks itu mengandung arti hanya apabila bisa memberikan suatu lukisan lengkap dan padu tentang makna keseluruhan karya tersebut. Teks sastra diperlakukan sebagai sasaran utama penelitian, dan dianggap sebagai suatu totalitas yang tidak sekedar terdiri dari unsurs-unsur yang lepas. Goldmann juga mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama, bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi secara imajiner.
Selain itu dalam pandangan strukturalisme genetik dapat memberikan petunjuk terhadap karya sastra. Pertama ia bisa menunjukkan berbagai pandangan dunia yang ada pada suatu jaman tertentu, dan yang kedua menunjukkan beberapa kemajuan beberapa langkah dalam perkembangan sosiologi sastra.
Contoh kasus pada karya sastra yang akan di bahas yaitu novel “Saman”. Novel “Saman” hasil tulisan Ayu Utami penuh dengan aspirasi dan juga rasa amarah terhadap institusi patriaki terhadap wanita. Novel ini bercerita mengenai perjuangan seorang muda bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus menyaksikan penderitaan penduduk desa yang ditindas oleh negara melalui aparat militernya.
Saman akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan seksual dengan sejumlah perempuan. Ke empat tokoh perempuan dalam novel itu Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin, merupakan empat sekawan. Mereka muda, berpendidikan, dan berkarir. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam meredifinisikan seksualitas perempuan.
Novel “Saman” mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik mengenai represi politik, toleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada pihak-pihak yang mengeritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan panas dalam membicarakan persoalan seks. Tetapi banyak pula yang memujinya karena penggambaran isi novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan.
Selain masalah seksal yang dikupas tuntas tanpa kepura-puraan dalam novel ini dibahas juga tentang penindasan yang dihadapi oleh penduduk Sei Kumbang adalah negara dan aparat militernya, yang merupakan cerminan dari rejim orde baru pada waktu novel tersebut ditulis.
Seksualitas dalam novel ini merupakan tema paling hangat yang sebelumnya belum pernah ada dalam konteks masyarakat Indonesia, dan merupakan permasalahan utama yang akan dibahas di sini. Dilihat pada permukaannya, pengakuan akan seksualitas dari semua tokoh dalam novel ini, khususnya keempat tokoh perempuannya, merupakan tantangan nyata terhadap penindasan seksualitas di luar perkawinan yang lazim terjadi di Indonesia.
Perbuatan seksual sendiri digunakan dengan cara yang lebih simbolik untuk merujuk permasalahan spesifik tentang sejarah, asal-usul serta gerak maju dari sistem patriarki ini. Sebagian dari simbolisme ini sangat metaforik; khususnya dalam fantasi-fantasi para tokoh perempuannya, hubungan antara Wis dengan Upi, seorang gadis yang mengidap keterhambatan mental, dan penulisan kembali Yasmin tentang kisah penciptaan di halaman-halaman akhir buku ini.
Ayu Utami juga berani membentuk watak wanita biseksual dalam masyarakat yang dibesarkan dalam lingkungan homophobia dan represif terhadap tema-tema "penyimpangan moral". Dan dalam 'Larung' novel kesinambungan untuk 'Saman', watak Larung jelas menyimpan rasa minat terhadap tubuh lelaki yang kekar. Watak-watak yang mungkin akan menimbulkan persoalan moral ini terus-menerus dihidupkan Ayu untuk mewarnai novel-novelnya. Kutipannya: “Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak-perempuanku menyebutku sundal. Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran” (115).
Alinea-alinea yang penuh cerita dan kompleks ini membawa kita untuk menelusuri sejarah perjuangan feminis. Dimulai dengan kisah yang sangat klasik, dan sangat khas di Indonesia, yakni krisis Leila, yang terluka hatinya karena cintanya kepada seorang lelaki yang telah menikah dan penghormatannya terhadap nilai-nilai orang tuanya. Kutipannya: “Lalu cinta menjadi sesuatu yang salah. Karena hubungan ini tidak tercakup dalam konsep yang dinamakan perkawinan. Ia sering merasa berdosa pada istrinya”(26).
Adegan seksual yang dilukiskan Ayu Utami memberikan gebrakan baru sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan seksual wanita di luar pernikahan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam cerita.
