Citra wanita dalam novel Larung
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Novel atau fiksi sebagai salah satu bentuk karya sastra sangat menarik untuk kita kaji dan banyak dikaji oleh penikmat-penikmat sastra khususnya jenis fiksi atau novel. Sumardjo (1979: 19) berpendapat bahwa dari sekian banyak ragam sastra, novel merupakanan bentuk yang banyak digemari masyarakat. Dapat dikatakan bahwa novel merupakan cabang sastra yang paling populer di dunia, paling banyak dicetak dan paling banyak beredar. Hal ini disebabkan novel mempunyai daya komunikasi yang luas pada masyarakat, di samping mudah untuk dipahami dan dinikmati.
Sebagai karya imajinatif, sastra tidak hanya membawa pesan, tetapi juga, meninggalkan kesan tersendiri bagi para pembacanya. Selain itu, dalam membaca karya sastra para pembaca akan mendapatkan kesenangan dan kegunaan yang diberikan oleh karya sastra itu yang berupa keindahan dan pengalaman-pengalaman jiwa yang bernilai tinggi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Eksistensi wanita yang akan saya jadikan sumber penelitian saya adalah tentang kajian feminisme, konsep patriarki, ajaran seksualitas, dan kemitra sejajaran tokoh wanita, serta sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung tersebut.
Emansipasi wanita yang selalu diidam-idamkan dan berusaha untuk diperjuangkan oleh kaum perempuan dan feminisme yang merupakan suatu keaadan akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja atau dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki berusaha untuk mengubah keadaan tersebut.
Bagi kaum feminis, perjuangan wanita tidak hanya menentang diskriminasi saja, tetapi berjuang demi emansipasi dan pembebasan dari segala bentuk penindasan, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun oleh kaum pria itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan akhirnya adalah membentuk masyarakat yang adil serta sama di dalam hak dan kewajiban, baik bagi wanita maupun pria.
Siapa saja yang akan meneliti tentang perempuan dan sastra dapat mengarahkan kepada salah satu aspek yang terdapat dalam relasi antara kedua hal itu. Teks sastra berfungsi dalam proses komunikasi antara penulis dan pembaca. Setidaknya ada empat unsur yang dapat dibedakan dalam proses ini: penulis, teks sastra, pembaca, dan semesta. Sejajar dengan itu, ada empat pendekatan kritis yang utama terhadap karya sastra, yaitu ekspresif, obyektif, pragmatik, dan mimetik.
Untuk kajian wanita dalam bidang sastra penting membedakan keempat pendekatan tersebut. Jika misalnya lebih ditikberatkan penulis wanita atau ginokritik, digolongkan dalam pendekatan obyektif. Bagi kajian waita, analisis instrinsik saja dianggap kurang memuaskan kecuali diikuti oleh relevansinya dengan keadaan wanita di dalam masyarakat. Kemungkinan ketiga, pendekatan pragmatik, membuka kesempatan dilakukannya kajian tentang perempuan sebagai pembaca dengan anggapan si pembacalah yang memberi makna kepada karya sastra. Penganut teori mimesis dalam pendekatan mimetik pada prinsipnya berpendapat karya sastra sebagai pencerminan, peniruan ataupun pembayangan realitas. Peranan kenyataan dalam proses komunikasi ini selalu dianggap paling rumit. Pengarang dan pembaca hidup dalam satu kenyataan sosial, tetapi sosialistik yang mereka hadapi belum tentu kenyataan yang sama. Teks yang mereka hadapi belum tentu kenyataan yang sama. Teks mengemukakan sejenis kenyataan tetapi kenyataan dalam teks tidak perlu sama dengan realitas yang dihadapi pengarang atau pembacanya.
Novel sebagai salah satu karya dibentuk oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur intirinsik adalah unsur-unsur formal yang membangun sebuah karya sastra dari dalam secara inhern. Unsur-unsur tersebut adalah tema, plot, amanat, perwatakan, latar, dan pusat pengisahan atau sudut pandang. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks yang berpengaruh terhadap teks itu sendiri. Unsur-unsur tersebut antara lain psikologi, sosiologi, filsafat, postmodernisme dan biografi pengarang.
Seorang pembaca karya sastra akan lebih mengenal dengan jelas maksud cerita apabila mereka juga mengenal tokoh-tokoh ceritanya. Tokoh cerita adalah orang yang ditampilkan untuk suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams via Nurgiyantoro, 1995:165).
Sudjiman memberikan batasan tentang tokoh (dramatis personal) adalah tokoh rekaan yang memegang peranan di dalam roman atau drama. Sebagai salah satu unsur intrinsik, perwatakan memang penting keberadaannya dalam membangun sebuah karya sastra, namun perwatakan tidak dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran unsur-unsur intrinsik lainnya.
Sejak munculnya gerakan perempuan di dunia barat, khususnya sekitar tahun 1960-an maka kegiatan akademik juga memilih untuk lebih memberi fokus perhatian kepada kaum perempuan. Dasar pemikiran inilah yang kemudian menjadi pangkal pangkal tolak perkembanga kajian wanita. Beberapa ilmuwan feminis menganggap penting untuk mengembangkan kegiatan kurikuler yang menganalisis berbagai isu yang menyangkut kondisi hidup alamiah wanita. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan umumnya endosentrik, ukuran tentang apa yang penting atau yang benar lebih banyak ditentukan oleh laki-laki atau menggunakan ukuran serta norma kaum laki-laki.
Dengan demikian, sifat ilmu pengetahuan yang endosentrik inilah yang dinilai perlu ikoreksi. Cara-cara yang kemudian ditempuh ialah memilih topik penelitian dengan fokus kepada masalah yang dialami tokoh atau kaum perempuan dan metode penelitiannya pin didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan untuk dapat memahami pengalaman perempuan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, ada sejumlah permasalahan yang dapat diidentifikasikan mengenai Eksistensi Tokoh Wanita dalam Novel Larung sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan tokoh wanita terhadap tokoh pria dalam novel Larung?
2. Bagaimana bentuk feminisme yang terdapat dalam novel Larung?
3. Bagaimana ajaran seksualitas yang terdapat dalam novel Larung?
4. Bagaimana sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung?
C. PEMBATASAN MASALAH
Citra wanita dalam novel Larung memiliki permasalahan yang kompleks sehingga perlu dibatasi. Pembatasan masalah bertujuan agar permasalahan yang dibahas tidak terlalu luas dan mengacu pada fokus permasalahan. Adapun pembatasan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan tokoh wanita terhadap tokoh pria dalam novel Larung?
2. Bagaimana bentuk feminisme dan ajaran seksualitas yang terdapat dalam novel Larung?
3. Bagaimana sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung?
Pembatasan masalah ini dilakukan bertujuan agar permasalahan yang dibahas tidak terlalu luas, saling terkait, dan tetap mengacu pada judul. Dengan permasalahan yang terfokus, diharapkan pembahasan masalah akan lebih jelas dan mendalam.
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada permasalahan, rumusan masalah perlu disusun sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan tokoh wanita terhadap tokoh pria dalam novel Larung?
2. Bagaimana bentuk feminisme dan ajaran seksualitas yang terdapat dalam novel Larung?
3. Bagaimana sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung?
E. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kedudukan tokoh wanita terhadap tokoh pria dalam novel Larung.
2. Mendeskripsikan bentuk feminisme dan ajaran seksualitas yang terdapat dalam novel Larung.
3. Mendeskripsikan sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung.
F. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik bagi segi teoitis maupun segi praktis.
1. Manfaat Teoritis
- Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk memahami secara lebih menyeluruh tentang pandangan serta prilaku orang terhadap wanita.
- Menambah khasanah kepustakaan hasil penelitian dalam bidang sastra, terutama penelitian dari sudut pandang.
2. Manfaat paktis
- Penelitian ini dapat dijadikan alternatif dalam pengajaran sastra di sekolah.
- Sebagai pemicu bagi mahasiswa dalam meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra yang terkait dengan pesan-pesan yang dikandung.
- Sebagai bahan pembanding dan renungan bagi pengamat sastra dalam meningkatkan wawasan keilmuannya terhadap karya sastra.
- Sebagai masukan bagi penikmat sastra dalam upaya meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra yang terkait dengan aspek feminisme, gender, dan kedudukan serta citra wanita di dalam kehidupan.
G. BATASAN ISTILAH
Eksistensi : adanya; keberadaan
Wanita : perempuan dewasa, kaum putri (dewasa)
Tokoh : rupa, (wujud dan keadaan); bentuk atau potongan; macam atau jenis; bentuk badan atau perawakan; pemegang peran dalam (peran utama) dalam roman atau drama; penggambaran kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwa yang membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lainnya.
