Puisi 2004

Menyulam Cahaya

Menyulam cahaya dari dian menyala
Tajam berbinar mengobarkan rasa
Dari sumbu sobekan sutra
Menanti bagaskara menyinari
Berganti hari guna meraih asa

Menyulam cahaya dari dian menyala
Tertata demi selembar dalam prasasti jiwa,
Nanti jika minyak patra dari dian hidupmu
Semakin surut, cahaya terlena
Meredup berkelip,
Biarkan,
Jaga
Siang dan malam, sebab
Ada hidup yang tak hidup dan
Tak ada yang kekal di dunia

Parangtritis, 01012004





Rindu Duka Berkabut

Melangkah dalam remang senja
Langit Jogja kelabu bergayut mendung
Tapi tak turun hujan,
Hanya mencipta kegelapan,
Hanya mencipta suram
Menggiring rindu duka berkabut

Melangkah dalam gelap malam
Mendung menggantung mengungkung Temanggung
Saat separo jalan dari menengok rekan
Menanggalkan rindu duka berkabut
Dari kaki Sindoro yang bertekuk lutut
Bersujud merindu bagaskara menyelimut
Semaisemai tembakau yang belum sempat
merengkuh tanah merah kehitaman,
Gembur mengubur akar-akar merindu
Bertemu

Temanggung, 2004






Mendung di Pelarian Musim
12022004

Sungguh tak kubayangkan seketika
Mendung di pelarian musim ini mengerang
Tentang kesaksian yang meringkuk
Bersama senja dari balik pintu
Karena mentari bertikam mendung terkoyak,
Merintih perih
Seiring kumandang adzan Maghrib menyulap penyesalan

Pesonamu luruh dalam kotak akuarium
Ikan koki-moli-gepi mengejek picingkan senyum
Menyaksikan tetesan air mata kesumat
Ketika noktah bertabur karat

Mendung yang berkalang darah
Melukis senja celaka penghantar musim berkabut
Akhiri cumbu nafsu dari helai-helai desah nafas
Memburu
Langkah kelingkaran tali simpul
Mengikat kabut tergelayut mengumpati kutukan hidup

Ruang Dosen Terban 457, 2004







Prelude

Buih-buih berkata lewat ranting tanpa daun
Basah
Dan dari hilir jauh sepenggalah senja tepian kali
Itu
Menenggerkan lumut yang terbenturbentur pualam
Tersangkut gombal bercampur lendut
Tak bergerak tak berdecak
Dan hanya membiarkan ranting
Yang jatuh telungkup dari atas kota yang bising
Menunggu
Di pusaran air tanpa jejak dan sajak
Sembari mengail mukjizat
Menenggelamkan catatan perjalanan
Suram
Dari tawar tanpa rasa mata air mata
Menuju Asin luasnya samudra bertameng karang

Akankah ia mencapai muara
Dan ombak menyambutnya dengan selaksa puisi

Babarsari, Maret 2004











in College
buat Bapak Burhan N.
dan fans-fansku: Pujiati S., Darmiyati Z., Pintamtiyastirin,
Ari K., i Tadz, Siti Nurbaya, dll

Jemari telanjang menjulur
Seirama tinta menari mengukir
Dari balik pintu menjelma sosok maya
Tentang rupa angkara
Tenggelam dalam rawarawa
Tanpa tepi, tanpa sepi

Sesaat tik-tok arloji mengalun
Bisikkan kantuk tak menyadari hari esok
Biarlah,
Selama nafas masih mendesah
Takkan kuremas kertas-kertas berserak
Kupungut lalu lenyap dalam timangan
Bersama siang menyilak pagi yang kepagian

C.08 FBS UNY, April 2004






Kujemput Bulan dengan Keharuan

Sesaat lambaian itu memporakporandakan
Mimpiku yang belum lagi sempurna
Tersenyum di tengah pintu beratap senja jingga
Bercermin lewat bayang hitam di hadapan meski
Tak mungkin kabur diterpa ocehan angin

Temaram di tepi hingar-bingar terminal kota
Riak membisik syahdu di kebisingan
Meliuk-liuk bersama sibakan kerudung ungu
Wasiat bagi hayat hingga mayat
Lihat! Rasakan!
Kusahut derai senyum itu dengan uraian kata
Dan seuntai puisi dari sunyi kedalaman
Kala menjelang petang di lintasan pekan

