Puisi 2010

OBITUARI KELANA USIA ABAD YANG TERBAGI #4
D 33 XA 12022010

Entah ucapan ke berapa dari seberang lautan kesepian
Ketika suatu waktu kembali beradu tanda bahwa ia ada
Antarkan ia ke sisa masa yang lesap; usia lenyap dalam dekap

Pernah ada wacana kota seribu waktu
Untuk disatukan esok hari saat kudapati bayang matahari
Risalah sejarah telah berlalu oleh akhir kisah
Waktu batu tak lagi dibagi dalam perigi berisi hati
Antarnusa akan tanpa tepi pantai atau ngarai
Nuansa puisi sepi senantiasa tertulis di horison sini
Ibarat cerita ruas jalanan pengembara hilang arah
Namun batas daratan menghalang di hadapan
Gapai sampai menuai badai menghantar biduk pada dermaga
Sesaat sibakan kerudung tetap mengungkung warna air mata
Ialah perempuan dengan ribuan bersyarat serta hasrat
Hari ini dan seterusnya berulang melintasi hari ini lagi
****4####
♂♀

Demi masa tlah terlewati, usia abad terbagi melintasi rotasi
Igauan semenjana ketika Ia kuasa terjaga isyarat syair religi
Mungkin masih ada pantai pecah berkarang bisa disinggahi
Akan kutambatkan kelana senja bersama sampan karam ini
Sampai kembali di batas waktu mesti kemasi usia kremasi

Aku akan sejenak istirah untuk menyelesaikan mimpi cantik
Namun, tiba-tiba ia menggertak hingga koyak semarak sajak
Dan mendung datang berduyun menghalang bulan berjejak
Rusak binar matahari di daratan sangsi dini hari yang bijak
Ibarat harap tak sampai tepi pantai sebab dihempas ombak

Wajah itu tak pernah kutemui saat hari sama berulang
Isyarat tanggal sepenggal cerita cita radang di padang
Cuma fatamorgana mentari sembunyi pada mendung
Arah angin melari secarik puisi hembus udara gersang
Kutawarkan pula sejuk embun pada wanita seberang
Sebab hari tak seterik mata hati yang fana tiada ujung
Orang-orang beringsut memberi jalan waktu terhitung
Nafas syahdu beradu seteru sebagai binatang jalang
Obituari kelana senja ketiga hadang petang menjelang

Metro, 2010


Apologi Selagi Pergi

Zarah sebongkah adalah salah tak terarah
Ibaratku pada seraut wajah telah rebah di tanah
Demi moralitas tandas meretas sejarah
Namun, punah sudah dihempas rasa frasa
Isyarat laknat serpihan wacana yang terbaca bahasa

Mungkin saja rerintik takkan menghapus kisah
Untuk kukenangkan pada kilat dan gemuruh
Fenomena rona jelita berpaling tanpa kata
Ialah sesuatu yang kurangkai dalam rekaan
Dan akan kubawa pulang sebagai buah tangan
Artikan kau yang muram seperti buram malam
Hari esok kian terang benderang – genderang perang
###
Aku jumawa atas mega-mega kesepian ketinggian itu
Niscaya kurendahkan raga sebatang ini di hadapmu
Demi tajam serpih lidah mencabik seteru
Rantas berserak lantas dihempas cemas
Istirah direngkuh tanah basah, akhir segala kisah

Wajah teguh – teduh agar siap siaga siapa empunya


Lembang-Bandung, April 2010

Kata Pengantar Tanpa Tart

Rasa yang mungkin tak kau rasa
Indah tentu tak terharap seumpama
Air sungai sama keruh dan muaranya
Namun, akan tetap menuju lautan biru
Akankah sebiru rasa dan citamu

Sebab waktu tak bisa kembali kala pagi kremasi
Arah angin menerbangkan kemana sejadinya
Risalah hari yang terus melari imaji tukang puisi
Inilah sebait sisa cerita lara untukmu saja
# #
Adalah tentang selendang dan gemulaimu
Nanar binar jadi lakon para pemburu seteru
Dimana aku cuma duduk, diam, dan melihat saja
Remujung putik beranjak dipetik siapa suka
Ibarat kali mati seperti hati dan ini muka

Waktu tuju; masih ada yang belum sempat tereja
Cukup tiga kata biasa dari pria biasanya :
Selamat Ulang Tahun

Jakarta, April ‘10


Hujan Larangan
: hevi anu...

