Puisi 2008

Rupa Euphorbia
: Risna W.

Demi bunga mekar patah tangkai. Terpuruk pada tanah
Sebab tak mengaduh ia jatuh lalu kau rengkuh
Beri padaku sebagai puisi ramah tamah
Sebelum kau murkai serangkai angan dan tangkai di tangan
Demikian, rintik gerimis di hadapan menghapus catatan
Usia yang ditulisi duri mengoyak kenangan
Ketika onak mencabik kuntum bunga ia yang punya
Betapa luka menganga; layu mimpinya
Juga lagu syahdu dalam kisaran air hujan
Yang tak juga hendak pergi digiring arah angin
Kembara kepiluan kelopak kembang
Kehancuran yang kau kehendaki. Bila saja
Bersama tetes rintisan gerimis memanjang jengah
Serupa wanita di halaman menyunggingkan rona serupa pula
Merasai saat usia memalingkan rupa cahaya
Seperti ratap lelangit menebar tangis seluruh tanah
Semua menjadi kelopak sari pernyataan atau pertanyaan

Malam telah jauh dari kepergian semula
Bulan terlihat lama tertimbun halimun yang sama
Bintang lupa binar, hitam oleh embun dan kuntum euphorbia
Dari malam segala malam si jelita
Dari bunga di genggaman berjelaga si jelata
Sebagai puisi yang tak kuberi arti
Berangsur layu ia kini
Tersisih di hamparan kursi dan samparan kaki

Jarum jam menyelam dalam sublim malam
Dari malam ini dengan malam berikut
Kuharap sesuatu luruh dari langit
Tapi, bukan hujan, sayang. Aku pulang

Metro, 100308

kubuatkan puisi jelek untukmu lagi
Romansa binasa
Imajinasi sepi kelana wanita sebenarnya
Sebab ia terukir sepuisi kala luka senja
Nestapa juga lara siapa suka berpunya
Akan kuantarkan ke seberang. Alamat para pengembara

Wasiat dari riwayat yang tersurat di gurat hati
Ilusi secuil jejak kelopak berserak tiap pojok kota
Digenangi ratap, sajak-sajak dan roman revolusi
Impian pada curah cahaya bintang menepikan bulan bersarang
Yang kubidik dengan tangkai berduri. Lesat menguak
Ambang kematian rupa cahaya. Angin kerin, mendung runtuh
Tumpah bersimbah sejarah. Tumbuh pada kepasrahan tanah
Inilah rupa dunia bila Adam letih mengejar jejak pelarian Hawa

Bersekutu dengan waktu batu
Yang dingin rasa dunia kala senja melari bulan

Kehilangan frasa, kucuri seribu kata, dan
Esok ketika matahari dalam hatimu kembali merenangi hari
Titipkan ini pada lubang sampah atau kobar api
Embun pun jangan sempat singgah membasah
Ke pelataran dipenuhi bunga, pepohonan, dan terang lampu jalan
___
Senyawa yang lama, yang bagiku sama melaju bilangan hari
Engkau bunga dan duri dari sepi taman kehabisan insan
Lebur di simpang musim antara mekar bunga, ranggas daun jati
Akan kusajakkan ia dalam lipatan sejarah masa silam
Walau putik balik dipetik, kurawat akar pohonnya
Erat memeluk tanah, menulis puisi sampai tangkai pancang nisan

Berpaling mengubur pejuang malam ke sekian, menancap dalam
Epilog bagi gugur bunga seroja dari serumpun peribahasa
Selawe, Maret 2008

TERIMA KASIH YA..
(birthday-moon 21th reply)

Beradu waktu melaju serapah arah panah
yang siap nancap di pulung hati; yang rebah tanah
bersama sejarah dan abad antah-berantah
prahara lama reda. jika menyisa, rasa hanyalah rona
putri gendewa menyisir padang gersang
hadang perang menantang, tengadah di tengah
menghempas deru dan debu jadi abu
awan berpayung rindu padamu
terik menarik sukma seketika busur kau rentang
melesat cepat yang hanya satu itu
sampai sepi jiwa, sepasukan angin menepis selendang. dan
di atasnya langit berbelit tanpa fatamorgana
horison tak kasat mata
tanah resah bersimbah darah, hujan panah
tubuhnya roboh tanpa perih atau rintih
ratap sempat tak terucap. ia menatap diri di atas diri
lanskap darah di awan dan lipatan masa menjelajah jengah
waktu berhimpit di tubuh penuh luka punyanya
perempuan juga penyebabnya
sedang ruh masih sempat mencatat bahwa ia setia sekata
dengan aksara hembus udara
rentang usia yang terabai oleh kisah. bila saja
di bawah senja merenungi sangsi dalam rekah tanah
tak ada daun atau ranting kering yang bisa disarati
kepada penjaga hati. debu-debu menghantarmu ke haribaan
dan pergi membakar api kremasi. seperti sungkawa senja
sebab tak ada senjata yang bisa membelai sebelumya
cuma cahaya bulan. sisa cuaca tiada mencaci jasad beku
tanggal kabut meliput dan cakrawala sunyi tepian laga
bulan datang berulang. bertahun-tahun
aku pahami kisah itu. mengenangnya dalam puisi cinta
yang kekal dan fana; selalu gagal menulis kisah sesudahnya
Bulan hampir/lebih separuh, Metro, 19032008


