Puisi 2006
Arbitrase Pinang pasang
-amree-
Rembulan terkencing di pelukan
Desah menghempas, ombak beradu karang di lautan
Dan, tak ada yang peduli
Dari serpihan papan; dipaku sebagai dinding sepasang
Sampai menggelepar dalam. Dalam…
Engkau lahir tak genap
Sebab kau pinang bunga mayang ke ranjang bambu
Di balik kelambu salju sebagai taburan bintang
Dari sana mimpimu mengarung
Susuri samudra, menuai badai, langit bergemuruh
Yang berasonansi dengan getaran kalbu
Entah siapa melempar sauh; raih kemudi ke dermaga
Seperti juga hidup mendendang desah
Harmoni sekejap kolaborasi.
Pelayaran belum sampai amuk ombak
(masih mahaluas)
Ada yang memasang gelombang pada tiang pancang
Bahtera baru saja bongkar jangkar
Lalu kau terbangun dari mimpi
Dan kau telusuri panjang dermaga
Mengisahkan benih dengan musikalisasi
Seribu notasi tak terpahami
Pantai masih jauh, teman.
Dari daratan sini kami menerawang
Kehilangan kaki langit puncak layar
Yogyakarta, 23 Januari 2006
03.18
Purnama Merah Jambu
Seberkas sinar menerobos tirai
Ia berbagi kisah dan desah
Pada dinding basah senyap disekap tanya
Berapa kali kita bercinta?
Purnama membuncah tanah merah, sebab terlalu angkuh
Gelapnya menggelapkan akal puisiku
Kata-kata semakin tak beraturan menjelma bintang sombong
Tak ada baris kata tereja. Hilang tanpa rupa aksara
Purnama merah jambu mengirim kado buatku
Sebuah lukisan tentang malam yang itu-itu saja
Kadang terang kadang mendung
Sepi bintang sepi puisi
Seperti bulan ini, aku mati metafora
Tak tertulis sajak melankoli
Ketika imajinasi dan fantasi sepi
Di hadapanku purnama terpantul di cermin
Sungguh angkuh tak seperti kekasih
Yang tadi habis berkasih, terpuruk di belakang pintu
Membenamkan mimpi. Sedang aku masih bermata jalang
Semalaman merangkai puisi sekadarnya
Buat kekasih sepasang yang bertukar cinta
Kupetik setangkai bunga mimpi
Akan kupaketkan cinta dan rindu buatmu
Tahun depan. Ketika kita tak lagi sama-sama punya mimpi
Terban, 02:00, 14 Februari 2005
Cipta Hening
Desah dalam dan liuk tengah malam
Lereng longsor dalam meditasi telaga sunyi
Sedang berpasang di seberang sedang meregang
Ranjang menggelinjang
Dendang katak berkubang
Saling terjang, saling tumpang
Tenggelam di balik selimut
Ada sesuatu yang berserak
Seperti kapstok, lelah menyangga nestapa
Sehelai demi sehelai berjuntai
Jatuh, lebur pada batu-batu itu tubuh
Tinggal decak cicak memekak ruang mimpi
Yang melelapkan aku, kau, juga mereka
Sampai lupa rumah hati diri sendiri
Sebelum esok pagi menyisir turun kembali
Malam sempurna hening
Yang mencipta lelangit dan sorga buat mereka
Mungkin neraka bagi kami
Kaliurang, Maret 2006
Pasukan Berani Mati
:tukang becak alun-alun utara yogyakarta
Senja kelana menyerbu sebaris harap
Kaki telanjang, wajah lusuh basah peluh
Mulut mengerucut tawarkan keluh
Riuh dan hanya riuh dijeritkan. Selebihnya merintih
Pengayuh tua merendah tangguh
Ia senantiasa hidup dari pedih
Ditatap mereka satu-satu sambil angluh
Bumi enggan menyempatkan ruang
Sementara ajakan dan rayuan
Mesih kalah lantang sedan lalu-lalang