Sebelum hari pertama bermula
Sapamu memagut matahari hampir separuh
Lantak tak terlewat
Lihatlah nanti?
Kujemput bulan dengan keharuan
Sebab siang hampir petang

Umbulharjo, April 2004







Sajak Pengharapan:
Untuk hidupku yang satu detik lagi

Aku mungkin mati satu detik lagi
Namun jengkal hidupku siapa tahu
Detak ini menggertak-nyalak hendak lantak
Retak diterjang ihwal dewata Nitikawaca;
Inilah sosok durjana dari hinasahaya

Wahyu takut temurun
Itu bukan malaikat salah mengeja
Catatan suram perjalanan menikung masa silam
Atau pendakian terjal tak berpuncak amal penabur dosa
Kutau mungkin terlalu cepat mencekat tuk sujud
Seuntai harapan tak sudi mencerna doadoa dari sosok
Ornamen yang belum sempat terpahat oleh zikir mengukir
“Niat insun kula Sholat”
Oo, pendosa meracau lewat sajak pengharapan


Titi wanci; mungkin detik ini
Ini hari minggu ini entah bulan depan
Warsa ini windu ini atau renta kala
Itu tak mustahil tereja Asmaulhusna
___
Untung malaikat menarikku ke sana
Nyanyikan pujian asmaradana menjelma
Gema bedug menggemuruh mengharap
Untuk hidupku yang satu detik

Ketep – Borobudur, Mei 2004








Senja di Candi Borobudur

Dari balik stupa aku bercermin pada-Mu
Bercermin relief Rupadatu
Memandang kepala-kepala-Mu yang hilang
Ketika reca itu lenyap dari angganya

Senja dilahap mendung
Dan memuntahkannya sebagai guyuran hujan
Dari sesenja perjalanan pungkasan
Aku bersujud
Bukan untuk batu-batu itu
Tapi untuk Rabb-ku

Borobudur, 2004



Bacakan Puisi ini Sekali Saja

Bacakan puisi ini sekali saja
Pada suatu waktu kau sedang terlena
Biar dalam hati tapi penuh nurani
Dengan mimik gesture vokal menyalak
Tapi ingat!
Puisi ini bukan untuk deklamasi anak SD
Yang ingusan
Yang belekan
Yang ngising di celana
Yang gratil
Yang dekil bengil bocah udik
Atau anak TK manja semua Ma – ma

Himbauan!
Puisi ini hanya dibaca oleh yang punya jatidiri
Ya, sepertimu yang punya hutan jati
Di Kalimantan Sulawesi Papua atau Sumatra

Peringatan Pemerintah!
MEMBACA PUISI DAPAT MENYEBABKAN MULUT BERBUSA, SERANGAN LEMAH JANTUNG, TUBERCHOLOSIS, GANGGUAN TENGGOROKAN, DAN KEHAMILAN MASA PUBERTAS

Ingat!
Puisi dibaca bukan hanya karena ada niat
Tapi karena ada kesempatan
Baca!
Baca?


Terban, 2004

Menjelang Petang

Ada tua renta permisi
Sesaat membungkuk di anak tangga
Matanya galau menatap petang merayap menjelang
Kenapa mesti membungkuk
Ini dunia milikmu, batinku
Kami datang karena rindu dendang malam
Di negeri kami hanya ada dering bising dan raung jalanan
Bulan ‘kan menyambut rona senja yang semangkin pudar
Letihmu ditunggu cucu merindu di gubug–Mu
Bawa batu berlumut buah tangan moyangmu
Jaga dengan uban mengakar keperakan
Jangan sampai kembali legam hitam

Meski lumut di batu itu berwarna hijau kuyu
Setidaknya memberi harap
Agar tak terpahat maksiat
Agar tak terinjak kaki-kaki jaman

Kaliurang, Juni 2004


Aku Milik Siapa ?
Kelakar kata menghentak rasa
Menyalak berdesak mengerat pekat
Gendang telinga mendengung
Tersengat lebah madu mendayu
Penuh nuansa menyentuh citra
Berkata:
Aku milik setiap orgasme alam
Jangan engkau mengekang apalagi berburuk sangka
Terban GKV, 2004

