Essay “LARUNG”, AJARAN SEKSUALITAS, DAN FEMINISME
Dalam Larung, Ayu bercerita tentang eksistensi seks perempuan. Cerita tentang perselingkuhan Yasmin dan Saman serta kecintaan Laila pada Sihar membawa tokoh-tokohnya bertualang di negeri Paman Sam. Sebuah negeri yang bisa jadi dianggap sebagai media pelarian ketertekanan seksual tokoh-tokoh dalam novel tersebut.
Sebagai kelanjutan Saman, novel ini memunculkan kembali tokoh-tokoh Saman dengan karakternya masing-masing. Juga dengan konfliknya satu sama lain serta impian hidupnya masing-masing.
Masalah seks perempuan yang selama ini menjadi rahasia dan dianggap tabu dalam masyarakat Indonesia yang patriarkal, pecah dalam tingkah laku tokoh-tokoh novel ini. Wacana patriarkal adalah wacana yang mendasarkan diri pada oposisi biner 'laki-laki yang berbeda dengan konsep perempuan. Dan, gerakan feminisme adalah gerakan yang berusaha pertama-tama melawan, menentang, dan membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'.
Mari kita berangkat dari Cok [Cokorda Gita Magaresa] yang awalnya dipanggil si Tetek, tetapi kemudian menjadi si Perek (Perempuan Eksperimen). Cok mengeluhkan bahwa umumnya 'perek' dimaknai negatif, terkait dengan kebejatan, kehinaan. Cok menunjukkan bahwa sebutan perek mengandung ketidakadilan terhadap perempuan dan sebaliknya memberikan keuntungan bagi laki-laki. Di sini 'perek' merupakan konstruksi wacana patriarkal untuk menyelamatkan laki-laki dari kebejatannya dengan melemparkan kebejatan itu pada perempuan. Ketidakadilan ini semakin mengakar mana kala perempuan pun ikut memakai kata tersebut untuk menggolongkan dirinya maupun perempuan sesamanya. Jika terjadi demikian (di sini Yasmin), perempuan pun ikut terlibat dalam dan turut memperkuat wacana patriarkal. Namun, disini Cok melawan dan membuat tafsiran lain atas kata 'perek', meski tafsiran itu hanya untuk dirinya sendiri. Bagi Cok, "Perek adalah perempuan yang suka bereksperimen" (84).
Tokoh Yasmin yang sempurna, cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan, bermoral pancasila, setia pada suami menemukan kebebasan seksualnya bersama Saman, sang bekas frater. Itu karena suaminya, Lukas, tak pernah mengolah kekejaman pada dirinya meskipun hanya sebatas imajinasi. Yasmin merasa berbeda dengan para perempuan yang mengukuhkan patriarki. Kerinduan Yasmin kepada Saman lebih karena perasaan superioritasnya terhadap laki-laki ini.
Yasmin juga seorang perempuan aktivis dan pengacara sukses yang mengerti persoalan advokasi, selalu bicara lantang tentang human rights dan liberalisme, mendukung aksi-aksi massa dan gerakan bawah tanah dan sebagian besar aksi-aksinya berhubungan dengan hak perempuan.
Eksistensi seksualitas perempuan Indonesia yang selama ini terkungkung budaya patriarki dilibas habis oleh Ayu Utami yang merupakan pemaparan problema yang bisa jadi dialami banyak wanita. Misalnya cerita tentang bagaimana Cok melepas keperawanannya. Bagaimana mitos kesucian keperawanan membuat Cok membiarkan lelaki bermasturbasi dengan payudaranya.
Ejekan atas keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh Laila meskipun sosok ini mampu melawan gender keperempuanannya. Dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Tapi keperawanan Laila yang terjaga, seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia justru menjadi problema. Ekspresi libido seks Laila terhambat. Lelaki takut padanya. Keperawanan dinilai sebagai tanggung jawab. Itu sebabnya ia tak bebas ketika telah sama-sama telanjang dengan Sihar. Tak pernah terjadi persetubuhan yang sebenarnya.