Patriarki : wacana yang mendasarkan diri pada oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' di mana term laki-laki berada posisi mendominasi term perempuan. Seksualitas : ciri, sifat, atau peranan seks; dorongan seks; kehidupan seks. Feminisme : gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. NOVEL SEBAGAI KARYA SASTRA Novel diartikan juga sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner, namun masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan antar manusia (Nurgiyantoro, 1999). Dalam sebuah novel seorang pengarang dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu yang lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan permasalahan yang lebih kompleks, termasuk di dalamnya unsur cerita yang membangun novel itu. Oleh sebab itu, membaca novel menjadi lebih mudah kerena karena tidak menuntut kita untuk memahami masalah yang kompleks dalam bentuk dan waktu yang sedikit Novel dibentuk oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur formal yang membangun sebuah karya sastra dari dalam secara inhern. Unsur-unsur tersebut adalah tema, plot, amanat, perwatakan, latar, dan pusat pengisahan atau sudut pandang. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks yang berpengaruh terhadap teks itu sendiri. Unsur-unsur tersebut antara lain psikologi, sosiologi, filsafat, postmodernisme dan biografi pengarang. Novel yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan (unity). Maksudnya adalah segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan berfungsi mendukung tema utama. Penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul yang membentuk plot, meskipun tidak bersifat kronologis, namun haruslah tetap saling berkaitan secara logika. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kita dapat menemukan sebuah dunia yang padu dalam sebuah novel (Nurgiyantoro, 1999). Kesatuan-kesatuan tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan membentuk kesatuan yang lebih besar lagi sampai puncaknya membentuk kesatuan yang disebut cerita.bahasa yang digunakan dalam novel menunjukkan pengertian yang sebenarnya sehingga makna setiap kalimat pada novel ini langsung tertera dengan nyata dalam kalimat-kalimat tersebut. B. FEMINISME 2.1 Hakikat Feminisme Secara leksikal, feminisme adalah gerakan wanita menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum dan pria (KBBI, 1994 : 275). Feminisme adalah teori tentang persamaan antara kaum laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goete via Sugihastuti, 2000 : 37). Senada dengan hal tersebut, menurut Bhasin dan Khan dalam Ilyas, 1997:40) feminisme merupakan suatu keaadan akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja atau dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Bagi kaum feminis, perjuangan wanita tidak hanya menentang diskriminasi saja, tetapi berjuang demi emansipasi dan pembebasan dari segala bentuk penindasan, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun oleh kaum pria itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan akhirnya adalah membentuk masyarakat yang adil serta sama di dalam hak dan kewajiban, baik bagi wanita maupun pria. Dengan adanya berbagai perubahan dalam masyarakat, bentuk perjuangan pun berubah. Dan karena itu, tuntutan-tuntutan sekarang dan dahulu berbeda. Pokok persoalannya adalah bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan bagian dari perjuangan keseluruhan emansipasi wanita. Hal itu disebabkan kaum feminis berjuang demi munculnya suatu masyarakat yang di dalamnya wanita memiliki kebebasan memilih, tidak dipaksa menjadi ibu rumah tangga, tidak di dorong melakukan peran yang khas “feminim” serta pekerjaan “feminim” dengan upah rendah dan diperlakukan dengan hormat (Bhasin dan Khan, 1995: 32 – 33). 2.2 Feminisme dalam Karya Sastra Ideologi gender dan sastra feminis dewasa ini menjadi sorotan, baik oleh kaum wanita itu sendiri maupun para pria. Gerakan feminisme di Indonesia yang dimotori oleh R.A. Kartini, mencita-citakan agar kaum wanita Indonesia tidak hanya menjadi subordinasi pria. Gerakan feminisme di Indonesia masih menempatkan etika ketimuran, masih menempatkan pria dalam kedudukan tertentu lebih tinggi daripada wanita. Hal ini berbeda dengan feminisme di Barat yang lebih radikal, yaitu segala apa yang dilakukan oleh pria harus dapat dilakukan oleh wanita. Jelas feminisme radikal ini sulit diterapkan di Indonesia. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak saja pada perbedaan biologis, tetapi juga bersifat sosial dan budaya (Susilastuti,1993: 29 – 30). Perbedaan biologis tidak serta merta menentukan perbedaan sikap, sifat, dan prilaku. Seorang wanita berlaku lemah lembut dan bertutur kata manis bukan karena secara biologis ia wanita, melainkan karena norma. Norma masyarakat dan budayanya mengkondisikannya untuk berprilaku demikian. Demikian pula halnya dengan pemujaan figur seorang ibu yang baik, tunduk dan setia pada suami dalam masyarakat tradisional dapat menjadi jebakan agar wanita mau melakukan tugas itu yang kadang-kadang tidak membahagiakan (Nurgiyantoro, 1995: 18). Penindasan wanita disebabkan oleh pemerintahan ayah (patriaki). Wanita dikuasai oleh kekuatan, dibatasi oleh sistem peranan kejenisan stereotif sejak muda. Istilah political sexual (Millet via Pradopo, 1991: 139). Mengacu pada pelaksanaan peranan dalam hubungan yang tidak sama antara dominasi dan subordinasi. Sistem patriarki menempatkan kedudukan wanita sebagai warga pinggiran, warga kelas dua. Penjajahan oleh patriarki terhadap wanita adalah berupa pemberlakuan norma-norma sosial tertentu, dengan tujuan norma tersebut dipandang sebagai kodrat (Nurgiyantoro, 1995: 19). Hal tersebut akan memberikan pembenaran yang dianggap sakral dan tidak dapat diganggu gugat. Kajian wanita yang dikaitkan dengan kesusastraan dapat dipahami melalui karya sastra dan penulisannya. Memang suatu kenyataan bahwa penulis dan pengamat karya sastra kebanyakan adalah pria. Hampir semua buku yang ditulis pria menampilkan stereotif wanita sebagai istri dan ibu yang setia, berbakti, wanita manja berdasarkan pandangan tradisional. Hal itu dapat diartikan sebagai bentuk keadaan yang diinginkan oleh pria. Citra wanita demikian dianggap tidak adil dan tidak teliti. Wanita memiliki perasaan yang sangat pribadi yang hanya bisa diungkapkan oleh wanita itu sendiri (Djayanegara, 2000: 20). Misalnya, bagaimana seorang pria mampu menulis secara rinci rasa sakit, cemas serta bahagia seorang perempuan, menjelang di waktu dan setelah melahirkan bayi? Dengan demikian bila ditulis lewat sudut pandang wanita memahami karya sastra lewat tulisan pria tentu berbeda bila ditulis lewat sudut pandang wanita. Pembaca wanita membawa persepsi, dugaan, pengertian yang berbeda berdasarkan pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki. Perlu kesadaran khusus adanya perbedaan jenis lain tentang makna karya sastra. Nurgiyantoro (1995) dalam penelitiannya berjudul Citra Wanita dalam Novel Populer Indonesia Mutakhir dengan subyek 24 novel populer yang dikarang wanita dan pria menyimpulkan beberapa hal (1) citra perwatakan wanita dibedakan ke dalam sikap watak dan moral, baik (dan diidealkan) jauh lebih banyak daripada yang bersikap watak dan moral kesusilaan yang kurang baik, baik yang menyangkut tokoh remaja, dewasa maupun orang tua, (2) tokoh wanita yang dicitrakan berkepribadian tinggi sudah sedikit 50 %, namun secara relatif jumlah itu masih belum begitu besar. Hal itu menunjukkan masih cukup besar tokoh wanita yang kurang mandiri, masih tergantung pada tokoh lain, baik kepada pria maupun kepada sesama wanita. Namun demikian, ada beberapa tokoh wanita yang dicitrakan amat mandiri dan bahkan melebihi kemandirian tokoh pria, (3) tokoh wanita yang dicitrakan sederajat dengan kaum pria belum begitu besar, sedang yang masih mendomisili oleh pria, baik secara kuat maupun sedang masih sebesar 33 %. Hal ini berarti masih banyak wanita yang belum menikmati hidup secara sederajat dengan pria. 2.3 Karya Sastra dan Ketimpangan Gender Konsep berpikir masyarakat patriarkis yang telah membuahkan berbagai ketimpangan tersebut di atas sedikit banyak telah disemaikan, dikonstruksikan, dan dilestarikan oleh berbagai piranti ideologis yang bertumbuh-kembang dalam masyarakat, seperti media massa (baik cetak maupun elektronik), pendidikan, hukum, hiburan, karya sastra, dan sei. Piranti-piranti ideologis inilah, baik secara sadar maupun tidak sadar telah membuat masyarakat berpikir dan percaya bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki, dan bahwa kaum perempuan ‘dikodratkan’ untuk berada dalam