Peran perempuan dalam kesusastraan Indonesia secara tradisional mencerminkan standar-standar masyarakat yang patriarkal, yang telah lama mendominasi seluruh wilayah kepulauan ini, khususnya di Jawa. “Konsep kodrat” wanita, yakni sifat feminin yang melekat pada perempuan serta peran perempuan sebagai istri dan ibu. Kutipannya: “ Tahukah kamu bahwa kisah itu telah menginspirasikan keputusan-keputusan yang tidak adil bagi perempuan selama berabab-abad? Kita hidup dalam kegentaran seks, tetapi laki-laki tidak mau dipersalahkan sehingga kami melemparkan dosa itu kepada perempuan” (183).
Para perempuan yang mencapai posisi kekuasaan seksual, personal ataupun politik, terutama jika mereka melakukannya secara bersatu, dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan sosial yang wajar, sebuah mitos yang dilekatkan terus-menerus pada Gerwani saat terjadi kudeta Komunis 1965. Kutipannya:. "Masalah perempuan dianggap masalah yang khas kaumnya, yang laki-laki tak perlu bertanggungjawab, padahal seluruh penindasan terhadap perempuan bersumber dari patriaki tadi .Trulin memberi contoh marital rape, yang selama ini dianggap sebagai persoalan privet dan domestik. Keengganan mengakui maritial rape sebagai masalah seluruh manusia adalah kegagalan mengakui hak asasi wanita sebagai hak asasi manusia" (180).
Unsur seksual bagi perempuan dalam kesusastraan Indonesia modern sangat berbeda dengan tulisan-tulisan sastra tradisional yang berkutat dalam topik itu dengan ‘keterus-terangan dan semangat’.Pelukisan seks dalam kesusastraan mencerminkan suatu sikap sosial yang tersebar luas di Indonesia. Seks jarang diakui sebagai sebuah aspek dari kehidupan sehari-hari, melainkan lebih sebagai wilayah sakral pasangan yang menikah atau dalam konteks kebejatan moral berupa pornografi. Simbolisme seksual yang digunakan Ayu Utami dalam tulisannya itu merupakan sebuah tantangan yang tepat pada waktunya serta jujur lagi menyegarkan terhadap sikap-sikap ini.
Di awal novel ini, Leila sedang berada di Central Park, New York, menunggu rendezvous dengan Sihar, lelaki yang sudah menikah yang kepadanya dia jatuh cinta. Di akhir cerita, Leila merasa terbebaskan dari tanggung jawab terhadap orang tuanya dan terhadap istri Sihar. Jarak geografis menciptakan sebuah ruang psikologis antara dirinya dan pengharapan-pengharapan kultural dan sosial Indonesia, akhirnya dia merasa sepenuhnya dan seorang diri memegang kontrol atas tubuhnya. Kutipannya: “Dan kita di New York. Beribu mil dari Jakarta. Tak ada orangtua, tak ada istri. Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan, barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tak ada yang perlu ditangisi”(30). Kita dapat melihat bahwa Leila telah menjaga keperawanannya bukan melulu berdasarkan pertimbangan religius. Kenyataannya dia nampaknya kurang peduli tentang berdosa pada Tuhan dibandingkan rasa berdosanya terhadap orang-orang yang dekat dengan orang tuanya dan istri Sihar, sesungguhnya terhadap masyarakatnya. Hal ini cukup berbeda dengan langkah-langkah para penulis Indonesia modern lainnya yang menggunakan berbagai cara untuk melepaskan tokoh-tokoh peremmpuan mereka dari kebobrokan seksualitasnya.
Sifat seksual yang terbuka dari dialog di sepanjang novel ini sungguh menyegarkan, sebuah cerita yang realistis dan tidak sungkan-sungkan tentang hubungan-hubungan di kalangan kelas menengah muda Indonesia, khususnya para perempuannya.
Tokoh Tala dalam novel menawarkan suatu penolakan yang bermuatan seksual. Sebagai seorang perempuan muda Tala mengatakan kepada kita bahwa dia pernah punya affair dengan seorang raksasa, yang mana dengan raksasa itulah dia kehilangan keperawanannya. Tala tidak pernah menjelaskan kepada kita perwujudan dari raksasa itu.