Rupanya pendidikan dan disiplin dari sang Ibu membuat Laila justru menjadi seorang gadis menyangkal kegadisannya. Pemujaan figur seorang ibu yang baik, tunduk dan setia pada suami dalam masyarakat tradisional dapat menjadi jebakan agar wanita mau melakukan tugas itu yang kadang-kadang tidak membahagiakan (Nurgiyantoro, 1995).
Saat sekolah ia ikut naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, menyusur kebun teh, berenang-jenis olah raga kelompok yang kebanyakan anggota-anggotanya anak laki-laki. Juga tidur bersisihan dengan kawan laki-laki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada saat itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia laki-laki, yang dinamis, tidak domestik, menjelajah alam, meninggalkan Barbie, tak segera tersentuh kosmetik. kemungkinan besar tidak diakuinya bahwa ia menyangkal buah dadanya sendiri juga menstruasinya.
Warna sensualitas yang kental dalam cuplikan di atas adalah cerminan Larung secara keseluruhan.
Laila adalah sebuah ironi, seorang perempuan yang ingin meninggalkan keperempuanannya agar ia dapat masuk dalam dunia laki-laki, yang dengannya ia memperoleh kebanggaan dan harga diri, tetapi akhirnya menjadi perempuan yang lemah, pasrah pada keadaan yang tergantung pada laki-laki. Ia tak dapat melupakan Sihar.
Peran tokoh Shakuntala (Tala) yang mempunyai perbedaan dengan sahabat-sahabatnya yang digambarkan oleh pengarang. Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu melihat faktor lelaki pada diri Tala. Gabungan sosok Saman dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila muncul pada diri Tala. Hingga akhirnya Laila melupakan Tala sebagai perempuan. Ketertarikan Laila ditanggapi Tala sehingga dalam Larung ini muncul sebuah fenomena seksual, yaitu lesbian, di mana lelaki benar-benar diabaikan.
Laila menceritakan proses disiplin wacana patriarkal untuk membentuk perempuan menjadi wanita. Shakuntala bercerita tentang proses disiplin wacana patriarkal untuk membentuk laki-laki sungguh menjadi laki-laki.
Dalam hal ini Ayu Utami masih mencoba membela kaumnya. Tala sebenarnya bukan seorang wanita yang kelaki-lakian dan maniak. Penggambaran tentang dunia lesbian, yang belum bisa diterima kultur/budaya Indonesia dideskripsikan dengan jelas.
Cerita yang berawal dari selangkangan mungkin bagi pembaca akan dianggap dan akan baca sebagai cerita semi-porno atau sebagai upaya Ayu untuk mempermainkan ajaran seksualitas, feminisme, dan wacana patriarkal, atau tafsiran lain.
Mungkin inilah upaya Ayu Utami untuk menarik pembaca. Interpretasi pembaca bisa beragam. Dan mungkin juga ini adalah upaya penulis dalam menyampaikan pikirannya bahwa sensualitas tak selalu mensyaratkan seksualitas masing-masing.
Penjajahan oleh patriarki terhadap wanita adalah berupa pemberlakuan norma-norma sosial tertentu, dengan tujuan norma tersebut dipandang sebagai kodrat (Nurgiyantoro, 1995). Emansipasi tidak cukup mengimbangi dominasi pria dalam kehidupan, yang harus dilakukan adalah pembalikan keadaan. Dalam Shakuntala, akhirnya tetap kembali pada sifat keindahan asli/nilai estetis wanita bahwa perempuan lebih indah. Sementara itu pada Yasmin, perempuanlah yang menjadi pemenang.
Semua perempuan yang ditampilkan adalah perempuan yang mandiri, wanita karier, yang sebenarnya relatif lebih bebas dari kungkungan dominasi pallus. Masih banyak perempuan lain yang mengalami kekerasan yang lebih konkret. Misal para pembantu rumahtangga, TKW, atau buruh perempuan. Mereka adalah kelompok yang perlu diperhatikan. Persoalan ini kiranya menjadi tantangan bagi para feminis untuk berfikir, berimajinasi dan menampilkan perjuangan mereka untuk melawan penindasan wacana patriarkal. Dimungkinkan ini adalah usaha Ayu Utami yang patut dihargai. Ia telah ambil bagian dalam perjuangan feminis.