kedudukan yang marginal. Karya sastra selama berabad-abad ditulis oleh kaum laki-laki. Pujangga-pujangga besar di berbagai negeri, termasuk Indonesia adalah kaum lelaki. Oleh karena itu, perempuan dalam karya sastra pun telah mencitrakan sedemikian rupa menurut cara berpikir laki-laki. Bagaimana sosok perempuan yang baik, apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum perempuan, apa tugas kaum perempuan, apa yang seharusnya dihindari kaum perempuan, perempuan seperti apa yang dimuliakan, dan perempuan semacam apa yang dihujat telah didefinisikan dan sekaligus dilestarikan dalam karya-karya sastra dengan cara pandang laki-laki. Citra seperti itu terajut begitu kuatnya sehingga kaum perempuan dan penulis perempuan pun mempercayainya sebagai kebenaran. Pada umumnya, karya sastra kita belum menjadikan perempuan sebagai tokoh utama yang kuat. Dalam banyak novel yang ada perempuan kita masih menduduki posisi ke dua atau bahkan lebih rendah lagi. Karya sastra yang menempatkan perempuan benar-benar menjadi ‘hero’ belum sebanyak karya-karya yang menempatkan laki-laki sebagai hero. Memang banyak terdapat karya-karya yang menempatkan perempuan lebih dominan daripada laki-laki, tapi pada umumnya karya-karya tersebut bertemakan percintaan, kasih sayang atau roman yang cenderung melodramatis. Perempuan masih dicitrakan dengan stereotif perempuan yang feminin (Juwita) lembut, halus, taat, sabar, pasrah, merawat, ayu atau perempuan yang judes, jahat, bawel, pembunuh yang menurut Pam Morris merupakan kepanjangan dari impian manis, idealis, cinta di satu sisi sekaligus mimpi buruk, ketakutan, dan kebencian dari patriarki di sisi lainnya (1993: 14) . Karya sastra telah lama dipercayamemiliki kekuatan untuk membebaskan, karena fitrah karya sastra adalah melakukan pembelaan terhadap kaum yang tetindas. Jika sastra telah mengklaim dirinya mampu bicara dan menjadi penggugat dan pembebas, sudahkah sastra berbuat sesuatu bagi ketidakadilan-ketidakadilan gender. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa teks-teks yang beredar pada umunya masih bungkam terhadap penindasan-penindasan terhadap perempuan. Temuan-temuan terakhir justru menunjukkan bahwa media massa melakukan pemerkosaan kedua atau second rape terhadap kaum perempuan, dengan pembahasan yang cenderung mempledoi penindas atau meremehkan atau bahkan memperolok korban (Siregar, 1999). Kuasa media masih bersifat patriarkis dan bila sastra berkehendak untuk bicara, apa benar ia telah bicara? Ataukah sastra justru telah ikut serta mengkontttruksi ketidakadilan semacam menjadi kebenaran tak terbantahkan. Karya sastra dalam pengertian yang kuno, memiliki fungsi untuk menjadi reflektor dari realitas masyarakat. Teks sastra menjadi potret dari apa yang terjadi pada masyarakat. Sebagai potret, ia dapat menjadi potret yang mengiyakan atau potret yang menyangkal. Dalam pengertiannya kini, karya sastra tak lagi berfungsi sekedar sebagai potret semat. Ia adalah agen perubahan: fiction must be regarded as a special site for ideological effect, with a potentially powerful capacity for shping audience attitudes ( Stephens, 1992). Kekuatan yang dimiliki bahasa sastra akan mampu justru menjadi pengubah atau konstruktor ideologi baru. Pendek kata, sastra merupakan sebuah aparat ideologi, yang berdaya untuk menginterpelasi khalayak pembacanya. B. KEMITRASEJAJARAN WANITA DENGAN PRIA Selain sebagai makhluk sosial, wanita juga sebagai individu yang mempunyai hak sama dengan individu lain. Sebagai individu wanita berhak mendapatkan perlakuan yang baik, antara lain mendapatkan pendidikan, layanan, dan pekerjaan yang layak serta imbalan yang sesuai dengan pekerjaannya. Pada kenyataannya dominasi pria terhadap wanita masih juga berkembang sampai saat ini, yang akhirnya melahirkan budaya ptriarki, budaya yang cenderung menempatkan wanita pada posisi yang kurang menguntungkan, sebab masih diakui dan berkembang dalam alam pikian masyarakat. Sebagai contoh penghargaan dan penghormatan terhadap wanita tidak selamanya didapatkan kaum wanita. Hal ini disebabkan oleh pertentangan dan kesalahan konsep yang berkembang dalam masyarakat. Ada pendapat yang mendukung serta menolak tentang wanita sebagai kodratnya dan wanita memiliki persamaan derajat yang menuntut hak untuk mendapatkan kedudukan yang seimbang dengan kaum pria. Budaya masih menempati posisi lebih tinggi dari pada alam; term rasional lebih dihargai dari pada term emosional; term laki-laki mendominasi perempuan. Meski saat ini, ada gerakkan membalikkan hirarki itu: alam, emosi, dan perempuan tak kalah penting dibanding budaya, rasio, dan laki-laki. Penemuan oposisi biner oleh strukturalisme dan penemuan Derrida tentang hirarki yang ada dalam oposisi biner tersebut tentu dapat menjadi pijakan kokoh bagi gerakan feminisme melawan wacana patriarkal. Di sini dipakai konsep wacana dari Foucault. Bagi Foucault, wacana bukanlah sekedar pernyataan-pernyataan yang dibuat tetapi juga termasuk 'peraturan-peraturan' yang membuat kita dapat membuat pernyataan-pernyataan tersebut. Kedua hal itu berada dalam tataran diskursif. Namun wacana juga melibatkan institusi non-diskursif (seperti: sekolah, penjara, keluarga, pemerintah) yang melakukan displin-displin tertentu sehingga memungkinkan terjadinya pernyataan-pernyataan dan berlakunya 'peraturan-peraturan' dalam tataran diskursif. Dengan demikian, wacana patriarkal adalah wacana yang mendasarkan diri pada oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' di mana term laki-laki berada posisi mendominasi term perempuan. 'Kekejaman' atau 'kekerasan' oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' ini semakin nyata karena pada oposisi tersebut terkait oposisi-oposisi yang lain seperti 'rasional >< emosional', 'kuat >< lemah', 'aktif >< pasif', 'di luar rumah >< di dalam rumah', 'memimpin >< dipimpin', dst. Salah satu sumbangan terpenting dari strukturalisme bagi filsafat adalah penemuannya bahwa makna sebuah kata (penanda) tidak diperoleh dari hubungan penanda itu dengan apa yang ia tandakan melainkan dari perbedaannya dengan kata (penanda) yang lain. Kata hitam mempunyai makna karena ia berbeda dengan putih, berbeda dengan merah, berbeda dengan kuning. Kata meja punya makna karena ia berbeda dengan kursi, berbeda dengan almari. Selanjutnya strukturalisme menemukan bahwa kategori pemikiran manusia sebagian besar didasarkan pada oposisi biner (pasangan konsep yang saling berlawanan). Besar dipahami dalam perlawanannya dengan kecil, 'tinggi >< rendah', 'budaya >< alam', 'rasional >< emosional', 'laki-laki >< perempuan', 'kita >< mereka', 'manusia >< tuhan', dst. Sebagai seorang filsuf yang berangkat dari strukturalisme, Derrida juga menerima 'ajaran' strukturalisme mengenai oposisi biner tadi. Namun ia menambahkan sesuatu yang sungguh baru. Ia menunjukkan bahwa "hubungan dalam pasangan berlawanan (oposisi biner) tersebut bukanlah hubungan damai antara dua hal yang saling berhadapan, tetapi sebuah hirarki yang kejam. Dilihat dari perspektif dekonstruksi, gerakan feminisme adalah gerakan yang berusaha pertama-tama melawan, menentang, dan membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'. Pembalikan ini amat penting mengingat bahwa oposisi biner tersebut tidak hanya berada dalam tataran konseptual (tataran diskursif) saja, tetapi terlebih mengakar dalam praktik hidup sehari-hari dengan segala institusi-institusi non-diskursif yang ada. Dan karenanya, kekerasan dan kekejaman hirarki wacana patriarkal tersebut tidak hanya terjadi pada tataran konseptual abstrak tetapi lebih-lebih terjadi dalam pengalaman hidup sehari-hari para perempuan yang konkret (blood and flesh). Mempertimbangkan hal tersebut, agar dapat sungguh mengguncang wacana lama (paradigma patriarkal), gerakan feminisme mesti radikal: membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'. Namun tentang dekonstruksi, Derrida menambahkan bahwa "Sementara kita melakukan pembalikan, meninggikan apa yang dulu rendah, kita juga mesti mengembangkan 'konsep' baru, konsep yang tidak lagi menjadi bagian, dan tak pernah akan menjadi bagian dari paradigma lama." (Position, hlm. 42). Karena itu, jika setuju dengan Derrida, gerakan feminisme yang mendekostruksi wacana patriarkal mesti juga berusaha menemukan konsep 'baru' yang melampaui dan mengatasi oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' itu. Dalam perspektif oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' dan usaha feminisme untuk membalikkan hirarki dalam oposisi tersebut, serta upaya penemuan konsep 'baru' yang mengatasi oposisi biner 'laki-laki >< perempuan.'