Arah angin terbangkan sekawanan awan
Awan hujan hanya menyisa basah resah
Begitu pula langkah gesa di genangan kenangan
Pelimbahan yang sempat kau sapa sebelum jengah

Dalam selokan masih mengalir air mata
Mata air beda mula membanjiri ini kali
Akan tetap sama muara dan amarahnya
Sebagai badai sampai pantai
: Pantai hatiku porak-poranda
Lalu kurangkai seuntai puisi

Mulanya hujan kata beda makna merejang
Dari siang jalang tantang cuaca berawan
Sedang mendung mengungkung sebayang-bayang
Runtuh berayun menghapus jejak sajak jalanan
Terbuang di seberang padang gersang
Teriring ratap tertahan perlahan
Berpaling pulang ke sarang terlarang

Karangmalang, 27 Juli 2010


Potret dari Lensa Retak

Mungkin sekawanan rekanan datang kemari
Menyusuri imaji sampai paling tepi
Dan hari-hari kian berlari dari posisi
Mengejar mimpi yang lain lagi
Sementara puisi lama tak terbagi

Pantai menyeringai pada ngarai pucat pasai
Pameran alam berserak dalam sorak sorai
Bukan dunia manusia biasa berdamai
Dengan keangkuhan tegur sapa. Hanya rupa masai
Tak lebih pada orang-orang asing itu
Wajah kita serupa, masih tetap satu seteru
Meski ini perjalanan burung rantau
Pada lembah abu-abu yang terlalu kaku

Menanti mentari ganti warnai dunia
Lampu berkilau-kedip memburu
Biar pasir putih lebih merintih
Lantas lautan biru menggapai pantai
Lautan manusia punya pesona, embun sembunyi rupa
Pasang gelombang beradu memecah karang
Menanti persembahan jatuh di tepian

Rasakan sejenak putaran pijak bumi kuta
Malam hampir digantungkan pada negara
Bulan diukir menerawang di sela pura
Bintang ditebar sesuka punyanya
Tiada tanda waktu di tanah bianglala
Sedang di negeriku jadi prosesi segala
Dewa pun seolah sebagai terdakwa
Sebab para pendeta lupa pada bunga
Dupa, dan
Sesaji di perigi
Sanur – Kuta Bali, Juli 2010




Gelanggang Meradang

Hampa udara purnalaga
Epilog bagi kisah kesah
Varia senja dimana bermula
Ibarat hati jengah secercah gundah

Anugrah yang tiada rasa dirasa siapa bersuka
Namun biasa merasa sedemikian rupa maya
Untuk kali ke sekian kerak sajak mengerak kata
Gerai hari mengurai puisi duka sejadinya
Risalah keindahan rona kerjap cahaya
Adalah reranting patah dari dahan yang sama
Hamparan daun jatuh di bawahnya pun terjaga
Enggan terbangun dari imaji sepi rimbun belantara
Niscaya akan sama pula meraba pusara
Inilah duka sempurna di sisa masa terbuang sia-
sia
Akan kusiapkan peti mati untuk hati tersakiti
Nisan berbatu memaku senyum di antara beberapa
Datang menggalang radang seisi gelanggang
Rebah kalah seluruh tubuh rapuh
Imaji matihati sebelum janji disepakati
––
Wanita punya sebangsa setanah air ini

Karangmalang, Juli 2010


Sejak Jejak Sajak

Deru seteru hunjam sajak beribu berburu kalbu
Isyarat tambat kesumat sekelumit bayang sendu
Kepak sayap malaikat kecil urung terbang layang karenamu
Ada rasa binasa dalam tunjam anak panah hunjam pilu

Raga ragu, mati hati semoga teryakini coba nikmati
Aku tahu wanitaku, pancar sinar dari kegelapan relung hati
Hempas syair getir untuk kali ke beberapa sesunyi hari
Matahari menusuk kusam masam malam; bulan melari
Aku menunggu pagi kremasi. sunting bintang datang kemari
Waktu tuju jumpa pada dara, rasa sakit itu usai
Akan kusandingkan bulan dan matahari saat fajar ganti posisi
Tidak kau ungkap apa angin ingin indah hari rindu dunia ini
Inginku puisiku mimpiku punyaku kau punyaku punyai puisi