Benalu vs Priyayi Berdasi
: Dia

Ada parasit nempel di pokok beringin
Disambar walet sesekali hampiri kami
Yang sedari tadi bersemadi, tak berucap tak mereda angkara
Bergelayut mega jingga terjangkit sisa terik penghabisan
Di bangku taman yang tampak usang oleh jaman
Tadi terlihat tamu priyayi berdasi teriring bedil-senapan
Sedari orasi bakal pemimpin negeri
Mampir ngisi perut bahkan minum darah dengan cawan revolusi
Di tempat bapak-Nya doeloe ngungsi dari ibu-Nya,
Mungkin terlanggar van Royen entah Renvill entah Agresi
Aku tak mengenal sejarah tanah ini
Aku hanya benalu tak punya harga diri
Di artefak dan monumen arkeolog tempat pasar seni
Para seniman gondrong doyan botol yang bilang dirinya nyeni
Masih lebih Nyeni bahkan Nyastro mereka priyayi berdasi
Yang barusan masuk mercy
Beliau pintar bersyair fatwa pujangga
Beliau lantang deklamasi
Beliau gapah bersilat-acting di hadapan tamutamu penting
Dengan properti para menteri, delegasi, diplomat, Parlemen
Bahkan Mahkamah Agung atau rektor barangkali
Dengan setting memadai: Istora bahkan Istana negara
Untung saja aku hanya parasit nempel pada pokok beringin
Tumbuh berakar saling tunjang sejengkal di tanah ini
Kabar-kabari desai angin, kicau burung dan pasangan bercinta
Berbincang masa depan
Tapi kasihan
Aku tak bisa bebas seperti walet terbang bentangkan sayap
Kotori baju priyayi berdasi yang lewat tak permisi

Gedung Agung Jogja, Juni 2004



Tlah Kupahat Sebuah Nama
; bersama Joko, Pur, dan Groh

Tlah kupahat sebuah nama
Lanskap keindahan hakiki di sepanjang bukit pasir
Tepian samudra dalam bisikan debur ombak
Bercerita tentang mata yang terlukis luka senja
Membias gontai tubuh hendak rubuh
Lalu selukis nama lebur bercampur pasir basah
Hancur luluh disapu buih
Merintih:
Kita kan bertemu dalam ragu
Lalu kita menunggu malu
Manakala kita suntingkan karang dengan pasang

Tlah kupahat sebuah nama
Manakala kita suntingkan karang dengan pasang
Lalu berbuah buih memecah riuh
merengkuh matahari
memeluk bulan sabit kesepian
Dan hanya ditemani bintang diam
Yang diam-diam membidik awan kelam
Lalu mengajaknya bercinta dalam kepuraan

Tlah kupahat sebuah nama
Ditemani bintang diam
Menyalak sajak lokal milik rekan
Memekak tak hening oleh kelam malam
Lalu meneriak serak
; tlah kusuntingkan karang dengan pasang!

Parangkusumo, Juni 2004




DIVA
SR - TA

Dalam beranda
Menjelang datang sewarsa usia
Tengan-tangan mungil menampar wajah boneka
Mirip padanya
Hingga kuyu tetap kaku
Mungkin murka pada Bunda yang lupa setor muka
Atau sekedar rindu nenen dari putting nan unun
Lalu
dikulum bibir mungil
digigit kecil-kecil
dari susu Bunda mungil
oleh geligi kecil
untuk anak, anak kecil

Di teras batas tetangga
Tumpukan batubata terbata
mengeja kata:
Jangan kaucetak lagi diva-
diva ke dunia
Telapak kakimu bukan surga
Hanya neraka ulah polah mereka

Gombong,Kebumen, Juni 2004






Engkau yang Kupilih
: SBY

Bahwa tubuhmu tlah kuhunjam berulang kali
Tadi pagi
Dengan sepucuk puisi
Itu
Puisi yang nancap di kedua mata
Dan jantung landung
Mengundang hasrat bersatu
Meski dalam ragu
Merintih di pangkuan ibu yang lama layu
Lalu meredam khayalan imaji
Sampai seratus kegelisahan hari
Yang mungkin nanti
Mengurai khilaf
Mencerna doa dan harap
Berharap ibu tak bergolak
Menarikan selendang api
Menyala menyapa angin
Dan menghanguskanmu jadi abu
Saat senjakala tak lagi menebar jingga
Kemudian Batara Kala memagut tubuh ibu
Dalam bayang mega kelam
Membias resah hujan basah
Berakhir sudah,
Kembali pulang ke rumah

Terban, 5 Juli 2004


Putri Malu di Luar Jendela
:tary

Ada kata terburu terucap
Saat pagi beranjak dari kesejukan-Nya
Mengubah gigil jadi bengil ulah bocah bengal
Mereka murka rona alam yang masih merembun
Hampir basah peluh sepagi ini