Makna tak lebih sebuah anggukan
Mungkin sekedar puitis atau sarkasme tak peduli
Demikian, terlena oleh hura-hura pengembara
Kratonku tak lebih seperti rumah singgah bagi mereka
Jiwa-jiwa pasrah, tapi tak menyerah kalah
Peperangan yang hampir serupa, sebelum dan sesudahnya
2006
Lanskap
Pemandangan yang itu itu saja
Sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok
Horison yang kadang hitam buatku
Tentang batu-batu membisu menelan duka luka
Yang gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Mencari sinar untuk menyapa puing berserak
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
Melesatkan impian yang dibangun
Oleh masa yang sama sejarahnya menggebrak nusantara
Tugu atau prasasti namanya
menghempas di kampung pribumi
Tanah resah bersimbah darah
Banjir darah, jadi bunga seloka
Di kepingan sejarah dan pematang sawah
Darah di gurat-gurat tanah merah
Telah tumpah menjadi buih yang lahir dan hadir
Tumpah darah aliri bantaran Code
Dan diberi tanda, derita juga kefanaannya
Untuk buangan mereka
(anak kecil itu mungkin lupa bahwa yang dikencingi adalah
aliran darah pahlawan)
Lembah Code, 2006
Historia Tercerai dari Bingkai
Telah mereka lukai wahai pantai
Riak-beriak tiada ramai perompak
Diteduhi bukit ranum seujung pandang
Sedang ombak menghempus tepian jalan
Dan matahari pergi melari puisi
Telah turut perangi kapal di lautan pasang
Remuk-redam resah hati dan bongkah karang
Dihempas syair biru sampai benua seberang
Sedang meriam balik benteng meraung garang
Perahu karam, sejarah patah di tiang pancang
Alangkah merah anggur yang kuminum jalang
Adalah darah terjajah punah gairah berperang
Mereka menyulut gelombang dan genderang
Sekeras suara debur ombak di malam sepi juang
Pahlawan dalam kungkungan selaksa bayang
Mengepal tangan dalam belenggu, terpasung
Sampai pantai membayang pasang-berpasang
Lalu senja tak jua jingga menjelang
Mentari tak lagi berteman petang
Losari-Makassar, 2006
-amree-
Rembulan terkencing di pelukan
Desah menghempas, ombak beradu karang di lautan
Dan, tak ada yang peduli
Dari serpihan papan; dipaku sebagai dinding sepasang
Sampai menggelepar dalam. Dalam…
Engkau lahir tak genap
Sebab kau pinang bunga mayang ke ranjang bambu
Di balik kelambu salju sebagai taburan bintang
Dari sana mimpimu mengarung
Susuri samudra, menuai badai, langit bergemuruh
Yang berasonansi dengan getaran kalbu
Entah siapa melempar sauh; raih kemudi ke dermaga
Seperti juga hidup mendendang desah
Harmoni sekejap kolaborasi.
Pelayaran belum sampai amuk ombak
(masih mahaluas)
Ada yang memasang gelombang pada tiang pancang
Bahtera baru saja bongkar jangkar
Lalu kau terbangun dari mimpi
Dan kau telusuri panjang dermaga
Mengisahkan benih dengan musikalisasi
Seribu notasi tak terpahami
Pantai masih jauh, teman.
Dari daratan sini kami menerawang
Kehilangan kaki langit puncak layar
Yogyakarta, 23 Januari 2006
03.18
Purnama Merah Jambu
Seberkas sinar menerobos tirai
Ia berbagi kisah dan desah
Pada dinding basah senyap disekap tanya
Berapa kali kita bercinta?