Wajah kekasih di seberang penjuru terhalang gunung berbatu
Ialah terjal pendakian yang sempat kau kabarkan padaku
Cerita tentang garang cuaca yang membekukanmu
Aku syarati hati sebayang-bayang di ketinggian kalbu
Kau isyarat hayat dan ratap gigil udara rindu
Sebab kau perempuan dalam umpama bertemu
Adalah hari ini dan seterusnya nanti kujalani
Nanti, bila kudapati bunga di tepian akan kupetik setangkai
Akan kutimang lalu kuberikan pada kukuh hatimu

Karangmalang, Agustus 2010


Sepi Dering

Pernah kuajakkan ia ke tepian ria muara kali ini
Menebar pasir menyisir bingar merangkai puisi
Tiang kapal dan pelabuhan sepi prosesi
Kubayangkan wanita di seberang pandangi
Horison yang tak mampu dilihat kasat hati
Hanya kata berserak dalam kotak kalimat dini hari

Para pencari itu tak beranjak dari pijak dermaga
Jangkar kekar terkapar di sangkar, jala jera jelaga
Aroma kenikmatan dunia, sayang kau tak merasa
Enggan berbagi pada hitam pasir pantai jika saja
Kabarkan cerita, teriakkan sajak pada amuk ombak kata
Tenggelam dalam palung sedalam hati tetap terjaga
Samudra seluas rasa, pelabuhan kecil ini menggalang lara
Ratap di jajaran rumah berantah, habis harap tersisa
Pasir mendesir menyisir anyir aroma senja
Tepian tanpa balasan masih tetap sama
Lanskap jingga membelah cakrawala, sepi suara
Kemana perginya canda suka atau duka cerita bermula

Apakah harus kudaki tinggi hati dan terjang karang
Sedang gunung gersang menghalang pandang

Depok, Agustus 2010


AKHIR SAJAK DUKA
_ dika _

Duka sajak nyalak lekang menggaung
Hanya hasrat rantas hati hendak hayati
Sedang antarruang renggang bersanding
Ambang bimbang, mati sunyi bunyi puisi
Dikarenakan rahasia dan angan terbang
Layang mengawang angkasa sepi melankoli
Luruh lalu tumbang dalam lubang berkubang

Pejuang meraung garang hendak terjang
Tubuh kering tak imbang di seberang
Tanpa bentang benteng galang serang
Takkan kulantangkan genderang berperang
Perang dingin tiada tameng dan pedang
Sedingin panah tertancap; luka meradang
Isi hati sesakit ujung gamang enggan ditimang
Dengan iga patah menusuk jantung
Jelang petang berkabung sebayang-bayang

Seperti percaturan tanpa aturan gelanggang
Aku hanyalah pion yang akan tumbang
Dalam tempo sesingkatnya nyawa meregang
Menyerah kalah dan pasrah. Aduh, sayang

Akan kuakhiri kisah kasih sekedarnya ini
Sampai jumpa lagi di baris puisi lain kali

Student center UNY, Agustus 2010


Epilog Dialog

Demi malam kabur bulan dan jarang bintang
Episode lain hati dari hari-hari tercuri

Niscaya rupa cahaya tak jelang remang
Untuk kau timang sebagai jalan terang
Rusak binar karena hilang arah pandang
Umpama ratap harap dan imajinasi sepi dini hari
Lesapkan igaumu dalam mimpi lain lagi

Resah tanpamu mulai jengah, nafas terengah
Agar bisa ajar merendah tengadah segala arah
Namun, lakon telah dituliskan pada ceceran sejarah
Gugusan dosa dan cela saling sengketa menjajah
Epilog yang mungkin kau pilih sebagai akhir kisah
Redam dendam dalam kedamaian yang sumarah
Seperti awan hujan membasah sebaris serapah

Kata-kata tergenang agar tetap dikenang
Untukmu kuhapuskan jejak sajak, puisi sepi
Namamu kutulisi di tepian jalanan
Inilah arah singgah seluruh tubuh rapuh
Namamu kupanggili lewat hati lewat melankoli
Galau gaung ruang, suara rona fana membahana

Metro-Jogja-Solo, 20 September 2010

Komentar

Postingan Populer