Sebagai kelanjutan Saman, novel ini memunculkan kembali tokoh-tokoh Saman dengan karakternya masing-masing. Juga dengan konfliknya satu sama lain serta impian hidupnya masing-masing.
Masalah seks perempuan yang selama ini menjadi rahasia dan dianggap tabu dalam masyarakat Indonesia yang patriarkal, pecah dalam tingkah laku tokoh-tokoh novel ini. Wacana patriarkal adalah wacana yang mendasarkan diri pada oposisi biner 'laki-laki yang berbeda dengan konsep perempuan. Dan, gerakan feminisme adalah gerakan yang berusaha pertama-tama melawan, menentang, dan membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'.
Mari kita berangkat dari Cok [Cokorda Gita Magaresa] yang awalnya dipanggil si Tetek, tetapi kemudian menjadi si Perek (Perempuan Eksperimen). Cok mengeluhkan bahwa umumnya 'perek' dimaknai negatif, terkait dengan kebejatan, kehinaan. Cok menunjukkan bahwa sebutan perek mengandung ketidakadilan terhadap perempuan dan sebaliknya memberikan keuntungan bagi laki-laki. Di sini 'perek' merupakan konstruksi wacana patriarkal untuk menyelamatkan laki-laki dari kebejatannya dengan melemparkan kebejatan itu pada perempuan. Ketidakadilan ini semakin mengakar mana kala perempuan pun ikut memakai kata tersebut untuk menggolongkan dirinya maupun perempuan sesamanya. Jika terjadi demikian (di sini Yasmin), perempuan pun ikut terlibat dalam dan turut memperkuat wacana patriarkal. Namun, disini Cok melawan dan membuat tafsiran lain atas kata 'perek', meski tafsiran itu hanya untuk dirinya sendiri. Bagi Cok, "Perek adalah perempuan yang suka bereksperimen" (84).
Tokoh Yasmin yang sempurna, cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan, bermoral pancasila, setia pada suami menemukan kebebasan seksualnya bersama Saman, sang bekas frater. Itu karena suaminya, Lukas, tak pernah mengolah kekejaman pada dirinya meskipun hanya sebatas imajinasi. Yasmin merasa berbeda dengan para perempuan yang mengukuhkan patriarki. Kerinduan Yasmin kepada Saman lebih karena perasaan superioritasnya terhadap laki-laki ini.
Yasmin juga seorang perempuan aktivis dan pengacara sukses yang mengerti persoalan advokasi, selalu bicara lantang tentang human rights dan liberalisme, mendukung aksi-aksi massa dan gerakan bawah tanah dan sebagian besar aksi-aksinya berhubungan dengan hak perempuan.
Eksistensi seksualitas perempuan Indonesia yang selama ini terkungkung budaya patriarki dilibas habis oleh Ayu Utami yang merupakan pemaparan problema yang bisa jadi dialami banyak wanita. Misalnya cerita tentang bagaimana Cok melepas keperawanannya. Bagaimana mitos kesucian keperawanan membuat Cok membiarkan lelaki bermasturbasi dengan payudaranya.
Ejekan atas keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh Laila meskipun sosok ini mampu melawan gender keperempuanannya. Dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Tapi keperawanan Laila yang terjaga, seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia justru menjadi problema. Ekspresi libido seks Laila terhambat. Lelaki takut padanya. Keperawanan dinilai sebagai tanggung jawab. Itu sebabnya ia tak bebas ketika telah sama-sama telanjang dengan Sihar. Tak pernah terjadi persetubuhan yang sebenarnya.
Rupanya pendidikan dan disiplin dari sang Ibu membuat Laila justru menjadi seorang gadis menyangkal kegadisannya. Pemujaan figur seorang ibu yang baik, tunduk dan setia pada suami dalam masyarakat tradisional dapat menjadi jebakan agar wanita mau melakukan tugas itu yang kadang-kadang tidak membahagiakan (Nurgiyantoro, 1995).