Bukan alpa beta lupa pada janji kita kemarin
Aku lupa bukan karena amnesia
Tapi kepala yang tak bisa bersandar pada hening malam tadi
Telat meninabobokanku hingga fajar menyeruak maki

Putri malu di luar jendela masih lestari
Dibasuh embun pertengahan kemarau
Sesekali melambaikan tunjungnya pada kemaluanku
Yang menepi di seberang tembok sembari mencerna kata

Tak ada sisa kosakata yang tereja
Percakapan hanya mencipta gema
Karena kemarin bukan senda
Bukan juga orgasme alam belaka

Ambarrukmo, 26 Juli 2004




Senandung Putus Cinta (120903)
- Dewi Agustina -

Dering telepon menanti jawab
Di sana
Kata bungkam merayapi kelam malam
Mulut gagu meratapi perpisahan
Dari hari keakraban menusuk perut dan dadaku
Pada cita dan rasa yang mungkin sulit bereaksi
Semenjana rasa pedih menggurah di sembilan
lobang tubuhmu
Belum kita ketahui esok pagi
Mungkin egkau atau aku
Menyusuri cerita di sisi usia
Yang terus berevolusi
Ke lorong sunyi
Oleh belai angin kemarau September ini
Ayo, kita halau musim berdebu tahun berlalu
Dengan senyum bagaskara esok pagi
Biar pijarnya membikin gaharu

Metro Selatan, 11 September 2004







Pacar Kecil di Pertigaan
- mendhess -

Pacar kecil berlari
Berlari meniti matahari
Jatuh di gundukan jerami
Sisa panen gadu sepekan lalu

Pacar kecil,
Kau berpaling pada siang
Amnesia akan semarak underlag
jalan belakang
Kepulangan kita sehabis pergantian
Menggiring sampai pertigaan ruang dan waktu
Lalu sepertiga usia bertemu dalam kelu
Kemudian dan lain sebagainya pun
Kesengsaraan purba terlanjur terpahat
Di tepian jalan
Ditemani canda rekanan dan dendang memabukkan
Dari pelarian pacar kecil kehilangan jejak
Juga sajak,
Menghilang di serpihan mega
Menghalangi sinar-Nya

Metro Selatan, September 2004






Tidur Separuh

Ini bukan tidur
Yang kutiduri
Tapi, kau pun harus berhasrat
Biar tak sekejap istirah
Menurut pejam mata
Terbukalah cakrawala

Perempuan sepetang itu
Tertimbun matahari, tersaput kabut
Berserak. Berkerudung dalam ungu
Di tepian petiduran
Hanya aku dan kamu
Koyak dan tak rapi
Satu-satu atau keduanya
Berwujud tunggal di antara serpih kala hitam
Meranggas siklus terabai nafasmu

Mrican, 2004



Pergi Jauh/go-far

Masih basah sekitaran rumah
Hujan hanya menghantar gerah
Kamu juga kami, memenjara diri
Dari rerintik, sedekap dalam pengap

Bercakap dalam risik
Senandung kidung asing
Mengerak kontras merambat pekat
Pepat suara menyublim mata
Yang sedari tadi tertimbun asap

Rintik hujan membasah angan puisiku
Gerah berasosiasi dengan atis,
Dingin malam tak jua reda
Pertanda rembulan tak lagi tergantung
Menerangi buram malam

Kamu masih di sini,
Menanti hujan membanjiri belakang kali
Menanti makan malam yang kemalaman

Papringan, Oktober 2004


Message Delivered
- TA -

Masih sempat kupagut seonggok mimpi
Tadi –
malam
– ini
Bayangan seseorang di seberang
Tersiksa nesta oleh sekawanan,
tapi bukan kawan……
Belum sepekan kutambat biduk
Di dermaga berbatu menerawang pilu
Pandangi ombak penuh tanda tanya
Bergulung mengejar bulan sabit jingga
Terhempas karang memecah riuh,
Mungkin rindu bertemu
Saat tersiar kabar dari titik-
titik kaca
Tanpa tanda baca
Tereja wacana tentang lara
“Aku takkan kembali esok pagi”

Bandarlampung, Oktober 2004


Aku Lupa Membaca Firman-Mu

Mulut tersumbat, lafal terbata
Saat kucoba mengeja satu-persatu
Puisi-Mu yang sudah lama
Lapuk dalam iman
Juga segala Alif-bengkong tak lagi berfirman