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa ketidakadilan dan ketidaksejajaran peran dan kedudukan wanita dalam masyarakat bukan merupakan kodrat, tetapi merupakan sesuatu yang diciptakan atau dikonstruksikan oleh masyarakat (Wiyatmi, 1998: 8). Oleh karena itu, saya akan mencermati novel Larung karya Ayu Utami. Pembacaan novel Larung dan pembahasannya tentu akan sangat menarik.
C. HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA YANG RELEVAN
Penelitian yang pernah dilakukan sebelum penelitian ini dan dianggap relevan adalah Citra Wanita dalam Novel Populer Indonesia Mutakhir yang dilakukan oleh Burhan Nurgiyantori, Wiyatmi, dan tim; Citra Wanita dalam Cerpen Karya Kuntowijoyo Analisis Krtik Sastra Feminis oleh Siti Sundaari Maharto; dan Konsep Gender Cerpen-cerpen Indonesia oleh Widyastuti Purbani.
Penelitian ini menekankan pada tokoh wanita yang terdapat dalam novel Laila, Yasmin Moningka, Shakuntala, dan Cok yang dianggap mempunyai peran yang cukup penting dalam jalannya cerita, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya jalan cerita yang dialami tokoh-tokoh tersebut. Penelitian ini memilik relevansi dengan penelitian ini karena dalam mengkaji feminisme dalam novel Larung
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif kualitatif. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh, yaitu:
A. Penentuan Unit dan Pengumpulan Data
Penentuan unit merupakan kegiatan memisah-misahkan data menjadi bagian-bagian yang selanjutnya dapat dianalisis. Pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang ada menghasilkan data berupa kalimat yang mencerminkan eksistensi tokoh wanita dalam novel tersebut.
Pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan pengamatan secara cermat terhadap novel Larung.
B. Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data adalah novel Larung, selain itu juga didukung oleh literatur yang berkaitan dengan penelitian yang bersangkutan. Novel yang digunakan adalah novel Larung kemudian literatur lain yang mendukung penelitian ini, antara lain buku atau jenis tulisan lain, seperti: skripsi atau penelitian dosen.
Penentuan sampel dilakukan dengan penentuan isi secara purposif agar penelitian ini dapat menentukan subyek penelitian yang mengarah pada eksistensi tokoh wanita dalam novel. Sampel ditentukan dengan teknis purposif dengan alasan bahwa data mudah diperoleh dan masih baru. Setelah ditentukan kemudian diadakan pencatatatan data karena karena data berupa data simbolis yang tidak terstruktur. Data yang tersedia diamati terlebih dahulu.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini, peneliti sendiri dengan pengetahuan mengenai eksistensi tokoh wanita dalam novel yang mendukung permasalahan ini dapat menentukan dalam pemerolehan data dan untuk selanjutnya menginterpretasikan.
D. Reduksi Data
Penyeleksian data dilakukan sebelum data dianalisis. Data yang dicatat, selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan penokohan dan eksistensi tokoh wanita dalam novel yang telah ditentukan. Reduksi data dilakukan dengan cara menghilangkan data yang tidak relevan dengan tujuan yang ingin diteliti.
E. Validitas dan Reliabilitas
Penelitian ini menggunakan validitas semantis, yakni mengukur tingkat ketepatan dalam penelitian satuan-satuan sintaksis yang mengandung unsur eksistensi tokoh wanita dalam novel. Reliabilitas yang dipakai adalah intra-interer, yaitu penyesuaian antara hasil penelitian peneliti dengan hasil penilaian dari beberapa orang teman peneliti.
F. Inferensi
Inferensi ditarik setelah dianalisis data dilakukan, yaitu dengan memakai fenomena, fenomena simbolik yang berupa data-data yang relevan, selanjutnya mengaitkan data-data dengan teori-teori atau reverensi yang mendukung serta pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti.
G. Teknik Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan unsur penokohan dan eksistensi tokoh wanita dalam novel sebagai subyek penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif interpretatif dan kategorisasi kualitatif. Langkah-langkah yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis deskriptif interpretatif dan kategorisasi kualitiatif adalah: 1) membanding-bandingkan antara data yang satu dengan data yang lain dengan tujuan untuk mengelompokkan dalam kategori yang sejenis, 2) mengkategorikan dan mnyejikan data dalam kartu data dengan kode-kode, 3) Pengkodean dilakukan dengan memberi singkatan pada setiap subyek. Kemudian dilakukan pembacaan terhadap subyek penelitian untuk menemukan data-data berupa eksistensi tokoh wanita dalam novel yang terkandung dalam novel Larung. Hasil pengkodean tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel. Setelah itu diinterpretasikan dan dideskripsikan sesuai dengan data-data yang diperoleh yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif interpretatif, yaitu dilakukan dengan cara menginterpretasikan unsur feminisme yang terdapat dalam novel tersebut, dan 4) melakuklan inferensi, yaitu membuat interpretasi atas data yang telah diolah menjadi suatu kesimpulan tentang feminisme dalam novel “Larung”.
Penelitian ini berusaha untuk melakukan analisis terhadap feminisme dalam novel “Larung”. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bermaksud mendeskripsikan ajaran atau kaidah feminisme dalam novel “Larung”. Oleh karena itu gambaran feminisme dalam novel “Larung” digunakan untuk mengetahui sejauh mana peran feminisme dalam suatu penciptaan karya sastra, khususnya novel “Larung”
.
H. Uji Keabsahan Data.
Di dalam penelitian ini, uji keabsahan data dilakukan melalui intrarater yaitu peneliti membaca dan mengamati secara berulang-ulang novel Larung karya Ayu Utami dan membaca buku yang berkaitan dengan feminisme. Secara interater yaitu dengan cara peneliti berdiskusi dengan teman sejawat terutama yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih tentang eksistensi wanita dan feminisme. Keabsahan data dalam penelitian ini juga dicari melalui pertimbanagn validitas dan reliabilitas data. Validitas data dilakukan dengan validitas semantik, yaitu dengan cara mengamati data-data yang berupa kalimat, paragraf, dialog maupun monolog yang mempunyai makna sesuai dengan feminisme
Dengan kata lain validitas semantik diperoleh dari makna-makna yang terdapat dalam konteks. Di samping menggunakan validiats semantik, data-data yang diperoleh dalam penelitian ini juga menggunakan validitas referensial. Selain itu, data-data tersebut dikonsultasikan atau dimintakan pendapat dan pertimbangan dari para ahli dalam hal ini dosen pembimbing.
Reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabilitas intrater, yaitu dengan cara membaca dan mengkaji ulang untuk mendapatkan data yang konsisten. Selain itu, juga digunakan reliabilitas interater, yaitu dengan cara mendiskusikan dengan sejawat. Dari data yang valid itulah dan reliabel itulah jawaban atas pertanyaan peneliti diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
--------------------------. 2000. Citra Wanita dalam Novel Populer Indonesia Mutakhir. PBSI UNY: Yogyakarta
Purbani, Widyastuti. 1998. Konsep Gender Cerpen-cerpen Indonesia. Laporan Penelitian Dikti: Yogyakarta
_________________. 2003. Memerangi Ketidakadilan Feminis. Makalah Seminar PBSI UNY: Yogyakarta
Siregar, Ashadi. 1999. Media dan Gender. LP3Y – Ford Foundation: Yogyakarta
Soemarjo, Jakob dan Saini KN. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Stephens, John. 1992. Language and ideology in Children’s Fiction. Longman :London
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Duta Wacana University Press: Yogayakarta.