Bukan Cinderella Kemalaman
: Devi Shita Andriani

Adalah sebuah babad
Dari ensiklopedia penghantar lembayung sore
Untuk kubaca isyarat padamu saja bila kau sukar kerjap
Mata berpesan sebagai media simpul dari seutas temali

Akan kubaca isyarat dan tanda hingga tandas
.
Sedari peri berpesan pada si jelita
Isyarat kata kala masa berpamit pada pesta dunia rekaan
Agar tak kau langkahi hari dengan sepatu kaca sekian abad
Sebab akan pecah sebelum masa mendadar
Sebab yang sepasang itu retak memecah segala sangsi
Cerita cinta seberang dimensi dan derita lorong usia
Pecah sudah menjadi pilihan tanpa sisa santapan
Untuk pangeran dan pejuang yang mungkin enggan berbagi

Baru saja kunikmati jelitamu sesiang itu
Dengan tepekur dalam ruang matikutu
Oleh sesuatu yang ditunggu tak balik padamu
Kisah baru yang baru saja tereja kata
Tersisih dari bayang lembayung senja, selanjutnya
Bulan memangkas separuh malam
Yang kabur dari warna gemintang bintang
Sebab lelangit menepis kisahnya sekejap
Kasih terpadam seketika detak takdir menghentak
Rasa dan logika berkolaborasi. Simpan saja
Mungkin saat berikut akan sempat kau rajut
Cerita di rekah tanah. Regang segala bimbang

Pandangmu lengkung menelikung
Matamu sembab terjerembab rintik isak
Yang mengambang di jambangan bimbang
Kutatap mata itu dan kusapa sekian laksa
Di antara depa jumpa masa yang lekas melaju

Pagi pucat pasi; pagi melukis puisi sepi
Adalah tentangmu, perempuan seanggun salju
Sehalus hembus udara. Jenjang mengangkang tak jalang
Rentang kesempurnaan mahakarya
Yang terpahat gelisah mega-mega kepedihan.
Lewat bilah sembilu; tepat menyayat untuk kali ke berapa
Di antara sunyi cahaya merenungi sangsi
Yang berserak di gugusan lanskap panggung drama kali ini

Gemulai gadis terpuruk di hamparan isak
Dan risak mengaburkan kabur malam.
Semakin tak jelas barangkali bisa
Kau tapaki babak percintaan shinta
Sebelum sampai ke seberang senja Berikutnya.
Setiap hamparan yang kau tapaki adalah cita yang kelak
Sampai di penghabisan.
Lalu episode yang lain lagi akan mengubah kisah
Asmara rama-shinta yang tak akan jadi dongeng semata


April 2008

Ada Nama Tertulis di Sana
Bersama: Groh, Gunt, Oct, Jesic, n Bom’s

Bulan tak tampak beberapa malam terakhir
Sebab bual-bual tanggal di hamparan berdebu
Di tepian yang terlalu
Kutulisi namamu agar ada sesuatu tertinggal
Sebelum kami berpaling langkah
Merejang gamang terjang berpasang
Debur ombak dan hembus udara
Takkan menghapus yang itu. Luruh di antara beribu
Sajak cinta dan puisi yang tak pernah selesai

Petang di lintasan pekan seumpama
Pantai sunyi cerita bercinta
Saat tereja sajak nelangsa
Tangis atau canda tiada beda
Ratap kebisuan desir pasir tepian laga
Halang embun menyublim duka
Selubung muram buram malam. Selebihnya
Tak akan basah ujung pengharapan bila saja
Tabir menyingkap; badai menggalang
Gelombang digiring bergulung
Terdampar di selangkang karang
Tersisih dari haribaan pertiwi. Sedang
Aku enggan pulang kandang
Singgah segala sanggah meradang
Mencekat mimpi lain lagi yang senggang
Ramai rumpis. Tapi, aku sendiri tanpa kadang

Mungkin esok akan datang. Menemani rasi bintang
Sebab bintang renggang mengawang
Kala angin menapak perlahan dalam sunyi kedalaman
Tinggal sisa pandang mata dan sederet aksara
: Ada nama tertulis di sana
Ada hidup yang tak hidup di sana pula
Parangtritis, Juli 2008

Menatap Sisa Cahaya Bulan dengan Mata Membara

membaca isyarat
saat penat yang berlipat
bimbang mengekang taut bersambut
mengibas kabut saat tatap tak kasat

purnama entah dilari ke jalan seberang
entah memerah berulang berang
di sini riang luruh berlabuh, hilang timang
sedang di gelanggang sepi berorang
merejang segala awang bimbang
selaksa lara menerjang sebayang-bayang
selayang pandang
di antara detak nyawa dan tubuh separuh
sukmaraga yang lelah rapuh
meratapi kepiluan retakan tanah merah
mengiringi air mata yang bersimbah
puisi duka yang tak pernah berubah
dari helai-helai sekalian langkah jengah
selama nafas masih mendesah
gelisah merunut sejarah kota antah berantah
yang maharamah – yang mahamarah

Bulan mengawang garang
Untuk dikenangkan esok-esok siang
Lalu melari jejak sajak lewat semburat mega
Adalah epilog dari berbagai kisah
Nelangsa dalam gumam malam kelam, bagiku

Risalah rasa dunia ada karena-Nya
Tanpa ada rasa-Nya
Tiada apa merasai-Nya
.”
lpg-ykt, 2008

Komentar

Postingan Populer