; Aku ‘kan mencoba esok, di sepertiga malam
sebelum raga tertimbun nisan

Ramadhan 1425 H

Maghrib

Tenggelam di sini
Rerumputan bersujud tertiup angin
Gerimis runtuh demi setitik
Tak lagi kekeringan

Waktu semakin beranjak mendekat
Rengkuh segala itu
Sekejap akan hilang
Sebab matahari, korona memudar
Sebab angin, luruh dipetik mendung
Lalu aku, tinggal sisa

Selagi buku puisi masih bisa dibuka
Akan kuisyaratkan epilog saat buka puasa

Metro, Ramadhan 1425H



Pesan Cinta

Jika engkau rindu
Nanti, Dinda
Simpan saja
Jangan kau berikan siapa
siapa
Daku datang dari seberang
Membawa sepotong cinta
yang kau pesan

Metro , November 04


Puisi Ilusi

Mungkin aku sepi
Malam bisu, siang berkabung
Di koridor mimpi
Saat rembulan tak lagi purnama

Mungkin aku sepi
Oleh engkau, aku asing penuh ilusi:
Menenteng busur di tangan
Dan sepucuk panah menanti tuju
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
“Jangan kau takutkan, Kasih
Panahku hanya secarik puisi
Takkan menyakiti siapapun, tidak juga
KAU?”

Metro, 2004





Semalam di Pasir Putih

Masih ada nostalgia ranting hijau bakau
Baru saja bersemi
Ketika angin tiba-tiba bertiup
Menghempas segala harap, tinggal ratap
Pada selembar daun jatuh
Tersapu buih, terbaring pedih di pasir putih

Lampung Selatan, 2004




Pedagang Jamu di Geladak Ferry

Geyal-geyol bokong bahenol
Tawarkan isi dalam botol
Mengais kepingan tutup botol
Botol bertaut tutup botol

Selat Sunda, 08:45 10112004






Game Over

Ketika adzan berkumandang dalam liang
Ketika kafan berlapis membalut tubuh kaku
Ketika tanah merah menimbun segala cita dan karsa
Ketika permainan telah paripurna
Dan kita menunggu undian
Untuk menang atau kalah

Metro, November 2004



Bocah Penggembala

Seorang bocah menggembala angin
Di bawah terik, menguning pada bulir padi
Merunduk rindu basah tanah

Si bocah menggiring angin menepi
Biar rumput tak lagi melenguh kepanasan
Yang hanya punya satu sajak tertambat di sengkedan
Gemericik bening sebening riak birahi-Mu

Sepasang manusia saling bertanya
Adakah jalan menuju ke sana
Dari patahan marka
Simpang tiga itu,
Tersesat dalam imageri angin bedinding

Imogiri, Desember 2004








Sesekali Kita Harus Melihat ke Bawah

Sesekali kita harus melihat ke bawah
Dari atas sini menatap kolor petani
Dan punggung berkilau bercermin siang
Menatap isyarat lewat panca indra

Kita lihat petak sawah juga sederet gedung
Kita hirup nafas hijau daun dan hitam tanah
Bukan gedung silau, mall atau baliho
Juga kutang dan cawat
Bergantung di kawat jemuran depan kamarmu

Ada pohon dan rumah tak kokoh
Sama di ujung sana, tempat kita semula
Bedanya, kita sedang bertamasya
Jauh dari sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok

Aku dan kamu,
Sesekali meski melihat ke bawah
Sebab kita berangkat dari sana

Cerme, Imogiri, Desember 2004



Rindu yang Purba

Suatu kali aku memeluk gunung
Lebih erat dari lembah. Tak terbatas horison
Yang mengujung

Tak ada kabar olehmu; hanya kebekuan ruas jemari
Dan perdu teh mengibas kabut yang mengasat –
Yang hampir jadi sejarah

Ingin kudaki terjal gunung
Terpisah oleh marga, lewat raga. Terpisah
Oleh bingkai cakrawala
Yang tergambar dari kanvas semesta
Suatu kali aku sarati; bahwa tinggi gunung
Bukan antara yang tak terbaca aksara

Membaca isyarat—saat penat yang berlipat
Gigilan singkat terkubur dalam pedut
Memisah rindu yang purba

Wonosobo, 2004

Komentar

Postingan Populer