Saat sekolah ia ikut naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, menyusur kebun teh, berenang-jenis olah raga kelompok yang kebanyakan anggota-anggotanya anak laki-laki. Juga tidur bersisihan dengan kawan laki-laki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada saat itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia laki-laki, yang dinamis, tidak domestik, menjelajah alam, meninggalkan Barbie, tak segera tersentuh kosmetik. kemungkinan besar tidak diakuinya bahwa ia menyangkal buah dadanya sendiri juga menstruasinya.
Warna sensualitas yang kental dalam cuplikan di atas adalah cerminan Larung secara keseluruhan.
Laila adalah sebuah ironi, seorang perempuan yang ingin meninggalkan keperempuanannya agar ia dapat masuk dalam dunia laki-laki, yang dengannya ia memperoleh kebanggaan dan harga diri, tetapi akhirnya menjadi perempuan yang lemah, pasrah pada keadaan yang tergantung pada laki-laki. Ia tak dapat melupakan Sihar.
Peran tokoh Shakuntala (Tala) yang mempunyai perbedaan dengan sahabat-sahabatnya yang digambarkan oleh pengarang. Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu melihat faktor lelaki pada diri Tala. Gabungan sosok Saman dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila muncul pada diri Tala. Hingga akhirnya Laila melupakan Tala sebagai perempuan. Ketertarikan Laila ditanggapi Tala sehingga dalam Larung ini muncul sebuah fenomena seksual, yaitu lesbian, di mana lelaki benar-benar diabaikan.
Laila menceritakan proses disiplin wacana patriarkal untuk membentuk perempuan menjadi wanita. Shakuntala bercerita tentang proses disiplin wacana patriarkal untuk membentuk laki-laki sungguh menjadi laki-laki.
Dalam hal ini Ayu Utami masih mencoba membela kaumnya. Tala sebenarnya bukan seorang wanita yang kelaki-lakian dan maniak. Penggambaran tentang dunia lesbian, yang belum bisa diterima kultur/budaya Indonesia dideskripsikan dengan jelas.
Cerita yang berawal dari selangkangan mungkin bagi pembaca akan dianggap dan akan baca sebagai cerita semi-porno atau sebagai upaya Ayu untuk mempermainkan ajaran seksualitas, feminisme, dan wacana patriarkal, atau tafsiran lain.
Mungkin inilah upaya Ayu Utami untuk menarik pembaca. Interpretasi pembaca bisa beragam. Dan mungkin juga ini adalah upaya penulis dalam menyampaikan pikirannya bahwa sensualitas tak selalu mensyaratkan seksualitas masing-masing.
Penjajahan oleh patriarki terhadap wanita adalah berupa pemberlakuan norma-norma sosial tertentu, dengan tujuan norma tersebut dipandang sebagai kodrat (Nurgiyantoro, 1995). Emansipasi tidak cukup mengimbangi dominasi pria dalam kehidupan, yang harus dilakukan adalah pembalikan keadaan. Dalam Shakuntala, akhirnya tetap kembali pada sifat keindahan asli/nilai estetis wanita bahwa perempuan lebih indah. Sementara itu pada Yasmin, perempuanlah yang menjadi pemenang.
Semua perempuan yang ditampilkan adalah perempuan yang mandiri, wanita karier, yang sebenarnya relatif lebih bebas dari kungkungan dominasi pallus. Masih banyak perempuan lain yang mengalami kekerasan yang lebih konkret. Misal para pembantu rumahtangga, TKW, atau buruh perempuan. Mereka adalah kelompok yang perlu diperhatikan. Persoalan ini kiranya menjadi tantangan bagi para feminis untuk berfikir, berimajinasi dan menampilkan perjuangan mereka untuk melawan penindasan wacana patriarkal. Dimungkinkan ini adalah usaha Ayu Utami yang patut dihargai. Ia telah ambil bagian dalam perjuangan feminis.
Komentar
Posting Komentar