Tim Penyusun kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta
Utami, Ayu. 2001. Larung. Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Novel atau fiksi sebagai salah satu bentuk karya sastra sangat menarik untuk kita kaji dan banyak dikaji oleh penikmat-penikmat sastra khususnya jenis fiksi atau novel. Sumardjo (1979: 19) berpendapat bahwa dari sekian banyak ragam sastra, novel merupakanan bentuk yang banyak digemari masyarakat. Dapat dikatakan bahwa novel merupakan cabang sastra yang paling populer di dunia, paling banyak dicetak dan paling banyak beredar. Hal ini disebabkan novel mempunyai daya komunikasi yang luas pada masyarakat, di samping mudah untuk dipahami dan dinikmati.
Sebagai karya imajinatif, sastra tidak hanya membawa pesan, tetapi juga, meninggalkan kesan tersendiri bagi para pembacanya. Selain itu, dalam membaca karya sastra para pembaca akan mendapatkan kesenangan dan kegunaan yang diberikan oleh karya sastra itu yang berupa keindahan dan pengalaman-pengalaman jiwa yang bernilai tinggi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Eksistensi wanita yang akan saya jadikan sumber penelitian saya adalah tentang kajian feminisme, konsep patriarki, ajaran seksualitas, dan kemitra sejajaran tokoh wanita, serta sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung tersebut.
Emansipasi wanita yang selalu diidam-idamkan dan berusaha untuk diperjuangkan oleh kaum perempuan dan feminisme yang merupakan suatu keaadan akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja atau dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki berusaha untuk mengubah keadaan tersebut.
Bagi kaum feminis, perjuangan wanita tidak hanya menentang diskriminasi saja, tetapi berjuang demi emansipasi dan pembebasan dari segala bentuk penindasan, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun oleh kaum pria itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan akhirnya adalah membentuk masyarakat yang adil serta sama di dalam hak dan kewajiban, baik bagi wanita maupun pria.
Siapa saja yang akan meneliti tentang perempuan dan sastra dapat mengarahkan kepada salah satu aspek yang terdapat dalam relasi antara kedua hal itu. Teks sastra berfungsi dalam proses komunikasi antara penulis dan pembaca. Setidaknya ada empat unsur yang dapat dibedakan dalam proses ini: penulis, teks sastra, pembaca, dan semesta. Sejajar dengan itu, ada empat pendekatan kritis yang utama terhadap karya sastra, yaitu ekspresif, obyektif, pragmatik, dan mimetik.
Untuk kajian wanita dalam bidang sastra penting membedakan keempat pendekatan tersebut. Jika misalnya lebih ditikberatkan penulis wanita atau ginokritik, digolongkan dalam pendekatan obyektif. Bagi kajian waita, analisis instrinsik saja dianggap kurang memuaskan kecuali diikuti oleh relevansinya dengan keadaan wanita di dalam masyarakat. Kemungkinan ketiga, pendekatan pragmatik, membuka kesempatan dilakukannya kajian tentang perempuan sebagai pembaca dengan anggapan si pembacalah yang memberi makna kepada karya sastra. Penganut teori mimesis dalam pendekatan mimetik pada prinsipnya berpendapat karya sastra sebagai pencerminan, peniruan ataupun pembayangan realitas. Peranan kenyataan dalam proses komunikasi ini selalu dianggap paling rumit. Pengarang dan pembaca hidup dalam satu kenyataan sosial, tetapi sosialistik yang mereka hadapi belum tentu kenyataan yang sama. Teks yang mereka hadapi belum tentu kenyataan yang sama. Teks mengemukakan sejenis kenyataan tetapi kenyataan dalam teks tidak perlu sama dengan realitas yang dihadapi pengarang atau pembacanya.
Novel sebagai salah satu karya dibentuk oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur intirinsik adalah unsur-unsur formal yang membangun sebuah karya sastra dari dalam secara inhern. Unsur-unsur tersebut adalah tema, plot, amanat, perwatakan, latar, dan pusat pengisahan atau sudut pandang. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks yang berpengaruh terhadap teks itu sendiri. Unsur-unsur tersebut antara lain psikologi, sosiologi, filsafat, postmodernisme dan biografi pengarang.
Seorang pembaca karya sastra akan lebih mengenal dengan jelas maksud cerita apabila mereka juga mengenal tokoh-tokoh ceritanya. Tokoh cerita adalah orang yang ditampilkan untuk suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams via Nurgiyantoro, 1995:165).
Sudjiman memberikan batasan tentang tokoh (dramatis personal) adalah tokoh rekaan yang memegang peranan di dalam roman atau drama. Sebagai salah satu unsur intrinsik, perwatakan memang penting keberadaannya dalam membangun sebuah karya sastra, namun perwatakan tidak dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran unsur-unsur intrinsik lainnya.
Sejak munculnya gerakan perempuan di dunia barat, khususnya sekitar tahun 1960-an maka kegiatan akademik juga memilih untuk lebih memberi fokus perhatian kepada kaum perempuan. Dasar pemikiran inilah yang kemudian menjadi pangkal pangkal tolak perkembanga kajian wanita. Beberapa ilmuwan feminis menganggap penting untuk mengembangkan kegiatan kurikuler yang menganalisis berbagai isu yang menyangkut kondisi hidup alamiah wanita. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan umumnya endosentrik, ukuran tentang apa yang penting atau yang benar lebih banyak ditentukan oleh laki-laki atau menggunakan ukuran serta norma kaum laki-laki.
Dengan demikian, sifat ilmu pengetahuan yang endosentrik inilah yang dinilai perlu ikoreksi. Cara-cara yang kemudian ditempuh ialah memilih topik penelitian dengan fokus kepada masalah yang dialami tokoh atau kaum perempuan dan metode penelitiannya pin didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan untuk dapat memahami pengalaman perempuan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, ada sejumlah permasalahan yang dapat diidentifikasikan mengenai Eksistensi Tokoh Wanita dalam Novel Larung sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan tokoh wanita terhadap tokoh pria dalam novel Larung?
2. Bagaimana bentuk feminisme yang terdapat dalam novel Larung?
3. Bagaimana ajaran seksualitas yang terdapat dalam novel Larung?
4. Bagaimana sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung?
C. PEMBATASAN MASALAH
Citra wanita dalam novel Larung memiliki permasalahan yang kompleks sehingga perlu dibatasi. Pembatasan masalah bertujuan agar permasalahan yang dibahas tidak terlalu luas dan mengacu pada fokus permasalahan. Adapun pembatasan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan tokoh wanita terhadap tokoh pria dalam novel Larung?
2. Bagaimana bentuk feminisme dan ajaran seksualitas yang terdapat dalam novel Larung?
3. Bagaimana sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung?
Pembatasan masalah ini dilakukan bertujuan agar permasalahan yang dibahas tidak terlalu luas, saling terkait, dan tetap mengacu pada judul. Dengan permasalahan yang terfokus, diharapkan pembahasan masalah akan lebih jelas dan mendalam.
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada permasalahan, rumusan masalah perlu disusun sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan tokoh wanita terhadap tokoh pria dalam novel Larung?
2. Bagaimana bentuk feminisme dan ajaran seksualitas yang terdapat dalam novel Larung?
3. Bagaimana sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung?
E. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kedudukan tokoh wanita terhadap tokoh pria dalam novel Larung.
2. Mendeskripsikan bentuk feminisme dan ajaran seksualitas yang terdapat dalam novel Larung.
3. Mendeskripsikan sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel Larung.
F. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik bagi segi teoitis maupun segi praktis.
1. Manfaat Teoritis
- Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk memahami secara lebih menyeluruh tentang pandangan serta prilaku orang terhadap wanita.
- Menambah khasanah kepustakaan hasil penelitian dalam bidang sastra, terutama penelitian dari sudut pandang.
2. Manfaat paktis
- Penelitian ini dapat dijadikan alternatif dalam pengajaran sastra di sekolah.
- Sebagai pemicu bagi mahasiswa dalam meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra yang terkait dengan pesan-pesan yang dikandung.
- Sebagai bahan pembanding dan renungan bagi pengamat sastra dalam meningkatkan wawasan keilmuannya terhadap karya sastra.
- Sebagai masukan bagi penikmat sastra dalam upaya meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra yang terkait dengan aspek feminisme, gender, dan kedudukan serta citra wanita di dalam kehidupan.
G. BATASAN ISTILAH
Eksistensi : adanya; keberadaan
Wanita : perempuan dewasa, kaum putri (dewasa)
Tokoh : rupa, (wujud dan keadaan); bentuk atau potongan; macam atau jenis; bentuk badan atau perawakan; pemegang peran dalam (peran utama) dalam roman atau drama; penggambaran kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwa yang membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lainnya.
