ESSAY: KEBUDAYAAN JAWA NOVEL PARA PRIYAYI DALAM KERANGKA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Lewat pendekatan sosiologi sastra, keberadaan pengarang dan karyanya sering tak bisa dilepaskan dari lingkungan dan jamannya. Padahal, ada saja pengarang yang tidak terikat oleh perubahan lingkungan, termasuk momentum penting dalam perubahan politik.
Tiap-tiap pilihan tak lain adalah simpul konsep kepengarangan. Seberapa jauh seorang pengarang terikat oleh lingkungan dan jamannya, sebetulnya juga ditentukan antara lain oleh konsep kepengarangannya.
Pendekatan sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar belakang pengarang, karena dalam kajiannya mempelajari tentang keberadaan manusia (baik dari segi pengarang atau segi hasil karyanya) dalam lingkungan masyarakat.
Lingkungan masyarakat merupakan atmosfer yang akan dihirup oleh pengarang dalam menghasilkan karyanya. Sehingga pada akhirnya akan terlihat sejauh mana pengarang terlibat dalam lingkungannya dan pembelaannya terhadap lingkunggannya.
Sastra sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kajian sosiologi, karena pada hakikatnya menunjukkan sastra berfungsi pragmatis bagi kehidupan sosial masyarakat. Sastra itu hadir di tengah kehidupan masyarakat.
Masyarakatlah yang menginginkannya untuk mengemban sejumlah fungsi kemasyarakatan, yaitu fungsi melestarikan, menguatkan, menggali, mengajarkan, tetapi juga mempertanyakan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat.
Sastra dapat dipandang sebagai bagian integral dari kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkannya. Karya sastra dapat tampil dengan menawarkan alternatif model kehidupan yang diidealkan berupa berbagai aspek kehidupan, seperti cara berpikir, bersikap, berasa, bertindak, cara memandang dan memperlakukan sesuatu. Sastra ditanggapi sebagai suatu fakta sosial yang menyimpan pesan yang mampu menggerakkan emosi pembaca untuk bersikap atau berbuat sesuatu.
Sastra memang tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya. tetapi, pasti muncul pada masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang estetika, dan lain-lain, yang semuanya itu dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan.
Dapat dikatakan pula bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan keterangan kehidupan sosial budayanya. Tepatnya keterangan keberadaan kehidupannya. Sehingga munculah pesan-pesan dalam karya sastra, sebagai bentuk nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Nilai-nilai yang ada berhubungan dengan nilai-nilai yang terdapat pada latar belakang sosial budaya masyarakat ketika pengarang hidup dan menjadi salah seorang anggotanya.
Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan bentuk karya sastra yang akan dihasilkan. Contoh dalam lingkup masyarakat Jawa, seni budaya pewayangan merupakan salah satu fakta sosial budaya yang sudah memasyarakat, sehingga kehadirannya dapat dirasakan siapa pun dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
Gaya penulisannya juga sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna, dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat perenungan, yang sebenarnya memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan.
Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam juga menghadirkan para tokoh yang sangat mencerminkan orang-oarng Jawa kebanyakan. Tokoh-tokoh tersebut dilahirkan dari latar tempat, sosial, dan waktu yang memang benar-benar mencerminkan kebudayaan Jawa. Latar tersebut merupakan latar tipikal.
Bahkan Umar Kayam mewarnai novelnya dengan beberapa penggal tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian jawa di bagian tengah dan akhir novel. Tokoh dalam novel yang terlahir dari latar budaya Jawa terlihat sangat kental terutama dalam dialognya. Uamar Kayam banyak menggunakan dialog dengan berbahasa Jawa.
Bahasa Jawa yang disajikan Umar Kayam dalam novelya ada tiga bahasa Kromo Inggil (sangat halus) ,Kromo (halus) , dan Ngoko (kasar). Misalnya pada saat Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang yang statusnya sama atau sebaya dengan lantip. Contoh kutipannya” wah, Ndoro. Nuwun sewu, mohon maaf.” dan biasanya bahasa seperti kromo inggil tersebut dipakai oleh yang muda ke yang tua apapun strata sosialnya , sedang kalau yang muda ngomong ke yang muda lagi atau yang setara umur nya , biasanya pakai ngoko.