Purnama membuncah tanah merah, sebab terlalu angkuh
Gelapnya menggelapkan akal puisiku
Kata-kata semakin tak beraturan menjelma bintang sombong
Tak ada baris kata tereja. Hilang tanpa rupa aksara
Purnama merah jambu mengirim kado buatku
Sebuah lukisan tentang malam yang itu-itu saja
Kadang terang kadang mendung
Sepi bintang sepi puisi
Seperti bulan ini, aku mati metafora
Tak tertulis sajak melankoli
Ketika imajinasi dan fantasi sepi
Di hadapanku purnama terpantul di cermin
Sungguh angkuh tak seperti kekasih
Yang tadi habis berkasih, terpuruk di belakang pintu
Membenamkan mimpi. Sedang aku masih bermata jalang
Semalaman merangkai puisi sekadarnya
Buat kekasih sepasang yang bertukar cinta
Kupetik setangkai bunga mimpi
Akan kupaketkan cinta dan rindu buatmu
Tahun depan. Ketika kita tak lagi sama-sama punya mimpi
Terban, 02:00, 14 Februari 2005
Cipta Hening
Desah dalam dan liuk tengah malam
Lereng longsor dalam meditasi telaga sunyi
Sedang berpasang di seberang sedang meregang
Ranjang menggelinjang
Dendang katak berkubang
Saling terjang, saling tumpang
Tenggelam di balik selimut
Ada sesuatu yang berserak
Seperti kapstok, lelah menyangga nestapa
Sehelai demi sehelai berjuntai
Jatuh, lebur pada batu-batu itu tubuh
Tinggal decak cicak memekak ruang mimpi
Yang melelapkan aku, kau, juga mereka
Sampai lupa rumah hati diri sendiri
Sebelum esok pagi menyisir turun kembali
Malam sempurna hening
Yang mencipta lelangit dan sorga buat mereka
Mungkin neraka bagi kami
Kaliurang, Maret 2006
Pasukan Berani Mati
:tukang becak alun-alun utara yogyakarta
Senja kelana menyerbu sebaris harap
Kaki telanjang, wajah lusuh basah peluh
Mulut mengerucut tawarkan keluh
Riuh dan hanya riuh dijeritkan. Selebihnya merintih
Pengayuh tua merendah tangguh
Ia senantiasa hidup dari pedih
Ditatap mereka satu-satu sambil angluh
Bumi enggan menyempatkan ruang
Sementara ajakan dan rayuan
Mesih kalah lantang sedan lalu-lalang
Makna tak lebih sebuah anggukan
Mungkin sekedar puitis atau sarkasme tak peduli
Demikian, terlena oleh hura-hura pengembara
Kratonku tak lebih seperti rumah singgah bagi mereka
Jiwa-jiwa pasrah, tapi tak menyerah kalah
Peperangan yang hampir serupa, sebelum dan sesudahnya
2006
Lanskap
Pemandangan yang itu itu saja
Sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok
Horison yang kadang hitam buatku
Tentang batu-batu membisu menelan duka luka
Yang gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Mencari sinar untuk menyapa puing berserak
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
Melesatkan impian yang dibangun
Oleh masa yang sama sejarahnya menggebrak nusantara
Tugu atau prasasti namanya
menghempas di kampung pribumi
Tanah resah bersimbah darah
Banjir darah, jadi bunga seloka
Di kepingan sejarah dan pematang sawah
Darah di gurat-gurat tanah merah
Telah tumpah menjadi buih yang lahir dan hadir
Tumpah darah aliri bantaran Code
Dan diberi tanda, derita juga kefanaannya
Untuk buangan mereka
(anak kecil itu mungkin lupa bahwa yang dikencingi adalah
aliran darah pahlawan)
Lembah Code, 2006
Historia Tercerai dari Bingkai
Telah mereka lukai wahai pantai
Riak-beriak tiada ramai perompak
Diteduhi bukit ranum seujung pandang
Sedang ombak menghempus tepian jalan
Dan matahari pergi melari puisi
Telah turut perangi kapal di lautan pasang
Remuk-redam resah hati dan bongkah karang
Dihempas syair biru sampai benua seberang
Sedang meriam balik benteng meraung garang
Perahu karam, sejarah patah di tiang pancang
Alangkah merah anggur yang kuminum jalang
Adalah darah terjajah punah gairah berperang
Mereka menyulut gelombang dan genderang
Sekeras suara debur ombak di malam sepi juang
Pahlawan dalam kungkungan selaksa bayang
Mengepal tangan dalam belenggu, terpasung
Sampai pantai membayang pasang-berpasang
Lalu senja tak jua jingga menjelang
Mentari tak lagi berteman petang
Losari-Makassar, 2006
Komentar
Posting Komentar