Patriarki : wacana yang mendasarkan diri pada oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' di mana term laki-laki berada posisi mendominasi term perempuan. Seksualitas : ciri, sifat, atau peranan seks; dorongan seks; kehidupan seks. Feminisme : gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. NOVEL SEBAGAI KARYA SASTRA Novel diartikan juga sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner, namun masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan antar manusia (Nurgiyantoro, 1999). Dalam sebuah novel seorang pengarang dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu yang lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan permasalahan yang lebih kompleks, termasuk di dalamnya unsur cerita yang membangun novel itu. Oleh sebab itu, membaca novel menjadi lebih mudah kerena karena tidak menuntut kita untuk memahami masalah yang kompleks dalam bentuk dan waktu yang sedikit Novel dibentuk oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur formal yang membangun sebuah karya sastra dari dalam secara inhern. Unsur-unsur tersebut adalah tema, plot, amanat, perwatakan, latar, dan pusat pengisahan atau sudut pandang. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks yang berpengaruh terhadap teks itu sendiri. Unsur-unsur tersebut antara lain psikologi, sosiologi, filsafat, postmodernisme dan biografi pengarang. Novel yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan (unity). Maksudnya adalah segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan berfungsi mendukung tema utama. Penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul yang membentuk plot, meskipun tidak bersifat kronologis, namun haruslah tetap saling berkaitan secara logika. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kita dapat menemukan sebuah dunia yang padu dalam sebuah novel (Nurgiyantoro, 1999). Kesatuan-kesatuan tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan membentuk kesatuan yang lebih besar lagi sampai puncaknya membentuk kesatuan yang disebut cerita.bahasa yang digunakan dalam novel menunjukkan pengertian yang sebenarnya sehingga makna setiap kalimat pada novel ini langsung tertera dengan nyata dalam kalimat-kalimat tersebut. B. FEMINISME 2.1 Hakikat Feminisme Secara leksikal, feminisme adalah gerakan wanita menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum dan pria (KBBI, 1994 : 275). Feminisme adalah teori tentang persamaan antara kaum laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goete via Sugihastuti, 2000 : 37). Senada dengan hal tersebut, menurut Bhasin dan Khan dalam Ilyas, 1997:40) feminisme merupakan suatu keaadan akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja atau dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Bagi kaum feminis, perjuangan wanita tidak hanya menentang diskriminasi saja, tetapi berjuang demi emansipasi dan pembebasan dari segala bentuk penindasan, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun oleh kaum pria itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan akhirnya adalah membentuk masyarakat yang adil serta sama di dalam hak dan kewajiban, baik bagi wanita maupun pria. Dengan adanya berbagai perubahan dalam masyarakat, bentuk perjuangan pun berubah. Dan karena itu, tuntutan-tuntutan sekarang dan dahulu berbeda. Pokok persoalannya adalah bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan bagian dari perjuangan keseluruhan emansipasi wanita. Hal itu disebabkan kaum feminis berjuang demi munculnya suatu masyarakat yang di dalamnya wanita memiliki kebebasan memilih, tidak dipaksa menjadi ibu rumah tangga, tidak di dorong melakukan peran yang khas “feminim” serta pekerjaan “feminim” dengan upah rendah dan diperlakukan dengan hormat (Bhasin dan Khan, 1995: 32 – 33). 2.2 Feminisme dalam Karya Sastra Ideologi gender dan sastra feminis dewasa ini menjadi sorotan, baik oleh kaum wanita itu sendiri maupun para pria. Gerakan feminisme di Indonesia yang dimotori oleh R.A. Kartini, mencita-citakan agar kaum wanita Indonesia tidak hanya menjadi subordinasi pria. Gerakan feminisme di Indonesia masih menempatkan etika ketimuran, masih menempatkan pria dalam kedudukan tertentu lebih tinggi daripada wanita. Hal ini berbeda dengan feminisme di Barat yang lebih radikal, yaitu segala apa yang dilakukan oleh pria harus dapat dilakukan oleh wanita. Jelas feminisme radikal ini sulit diterapkan di Indonesia. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak saja pada perbedaan biologis, tetapi juga bersifat sosial dan budaya (Susilastuti,1993: 29 – 30). Perbedaan biologis tidak serta merta menentukan perbedaan sikap, sifat, dan prilaku. Seorang wanita berlaku lemah lembut dan bertutur kata manis bukan karena secara biologis ia wanita, melainkan karena norma. Norma masyarakat dan budayanya mengkondisikannya untuk berprilaku demikian. Demikian pula halnya dengan pemujaan figur seorang ibu yang baik, tunduk dan setia pada suami dalam masyarakat tradisional dapat menjadi jebakan agar wanita mau melakukan tugas itu yang kadang-kadang tidak membahagiakan (Nurgiyantoro, 1995: 18). Penindasan wanita disebabkan oleh pemerintahan ayah (patriaki). Wanita dikuasai oleh kekuatan, dibatasi oleh sistem peranan kejenisan stereotif sejak muda. Istilah political sexual (Millet via Pradopo, 1991: 139). Mengacu pada pelaksanaan peranan dalam hubungan yang tidak sama antara dominasi dan subordinasi. Sistem patriarki menempatkan kedudukan wanita sebagai warga pinggiran, warga kelas dua. Penjajahan oleh patriarki terhadap wanita adalah berupa pemberlakuan norma-norma sosial tertentu, dengan tujuan norma tersebut dipandang sebagai kodrat (Nurgiyantoro, 1995: 19). Hal tersebut akan memberikan pembenaran yang dianggap sakral dan tidak dapat diganggu gugat. Kajian wanita yang dikaitkan dengan kesusastraan dapat dipahami melalui karya sastra dan penulisannya. Memang suatu kenyataan bahwa penulis dan pengamat karya sastra kebanyakan adalah pria. Hampir semua buku yang ditulis pria menampilkan stereotif wanita sebagai istri dan ibu yang setia, berbakti, wanita manja berdasarkan pandangan tradisional. Hal itu dapat diartikan sebagai bentuk keadaan yang diinginkan oleh pria. Citra wanita demikian dianggap tidak adil dan tidak teliti. Wanita memiliki perasaan yang sangat pribadi yang hanya bisa diungkapkan oleh wanita itu sendiri (Djayanegara, 2000: 20). Misalnya, bagaimana seorang pria mampu menulis secara rinci rasa sakit, cemas serta bahagia seorang perempuan, menjelang di waktu dan setelah melahirkan bayi? Dengan demikian bila ditulis lewat sudut pandang wanita memahami karya sastra lewat tulisan pria tentu berbeda bila ditulis lewat sudut pandang wanita. Pembaca wanita membawa persepsi, dugaan, pengertian yang berbeda berdasarkan pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki. Perlu kesadaran khusus adanya perbedaan jenis lain tentang makna karya sastra. Nurgiyantoro (1995) dalam penelitiannya berjudul Citra Wanita dalam Novel Populer Indonesia Mutakhir dengan subyek 24 novel populer yang dikarang wanita dan pria menyimpulkan beberapa hal (1) citra perwatakan wanita dibedakan ke dalam sikap watak dan moral, baik (dan diidealkan) jauh lebih banyak daripada yang bersikap watak dan moral kesusilaan yang kurang baik, baik yang menyangkut tokoh remaja, dewasa maupun orang tua, (2) tokoh wanita yang dicitrakan berkepribadian tinggi sudah sedikit 50 %, namun secara relatif jumlah itu masih belum begitu besar. Hal itu menunjukkan masih cukup besar tokoh wanita yang kurang mandiri, masih tergantung pada tokoh lain, baik kepada pria maupun kepada sesama wanita. Namun demikian, ada beberapa tokoh wanita yang dicitrakan amat mandiri dan bahkan melebihi kemandirian tokoh pria, (3) tokoh wanita yang dicitrakan sederajat dengan kaum pria belum begitu besar, sedang yang masih mendomisili oleh pria, baik secara kuat maupun sedang masih sebesar 33 %. Hal ini berarti masih banyak wanita yang belum menikmati hidup secara sederajat dengan pria. 2.3 Karya Sastra dan Ketimpangan Gender Konsep berpikir masyarakat patriarkis yang telah membuahkan berbagai ketimpangan tersebut di atas sedikit banyak telah disemaikan, dikonstruksikan, dan dilestarikan oleh berbagai piranti ideologis yang bertumbuh-kembang dalam masyarakat, seperti media massa (baik cetak maupun elektronik), pendidikan, hukum, hiburan, karya sastra, dan sei. Piranti-piranti ideologis inilah, baik secara sadar maupun tidak sadar telah membuat masyarakat berpikir dan percaya bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki, dan bahwa kaum perempuan ‘dikodratkan’ untuk berada dalam