Tiga puluh satu tokoh ditampilkan oleh Umar Kayam dalam meramaikan novelnya (Para Priyayi). Misalnya tokoh Sastrodarsono yang diceritakan sebagai anak tunggal Mas Atmokasan, seorang pertani desa Kedungsiwo. Sastrodarsono barasal dari keluarga Islam, dan dia juga beragama Islam. Setelah menjadi guru Sastrodarsono dijodohkan dengan Siti Aisyah atau Dik Ngaisah. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu Noegroho, Hardojo, dan Soemini. Sastrodarsono dan Dik Ngaisah bertekad membangun keluarga Sastrodarsono sebagai keluarga besar priyayi.
Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam suasana kehidupan orang-orang Jawa. Bahkan orang-orang Jawa pada jaman dahulu di saat memilih menantu mereka lebih memberatkan pada calon menantu yang memiliki status priyayi.
Bagi orang-orang Jawa status memanglahlah sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi Umar Kayam menyajikan pemahaman tentang priyayi yang sebenarnya dalam novel, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk melayani dan mengayomi rakyat banyak. Hal ini disampaikan pada bagian terakhir saat tokoh Lantip berpidato pada pemakaman eyangnya. Lantip dalam pidatonya memaparkan dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.
Tokoh Sastrodarsono merupakan tokoh yang berkarakter baik dan setia pada orangtua, mempunyai perhatian besar terhadap kemajuan pendidikan, dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Sedangkan tokoh Dik Ngaisah sebagai seorang istri Sastrodarsono berkarakter setia terhadap suami, sabar dan mampu berpikir positif, bijaksana, berpikir optimis, dan pandai bersyukur. Dik Ngaisah adalah putri dari Romo Mukaram, yang masih termasuk saudara jauh Mas Atmokasan, ayah Sastrodarsono suaminya.
Sebagai istri, Dik Ngaisah terlihat amat tulus mengabdi kepada suami. Melayani segala kebutuhan suami dan menomorduakan kebutuhan sendiri. Suami merupakan orang yang harus dihormati, diabdi, dipenuhi segala keinginan dan dimengerti semua tingkah lakunya. Hal ini merupakan perwakilan dari tokoh tipikial perempuan Jawa, bahkan Umar Kayam menyakinkan pembaca dengan memasukkan prinsip perempuan Jawa pada halaman 207 yang berbunyi “ Orang Jawa mengatakan istri adalah garwa, sigarane nyawa, yang berarti belahan jiwa. Maka sebagai belahan jiwa bukankah saya tidak boleh berpisah dari belahan yang satu lagi?”
Menurut kepercayaan orang-orang Jawa tokoh istri yang setia itu merupakan tokoh reinkarnasi dan transformasi dari tokoh Woro Sembodro, yakni istri Arjuna di dunia pewayangan
Kesetiaan tidak hanya dimiliki oleh tokoh Dik Ngaisah terhadap suaminya Sastrodarsono tetapi dimiliki juga oleh tokoh Lantip. Lantip adalah putra Ngadiem dengan Soenandar, meskipun sebenarnya mereka tidak menikah. Namun Lantip tidak pernah bertemu dengan ayahnya itu, karena ayahnya meninggal saat Lantip masih dalam kandungan. Lantip kemudian diasuh oleh Sastrodarsono dan akhirnya diangkat sebagai anak oleh Hardojo. Lantip begitu setia dan berbakti kepada keluarga Sastrodarsono karena Lantip merasa telah berhutang budi kepada keluarga Sastrodarsono. Karakter Lantip sangat mencerminkan karakter oarng Jawa kebanyakan. Orang Jawa yang telah merasa berhutang budi terhadap seseorang, dirinya akan selalu mengabdi dan setia kepada orang yang telah menolongnya.
Melalui novel Para Priyayi , pembaca Indonesia yang berlatar belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel tersebut tampak sangat terikat dan sekaligus mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa.

Komentar

Postingan Populer