Novel ini menampilkan sebuah bahasa yang mungkin sebenarnya sangat tidak familiar bagi banyak orang Indonesia, dan tentu saja bukan bahasa yang disajikan dalam bentuk klise, bukan pula bahasa orang-orang tertindas pada masa pemerintahan yang tak bebas Akan tetapi, kata-kata dan kumpulan konsep yang diungkapkan dalam dialog ini juga-lah yang melawan norma-norma masyarakat Indonesia, dan langsung menantang pikiran-pikiran patriarkal tentang banyak hal, di antaranya tentu saja seks. Kutipannya: “Ketika Sihar akhirnya membawa Leila ke sebuah kamar hotel, teman-teman Leila berkumpul di tempat lain untuk mengantisipasi telepon pasca-senggama. “Mereka tidak berhubungan seks!” tukas Yasmin. “Siapa bilang? Pokoknya, semua tindakan saling merangsang, atau menimbulkan rangsangan pada organ-organ seks adalah hubungan seks. Apalagi sampai berorgasme. Soal masuk atau tidak, itu cuma urusan teknis.”(130).
Sebuah unsur yang seringkali diabaikan pada permasalahan feminis, khususnya di Indonesia, diangkat di sini. Sekarang ini, permasalahan seks sudah bukan monopoli majalah-majalah pria saja. Banyak majalah wanita yang memuat masalah tersebut. Hampir semua media baik cetak maupun elektronik memiliki rubrik khusus mengenai seks.
Dalam novel ini dijelaskan secara biologis perempuan lebih banyak dirugikan dalam hubungan persanggamaan ketimbang laki-laki, misalnya resiko hamil dan tidak gampangnya perempuan mencapai kepuasan dalam berhubungan seks. Di sini Ayu berpendapat bahwa dieksploitasinya seks, atau lebih tepatnya teknik-teknik seks akan merugikan perempuan nantinya. "Pembicaraan teknik seks tidak akan menyelesaikan masalah dalam hubungan pria-perempuan, tapi itu tidak berarti buruk. Justru apabila seks itu dibicarakan dari kaca mata perempuan, hal itu memungkinkan perempuan untuk menjadi subyek dan bukan obyek seks." Ketidak seimbangan dalam relasi jender harus diselesaikan dengan cara lain misalnya melalui pendidikan.
Pada akhirinya permasalahan seksualiatas dan feminisme yang banyak terjadi harus di atasi dengan pendidikan. Novel ini merupakan salah satu perwujudan karya sastra yang di dalamnya memberikan begitu banyak pengetahuan seks dan feminisme sebagai pendidikan bagi para penikmatnya.

3. Eksistensi Karya Sastra dalam Persfektif Teori Hegemoni Sastra Gamscian.

Hegemoni oleh Gramscian didefinisikan sebagai sesuatu yang komplek, yang sekaligus bersifat ekonomik dan etis-polotis. Dalam hal hegemoni harus diperhatikan interes-interes kelompok dan kecenderungan-kecenderungannya, yang terhadapnya hegemoni itu dihadapkan. Di dalam hegemoni suatu keseimbangan kompromis antar interes-interes tersebut harus dibentuk atau, dengan kata lain, bahwa kelompok pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Akan tetapi, pengorbanan tersebut tidak dapat menyentuh yang esensial, yaitu interes ekonomi, sebab walaupun hegemoni bersifat etis-politis, ia juga harus bersifat ekonomik, harus didasarkan pada fungsi yang menentukan, yakni inti aktivitas ekonomi.
Teori hegemoni Gramscian membuka dimensi baru dalam studi sosiologi mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastruktur, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem tersendiri, meskipun tidak terlepas dari infrastruktur. Ada cukup banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut, di antaranya studi sastra dari Raymond Williams.
Menurut William bahwa konsep hegemoni melampaui konsep ideolologi dengan tekanannya pada kesepakatan dengan tatanan sosial yang berkuasa yang diamankan lewat cara yang di dalamnya proses sosial lebih dihayati dari pada dipaksakan dengan pemaksaan gagasan atau kesadaran oleh siatu kelas terhadap kelas yang lain.
Ada juga pendapat lain yang dikemukakan oleh Tony Davies yang menganggap bahwa kesusastraan tidak hanya merupakan reproduksi atau cermin pasif dari bahasa standar yang menjadi bahasa nasional tersebut, melainkan secara aktif membentuknya, kesusastraan berfungsi untuk mendidik massa untuk tidak radikal, kasar, melainkan berperasaan dan berpikiran yang halus dan anggun, kesusastaraan juga sekaligus berfungsi sebagai pembangun citra kesatuan imajiner dari suatu formasi sosial yang disebut sebagai suatu bangsa, suatu negara kebangsaan.

Komentar

Postingan Populer