kedudukan yang marginal. Karya sastra selama berabad-abad ditulis oleh kaum laki-laki. Pujangga-pujangga besar di berbagai negeri, termasuk Indonesia adalah kaum lelaki. Oleh karena itu, perempuan dalam karya sastra pun telah mencitrakan sedemikian rupa menurut cara berpikir laki-laki. Bagaimana sosok perempuan yang baik, apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum perempuan, apa tugas kaum perempuan, apa yang seharusnya dihindari kaum perempuan, perempuan seperti apa yang dimuliakan, dan perempuan semacam apa yang dihujat telah didefinisikan dan sekaligus dilestarikan dalam karya-karya sastra dengan cara pandang laki-laki. Citra seperti itu terajut begitu kuatnya sehingga kaum perempuan dan penulis perempuan pun mempercayainya sebagai kebenaran. Pada umumnya, karya sastra kita belum menjadikan perempuan sebagai tokoh utama yang kuat. Dalam banyak novel yang ada perempuan kita masih menduduki posisi ke dua atau bahkan lebih rendah lagi. Karya sastra yang menempatkan perempuan benar-benar menjadi ‘hero’ belum sebanyak karya-karya yang menempatkan laki-laki sebagai hero. Memang banyak terdapat karya-karya yang menempatkan perempuan lebih dominan daripada laki-laki, tapi pada umumnya karya-karya tersebut bertemakan percintaan, kasih sayang atau roman yang cenderung melodramatis. Perempuan masih dicitrakan dengan stereotif perempuan yang feminin (Juwita) lembut, halus, taat, sabar, pasrah, merawat, ayu atau perempuan yang judes, jahat, bawel, pembunuh yang menurut Pam Morris merupakan kepanjangan dari impian manis, idealis, cinta di satu sisi sekaligus mimpi buruk, ketakutan, dan kebencian dari patriarki di sisi lainnya (1993: 14) . Karya sastra telah lama dipercayamemiliki kekuatan untuk membebaskan, karena fitrah karya sastra adalah melakukan pembelaan terhadap kaum yang tetindas. Jika sastra telah mengklaim dirinya mampu bicara dan menjadi penggugat dan pembebas, sudahkah sastra berbuat sesuatu bagi ketidakadilan-ketidakadilan gender. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa teks-teks yang beredar pada umunya masih bungkam terhadap penindasan-penindasan terhadap perempuan. Temuan-temuan terakhir justru menunjukkan bahwa media massa melakukan pemerkosaan kedua atau second rape terhadap kaum perempuan, dengan pembahasan yang cenderung mempledoi penindas atau meremehkan atau bahkan memperolok korban (Siregar, 1999). Kuasa media masih bersifat patriarkis dan bila sastra berkehendak untuk bicara, apa benar ia telah bicara? Ataukah sastra justru telah ikut serta mengkontttruksi ketidakadilan semacam menjadi kebenaran tak terbantahkan. Karya sastra dalam pengertian yang kuno, memiliki fungsi untuk menjadi reflektor dari realitas masyarakat. Teks sastra menjadi potret dari apa yang terjadi pada masyarakat. Sebagai potret, ia dapat menjadi potret yang mengiyakan atau potret yang menyangkal. Dalam pengertiannya kini, karya sastra tak lagi berfungsi sekedar sebagai potret semat. Ia adalah agen perubahan: fiction must be regarded as a special site for ideological effect, with a potentially powerful capacity for shping audience attitudes ( Stephens, 1992). Kekuatan yang dimiliki bahasa sastra akan mampu justru menjadi pengubah atau konstruktor ideologi baru. Pendek kata, sastra merupakan sebuah aparat ideologi, yang berdaya untuk menginterpelasi khalayak pembacanya. B. KEMITRASEJAJARAN WANITA DENGAN PRIA Selain sebagai makhluk sosial, wanita juga sebagai individu yang mempunyai hak sama dengan individu lain. Sebagai individu wanita berhak mendapatkan perlakuan yang baik, antara lain mendapatkan pendidikan, layanan, dan pekerjaan yang layak serta imbalan yang sesuai dengan pekerjaannya. Pada kenyataannya dominasi pria terhadap wanita masih juga berkembang sampai saat ini, yang akhirnya melahirkan budaya ptriarki, budaya yang cenderung menempatkan wanita pada posisi yang kurang menguntungkan, sebab masih diakui dan berkembang dalam alam pikian masyarakat. Sebagai contoh penghargaan dan penghormatan terhadap wanita tidak selamanya didapatkan kaum wanita. Hal ini disebabkan oleh pertentangan dan kesalahan konsep yang berkembang dalam masyarakat. Ada pendapat yang mendukung serta menolak tentang wanita sebagai kodratnya dan wanita memiliki persamaan derajat yang menuntut hak untuk mendapatkan kedudukan yang seimbang dengan kaum pria. Budaya masih menempati posisi lebih tinggi dari pada alam; term rasional lebih dihargai dari pada term emosional; term laki-laki mendominasi perempuan. Meski saat ini, ada gerakkan membalikkan hirarki itu: alam, emosi, dan perempuan tak kalah penting dibanding budaya, rasio, dan laki-laki. Penemuan oposisi biner oleh strukturalisme dan penemuan Derrida tentang hirarki yang ada dalam oposisi biner tersebut tentu dapat menjadi pijakan kokoh bagi gerakan feminisme melawan wacana patriarkal. Di sini dipakai konsep wacana dari Foucault. Bagi Foucault, wacana bukanlah sekedar pernyataan-pernyataan yang dibuat tetapi juga termasuk 'peraturan-peraturan' yang membuat kita dapat membuat pernyataan-pernyataan tersebut. Kedua hal itu berada dalam tataran diskursif. Namun wacana juga melibatkan institusi non-diskursif (seperti: sekolah, penjara, keluarga, pemerintah) yang melakukan displin-displin tertentu sehingga memungkinkan terjadinya pernyataan-pernyataan dan berlakunya 'peraturan-peraturan' dalam tataran diskursif. Dengan demikian, wacana patriarkal adalah wacana yang mendasarkan diri pada oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' di mana term laki-laki berada posisi mendominasi term perempuan. 'Kekejaman' atau 'kekerasan' oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' ini semakin nyata karena pada oposisi tersebut terkait oposisi-oposisi yang lain seperti 'rasional >< emosional', 'kuat >< lemah', 'aktif >< pasif', 'di luar rumah >< di dalam rumah', 'memimpin >< dipimpin', dst. Salah satu sumbangan terpenting dari strukturalisme bagi filsafat adalah penemuannya bahwa makna sebuah kata (penanda) tidak diperoleh dari hubungan penanda itu dengan apa yang ia tandakan melainkan dari perbedaannya dengan kata (penanda) yang lain. Kata hitam mempunyai makna karena ia berbeda dengan putih, berbeda dengan merah, berbeda dengan kuning. Kata meja punya makna karena ia berbeda dengan kursi, berbeda dengan almari. Selanjutnya strukturalisme menemukan bahwa kategori pemikiran manusia sebagian besar didasarkan pada oposisi biner (pasangan konsep yang saling berlawanan). Besar dipahami dalam perlawanannya dengan kecil, 'tinggi >< rendah', 'budaya >< alam', 'rasional >< emosional', 'laki-laki >< perempuan', 'kita >< mereka', 'manusia >< tuhan', dst. Sebagai seorang filsuf yang berangkat dari strukturalisme, Derrida juga menerima 'ajaran' strukturalisme mengenai oposisi biner tadi. Namun ia menambahkan sesuatu yang sungguh baru. Ia menunjukkan bahwa "hubungan dalam pasangan berlawanan (oposisi biner) tersebut bukanlah hubungan damai antara dua hal yang saling berhadapan, tetapi sebuah hirarki yang kejam. Dilihat dari perspektif dekonstruksi, gerakan feminisme adalah gerakan yang berusaha pertama-tama melawan, menentang, dan membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'. Pembalikan ini amat penting mengingat bahwa oposisi biner tersebut tidak hanya berada dalam tataran konseptual (tataran diskursif) saja, tetapi terlebih mengakar dalam praktik hidup sehari-hari dengan segala institusi-institusi non-diskursif yang ada. Dan karenanya, kekerasan dan kekejaman hirarki wacana patriarkal tersebut tidak hanya terjadi pada tataran konseptual abstrak tetapi lebih-lebih terjadi dalam pengalaman hidup sehari-hari para perempuan yang konkret (blood and flesh). Mempertimbangkan hal tersebut, agar dapat sungguh mengguncang wacana lama (paradigma patriarkal), gerakan feminisme mesti radikal: membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'. Namun tentang dekonstruksi, Derrida menambahkan bahwa "Sementara kita melakukan pembalikan, meninggikan apa yang dulu rendah, kita juga mesti mengembangkan 'konsep' baru, konsep yang tidak lagi menjadi bagian, dan tak pernah akan menjadi bagian dari paradigma lama." (Position, hlm. 42). Karena itu, jika setuju dengan Derrida, gerakan feminisme yang mendekostruksi wacana patriarkal mesti juga berusaha menemukan konsep 'baru' yang melampaui dan mengatasi oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' itu. Dalam perspektif oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' dan usaha feminisme untuk membalikkan hirarki dalam oposisi tersebut, serta upaya penemuan konsep 'baru' yang mengatasi oposisi biner 'laki-laki >< perempuan.'
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa ketidakadilan dan ketidaksejajaran peran dan kedudukan wanita dalam masyarakat bukan merupakan kodrat, tetapi merupakan sesuatu yang diciptakan atau dikonstruksikan oleh masyarakat (Wiyatmi, 1998: 8). Oleh karena itu, saya akan mencermati novel Larung karya Ayu Utami. Pembacaan novel Larung dan pembahasannya tentu akan sangat menarik.
C. HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA YANG RELEVAN
Penelitian yang pernah dilakukan sebelum penelitian ini dan dianggap relevan adalah Citra Wanita dalam Novel Populer Indonesia Mutakhir yang dilakukan oleh Burhan Nurgiyantori, Wiyatmi, dan tim; Citra Wanita dalam Cerpen Karya Kuntowijoyo Analisis Krtik Sastra Feminis oleh Siti Sundaari Maharto; dan Konsep Gender Cerpen-cerpen Indonesia oleh Widyastuti Purbani.
Penelitian ini menekankan pada tokoh wanita yang terdapat dalam novel Laila, Yasmin Moningka, Shakuntala, dan Cok yang dianggap mempunyai peran yang cukup penting dalam jalannya cerita, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya jalan cerita yang dialami tokoh-tokoh tersebut. Penelitian ini memilik relevansi dengan penelitian ini karena dalam mengkaji feminisme dalam novel Larung
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif kualitatif. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh, yaitu:
A. Penentuan Unit dan Pengumpulan Data
Penentuan unit merupakan kegiatan memisah-misahkan data menjadi bagian-bagian yang selanjutnya dapat dianalisis. Pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang ada menghasilkan data berupa kalimat yang mencerminkan eksistensi tokoh wanita dalam novel tersebut.
Pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan pengamatan secara cermat terhadap novel Larung.
B. Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data adalah novel Larung, selain itu juga didukung oleh literatur yang berkaitan dengan penelitian yang bersangkutan. Novel yang digunakan adalah novel Larung kemudian literatur lain yang mendukung penelitian ini, antara lain buku atau jenis tulisan lain, seperti: skripsi atau penelitian dosen.
Penentuan sampel dilakukan dengan penentuan isi secara purposif agar penelitian ini dapat menentukan subyek penelitian yang mengarah pada eksistensi tokoh wanita dalam novel. Sampel ditentukan dengan teknis purposif dengan alasan bahwa data mudah diperoleh dan masih baru. Setelah ditentukan kemudian diadakan pencatatatan data karena karena data berupa data simbolis yang tidak terstruktur. Data yang tersedia diamati terlebih dahulu.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini, peneliti sendiri dengan pengetahuan mengenai eksistensi tokoh wanita dalam novel yang mendukung permasalahan ini dapat menentukan dalam pemerolehan data dan untuk selanjutnya menginterpretasikan.
D. Reduksi Data
Penyeleksian data dilakukan sebelum data dianalisis. Data yang dicatat, selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan penokohan dan eksistensi tokoh wanita dalam novel yang telah ditentukan. Reduksi data dilakukan dengan cara menghilangkan data yang tidak relevan dengan tujuan yang ingin diteliti.
E. Validitas dan Reliabilitas
Penelitian ini menggunakan validitas semantis, yakni mengukur tingkat ketepatan dalam penelitian satuan-satuan sintaksis yang mengandung unsur eksistensi tokoh wanita dalam novel. Reliabilitas yang dipakai adalah intra-interer, yaitu penyesuaian antara hasil penelitian peneliti dengan hasil penilaian dari beberapa orang teman peneliti.
F. Inferensi
Inferensi ditarik setelah dianalisis data dilakukan, yaitu dengan memakai fenomena, fenomena simbolik yang berupa data-data yang relevan, selanjutnya mengaitkan data-data dengan teori-teori atau reverensi yang mendukung serta pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti.
G. Teknik Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan unsur penokohan dan eksistensi tokoh wanita dalam novel sebagai subyek penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif interpretatif dan kategorisasi kualitatif. Langkah-langkah yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis deskriptif interpretatif dan kategorisasi kualitiatif adalah: 1) membanding-bandingkan antara data yang satu dengan data yang lain dengan tujuan untuk mengelompokkan dalam kategori yang sejenis, 2) mengkategorikan dan mnyejikan data dalam kartu data dengan kode-kode, 3) Pengkodean dilakukan dengan memberi singkatan pada setiap subyek. Kemudian dilakukan pembacaan terhadap subyek penelitian untuk menemukan data-data berupa eksistensi tokoh wanita dalam novel yang terkandung dalam novel Larung. Hasil pengkodean tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel. Setelah itu diinterpretasikan dan dideskripsikan sesuai dengan data-data yang diperoleh yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif interpretatif, yaitu dilakukan dengan cara menginterpretasikan unsur feminisme yang terdapat dalam novel tersebut, dan 4) melakuklan inferensi, yaitu membuat interpretasi atas data yang telah diolah menjadi suatu kesimpulan tentang feminisme dalam novel “Larung”.
Penelitian ini berusaha untuk melakukan analisis terhadap feminisme dalam novel “Larung”. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bermaksud mendeskripsikan ajaran atau kaidah feminisme dalam novel “Larung”. Oleh karena itu gambaran feminisme dalam novel “Larung” digunakan untuk mengetahui sejauh mana peran feminisme dalam suatu penciptaan karya sastra, khususnya novel “Larung”
.
H. Uji Keabsahan Data.
Di dalam penelitian ini, uji keabsahan data dilakukan melalui intrarater yaitu peneliti membaca dan mengamati secara berulang-ulang novel Larung karya Ayu Utami dan membaca buku yang berkaitan dengan feminisme. Secara interater yaitu dengan cara peneliti berdiskusi dengan teman sejawat terutama yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih tentang eksistensi wanita dan feminisme. Keabsahan data dalam penelitian ini juga dicari melalui pertimbanagn validitas dan reliabilitas data. Validitas data dilakukan dengan validitas semantik, yaitu dengan cara mengamati data-data yang berupa kalimat, paragraf, dialog maupun monolog yang mempunyai makna sesuai dengan feminisme
Dengan kata lain validitas semantik diperoleh dari makna-makna yang terdapat dalam konteks. Di samping menggunakan validiats semantik, data-data yang diperoleh dalam penelitian ini juga menggunakan validitas referensial. Selain itu, data-data tersebut dikonsultasikan atau dimintakan pendapat dan pertimbangan dari para ahli dalam hal ini dosen pembimbing.
Reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabilitas intrater, yaitu dengan cara membaca dan mengkaji ulang untuk mendapatkan data yang konsisten. Selain itu, juga digunakan reliabilitas interater, yaitu dengan cara mendiskusikan dengan sejawat. Dari data yang valid itulah dan reliabel itulah jawaban atas pertanyaan peneliti diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
--------------------------. 2000. Citra Wanita dalam Novel Populer Indonesia Mutakhir. PBSI UNY: Yogyakarta
Purbani, Widyastuti. 1998. Konsep Gender Cerpen-cerpen Indonesia. Laporan Penelitian Dikti: Yogyakarta
_________________. 2003. Memerangi Ketidakadilan Feminis. Makalah Seminar PBSI UNY: Yogyakarta
Siregar, Ashadi. 1999. Media dan Gender. LP3Y – Ford Foundation: Yogyakarta
Soemarjo, Jakob dan Saini KN. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Stephens, John. 1992. Language and ideology in Children’s Fiction. Longman :London
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Duta Wacana University Press: Yogayakarta.
Tim Penyusun kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta
Utami, Ayu. 2001. Larung. Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta
Komentar
Posting Komentar